webnovel

Charlotte Dunois

Pukul lima subuh alarmnya rutin membangunkannya, terkadang juga ia hanya bangun mematikan alarm dan kembali tertidur kemudian terbangun jam 06.30. Tapi subuh ini dengan tidur yang sepertinya tidak cukup empat jam harus membuatnya bagun, ada banyak yang harus ia siapkan termasuk menyetrika seragam batik, mempersiapkan jadwal pelajaran, dan menelpon Charl. Jam 5 subuh di Indonesia berarti jam 5 sore di Ottawa, waktu yang tepat untuk menelpon Charl, Iyan menduga temannya itu pasti dalam perjalanan pulang dari less musim panas.

Sambil menyetrika, ponselnya berdering menunggu Charl mengangkat telepon. Iyan sebenarnya heran dengan dirinya sendiri, di Surabaya dia paling anti sama perempuan setelah Maiya berbuat jahat pada perasaannya namun, di Ottawa dia cuma punya satu teman dekat yaitu Charl.

"Good afternoon," sapa Charl dari balik telepon.

"Hei, good afternoon, how are you?"

"OMG, why are you just now contacting, me?" Charl mendengus kesal. Iyan sudah bisa membayangkan bagaimana wajah perempuan rambut pirang itu jika sedang kesal.

"Sorry, Charlotte, yesterday my grandmother was sick, so i forgot to call you."

"So, now, how are her?"

"It's okay."

"I want to see scenery in Indonesian, why don't we video call?"

"Not now, it's still 5 in the morning."

"What? OMG, i forgot, we are 12 hourse apart."

Iyan tertawa mendengar perkataan Charl, "Pasti matanya yang abu-abu sedang melotot sekarang."

"Jadi, apa yang kamu lakukan sekarang?"

"Sedang menyetrika seragam sekolah."

"Ouh, kamu terdengar sangat rapi di Indonesia."

"Pasti, beda kalau di Ottawa, tidak pakai seragam, pakai baju kaos sudah beres."

"Iya, nanti rapinya kalau adaca formal."

"Kamu lagi di jalan?"

"Iya, baru pulang dari less musim panas."

"Ambil paket apa?"

"Language and Physics."

"Sounds challenging."

Charl terdengar ketawa di balik telepon. "Bahasanya bahasa apa?"

"Urdu and German."

"Urdu? Why?"

"OMG, aku tidak pernah cerita kalau ayahku orang India?"

"Never at all. Tapi aku bisa tahu kalau ayahmu bukan Kanada 100%."

"Oh, ya? Bagaimana caranya?"

"His eyes, like your eyes."

"So, kamu mau bilang kalau aku juga tidak seperti orang kanada?"

"Orang mana yang lihat perempuan rambut pirang dikira asli India?"

Charl tertawa, di mata Charl, Iyan adalah laki-laki yang humoris padahal jika di Surabaya, sikapnya sama sekali tidak bisa ramah dengan perempuan.

Mereka bercerita sampai lupa ternyata sudah pukul 06.30.

"Later we will video call again."

"Okay, i'll wait."

Telepon pun berakhir dan Iyan bersia-siap untuk mandi dan turun sarapan bersama Paman dan Tantenya.

"Selamat pagi, Tia," sapa Iyan pada adik perempuannya yang mengikat dua ikat rambutnya dengan pita.

"Pagi, Kak Iyan," balas Mutia dengan senyuman.

"Iyan," teriak Aldo saat Iyan sedang menunggu lampu merah berubah jadi hijau."

"Ngapain lo di sini?" tanya Iyan, heran melihat Aldo yang ngos-ngosan.

"Ban motor gue lagi diganti, gue nebeng." Aldo lansung naik ke jok belakang bahkan sebelum Iyan memberikan persetujuannya.

"Jalan," kata Aldo menepuk pundak Iyan.

Mereka berdua pun sampai di sekolah. Tiba-tiba Aldo membahas tentang pekerjaan rumah yang belum dia selesaikan.

"PR gue belum selesai."

"Ada PR?" tanya Iyan.

"Iya, fisika."

"Ngapain lo baru bilang?"

"Soalnya baru ingat."

"Coba gue liat soalnya." Sambil berjalan menuju kelas, Iyan pun membaca buku Aldo yang tulisannya sangat cocok dibilang semut berhamburan.

"Ini tujuh atau satu?" tanya Iyan memastikan tulisan Aldo yang tidak jelas.

"Hem, mungkin tujung."

"Jangan mungkin lah, salah satu angka bisa salah semua turun ke bawah."

"Satu, deh, iya, itu satu."

Sesampai di kelas dengan siswa waktu lima menit sebelum bel berbunyi masuk, Iyan segera mengambil pulpennya dan mengerjakan jawabannya di buku latihannya.

Setidaknya Aldo merasa tidak khawatir lagi dengan tugasnya yang sudah berada di tangan Iyan.

"Udah." Iyan menyodorkan buku latihannya yang berisi jawaban dari tiga nomor soal yang diberikan oleh guru fisikanya.

"Aldo memperhatikan setiap jawaban yang ditulis oleh Iyan. "Enam bulan di Kanada bisa mengubah tulisann lo ya, jadi kayak mie."

"Apaan kayak mie?" tanya Iyan.

"Iya, sambung-sambung, gini."

"Hem, teman-teman di sana rata-rata nulis kayak gitu, jadi gue ngikutin aja."

"Tapi, yang penting jawabannya siap."

Beruntung guru yang mengajar terlambat lima belas menit sehingga Aldo bisa menyalin jawaban milik Iyan dengan santai ke buku tugasnya.

"Selamat pagi anak-anak."

"Pagi, Bu."

"Tugas minggu lalu sudah selesai?"

"Sudah, Bu." Aldo menjawab dengan sangat semangat.

"Iyan, sudah masuk di semeter genap, ya?"

"Iya, Bu," jawab Iyan.

"Oke, jadi siapa yang mau ngerjain soal nomor satu?"

Aldo dengan cepat mengangkat tangannya. "Saya, Bu."

"Sialakn, Aldo."

"Nomor dua?" tanya ibu sambil mengangkat satu lagi spidol di jarinya.

Saya, Bu." Aldi, bukan Aldi namanya kalau tidak pintar cari perhatian pada guru.

Sisa nomor tiga, tapi karena spidol hanya ada dua, maka guru hanya meminta dua orang untuk maju ke depan.

"Jawabannya Aldo sudah benar, namun jalannya berbeda dengan yang ibu ajarkan minggu lalu, namun, itu bukan masalah, yang jawaban akhirnya sama dengan punya Aldo berarti sudah benar, ya."

Iyan tersenyum mengangguk. Mimik wajah ibu guru seketikah berubah melihat jawaban yang dituliskan Aldi. "Ada yang sama dengan jawaban Aldi?" tanya Ibu guru.

Ayyan, teman sebangku Aldi mengangkat tangan, keduanya memang selalu kompak, kompak dalam hal apapun termasuk menyaingi Iyan dan teman-temannya.

"Yang jawabannya berbeda, coba diangkat tangannya."

Sembilan orang serentak mengangkat jawabannya dan masing-masing menyebutkan jawaban terakhirnya.

"Coba, Iyan kamu naik tulisa jawaban nomor dua di atas."

Iyan pun berdiri menuliskan jawabannya, ia sama sekali baru tahu kalau jalan yang dijarakan oleh ibu gurur seperti yang dituliskan oleh Aldo tapi Iyan punya jalannya sendiri, lebih tepatnya jalan yang diajarkan Prof. Johnny Jermias.

Iyan mengerjakan soal nomor dua tanpa membawa buku tugasnya, hanya satu menit soal itu pun terjawab dengan jalan yang sangat singkat dan tidak seribet Aldi.

Ibu Guru mengangguk-angguk melihat jawaban Iyan, "Jalannya cukup singkat, di Kanada diajarkan seperti ini?" tanya Ibu Guru.

"Iya, bu."

"Kalau yang jalan seperti punyanya Aldi?"

"Em, tidak, Bu. Prof. Johnny Jermias cuma ajarin jalan yang mudah katanya."

Terdengar suara kagum dari teman-teman Iyan di belakang. "Gimana rasanya diajar sama Prof?" "Profnya umurnya berapa?" "Eh, profnya itu cewek atau cowok?" dan banyak lagi bisik-bisik pertanyaan dari belakang Iyan.

Ibu guru hanya mengangguk mendengar perkataan Iyan. "Jadi jawaban terakhir yang sama dengan punya Iyan, sudah betul, ya."

"Nomor tiga, sekalian kamu kerja Iyan," kata ibu guru dan sekali lagi jawabannya benar.

"Kemarin lo ke Bandung?" tanya Adam

"Iya, lah."

"Cuma berapa jam di Bandung?" tanya Aldo

"Gak sampai dua puluh empat jam."

"Nenek lo oke?"

"Udah baikan."

"Jadi mau makan apa? Mie pangsit lagi? Yang kemarin lo ninggalin aja padahal udah gue pesan, kasian Adam jadi double bayarnya."

"Abis Maiya datang, nanti gue yang tangkis, dollar dari Kanada masih tersisa," kata Iyan.

"Iya, harus, dong," kata Aldo.

Saat makan mie pangsit tiba-tiba Adam membuka topik pembicaraan. "Serisu lo gak tertarik sama satu pun cewek Kanada?"

Iyan tidak menjawab. "Kalau yang sama Kanada aja tidak tertarik, bagaimana sama yang Indonesia?" timpal Aldo

"Hem, banyak, cantik, bening, matanya indah, dan semuanya menarik," kata Iyan.

"Terus, gak ada gitu, satu pun yang berhasil buat hati lo deg-degan atau apalah gitu."

Iyan menggelengkan kepalanya.

"Lo maunya yang gimana, sih? Kita berdua nih khawatir jangan-jangan lo gay."

"Apaan sih, sembarangan kalau ngomong," balas Iyan membela dirinya, mana mungkin ia gay, sedandainya iya, tidak mungkin ia sampai meminta nomor ponsel Mira kemarin di rumah sakit.

"Kalau gay, gak mungkin dulu dia pacaran sama Maiya." Kata Adam.

"Sampai kapan, Yan, lo tuh, udah jomblo akut banget, tampangnya aja punya pacar, pas cek ponselnya ternyata jomblo."

"Hem, serah kalian."

"Di Kanada masa gak ada yang pacaran?"

"Banyak, bahkan ada yang nginap sama-sama padahal belum nikah."

"Nah, tapi gak gitu juga, punya pacar itu udah cukup buat lo Iyan, nanti kalau sampai serumah sama bule, jadinya lo gagal fokus terus."

"Ngapain bahas pacar-pacar terus? Gak ada yang lebih penting?" tanya Iyan.

"Ya, barang kali, pulang-pulang dari Kanada status jomblomu udah hilang."

"Ya masa gue mau LDR," kata Iyan.

"Iya, masa Iyan mau LDR?" timpal Aldo meledek Iyan.

"Nanti sore temenin gue ke suatu tempat," kata Iyan.

"Ke mana?" tanya Adam dan Aldo bersamaan.

"Ke mana, yah, tempat yang bisa gue perlihatin dan banggain kalau indonesia itu indah."

"Untuk?"

"Kirimin temen gue di Kanada."

"Oh, gue tau tempatnya," kata Adam.