webnovel

Silau, Man!

Rasanya begitu lemas dan tak berdaya. Bahkan ketika akhir bulan dan tak ada lagi uang receh di dalam dompet untuk sekadar membeli gorengan, Vika tak pernah merasa benar-benar seperti ini. Yang bahkan untuk membuka mata pun rasanya ia amat tak bertenaga.

"Tangi. Mbakipun sampun tangi. Nyukani ngertos Tuan Muda."

("Bangun. Mbaknya sudah bangun. Kasih tau Tuan Muda.)"

Kepala Vika rasanya berat sekali. Dan ketika ia mendengar suara lembut itu ketika berkata, sontak saja ia bertanya-tanya.

'K-kenapa aku kayak denger bahasa Yunani lagi? Aaah! Tapi, ini bukan Mas Vampir kan yang ngomong?'

Vika mengerang. Kepalanya yang berat memaksa ia mengangkat tangan. Tapi, tangannya lemah sekali. Bahkan untuk memijat kepalanya sendiri pun rasanya ia tak sanggup.

"Mbak, kados pundi perasaaanipun? Sae-sae mawon nggih?"

(Mbak, gimana perasaannya? Baik-baik saja kan?")

Kembali mengerang menahan lesu, Vika membuka matanya dengan lemah. Melihat ada satu wajah asing yang tampak lega melihat dirinya bangun. Vika tidak mengenal cewek itu.

"Kamu siapa?"

Cewek itu tersenyum. Berkulit kuning, ia tampak manis dalam balutan kebaya sederhana bewarna pastel. Dan walau Vika lemah tak berdaya kala itu, setidaknya ia bisa menebak. Mungkin cewek itu masih berusia di awal dua puluh tahun. Ia masih terlihat begitu muda.

"Gendhis, Mbak. Nama aku Gendhis."

Vika hanya melirik samar seraya berusaha mengangguk. Tak bisa mengatakan apa-apa ketika ia merasa amat lemah. Ia memutuskan untuk kembali memejamkan mata. Dan pada saat itu, samar telinganya mendengar suara Gendhis yang terkesiap.

"Tuan Muda."

Rasanya sih ingin sekali Vika membuka matanya lagi. Demi melihat siapa Tuan Muda yang dimaksud. Tapi, matanya berat. Maka ia hanya bisa mengira-ngira.

"Pak Bobon."

Lirih sekali suara Vika menyebut nama itu. Karena hanya satu nama itu yang terbersit di benaknya. Satu nama yang sukses membuat satu rutukan terdengar di telinganya.

"Saged-sagedipun kula disangka Pak Bobon. Saestunipun Pak Bobon taksih ketingal enem?"

("Bisa-bisanya aku disangka Pak Bobon. Memangnya Pak Bobon masih muda?")

Tentu saja itu bukan Bobon. Karena yang pastinya Bobon memang tidak dipanggil Tuan Muda terlepas dari usianya yang memang sudah tidak muda lagi.

"Lagipula kados pundi saged kula disangka Pak Bobon sawentawis rai kita kantenan benten? Kula kantenan langkung tampan dipunbandingaken Pak Bobon nggih?"

("Lagian gimana bisa aku disangka Pak Bobon sementara wajah kami jelas berbeda? Aku jelas lebih ganteng dibandingkan Pak Bobon kan?")

Tidak perlu ditanya dua kali, setiap orang yang melihat pasti sependapat dengan rutukan itu. Karena jelas Arjuna lebih tampan dibandingkan Bobon.

Memang, itu adalah Arjuna. Yang ketika menyadari bahwa Vika telah sadar memutuskan untuk segera datang secepat mungkin. Bahkan sebenarnya rekan kerja Gendhis belum memberikan kabar mengenai Vika pada Arjuna. Mereka justru berpapasan di lorong ketika Arjuna berlari dari ruang kerjanya.

Dan sekarang, melihat keadaan Vika yang sudah sadar walau masih lemah, Arjuna pun mengembuskan napas lega. Ia melihat pada infus yang berdiri di dekat tempat tidur. Memastikan bahwa cairan mineral di sana masih cukup.

Sementara itu, ketika nama Bobon terbersit di benak Vika, ia mengira bahwa hal pertama kali yang ia dengar adalah suara Bobon yang berseru: Dek Vika. Tapi, apa? Yang ia dengar malah kata-kata dalam bahasa yang ia tidak mengerti.

'T-tunggu dulu deh. I-ini bahasa Yunani, ehm ... itu artinya?'

Vika menarik napas dalam-dalam. Berusaha untuk mengumpulkan tenaganya yang tersisa hanya untuk membuka mata.

"Kamu udah sadar?"

'Oh, ini bukan bahasa Yunani. Ini bahasa Indonesia.'

Namun, itu bukan berarti membuat kemungkinan buruk yang ada di benak Vika hilang begitu saja. Karena ia tidak akan abai dengan tudingan bahasa Yunani tadi.

Dan ternyata benar seperti dugaan Vika. Yang datang menghampirinya bukanlah Bobon. Melainkan ....

"Argh!"

Mata Vika memejam lagi. Kali ini dengan amat rapat ketika ia tak tahan dengan silau yang memasuki retina matanya.

"Kamu kenapa? Ada yang sakit? Apa yang sakit?"

Merintih, Vika menjawab. "Semuanya sakit."

"S-semuanya?"

Arjuna berpikir dengan cepat. Ia beralih pada Gendhis.

"Kamu langsung panggil dokter. Suruh ke sini segera. Bilang ke dia kalau Vika sudah sadar dan badannya sakit semua."

Gendhis mengangguk. "Baik, Tuan Muda."

Tinggal berdua saja di dalam kamar itu, Arjuna memilih duduk di tepi tempat tidur. Ia tampak bingung. Melihat pada infus dan juga pada Vika. Tak bisa menerka rasa sakit apa yang sedang melanda cewek itu.

"Kamu bisa tahan bentar kan? Gendhis lagi manggil dokter."

Suara itu terdengar sedikit khawatir. Membuat Vika menjadi tergerak untuk mencoba membuka matanya kembali. Pelan-pelan, ia mengintip. Dan astaga!

"M-Mas."

Arjuna merasa lega mendengar suara Vika. "Ya?"

"Lampunya bisa dipadamin nggak? Silau banget."

Dahi Arjuna sontak mengerut. Celingak-celinguk dengan ekspresi bingung, ia melihat ke sekeliling. Hanya untuk memastikan bahwa ia tidak salah.

"Padamin lampu?" tanya Arjuna tak yakin. "Lampu mana yang mau dipadamin? Di sini lagi nggak ada lampu yang nyala."

Saat itu masih siang. Tepatnya jam dua. Tentunya sinar matahari yang benderang lebih dari cukup untuk menerangi kamar itu. Tidak perlu bantuan lampu sama sekali.

"Masa sih nggak ada lampu yang nyala?"

Vika menarik napas dalam-dalam. Kembali berusaha membuka mata, tapi lagi-lagi ia tidak mampu. Hingga pada akhirnya ia memang hanya bisa mengintip saja dari celah kecil kelopak mata.

"Beneran. Di sini nggak ada lampu yang nyala. Buat apa aku bohong? Dan buat apa juga nyalain lampu siang-siang gini?"

Melayangkan pertanyaan itu, Arjuna jadi bertanya-tanya di benaknya. Apa mungkin itu efek karena darahnya yang diisap? Hingga Vika berhalusinasi?

'Tapi, kalaupun dia berhalusinasi, masa halusinasinya ngelihat lampu nyala sih? Aneh-aneh saja.'

Hanya saja ketika memikirkan itu, Arjuna teringat sesuatu. Satu hal yang nyaris ia lupakan bahwa cewek yang sedang terbaring lemah di atas tempat tidur itu adalah Vika. Cewek yang ia vonis sebagai cewek yang kekurangan otak.

'Mungkin dia emang lagi halu. Namanya aja cewek kurang otak. Kali aja halunya emang gitu.'

Arjuna sedikit beringsut seraya memastikan bahwa selang infus Vika terpasang dengan baik. Berharap agar cairan di dalam sana bisa membuat Vika sadar dan terlepas dari halusinasinya.

"Nggak ada lampu yang nyala? Ehm ... masa sih?"

Arjuna geleng-geleng kepala. "Nggak ada gunanya aku bohong."

"Iya sih," lirih Vika tak percaya dengan napas terengah-engah. Sungguh. Rasanya amat lelah. "Tapi, kalau bukan lampu ... terus yang silau ini apa?"

Arjuna pun bingung. Melihat ke sekeliling, ia sama sekali tidak bisa menerka apa yang bisa menjadi sumber menyilaukan itu.

"Di mana sih yang silau?"

Vika membuang napas panjang. Pertanyaan itu membuat ia bertekad mengumpulkan semua tenaganya yang masih tersisa. Ia menguatkan diri lahir dan batin hanya demi bisa membuka mata.

"Yang silau itu ...," jawab Vika seraya mengangkat tangannya. Jari telunjuknya menunjuk. "... di sini."

Arjuna menoleh pada Vika. Tepat ketika jari telunjuk cewek itu menuding padanya. Ia mengerjap bingung sementara Vika tertegun dengan mata yang berusaha untuk tetap membuka.

"Astaga."

Vika terkesiap. Tenggorokannya naik turun meneguk ludah.

"Ketampanan yang menyilaukan."

*

bersambung ....