webnovel

Unfaithful From 2568 KM

Penampilan bukanlah tempat penilaian sikap seseorang, dan hati tidak bisa sepenuhnya dinilai melalui sikap. Terkadang seseorang terlihat biasa saja dalam menghadapi apa yang dia cintai, dan tidak ada yang mengetahui isi hatinya yang sebenarnya. Ibaratkan buah manggis yang nampak gelap dari cangkangnya namun begitu putih, bersih, dan lezat rasa buahnya. Dia sangat mencintaimu, hanya saja dia memiliki cara tersendiri untuk melakukannya. Lalu bagaimana jika di antaranya lupa akan janjinya untuk memeluk erat kembali jiwa yang telah jauh darinya … karena sudah terlanjur jatuh ke dalam pelukan jiwa yang lain? Entah itu teman mereka atau temannya sendiri, yang jelas dia harus benar-benar dilepaskan. Siapa mereka? Siapa yang harus melepaskan, dan siapa yang harus dilepaskan? Biarkan waktu yang mengungkapkan segalanya. “Gue selalu berusaha buat ngisi penuh botol itu. Tapi nyatanya gue gagal.” -Seseorang yang terkhianati

Indriani0903 · Otras
Sin suficientes valoraciones
63 Chs

UF2568KM|| 51

"Sak-ti?" Gadis itu sedikit terkejut dengan apa yang ia lihat, matanya sedikit terbuka ketika ia menyaksikan ini.

Rumah Sakti terlihat berantakan dan lantainya berdebu. Sepertinya … Sakti jarang membersihkan rumahnya. Baik, Rein mewajarkannya karena Sakti adalah seorang pria dan ia hidup sendiri di sini. Karena memang tidak semua pria pandai berkemas, bukan?

Ia mulai berjalan menelusuri setiap ruangan yang ada di rumah tersebut dengan bermaksud untuk menemukan seseorang yang tengah dicarinya.

Rein tidak ingat kapan terakhir kali ia memasuki rumah ini. Sepertinya waktu SMA dulu? Karena ya, rumah Sakti memang yang paling jarang dikunjungi olehnya.

Rein melihat ada sebuah pintu yang belum ia buka. Pintu itu berwarna cokelat tua dan terdapat sebuah papan gantung yang bertuliskan 'don't disturb'. Rein menahan tawanya, ia berpikir … memangnya siapa yang akan menganggunya padahal ia tinggal sendiri di rumahnya.

Perlahan Rein membuka pintu itu dan ia melihat seseorang yang dicarinya itu tengah tertidur di dalam kamarnya. Rein tidak berani masuk dan ia hanya mampu memperhatikan wajah pria yang terlihat damai dalam tidurnya itu di ambang pintu.

"Gue gak tega banguninnya. Terus, gue di sini sampai kapan?" Monolognya. Rein kembali mengedarkan pandangannya pada setiap sudut rumah itu dan seketika terlintas sesuatu di dalam otaknya. "Gue punya ide."

Rein berjalan menuju dapur dan ia menyimpan buah-buahan yang ia bawa itu di atas sebuah meja. Gadis itu mulai mencari alat-alat yang ia butuhkan untuk menjalankan rencananya tersebut. Ya, ia berencana untuk membersihkan rumah Sakti selagi ia menunggu pria itu terbangun dari tidurnya.

Ia rasa tidak apa-apa. Ia sudah jauh-jauh ke sini dan rasanya sayang saja jika mereka tidak bertemu. Daripada menunggu Sakti yang entah kapan ia akan terbangun, jadi ia memilih untuk membantu pria itu untuk membersihkan rumahnya. Daripada bosan, pikirnya.

Rein menyapu lantai terlebih dahulu, kemudian ia mengepelnya dan membersihkan debu yang menempel pada barang-barang yang ada di sana. Barang-barang Sakti tidak terlalu banyak, hanya ada beberapa barang yang mungkin paling dibutuhkannya saja.

Rein membersihkan semuanya kecuali kamar Sakti karena seperti yang ia pikirkan dari awal bahwa ia tidak berani memasuki kamar pria tersebut.

Setelah semuanya terlihat bersih, gadis itu menghela napas lega dan tersenyum senang. Ia kembali berjalan menuju ke arah kamar Sakti untuk memastikan ia sudah terbangun atau belum. Kali ini Rein hanya mengintipnya saja melalui celah dan ia melihat ternyata pria itu belum terbangun juga.

"Ih, masih belum bangun juga? Padahal gue udah satu jam setengah di sini. Terus gue ngapain, dong? Enggak, gue gak boleh pulang sebelum dia tahu gue ada di sini. Gue khawatir sama dia, apalagi setelah gue liat kondisi rumahnya yang kurang keurus kek gini. Ya ampun Sakti … kalo lo belum bisa ngurus diri lo sendiri, kenapa lo milih buat tinggal sendiri, sih? Kondisi lo udah baikan belum sekarang? Ayo bangun dan kasih tau gue!"

Rein berkacak pinggang dan ia kembali membawa langkahnya untuk menjauh dari area kamar tersebut. Ia mendudukkan bokongnya di atas sofa yang ada di ruang tengah seraya mengayun-ayunkan kakinya bosan.

"Oh iya, gue kan bawa buah-buahan tadi." Rein kembali beranjak dari duduknya dan ia berjalan menuju ke arah dapur. Gadis itu mengeluarkan buah-buahan yang ia bawa dan ia mencucinya sebelum ia meletakkannya pada keranjang buah yang ia temukan di atas rak piring.

"Ngomong-ngomong, Sakti udah makan belum, ya?" Gadis itu kembali bermonolog dan ia membuka sebuah kulkas yang ada di sana. Rein tidak melihat adanya bahan makanan di dalam sana, kulkasnya hanya diisi oleh beberapa botol minuman beralkohol. "Ya kali Sakti cuma minum kek ginian buat ngatasin perutnya yang lapar kalo lagi di rumah."

Mata Rein menatap sebuah kotak yang berisi beras. Sebuah ide kembali muncul dalam otaknya ketika ia melihat beras tersebut. "Sakti kan lagi sakit, orang sakit biasanya makan bubur, kan? Ya udah deh gue bikin itu aja."

Rein mengambil beras setengah gantang berukuran sedang dan ia membersihkan beras tersebut sebelum ia mengolahnya menjadi bubur.

Gadis itu terlihat terus mengaduk-aduk buburnya hingga matang dan ia sedikit mencicipinya untuk memastikan rasanya sudah pas atau tidak.

"Keknya udah, deh." Setelah dirasa bubur telah matang, ia pun mematikan kompornya dan menuangkan semangkuk bubur untuk didinginkan.

"Sekarang apa? Sakti masih belum bangun juga?" Rein bermaksud untuk kembali memastikannya. Tapi, saat ia berbelok, ia malah bertabrakan dengan pria itu.

"Rein? Lo ngapain di sini? Udah lama?" Tanya Sakti dengan raut wajah herannya. Belum juga Rein membalas, ia malah menarik gadis itu untuk duduk terlebih dahulu di sofa ruang tengah.

"Iya, gue udah sekitar dua jam lebih di sini. Sorry ya gue gak ngabarin lo dulu kalo gue mau ke sini. Dadakan banget soalnya," jelasnya.

Sakti membulatkan matanya tak percaya. Benarkah gadis itu sudah berada di rumahnya dari dua jam yang lalu?

"Terus, Rein? Lo ngapain aja selama dua jam lebih itu?" Rein mengangkat bahunya seraya ia berkata, "Ya gue nungguin lo bangun, lah."

"Itu doang? Gak jenuh?" Rein terkekeh dan menggeleng pelan. Sepertinya Sakti belum menyadari kini rumahnya telah bersih. Pria itu menghela napasnya dan ia menyandarkan kepalanya ke belakang seraya memijat pelipisnya.

"Masih pusing? Udah berobat belum?" Sakti menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Kenapa gak berobat?"

"Gue udah biasa kek gini dan gue gak pernah pergi ke dokter. Biasanya kalo gue banyakin tidur nanti juga sembuh sendiri." Rein mengangguk mengerti dan seketika suasananya terasa sangat hening.

Sakti kembali membuka matanya yang ia pejamkan beberapa saat. "Rein, nyalain TV, dong!"

"Ih, sama lo aja kali."

"Ya udah siniin remotnya!" Rein memberikan remot yang tergeletak di atas meja di depan mereka pada Sakti. "Sorry, ya. Gue tau lo gak nyaman sebenernya di rumah gue. Rumah gue emang berantakan, Rein."

"Gak papa, santai aja."

Sakti terdiam saat ia merasakan sentuhan yang tak biasa pada tangannya. Ia langsung memperhatikan remot yang tengah ia genggam itu. Remotnya terasa lebih kesat dan tidak berdebu.

Dari remot ia beralih menatap ke setiap sudut rumahnya dan itu semua memang benar-benar terlihat bersih. Pria itu kemudian menoleh ke arah gadis yang tengah duduk bersamanya dengan matanya yang terlihat menatap pada layar televisi.

"Rein?"

"Hm?" Rein yang tadinya sedang fokus menatap layar televisi pun langsung menoleh ke arah Sakti yang tiba-tiba saja memanggilkan namanya.

"Lo bersihin rumah gue?"

"I-iya," jawab Rein ragu-ragu ketika ia melihat wajah Sakti yang tiba-tiba berubah menjadi sangat serius. Apa pria itu akan marah padanya hanya karena ia membersihkan rumahnya?

Sakti membuang napasnya kasar dan ia kembali menatap gadis cantik di sampingnya tersebut. "Seharusnya lo gak usah ngelakuin itu, Rein! Gue jadi ngerepotin lo jadinya."

Rein tersenyum dan ia menatap pria itu tepat di matanya. "Gue gak ngerasa direpotin kok, Sakti. Inikan kemauan gue sendiri. Gue gak mau bangunin lo, jadi, gue nungguin lo bangun sambil beresin rumah lo aja. Gak papa kok Sakti, tenang aja."

"Ya tap-"

"Sssttt …! Udah ah jangan diperpanjang! Lo udah makan belum?" Sakti menggeleng pelan sebagai jawabannya. "Ya udah, sekarang lo makan dulu, yu!"

Rein menarik Sakti ke arah dapur sedangkan pria itu merasa masih sadar tak sadar tentang keberadaan gadis itu di sini. Semuanya terasa seperti mimpi.

Rein meletakkan semangkuk bubur yang telah didinginkan olehnya itu di depan Sakti. "Sorry ya gue gak bikin buat topingnya. Gue buka kulkas lo gak ada bahan makanan sama sekali, tadinya gue mau beli aja tapi gue gak tau daerah sini."

"Rein?"

"Iya?"

"Gue lagi gak mimpi, kan? Lo ada di sini itu nyata, kan?" Rein hanya menganggukkan kepalanya pelan sebagai jawaban 'iya'.

"Udah ini makan! Gue juga bawain lo buah-buahan, loh. Gue bikinin jus, ya? Alpukat bagus buat ngatasin hangover." Tanpa menunggu persetujuan dari Sakti, Rein pun mulai membuatkan jus alpukat untuknya.

Sakti yang tengah memakan buburnya pun tak dapat melepaskan pandangannya dari gadis itu. Perasaan tak nyaman itu selalu hadir ketika mereka bersama. Mengapa semakin dibuang jauh malah semakin mendekat? Sejujurnya, Sakti benar-benar tak dapat tak menaruh hati pada gadis itu.

Di setiap harinya, di setiap jam, di setiap menit, bahkan di setiap detik ia selalu berusaha membuatnya biasa saja. Tapi, nyatanya perasaan itu semakin memuncak ketika ia berusaha untuk melemparkannya lebih jauh. Kata 'persahabatan' itu sama sekali tak membuatnya puas. Ia ingin lebih dari kata itu. Sungguh!

'Sret'

Rein sedikit tersentak saat tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang membalikan badannya. Alat penghancur itu berhenti berputar ketika tangan yang sama menekan tombol berwarna merah sehingga alat itu berhenti bekerja.

"Sa-Sakti? Lo-lo mau ngapain?"

•To be Continued•