webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Otras
Sin suficientes valoraciones
63 Chs

UF2568KM || 04

Pada saat jam istirahat, seperti biasa mereka akan makan siang bersama di kantin. Bastian yang merasa ingat sesuatu yang harus ia sampaikan kepada teman-temannya, ia langsung menghentikan makan siangnya itu dan ia mulai berbicara.

"Oh ya, semalam gue pas udah pulang dari rumah Sheril, gue nginep di rumah Sakti."

"Terus? Dia cerita sesuatu gak?" Tanya Rein antusias setelah mendengar Bastian mengatakan itu. Haris yang melihat itu hanya berdecih.

"Apa lo?!" Rein yang merasa tersinggung itupun langsung menatap galak ke arah Haris.

"Kagak," jawab Haris singkat.

"Udah-udah jangan berantem dulu! Terus Sakti ada cerita sesuatu gak sama lo?" Tanya Jifran dan Bastian hanya mengangguk menandakan iya.

"Dia cerita apa?" Tanya Jian.

"Dia …,"

•Flashback On•

"Gue juga gak tau, Bas. Iya gue tau waktu itu gue minum sama dia. Tapi gue gak inget apa yang udah terjadi antara dia dan gue. Gue gak yakin gue udah lakuin itu semua."

"Gini deh, coba lo ceritain gimana awalnya."

"Jadi waktu itu gue sama dia ke club, dan gue terlalu banyak minum. Gue sama sekali gak inget apa-apa, pokoknya pas gue sadar, gue udah ada di kamar gue."

"Lo liat ada Citra di samping lo gak pas lo sadar?"

"Gak, Citra gak ada dan kayanya dia udah pulang sebelum gue sadar. Tapi, yang bikin gue mikir dua kali, gue sadar dengan keadaan gue yang topless dan ada darah di kasur gue."

"Jadi lo ngelakuin atau gak sih? Lo yakin gak?"

"Gue tau gue emang brengsek, tapi gue gak pernah tuh ada niatan buat rusak anak orang. Kalo emang iya gue ngelakuin itu sama dia pas lagi mabok, seenggaknya gue pasti inget walau cuma dikit."

"Dari omongan lo yang gue tangkep, ada beberapa kemungkinan. Pertama, lo emang ngelakuin itu sama dia. Kedua, Citra yang merkosa lo. Dan terakhir, mungkin aja anak yang dikandung citra itu … bukan anak lo."

•Flashback Off•

"Gitu." Rein, Haris, Sheril, Jian, Dara, dan Jifran langsung terdiam setelah mendengar hal itu dari Bastian.

"Citra tuh yang mana sih? Bingung gue, cewek si Sakti kan banyak," tanya Dara.

"Gue yakin Sakti gak salah." Mereka semua langsung melihat ke arah Rein yang tiba-tiba berdiri dan berkata demikian. "Kita harus bantuin dia, bukan?" lanjutnya.

"Iya nih kita semua harus bantu sebelum semuanya terlambat, soalnya si Sakti udah disuruh tanggung jawab sama keluarga ceweknya. Si Sakti disuruh nikahin ceweknya cepet-cepet," tambah Bastian lagi.

"Najis banget sih! Belum juga terbukti siapa yang salah udah disuruh nikahin aja. Kan kalo salah bahaya entar pasti ada yang nyesel."

"Iya, lo yang nyeselnya, Rein," celetuk Haris yang membuat gadis itu kembali menatapnya sinis.

"Diem deh lo! Emosi gue tuh tau gak?!"

"Sudah-sudah Sayang-sayangku, jangan berantem dulu, oke?" Dara memisahkan Rein dan Haris.

"Jadi kayanya kita harus bikin rencana dulu, di mana kita bakal mulai nyari masalahnya." Jifran memberikan usulan dan langsung disetujui oleh Bastian.

"Bener, tuh. Pulang sekolah kita langsung ke rumah gue, ya. Semuanya harus ikut, kita bakal rangkai rencananya bareng-bareng,"

• • •

"Ihhh …! Acak-acakan jadinya rambut gue!" Haris tertawa puas dan langsung dihadiahi tamparan terhadap lengannya dari Rein. "GAK USAH KETAWA! Lo jelek."

"Hahaha mampus lo!" ejek Jian.

"Uncees kita, Nyet!" Haris mengambil ancang-ancang ingin melempar Jian dengan Helm yang baru saja ia lepaskan dari kepalanya.

"Gini nih gue males kalo dibonceng sama manusia sableng kek Haris. Rusuh dia! Kek mau ke mana aja. Modus mulu, jijik gue!" Cerocos Rein seraya ia berjalan mendekat ke arah Sheril yang baru turun dari motor Jian.

"Udah-udah ayo masuk!" Merekapun langsung masuk ke rumah Bastian dan langsung disambut ramah oleh ibunya.

"Ehh … ada kalian, udah lama ya gak ke sini?"

"Eh iya Tante, Tante apa kabar?" Tanya Sheril seraya ia menyalami ibunya Bastian yang langsung diikuti oleh yang lainnya.

"Tante baik, kok. Oh iya, makan dulu yu! Tante baru saja selesai masak."

"Ga usah Tante gapapa, terimakasih tawarannya."

"Ya udah, kalau begitu kalian duduk dulu ya, Tante mau bikin minuman dulu. Ayo Bas, diajak teman-temannya!"

"Iya, Bun. Ayo duduk dulu!" Setelah mereka duduk, Jifran mengeluarkan buku yang masih kosong dan sebuah bulpoin.

"Itu buat apa?" Tanya Haris.

"Buat cebok! Ya buat nulislah!" Jawab Jifran kesal.

"Apanya yang ditulis?" Tanya Haris kembali.  Jifran menghela napasnya dan ia memukulkan buku itu pada kepala Haris. "Banyak nanya lo, ini tuh buat nulisin dosa-dosa lo, Ris."

"Gak bakal muat itu, aku sadar aku adalah pendosa." Haris memegang dadanya mendramatis. "Kambuh dih," cibir Rein.

"Apa Sayang apa?"

"Cieee…," seru mereka semua setelah mereka mendengar Haris memanggil Rein dengan sebutan Sayang.

"Aduh aduh udah deh! Lagi males berantem gue tuh sama nih anak." Rein mendorong Haris yang dari tadi semakin merapatkan tubuhnya pada Haris.

"Kalo capek berantem ya udah ganti aja jadi bercinta," usul Jian.

"Gak ah, bercinta sama lo aja sini! Gak mau gue kalo sama dia."

Sheril yang mendengar itupun ia langsung bertindak. "Heh! Cowok gue lo godain, wah parah. Uncees kita Rein, pokoknya uncees!"

"Becanda gue Nyet, baperan amat."

"Gue juga gak mau kok sama lo. Sher, pacaran sama gue yu! Gue lebih ganteng dari Jian, kok." Mendengar itu dari Haris, kali ini Jian yang bertindak. Ia melemparkan bantal sofa tepat pada wajah Haris.

"Bagus ye sungut lo. Jangan mau, Yang, dia gak diimunisasi waktu bayinya, gak sehat. Makannya dia gila kaya gini."

"Sok tau lo! Pak RT malu kalo warganya sok tau kaya lo." Haris melemparkan kembali bantal sofa yang tadi Jian lemparkan pada wajahnya.

"Udah-udah, ayo kita mulai bikin rencananya!" lerai Bastian. Lelah dia lama-lama menghadapi tingkah laku teman-temannya itu.

"Jadi gin-"

"Ayo diminum dulu!" Bastian mendengus kesal karena dari tadi dia belum sempat mengutarakan pendapatnya.

"Makasih, Bunda …." Bastian tersenyum terus setelah itu wajahnya kembali datar. "Kenapa pacar kamu, Dar?"

"Ga tau Bunda, mungkin belum minum obat." Ibunya Bastian hanya tertawa sambil menata gelas di atas meja setelah mendengar ucapan Dara.

"Dar …."

"Bas …."

"Tau ini?" Tanya Bastian setelah dia mengeluarkan sesuatu di tasnya. Dara yang melihat itu adalah benda miliknya yang kini ada di tangan Bastian, ia langsung menatap was-was pria itu.

"Tau."

"Apa?"

"Lip crime aku yang kamu rampas, hehe." Dara mencoba untuk mengambilnya tapi Bastian terus menjauhkan tangannya agar Dara tak dapat menggapainya.

"Mau aku buang?" Tanya Bastian.

"Ihh … Bunda liat deh, Babas mah suka gitu. Itu Dara dibeliin sama mama pas mama baru pulang dari LA tau …  tapi sama Babas malah diambil." Dara mengerucutkan bibirnya sedangkan ibunya Bastian hanya menggelengkan kepalanya.

"Kenapa kamu ambil? Kamu mau pakek Lip crime emangnya?"

"Ada alasannya pokoknya, Bun," jawab Bastian. Setelah itu ibunya pun pergi menuju dapur meninggalkan anak-anak remaja pertengahan itu dan membiarkan mereka untuk menghabiskan waktu bersama.

"Tuh Yang, Dara aja udah deket sama bundanya Bastian. Kamu kapan berani ketemu sama mama aku?" Tanya Jian pada Sheril.

"Udah pernah ketemu kok, cuma dia gatau aku pacar kamu."

"Kita lanjut, ya." Mereka semua mengangguk setuju pada Bastian. "Jadi gue mau usulin pendapat gue nih buat mecahin masalah si Sakti. Gimana kalo kita cari tau dulu cewek yang namanya Citra itu yang mana, terus kita cari tau juga kehidupan dia kek gimana gitu."

"Gue setuju, tapi di mana awal kita nyari tau soal cewek itu? Kita tanya Sakti atau kita cari tau sendiri di media sosialnya?" Tanya Jifran. Mendengar itu Bastian terdiam sejenak untuk mempertimbangkan jalan yang mana yang harus mereka ambil.

"Kayanya kalo kita tanya sama Sakti jangan dulu deh, ada baiknya juga kalo dia jangan tau dulu kalo kita mau pecahin semuanya. Entar kalo semuanya pas, kita baru bisa kasih tau dia. Kalian setuju gak kalo misalnya kek gitu? Kalo kalian punya pendapat lain ya gak papa omongin aja."

"Gini deh, gue coba cari IG-nya dulu, gue yakin dia ikutin Sakti atau sebaliknya." Haris membuka Instagramnya dan langsung mencari akun Sakti untuk melihat followersnya.

Setelah beberapa lama mengutak-ngatik ponselnya, Haris tiba-tiba terdiam sambil memandangi layar ponselnya itu. "Kenapa, Ris?" Tanya Erin.

"Yang namanya Citra banyak banget di sini anjir!!!"

•To be Continued•