Karin merasa ketakutan sekaligus mencoba bersikap tenang. Mata indah bunga sakura itu berkedip dua kali, tapi tidak lama kemudian air mata yang jernih mengalir di pipinya dan hidungnya yang lurus bergetar. Karin mulai menangis dan terus menangis sampai sesenggukan.
"Kamu ... kamu berbohong kepadaku, bahkan kamu bersikap begitu jahat. Sekarang apa yang bisa saya lakukan?"
Axelle pun termenung seketika, "..."
Seperti anak kucing, Karin seolah pergi untuk menggoda singa yang sedang tidur dan membuat seekor singa itu marah. Tapi sikapnya saat ini seperti anak kucing sedang membujuk.
"Menjijikkan!" Axelle mencemooh Karin dan juga melepaskan Karin.
Dia berbalik dan berbaring di samping Karin, lalu mengambil sebatang rokok dari kotak rokok emas berlogo berlian yang terletak di meja samping tempat tidur. Kemudian dia menyesapnya tepat lurus sejajar dengan batang hidungnya yang lurus.
"Aku memang bukan siapa-siapa. Aku hanya seorang wanita yang tidak punya uang dan tidak punya tahta. Jika bukan karena menyelamatkan nyawa seseorang, bagaimana mungkin wanita biasa sepertiku berani memancing Pak Axelle. Nasibku memang malang dan menyedihkan, tapi orang yang ada di sampingku saat ini telah berani mempermainkan aku dan juga janjinya. Sungguh menyedihkan."
Karin tidak berharap Axelle akan melepaskan dirinya meskipun dia sedang menangis. Tetapi selagi dia menangis lebih kencang, dia juga menyipitkan matanya sedikit dan diam-diam melihat Axelle. Dia berpikir dalam hati, dia juga tidak tahu apakah Axelle takut jika ada wanita yang menangis karenanya. Apakah jika dia menangis sedikit kencang lagi, dia akan menyerah dan akan membantunya?
Tapi bagaimana mungkin Axelle tidak tahu pemikiran dan rencananya yang licik?
Dia pun langsung menyindir Karin dengan santai, "Aku benci ada orang yang menangis tetapi air matanya dan ingusnya penuh ada di seluruh wajah. Itu terlihat kotor dan menjijikkan tapi biasanya jika ada orang yang seperti itu, aku langsung memerintahkan asisten ku untuk menaburkan merica ke wajahnya agar dia semakin merasa kepanasan, lalu saya masukkan ke dalam ruangan gelap tanpa cahaya sedikitpun. Biarkan dia menangis sepuasnya di sana."
Karin terkejut mendengarnya,"...."
Dia cegukan dan segera berhenti menangis, dia takut jika Axelle benar-benar serius akan melakukan hal itu kepadanya. Dia bergegas menyeka air matanya dengan dua tangan, lalu berbalik menghadap Axelle, dan memperlihatkan wajahnya.
"Pak Axelle, tolong jangan perlakukan aku seperti itu. Lihat, aku menangis dengan sangat bersih dan tidak ada ingus sama sekali!"
Axelle, "..."
Mata Karin yang dibuatnya menangis itu justru terlihat menjadi semakin membesar, berair, jernih dan cerah. Wajahnya yang kecil terlihat bersih dan basah, bahkan ujung hidung kecilnya agak berubah warna menjadi kemerahan. Dengan seperti ini, dia terlihat sedikit konyol, tapi juga sedikit lucu dan menggemaskan.
Axelle mengangkat jari-jarinya dan mengambil sebatang rokok yang ada di mulutnya, lalu menendang Karin dengan kaki yang sengaja direntangkan dengan malas dan berkata, "Sini! nyalakan rokok ini!"
Tapi Karin tidak bergerak sedikitpun dari posisinya, sampai Axelle memelototinya dengan wajah tidak senang. Barulah Karin buru-buru naik naik ke sisi tempat tidur dan mengambil korek api. Setelah itu dia mulai menggerakkan jarinya dengan ringan untuk menyalakan api dan mengarahkannya ke mulut Axelle.
Tidak lama kemudian Axelle meraih tangannya untuk mendekatkan rokoknya ke api dan dia menarik napas dalam-dalam. Cahaya yang dihasilkan dari puntung rokok itu memantulkan fitur wajahnya yang dalam dan sempurna, itu terlihat sangat seksi.
Karin buru-buru mengalihkan pandangannya dan berpikir, "Tuhan benar-benar tidak adil, Axelle adalah ayah dari anak haramnya, tapi lihatlah betapa kau sangat memihak padanya lengkap dengan segala kehidupannya, penampilannya, dan pikirannya. Tuhan Telah memberikan yang terbaik dari yang terbaik."
"Kamu hanya ingin menyelamatkan orang itu?" Axelle bertanya setelah mengambil beberapa batang rokok dan melihat Karin yang menyerahkan asbak ke tangannya.
Dia akhirnya membicarakan topik itu, kini Karin hanya merasa darahnya sedang mendidih dan dia terus mengangguk, "Dia adalah orang terbaik di dunia ini dan aku harus menyelamatkannya!"
Karin tidak akan pernah lupa, Giandra memang seperti pahlawan untuknya. Waktu itu ketika dia diusir dari rumah dan jatuh sakit di kamar kosnya yang berantakan, lengkap dengan perut besarnya, dia diganggu oleh dua pemuda yang juga tinggal di sebelah kamarnya.
Saya juga masih ingat saat dia melahirkan Caron dan Carel, Giandra adalah orang yang datang pertama kali dan membawanya ke rumah sakit. Bahkan ketika dia menderita distosia, dia tidak ragu-ragu untuk mendonorkan darahnya untuk Karin.
Lalu belakangan ini, biodata Caron dan Carel tidak terdaftar, dan Giandra lah yang menawarkan diri untuk melakukan pernikahan palsu dan membuat biodata Caron dan Carel dalam data kependudukan sipil.
Di akhir-akhir tahun ini, tanpa Giandra, saat ini dia mungkin sudah meninggal bersama anak-anaknya di sudut kota ini. Bahkan tanpa ada yang mengetahui dan menghilang dengan diam-diam di kota metropolis yang ramai dengan sikap acuh tak acuh penduduk di dalamnya.
Giandra adalah orang yang telah memberinya kehangatan dan perhatian yang paling besar dalam hidupnya. Dia layak mendapatkan cintanya!
Ketika Karin memikirkan Giandra, matanya yang basah dan bersinar dengan adanya cahaya yang cemerlang dan ini, sangat membuat suasana menjadi mengharukan.
Gerakan merokok Axelle pun berhenti sebentar, "Bagimu orang itu adalah orang yang terpenting dan berharga? Apakah dia adalah orang tuamu?"
Kepala Karin masih terisi dengan sedikit bayangan bibir Giandra, bibirnya diwarnai dengan senyuman yang sangat manis. Bahkan semua gadis muda akan memikirkan kekasih mereka seperti apa yang dilakukan Karin saat ini.
Mendengar pertanyaan Axelle barusan, dia tidak berkutik, dan menjawabnya dengan polos, "Dia adalah suamiku."
Saat dia mengatakan hal itu, wajah Karin diwarnai dengan ekspresi malu.
Meskipun Karin mengagumi Giandra di dalam hatinya, dia selalu merasa bahwa dia tidak layak untuk Giandra. Dia begitu baik untuknya yang telah memiliki dua anak, tapi dia sendiri pun juga tidak pernah berani menunjukkan perasaannya, apalagi untuk dapat dekat dengannya.
Tapi setelah penyakit serius yang Giandra derita saat ini, Karin baru memahami bahwa dia memang terlalu rapuh untuk itu. Karin tidak perlu takut untuk merasa tidak pantas bagi Giandra. Dia telah memutuskan bahwa dia harus mengubah status Giandra yang awalnya menjadi suami palsu ke suami asli.
Jawaban Karin barusan menghantam hati Axelle seperti palu yang menghantamnya dalam sekejap.
Wajahnya yang tampan dan santai berubah menjadi dingin seperti es yang beku. Itu terlihat di antara warna rahangnya yang keras. Tangan yang tadinya memegang sebatang rokok, terpaksa dipatahkannya dengan memegang bahu Karin dan mengatakan, "Apa yang baru saja kau bilang?"
Nyeri dan terasa sakit. Tangan Axelle berubah menjadi seperti penjepit baja dan dia hampir meremas tulang yang ada di bahunya.
Wajah kecil Karin berubah menjadi putih dan pucat karena kesakitan. Dia tidak dapat menggerakkan tubuhnya dan berkata, "Sakit! Lepaskan! Biarkan aku pergi!" Tapi Axelle tidak mendengarnya sembari menyipitkan matanya untuk menatap Karin.
"Katakan apa yang baru saja kau katakana" Katakan sekali lagi!"
Karin ketakutan oleh amarah Axelle yang tiba-tiba muncul. Tangan Axelle yang memegang bahunya terus mendorongnya dengan keras, keringat dingin pun keluar dari dahinya yang menyakitkan, dan tubuhnya berubah menjadi melengkung lengkap dengan bibirnya yang menjadi pucat. "Sakit. Apa yang harus aku katakan?"
Dia begitu merasa sakit sehingga dia tidak bisa mengingat apa yang baru saja dia lakukan sebelumnya. Dia tidak mengerti bagaimana Axelle menjadi begitu baik sehingga dia tiba-tiba berubah menjadi iblis lagi.
Dia pasti sakit jiwa, sangat mengenaskan!
"Apakah kamu sudah menikah dan punya suami?"
Axelle terus bertanya ketika Karin tidak menjawab apapun dan bertanya dengan gigi tertutup rapat.
Karin kaget dan menjawab, "Aku dapat sertifikatnya, akuu.."
"Apakah kamu punya suami? Ayo katakan! Berarti selama ini kamu tidak..."
Axelle bertanya dengan giginya yang sampai berbunyi.
Air mata Karin yang terasa menyakitkan hampir mengalir dan dia terus menggelengkan kepalanya dengan tak berdaya, "Aku memang tidak perawan. Bahkan aku tidak pernah berkata bahwa aku masih perawan."
"Lalu kenapa ada darah di kasur barusan?" Axelle tidak percaya, dan terus bertanya.
Wajah Karin memucat dan dia berkata dengan lemah, "Kamu terlalu kasar, aku merasa disakiti olehmu."
"Jadi darah itu?" Dia sama sekali tidak dia mengerti.
"Sialan kamu! Beraninya berbohong padaku!" Wanita ini benar-benar berani berbohong padanya. Beraninya dia!
Dia sempat berpikir bahwa ini adalah pertama kalinya, tapi ternyata dia salah paham bahkan dia sudah sangat perhatian padanya untuk membawanya masuk dan keluar, lalu memberikan obatnya sendiri, Axelle merasa bahwa dia sangat bodoh hari ini! Wanita ini pasti sangat bangga dan dia pasti menertawakannya di dalam hatinya!
"Sial! Sialan kau!" Dia berkata dengan suara marah lagi.
Lalu kemudian dia tiba-tiba memegang leher Karin yang ramping dan mencengkeram tenggorokannya, lalu menekannya dengan keras.
Karin tidak menyangka sama sekali bahwa jika dia tidak menyukai apa yang dia tidak inginkan, dia akan membunuh seseorang.
Tenggorokannya tertekan sampai dia tidak bisa bernapas dalam sekejap dan wajahnya berubah menjadi merah.
Dia menatap dengan sangat mengerikan dan mencoba untuk meraih tangan Axelle. Dia hanya menggunakan kekuatannya untuk mengangkat Karin dari tempat tidur.
Dia mendorong Karin ke dinding hanya dengan satu tangan dan kakinya menggantung di udara, dia bahkan membuat udara tidak bisa masuk ke lehernya.
Dia akan mencekiknya sekarang dan dengan jelas Karin merasakan aura pembunuhan pada Axelle.