Sarah duduk di tribun lapangan bola menyaksikan teman sekelasnya yang sedang olahraga tak tentu. Berlari tak jelas, sedang bercanda gurau dengan satu yang lainnya, dan ada juga yang tengah tiduran di lapangan.
Sarah tersenyum menatap ke depan, menghembuskan nafasnya panjang. Angin sepoi-sepoi menghembus pipinya yang tirus. Bahkan, Sarah ingin sekali mengingat pemandangan sederhana di depannya ini, mengingat jika sekarang ia sedang tersenyum. Namun itu semua sia-sia saja, Sarah tidak yakin apa yang telah ia jalani pada hari sebelumnya. Karena itu ia tidak dapat puas dengan dirinya.
Satu tangan terlulur di depan wajah Sarah, membuat Sarah tersadarkan dari lamunannya. Tangan itu menyodorkan sebuah susu coklat. Sarah menatap sang pemilik tangan, ia Zafran sang penolong dirinya tadi.
"Gue tahu lo suka coklat," Zafran menggerakkan susu coklat di tangannya sebagai isyarat menyuruh Sarah untuk mengambilnya.
Sarah tersenyum dan menerima susu coklat di tangan Zafran. "Makasih, Zafran."
Zafran mengangguk, duduk di samping Sarah dan meminum teh kotak yang dipilihnya untuk dirinya sendiri. Zafran menghela nafas menatap kosong ke depan.
"Jadi, lo udah biasa menghadapi kejadian seperti tadi?" tanya Zafran mengingat jika Sarah sudah sering menolong orang.
Sarah tersenyum kecil menatap susu coklat di tangannya dengan sendu, "entahlah, sepertinya begitu"
Zafran membuka mulutnya "ah.. iya gue lupa, lo nggak akan ingat. Dasar otak gue!"
Sarah beralih menatap Zafran, "sepertinya kamu juga suka nolong orang. Sekali lagi, makasih untuk tadi."
Zafran membalas tatapan Sarah, "anggap lo lagi beruntung, gue nggak biasanya mau ikut campur urusan orang"
"Kenapa?
"Gue udah janji pada diri sendiri." jawab Zafran menatap kosong.
"Jadi tadi kenapa?" tanya Sarah benar-benar ingin tahu alasan Zafran melakukannya.
Zafran menatap Sarah dengan tatapan polos,
"Ada orang yang bilang ke gue, kalau menolong orang itu menjadikan kita sebagai manusia sesungguhnya. Menjadikan kita benar-benar merasakan hidup."
Sarah mengangguk semangat, "saya setuju! orang itu benar, pasti dia suka menolong orang juga. Jadi, kamu beneran lihat kejahatan kakak tadi?" tanya Sarah mengingat yang dikatakan Zafran tadi.
Zafran menggeleng, "nggak, orang itu juga yang kasih tahu gue."
"Wahh... saya suka orang seperti dia. Sangat baik!" kagum Sarah membuat Zafran menahan tawanya karena melihat Sarah yang tanpa sadar memuji dirinya sendiri.
Sarah menatap kosong ke arah lapangan, angin menembus pipinya, ia tersenyum tipis dengan sendu.
"Saya hanya ingin berbuat baik tanpa memandang orang dengan rasa kasihan. Saya nggak pernah menolong karena menganggap kasihan pada orang lain." Sarah bercerita. Zafran mendengarkan dalam diam.
"Tapi, saya selalu dipandang kasihan oleh orang lain. Saya dianggap seperti orang yang lebih pantas di kasihani hanya karena orang tahu kondisi saya. Saya juga dianggap bodoh karena tidak sadar diri dengan diri saya."
Sarah menatap langit, tersenyum masam, menghembuskan nafasnya berat.
"Mungkin niat orang baik pada saya karena sudah memikirkan kondisi saya. Tapi, saya ingin sekali berkata 'saya hanya amnesia, bukan bodoh! saya juga manusia, juga bisa mengasihani! karena itu, berhenti mengasihani saya! pasti menyenangkan jika saya dapat berkata begitu' "
Sarah kini menatap Zafran dengan senyum yang dipaksakan.
"Sejujurnya, saya benci dikasihani." ucapnya menohok dirinya sendiri.
Zafran menelan ludahnya, sedikit kaget dan takjub dengan ucapan panjang lebar Sarah. Zafran yakin, jika Sarah telah melalui masa-masa sulitnya, bahkan mungkin masih sampai sekarang. Zafran ingin mengasihani nasib Sarah, tapi Zafran sadar jika Sarah tidak ingin dikasihani.
Zafran melambaikan tangannya, menggeleng dengan cepat pada Sarah.
"Tenang, Sar! gue nggak kasihani lo, kok. percaya sama gue! demi keripik kentang gue yang terancam sama Papa," Zafran mencoba meyakinkan.
Sarah tertawa kecil, kembali menatap ke arah lapangan.
"Saya tahu saya memang terlihat menyedihkan, tidak bisa mengingat orang-orang si sisi saya. Bahkan, untuk mengetahui jika saya sudah tersenyum hari ini, saya nggak bisa. Saya menyedihkan, kan?" tanya Sarah pada Zafran, membuat Zafran tidak bisa berkata-kata.
Zafran membasahi kerongkongannya. Mendengar cerita cewek di sampingnya ini, malah membuat Zafran semakin mengasihani. Zafran rasanya serba salah! tidak ingin mengatakan itu menyedihkan, tapi cewek ini malah terus bercerita seperti itu. Memang cewek serba benar!
Zafran mengacungkan jempolnya, "lo udah melakukan hal yang keren, gue akui itu. Lo mungkin nggak ingat, tapi gue tahu apa yang telah lo lakukan untuk menolong satu orang" jawab Zafran tidak berbohong mengingat saat Sarah melaporkan Kirana.
Zafran berdiri, membuang teh kotaknya, mengambil bola basketnya dan merangkulnya seperti biasa.
"Berhenti berfikir jika lo belum melakukan hal baik! Lo nggak ingat kebaikan lo, tapi orang ingat. Yang terpenting sebenarnya adalah orang telah mengingat kebaikan lo. Masalah lo ingat atau tidak, itu nggak usah dipikirkan!" Tatapan Zafran berubah serius.
"Orang ingat diri lo! mereka akan selalu ingat, meskipun lo nggak akan ingat mereka." Zafran tiba-tiba bijak. "Gue yakin, siapun yang lo tolong, akan membalas dan mengingat jasa lo."
"Karena dalam sudut pandang gue, orang seperti itu adalah manusia sesungguhnya"
Sarah tersenyum kagum. Ingin sekali ia mengingat pembicaraannya dengan Zafran hari ini, ia merasa sangat tenang dan nyaman.
"OI ZAFRAN!! SINI! NGAPAIN DI SANA? BINTANG LAGI BAGI-BAGI SEMBAKO, NIH" Teriak Raka dari lapangan sembari melambaikan tangannya.
Zafran berdecak menggeleng melihat Raka,
"Itu anak otaknya suka tergantung mood, kalau lagi pintar, pintar banget, sekali bobrok, melebihi bobroknya Mr. Bean. Dasar kawan gue!" omel Zafran sendiri.
Zafran beralih menatap Sarah, "kalau gitu, gue pamit. Takut nggak kebagian sembako"
Sarah mengangguk, "Makasih susu coklatnya, saya sangat suka! Makasih juga untuk hari ini. Maaf nggak bisa ingat pertolongan kamu."
Zafran menggeleng, "tenang, walaupun lo nggak ingat. Gue akan ingat kebaikan gue. Kalau mau, gue akan jadi orang yang mengingatkan lo setiap hari kalau lo sudah melakukan hal yang baik."
Zafran menghela kecil.
"Termasuk dengan mengingatkan jika lo sudah tersenyum."
Sarah tidak dapat menahan untuk tidak tersenyum. Ia tersenyum lebar pada Zafran, berharap jika ia benar-benar bisa melihat rupanya saat tersenyum sekarang.
"Makasih." ucap Sarah bersyukur.
Lalu Zafran berbalik dan meninggalkan Sarah, mata Sarah tidak lepas memandangi punggung Zafran. Hingga seseorang berjalan ke arahnya dan berdiri tepat di depannya. Sarah menatap orang itu dengan bingung.
Sarah melihat seorang siswi berdiri gugup di depannya, cewek itu memilin tangannya, menatap ke bawah, dan bernafas tidak teratur. Cewek itu memperbaiki kaca matanya. Dilihat dari sikapnya, Sarah yakin jika gadis yang di depannya saat ini adalah adik kelas.
Gadis berkaca-mata itu tergagap tidak jelas,
"K.. kak, saya mau bicara!"