Lagi-lagi, terbangun melihat langit-langit yang tak kukenali sama sekali, aku mencari informasi dengan memeriksa seisi ruangan.
Hal pertama dan terakhir, aku menemukan diriku tengah terbaring di sebuah kasur, berusaha untuk duduk hanya untuk merasakan kegagalan.
Gawat, aku tak bisa merasakan kakiku.
Seketika berderit, pintu terbuka. Seorang pria dengan usia sekitar 30 tahun terlihat di baliknya. Membawa sebuah mangkuk berisikan bubur yang kelihatan masih hangat, sang pria berjalan masuk.
"Kau sudah bangun?" tanya sang pria dengan ramah. "Kau sudah tertidur selama 2 hari lebih, aku pikir kau sudah mati."
Itu benar-benar candaan yang buruk.
Menaruh mangkuk berisi bubur di atas meja, sang pria melanjutkan, "Aku menemukanmu terbaring di pinggiran Hutan Kematian dengan tubuh penuh luka dan kaki kiri yang sudah patah," sang pria mengoleskan sesuatu ke kaki yang sudah tak dapat kurasakan, "Untuk sekarang kau istrahat dulu, aku sudah melumuri kakimu dengan ramuan penyembuh, seharusnya kakimu akan segera membaik sebentar lagi," jelasnya.
"…"
Karena informasi yang kurang, aku memutuskan untuk diam, tak berkata apapun pada sang pria.
Apa yang sebenarnya terjadi padaku?
----------------
Kalau tak salah, setelah menjatuhkan sang Golem raksasa, aku bertemu dengan monster yang mirip seekor gorila, bertarung dengannya dan entah kenapa berhasil menang.
Setelah itu… aku berulang kali bertemu dengan monster-monster aneh dan kemudian aku tak ingat apa-apa lagi.
Yah biarlah, yang berlalu biarlah berlalu.
----------------
"Aran," sang pria memanggil seorang anak yang kelihatan sedang bersembunyi di balik pintu, "Tolong jaga kakak ini, ayah ingin pergi berburu dulu."
Sang pria berjalan menuju pintu keluar kamar, di saat bersamaan, anak yang bersembunyi tadi perlahan berjalan, masuk ke kamar sebelum akhirnya duduk di samping tempatku terbaring.
Mendesis kesakitan, kakiku yang tak dapat kurasakan mendadak terasa perih.
"Oh, ramuan penyembuhnya sudah mulai bekerja, rasa perih yang kakak rasakan adalah efek samping dari ramuan penyembuh. Tapi tenang saja, setelah rasa perihnya menghilang, kaki kakak akan sembuh dengan sendirinya," jelas anak kecil yang kira-kira berusia 8 tahun ini.
Dan benar saja, setelah rasa perihnya menghilang, kaki kiriku dapat kurasakan lagi.
Whoaa, hebat! Kelihatannya kau tak perlu ijazah kedokteran untuk menjadi dokter di dunia ini.
"Pastikan kakak berterima kasih kepada ayahku nanti, dia memberikan ramuan penyembuh yang sangat berharga kepada seorang yang tak ia kenal, bukankah itu sangat baik?" kata Aran memberikan sesendok bubur hangat kepadaku.
Karena hampir seluruh tubuhku masih di selimuti rasa sakit, dengan bisu aku hanya memakan bubur hangat yang di berikan kepadaku sampai habis.
Klise kilas balik ingatan terbesit dalam benakku.
Ah gawat, aku mengingatnya lagi.
"Ini pakaian baru untuk kakak."
Menyadarkanku dari lamunan, Aran mengambil sesuatu di bawah kasur, kemudian memperlihatkannya kepadaku, "Pakaian lama kakak ada di gudang, pakaian itu sudah tidak bisa di sebut pakaian, jadi ayahku membelikan yang baru untuk kakak. Kali ini kakak benar-benar harus berterima kasih kepada ayahku saat ia kembali nanti!"
Itu yang kedua kalinya kau mengatakan "harus berterima kasih pada ayahku". Kenapa aku harus melakukan hal itu? Aku sama sekali tak pernah meminta untuk di belikan pakaian.
Membawa mangkuk yang sudah kosong, Aran berjalan keluar, menutup pintu kamar dari luar setelahnya.
Dalam kesunyian, aku menatap pakaian yang berada di dekatku ini.
Tapi… pakaian ini sudah di belikan untukku, jadi sayang untuk di buang. Pakaianku juga katanya sudah rusak, lagipula tak ada alasan untuk menolaknya.
Kalau begitu aku terima saja.
----------------
Tidur setelahnya, aku terbangun saat malam hari. Merasa tubuhku sudah lebih baik, aku segera bangkit dari tempat tidur, memakai pakaian yang kuletakkan di atas meja dengan cukup repot.
Berjalan keluar dari kamar setelahnya, aku menuruni tangga untuk menuju ke lantai pertama rumah ini.
Belum selesai menurungi anak tangga, Aran yang sedang mondar mandir dengan wajah khawatir di depan pintu rumah, masuk ke dalam pandanganku.
Aku berjalan menghampiri Aran.
"Ada apa?" tanyaku.
"Ah kakak, apa tubuh kakak sudah baikan?"
"Ya begitulah, kau belum menjawab pertanyaanku tadi. Kenapa kau mondar mandir di depan pintu rumah dengan wajah khawatir? Apa ayahmu belum juga pulang?"
"Ya…" Aran mengguk kecil dengan suara yang perlahan menghilang, "Ayah biasanya pulang sebelum matahari terbenam, tapi hari ini, meskipun hari sudah gelap… ia belum pulang sama sekali."
"Apa ayahmu pergi berburu monster di Hutan Kematian?"
"Ya, ayah biasanya berburu di sana, namun hanya di wilayah pinggiran," Aran berhenti sejenak. "Monster yang ada di sana tidaklah terlalu kuat, tapi tetap saja aku khawatir terjadi sesuatu kepada ayah," katanya gelisah.
"Apa kau tahu arah Hutan Kematian dari sini?"
"Cukup ikuti saja jalan utama desa ini, itu akan mengantarmu ke sana."
"Kalau begitu, kau tetaplah di sini, jika ayahmu masih hidup aku akan berusaha membawanya pulang,"
Ya, mungkin ini adalah rasa terima kasihku karena telah menolongku.
Membuka pintu rumah, aku berlari meninggalkan Aran, menyusuri jalan utama desa ini.
Telah cukup lama berlari meninggalkan desa, akhirnya aku sampai di depan Hutan Kematian.
Sekarang apa yang harus kulakukan?
Dengan cepat menutup mata, aku berusaha merasakan energi sihir di sekitar sini.
Beberapa menit berlalu.
Seketika membuka mata, aku berlari masuk ke dalam hutan. Setelah menyusuri beberapa pohon dan berlari cukup lama, akhirnya aku menemukan ayah Aran, sedang bersandar di sebuah pohon dengan tangan dan dada yang terluka layaknya telah tercakar oleh sesuatu.
Tak butuh waktu lama, "sesuatu" itu muncul, seekor monster berkepala singa yang memiliki tiga buah ekor mendekat ke ayah Aran.
Kelihatannya ini benar-benar situasi yang gawat.
Menyerang sang monster singa dengan 1 akar bayangan, sang singa melompat ke belakang sebagai respon menghindar.
Tapi, tepat setelah sang singa mendarat, tiga akar bayangan lainnya sudah menancap ke tubuhnya, seketika membuatnya jatuh tak sadarkan diri.
Tak menunggu lebih lama lagi, aku berlari menuju ke tempat ayah Aran berada, dengan bisu menopang tubuh dan membawanya keluar dari hutan.
…
Aku mengetuk pintu, membuat pintu terbuka tak lama setelahnya.
"Ayah!" teriak Aran membantuku mengangkat dan membaringkan ayahnya ke laintai ruang tamu.
"Di pakaian lamaku, ada sebuah tas kecil di dalamnya, cepat pergi ambilkan tas itu."
Aku ingat terdapat "sesuatu" yang dapat berguna di sana.
"Ba-baik!"
Dengan wajah yang di aliri air mata, Aran berlari ke salah satu ruangan, membuka pintu ruangan tersebut, dan masuk ke dalamnya.
Berselang cukup lama, Aran kembali, membawa tas yang kumaksud.
"Ini tasnya!"
Menerimanya, aku mengambil sebuah kristal berisi sebuah cairan dari tas.
Kalau tak salah memang yang ini…
Aku sedikit ragu, tapi tak ada waktu untuk itu.
Langsung menghancurkan kristal berwana putih, hidungku langsung mendeteksi bau yang sangat menyengat. Cairan dari dalam Kristal menetas dari tanganku, langsung jatuh ke luka ayah Aran.
Asap putih beterbangan. Perlahan, luka cakaran di dada dan tangan ayah Aran menutup dan akhirnya hanya meninggalkan sebuah bekas cakaran yang terlihat cukup keren.
Sial, aku ingin mencobanya juga.