Kepala Vika benar-benar akan pecah sebentar lagi. Otak di dalam sana sudah memuai. Oleh suhu panas yang makin meninggi dan juga keadaan yang makin tersulut emosi.
"Kalian tinggal pilih saja. Mau bayar utang atau Lestari aku bawa. Buat jadi wanita penghibur di tempat judi aku. Hahahahaha."
Jarot tertawa-tawa. Padahal dalam hati ia merasa ciut. Karena bukannya apa. Seumur hidup ia belum pernah bertemu dengan cewek yang bisa mengalahkan tenaga buldoser seperti Vika.
'Sial! Kayaknya ancaman perobohan rumah nggak mempan. Aku harus putar otak. Dan seharusnya ancaman yang kali ini berhasil. Memangnya mana ada anak yang mau lihat ibunya jadi wanita penghibur? Iya kan? Hahahahaha.'
Wajah Lestari dan Harjo tak lagi bisa dikatakan pucat. Bila ancaman perobohan rumah saja sudah membuat mereka ketar-ketir, apalagi sekarang? Ketika Jarot mengatakan akan membawa Lestari untuk dijadikan wanita penghibur, nyawa seperti sudah tak ada lagi di tubuhnya!
"V-Vika," lirih Lestari gagap dengan penuh ketakutan. Tak sanggup membayangkan kalau dirinya harus menjadi wanita penghibur demi melunasi utang suaminya. "T-tolong Mama, Vika. Mama nggak mau jadi wanita penghibur."
Vika melihat ibunya yang langsung menghampirinya. Pun begitu juga dengan Harjo. Yang sama ketakutannya dengan sang istri.
"Jangan minta tolong sama aku, Ma. Minta tolong sama suami Mama. Toh ini kerjaan siapa?" tanya Vika dengan datar. Ia berpaling pada Harjo. "Gimana, Pa? Apa Papa senang sekarang? Karena ulah Papa, bukan cuma rumah yang terancam ilang? Tapi, harga diri istri Papa juga?"
Rasa dingin langsung menyelimuti tubuh Harjo. Ia bergeming. Membeku dengan pertanyaan-pertanyaan tanpa emosi yang Vika layangkan padanya. Tak ada suara yang bisa ia ucapkan. Ia terdiam.
"Sudah sudah sudah! Kalian nggak perlu diskusi segala macam. Musyawarah untuk mencapai mufakat cuma ada di pelajaran PPKN zaman dulu. Hahahahaha."
Kali ini tawa Jarot benar-benar terdengar begitu menggelegar. Bila tadi masih ada bisik-bisik tetangga yang menyempil sesekali, sekarang berbeda. Karena ketika Jarot melayangkan ancaman mengenai wanita penghibur itu, bukan hanya keluarga Vika yang sontak merasakan ngeri. Alih-alih semua tetangga yang menyaksikan kejadian pagi itu turut merasakan hal yang sama pula. Kompak meneguk ludah dengan bayang menakutkan itu.
Jarot mengangkat tangannya. Memberikan perintah pada kedua orang preman yang merupakan anak buahnya. Berbadan besar, kepala gundul, dan bertampang menyeramkan.
"Kalian bawa Lestari. Hari ini dia mulai kerja buat lunasi utang suaminya. Kan dia lumayan cantik juga untuk kategori ibu-ibu yang udah tua."
Kedua orang preman itu mengangguk patuh. Ada seringai muncul di wajahnya. Membuat mereka yang sudah terlihat seram, menjadi lebih menyeramkan lagi.
"Baik, Bos!"
Lestari dan Harjo menggeleng dengan wajah yang amat takut. Ketika kedua orang preman itu berjalan pada mereka, keduanya histeris seketika.
"Vika, tolong Mama!"
"Papa janji nggak akan judi lagi, Vika. Tolongin Mama kamu."
Vika memutar bola matanya. Dengkusan tak percaya meluncur begitu saja dari hidungnya. Ia jelas ingat berapa kali ia mendengar ucapan jera dari keluarganya. Dari Lestari, Harjo, bahkan sampai Rizal selalu bermanis mulut padanya. Mengatakan bahwa mereka tidak akan membuat kekacauan lagi. Tapi, yang terjadi apa?
'Iya. Emang. Papa pasti nggak bakal judi lagi. Toh ini juga judi pertama Papa. Tapi, besoknya Papa pasti melakukan hal gila lainnya. Entah itu ikut investasi bodong, MLM bodong, atau bahkan pesugihan bodong.'
Vika sudah hapal dengan pasti kelakuan keluargnya. Yang tiap saat rasa-rasanya selalu saja memiliki ide terbaru dan teraktual, tapi tak terpercaya untuk bisa membuat Vika makin tidak waras.
Hanya saja, ketika dua orang preman itu mendekati mereka dan akan membawa Lestari, Vika menarik napas dalam-dalam. Melihat pada Jarot yang tampak senang sambil sesekali menarik pinggang celananya. Ia masih tertawa-tawa.
"Bapak serius mau bawa Mama jadi wanita penghibur?"
Suara datar Vika yang melayangkan pertanyaan pada Jarot, menjeda tawa pria itu. Kedua orang preman yang bersiap menarik Lestari pun turut berhenti sejenak. Mereka kompak melihat pada Vika.
"Menurut kamu, aku main-main?" tanya Jarot menyeringai. "Nggak dong. Aku serius. Kan lumayan juga buat nyicil utang bapakmu itu."
Lestari merengek pada Vika. "Tolong Mama, Vik. Mama nggak mau jadi wanita penghibur."
Dengan wajah lesu, Vika berpaling pada ibunya. Melihat sekilas dan membenarkan juga perkataan Jarot. Sang ibu memang masih terlihat cantik di usia yang sudah tidak muda lagi. Apalagi dengan warna rambutnya yang baru itu. Ombre ash grey yang menurut Vika tidak sesuai untuk seorang wanita paruh baya, tapi sayangnya terlihat pas untuk Lestari.
Hanya saja penampilan itu tidak memberikan kebanggaan untuk Vika. Alih-alih, entah sadar atau tidak, ia menyindir sang ibu.
"Wanita penghibur dengan warna rambut baru? Kayaknya bagus ya, Ma?"
Bola mata Lestari membesar. "V-Vika---"
"Jadi," ujar Vika dengan suara yang agak tinggi pada Jarot. "Bapak serius mau bawa Mama ke tempat Bapak?"
Jarot mengangguk. "Serius."
"Baiklah."
Tangan Lestari yang memegang Vika sontak jatuh lemas. Ia benar-benar syok mendengar perkataan Vika. Begitu pula dengan Harjo dan semua tetangga yang ada di sana.
"Kalau Bapak mau bawa Mama untuk jadi wanita penghibur, ya bawa aja. Aku nggak jadi masalah."
Lestari menggeleng kaku. "V-Vika, kamu tega sama Mama?"
Vika berpaling. Matanya menatap pada sang ibu tanpa kedip. Meringis.
"Mama dan Papa tega sama aku?" balas Vika tanpa tedeng aling-aling. "Mama, Papa, dan Rizal tega sama aku? Tiap bulan aku harus banting tulang nyari duit ke mana-mana cuma buat melunasi semua tagihan yang kalian buat? Cuma buat nyelesaikan semua masalah yang kalian buat? Sebulan ini bahkan aku harus nyari duit tiga puluh juta. Mama dan Papa tega sama aku?!"
Mendapat balasan yang tak diduga, Lestari hanya bisa menatap sang anak dengan sorot yang tak mampu diartikan. Ia mendapati lidahnya kelu. Tak bisa mengatakan apa-apa. Bahkan untuk sekadar membela diri ataupun meminta pertolongan pada sang anak pun ia tak bisa.
"Vika, ini salah Papa. Bukan salah Mama," kata Harjo kemudian. "Jadi tolong Mama kamu."
Mata Vika mengerjap sekali. Berpaling pada ayahnya.
"Harusnya Papa yang bertanggungjawab kan? Sebagai kepala rumah tangga harusnya Papa yang menjaga keluarga ini kan? Tapi, kenapa aku yang ngerasa jadi kepala rumah tangga di sini?"
Kali ini Harjo yang dibuat bungkam oleh perkataan Vika.
"Kalau Papa emang mau bertanggungjawab, bilang sama Pak Jarot. Coba saja. Mungkin Pak Jarot mau mengganti wanita penghibur jadi pria penghibur."
Jakun Harjo seketika naik turun. Itu jelas pilihan yang sama buruknya.
Sementara itu, Jarot yang melihat perdebatan keluarga itu mulai tak sabar. Ia mengusap perut buncitnya. Merasa lapar padahal tadi ia sudah sarapan nasi uduk tiga porsi.
"Ipul! Oong! Jangan bengong! Bawa sini istri Harjo!"
Preman bernama Ipul dan Oong itu mengangguk. Mereka bersiap untuk menarik Lestari yang sontak berlindung pada Harjo.
"Ma, nanti kerjanya yang bagus ya? Biar utang Papa cepat lunas."
Tak melakukan apa-apa ketika Lestari panik mencoba mempertahankan diri, Vika justru membuat semua orang di sana menganga tak percaya. Bisik-bisik tetangga terdengar lagi. Menuding bahwa pada akhirnya Vika sudah merasa lelah menghadapi semua masalah yang ditimbukan oleh keluarganya.
"Kamu tega sama Mama, Vik!"
Vika memutar bola matanya. "Mama dan Papa juga tega sama aku," katanya sambil membuang napas panjang. "Dan bentar lagi aku tebak. Pasti Pak Jarot juga bakal ngomong yang sama dengan Mama."
"Kenapa bawa-bawa aku?" tanya Jarot refleks.
"Ya jelas dong, Pak. Aku penasaran kapan Bapak ntar ngomong sama Mama aku kayak gitu," jawab Vika. Ia mendehem sejenak. Mengubah suara dan mimik di wajahnya seolah-olah tengah meniru cara bicara Jarot. "Kok kamu tega sama aku, Istri Harjo?"
Jarot tidak mengerti. Ipul dan Oong yang sudah berhasil meraih Lestari pun tidak mengerti.
"Maksud kamu?"
"Ah, pasti Bapak nggak tau kan?"
"Tau apa?"
Vika tak langsung menjawab. Alih-alih ia mendekati Lestari yang sudah dipegang kedua tangannya oleh Ipul dan Oong.
"Bapak mau jadiin Mama sebagai wanita penghibur? Tapi, apa Bapak tau kalau Mama ini bisa buat masalah buat Bapak?"
Jarot mendengkus. Lalu tertawa. "Kamu mau ngibulin aku? Hahahahaha. Aku nggak bodoh!"
"Siapa yang mau ngibulin?" tanya Vika turut tertawa. "Mama aku emang tampilan luarnya bagus gini, tapi dalamnya? Beuuuh! Hahahahaha."
Tawa Vika mengalahkan tawa Jarot. Pria itu bingung dengan dahi mengerut.
"Maksud kamu?"
Vika mengubah tawanya menjadi senyum. Ia mengulurkan tangannya. Mengarah pada tepian daster tiga perempat yang Lestari kenakan.
"Bapak pernah lihat ada wanita penghibur punya panu dan kurap?"
Lestari melotot. Sontak menjerit.
"Vika!"
Namun, terlambat. Vika sudah menyingkap sedikit rok daster itu. Memperlihatkan pahanya yang putih, tapi tidak mulus. Dengan banyak ruam-ruam merah di sana.
"Ini baru di paha, Pak," kata Vika. "Belum lagi di lembah lembab yang tak pernah terjangkau oleh sentuhan manusia."
Jarot buru-buru menutup mulutnya. Mendadak saja nasi uduk tiga porsi di perutnya seperti tengah melakukan unjuk rasa.
"Ya kali kan. Wanita pengibur emang harus gatal. Tapi, masa gatal gara-gara panu dan kurap sih?"
*
bersambung ....