webnovel

TRISALVARD

Aku bahkan tidak mengetahui siapa aku sebenarnya, dari mana asal-usulku, dan orangtuaku. Yatim piatu, begitu orang biasanya menjulukiku. Saat ini aku hidup di sebuah negeri yang bernama Slanzaria, Kerajaan yang sangat berjasa bagiku sebab telah mengangkatku sebagai anaknya. Aku bertekad untuk membalaskan jasa pada negeri ini, dengan mengejar impianku menjadi seorang Prajurit Suci. Namun, beberapa hari sebelum aku dikukuhkan sebagai calon Prajurit Suci, peristiwa-peristiwa aneh dan menyeramkan menghampiri hidupku. Bayangan makhluk itu datang kembali dan mencakar kulitku, kemudian menghilang meninggalkan rasa sakit dan tanda tanya besar di hari-hariku. Perlahan-lahan, aku menjalani rentetan misteri dan teka-teki yang menghampiriku. Yang perlahan-lahan membongkar siapa diriku yang sebenanarnya, dan membongkar misteri tentang negeri ini yang disimpan selama ratusan tahun.

YourPana · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
25 Chs

Shadhavar

Bersamaan dengan itu terdengar rintihan kesakitan dari lokasi yang dibidik Alan. Joah mengembalikan perhatiannya ke arah sana dan mendapati bunga-bunga ladymun kembali bergerak membentuk jalur diiringi suara rintihan yang makin kesakitan. Tak lama kemudian, dari ujung hamparan Joah dapat melihat seekor babi hutan membawa ladymun di mulutnya berusaha keluar dengan jalan pincang, tampaknya Alan membidik makhluk itu tepat di kakinya.

"Mengapa kau menyakiti babi hutan itu? Dia datang kesini pasti karena ingin menyembuhkan dirinya dan kau malah melakukan sebaliknya padanya." Protes Joah.

"Babi hutan itu ternyata memiliki daya bertahan hidup yang baik, dia masih dapat berlari walau aku sudah memanahnya. Seharusnya dia tidak terlalu membutuhkan ladymun untuk penyembuhannya." Ucap Alan.

"Jadi kau memanah babi itu hanya untuk menguji apakah dia punya daya bertahan hidup yang baik?" Protes Joah.

"Tidak juga, aku hanya gegabah. Sudahlah, aku yakin babi itu tidak akan kenapa-napa, lebih baik kita langsung pergi saja." Ajak Alan sambil merapikan busur dan anak panahnya dan mulai melangkah.

Walaupun tenaga mereka mulai terkuras, namun itu bukanlah pembenaran untuk berjalan lambat. Untuk menyeimbangkannya maka mereka berjalan dengan langkah yang dipercepat. Akhirnya saat ini mereka sudah keluar dari hamparan ladymun dan tengah berjalan di padang rumput. Tiba-tiba saja terdengar bunyi gerutu dari perut Joah sehingga membuat anak itu tersipu malu, namun Alan langsung menghentikan langkahnya dan berkata,

"Apa kau mendengarnya juga, Joah?" tanya Alan.

"Tentu saja, bunyi gemerutu itu berasal dari perutku. Bukan dari hewan apapun jadi kau tidak perlu menggunakan busur dan anak panahmu." Jawab Joah.

"Bunyi dari perutmu? Maksudku bukan itu." Kesal Alan sambil membuang pandangan dari Joah dan kembali menajamkan pendengarannya.

"Jadi bunyi apa yang kau maksud?" Joah kebingungan sekaligus semakin malu.

Namun tidak ada respon dari Alan untuk beberapa saat. Dan Joah mulai mengerti mengapa, sebab ia perlahan-lahan mendengar bunyi lain dari suatu tempat yang lebih merdu dan enak didengar dari gerutu perutnya. Maka anak itu mencoba semakin menajamkan pendengarannya untuk menebak asal dan bunyi apa itu. Ia menduga bunyi itu sangat mirip dengan bunyi seruling, namun lebih merdu lagi, tapi apakah ada orang asing yang memainkan seruling di tengah-tengah padang rumput begini?

"Bunyi seruling, apa aku tidak salah dengar?" tanya Joah memastikan.

"Benar sekali, itu adalah bunyi yang berasal dari tanduk shadhavar apabila tertiup angin." Jawab Alan membenarkan.

"Shadhavar?" Joah setengah tercengang setengah antusias.

"Kau pasti belum pernah melihat mereka kan? Tentu saja karena hewan itu tidak terdapat di Slanzaria." Celetuk Alan.

"Lalu mengapa kau harus berhenti segala hanya karena mendengar bunyi dari tanduk shadhavar?" tanya Joah.

"Oh ya, benar juga. Tapi ngomong-ngomong tadi kau bilang kalau perutmu mulai menggerutu ya? Jadi aku usulkan selain membawa pulang ladymun, kita juga membawa shadhavar buruan kita. Bagaimana?" usul Alan.

"Ide yang bagus, lagi pula sudah pasti Shany tidak akan menyiapkan makanan untuk menyambut kita pulang, dia tentu sibuk menjaga Arion." Jawab Joah memperkuat usulan Alan.

"Kalau begitu ikuti aku!" ajak Alan sambil mulai melangkah mengikuti sumber bunyi.

Joah mengikuti Alan dari belakang. Sejujurnya yang begitu membuatnya antusias adalah bukan karena ia akan menyantap daging shadhavar malam ini, melainkan ia akan melihat hewan yang sama sekali belum pernah ia lihat langsung dengan mata kepalanya sendiri.

Mereka pun menyusuri padang rumput dengan jenis tumbuhannya yang beraneka ragam. Kesabaran mereka mulai membuahkan hasil karena sumber bunyi itu terasa semakin dekat dengan mereka, Apalagi ditambah saat tiba-tiba Alan berucap,

"Aku sudah bisa melihat kawanan shadhavar itu!" seru pria itu sambil berlari.

Benar saja, karena Joah pun sudah dapat melihat kawanan shadhavar itu dari kejauhan. Mereka berdua pun mulai berlari dengan memelankan bunyi langkah mereka dan merendahkan tubuh mereka agar mencegah kawanan shadhavar itu ketakutan lalu kabur. Perlahan-lahan jarak mereka mendekat dan semakin dekat. Alan berbisik,

"Ikuti aku ke arah sini, kita harus bersembunyi di balik tanaman itu!" ajak Alan.

Alan berlari ke arah rangkaian bunga iris liar kemudian meniarapkan diri dibaliknya, Joah pun melakukan hal yang sama. Kini Joah dapat memandang makhluk itu secara dekat untuk pertama kalinya. Hewan itu sekilas mirip dengan rusa namun dengan fitur tubuh yang lebih besar dan gagah, bulu-bulu coklat tebal menyelimuti tubuhnya, tanduk tunggal di kepalanya tampak seperti tangan yang sedang menunjukkan otot. Dan yang paling istimewa adalah rongga-rongga di tanduknya yang menghasilkan alunan bunyi indah setiap angin berhembus kencang.

"Shadhavar, hewan pemusik alami, jangan-jangan tanduknya itulah yang menginspirasi manusia untuk membuat alat musik....." Ungkap Joah penuh kagum.

"Tundukkan kepalamu sedikit lagi, biar aku saja yang mengintip mereka!" pinta Alan.

"Apapun itu, jelas bunyinya lebih indah daripada hornusnya Tuan Armor." Joah menyambung ucapannya sambil menundukkan kepalanya.

Untunglah bunga iris ini tidak tinggi sehingga Joah masih dapat melihat kawanan shadhavar itu hanya dengan sedikit menaikkan kepalanya. Kawanan shadhavar yang jumlahnya puluhan itu sedang mengunyah rerumputan, dan jika rencana berhasil maka sebentar lagi shadhavar itu yang akan dikunyah. Mereka mengintip kawanan itu persis bagaikan induk singa yang sedang mengajarkan teknik perburuan pada anaknya.

"Beri aku saran sebelum aku membidikkan panahku, apa sebaiknya kita memburu yang dewasa atau yang muda?" tanya Alan.

"Pertama-tama yakinkan padaku apakah hewan pemakan rumput ini mau menyerang manusia, atau sama penakutnya dengan pemakan rumput lainnya?" tanya Joah.

"Mereka tidak akan menyerang apapun, tanduk mereka nyaris tidak pernah digunakan sebagai alat penyerang." Jawab Alan.

"Benarkah? Betapa rentannya makhluk ini punah. Predator tentu saja gampang melacak keberadaan mereka hanya dengan mengikuti arah bunyi dari tanduk mereka." Ujar Joah.

"Justru predator tidak pernah memangsa mereka hidup-hidup. Bunyi merdu dari tanduk mereka mampu menaklukkan pikiran seluruh hewan termasuk predator untuk tidak memburu mereka." Alan menjelaskan.

"Lalu apa mereka hanya bisa menghasilkan bunyi merdu seperti ini?" Joah tampak penasaran dengan pola hidup makhluk di depannya.

"Tidak, mereka juga bisa menghasilkan bunyi yang mengharukan bahkan tragis, fungsinya untuk membuat predator tidak nyaman mendengarnya dan menjauhinya. Intinya bunyi itu akan muncul ketika angin melewati rongga-rongga di tanduknya, namun jenis bunyi yang dihasilkan tergantung pada emosi mereka." Tambah Alan.

"Maksudmu?" Joah mengernyitkan wajahnya.

"Saat ini mereka menghasilkan bunyi merdu, tentu saja karena perasaan senang menyantap rumput yang menjadi makan malam mereka." Jawab Alan singkat.

"Kalau begitu, aku pikir kita memburu yang muda saja. Dagingnya hanya akan dimakan oleh kita bertiga, bahkan mungkin hanya kita berdua, jadi tidak perlu yang besar-besar." Usul Joah.

"Tapi aku berpikiran lain. Aku khawatir jika daging shadhavar muda belum cukup matang, daging shadhavar tua juga ku khawatirkan alot tak terkunyah. Jadi untuk cari aman kita buru yang remaja saja." Alan memutuskan.

Setelah itu Alan buru-buru mencegah Joah untuk melanjutkan pertanyaannya atau menginterupsi keputusannya. Pria itu kembali menajamkan penglihatannya pada kawanan shadhavar yang beberapa dari mereka sedang duduk untuk mencerna makanan. Kebetulan sekali seekor shadhavar dewasa sedang berjalan-jalan di sekitar mereka diikuti seekor shadhavar remaja yang jelas sekali adalah anaknya.

Tidak perlu banyak pertimbangan, Alan langsung mengambil anak panahnya dan mengatur posisinya di selipan bunga-bunga iris. Hanya menunggu posisi dan waktu yang pas maka dia akan melepaskan anak panah itu dari busurnya. Sejujurnya Joah mendadak menjadi tidak tega jika shadhavar remaja itu menjadi buruan mereka, namun Alan memandang rencana ini seperti harimau yang kelaparan. Hingga akhirnya,

"CIASH!"

Anak panah Alan tepat menembus perut Shadhavar itu. Shadhavar-shadhavar lainnya mendadak kabur bersamaan bukan hanya karena mengetahui ada pemburu, melainkan juga karena mendengar jeritan shadhavar remaja itu dan bunyi bak tangisan kematian panjang yang berasal dari tanduknya yang terhembus angin. Kebisingan yang terjadi di padang rumput itu tercampur dengan suara deburan langkah pelarian kawanan shadhavar dan tanduk-tanduk mereka yang melolongkan bunyi pekikan. Alan dan Joah serentak menutup telinga-telinga mereka sembari memperhatikan tubuh shadhavar tertinggal itu yang meronta-ronta dan menyucurkan darah ke udara.

Beberapa saat kemudian shadhavar itu sudah tidak bergerak sama sekali dan telah terbanjiri darah. Alan mengajak Joah bangkit bersamanya dan melangkah menuju shadhavar yang kini tergeletak dengan matanya yang melotot berbinar memandang kedua manusia yang membunuhnya. Alan mengambil sepotong kain lebar dari tasnya dan membungkus tanduk shadhavar itu dengan maksud yang tidak diketahui Joah, kemudian dia saling memasangkan dan mengikat kaki-kaki shadhavar itu dengan tali.

"Joah, cari kayu panjang dan kuat di sekitar sini, sedangkan aku akan berjaga-jaga di sini!" Pinta Alan.

"Baik!" Jawab Joah menurut agar ia memiliki peran dalam perburuan ini.

Joah langsung berjalan ke arah pohon di dekat mereka yang tidak terlalu tinggi sehingga Joah dapat meraih rantingnya dan mematahkan beberapa bagian. Ia kemudian menyatukan ranting-ranting itu sambil berjalan kembali ke arah Alan. Ia memberikan ranting-ranting itu pada Alan dan pria itu langsung memasukkan benda itu ke lubang yang dibentuk dari kedua kaki shadhavar yang terikat.

"Aku akan berjalan dan mengangkat shadhavar ini di depan, sedangkan kau di belakang." Usul Alan.

Alan mulai meletakkan ujung ranting depan ke pundaknya dan mengangkatnya, untunglah Joah bergerak cepat dan melakukan hal yang sama seperti Alan. Joah dapat merasakan bahwa ternyata bobot shadhavar ini berat juga seolah-olah dagingnya terbuat dari batu. Perutnya yang kelaparan dan menyisakan sedikit tenaga bagaimanapun harus dapat diandalkan untuk mengangkat hasil buruan ini ke perkemahan mereka.

"Kita harus cepat-cepat pergi dari sini, aku khawatir jika predator mencium bau buruan kita. Kalau demikian bisa-bisa kita yang akan dimangsa!" ucap Alan.

Maka mereka mulai berjalan keluar dari hamparan padang rumput luas itu. Berkali-kali Alan meminta Joah untuk berjalan lebih cepat sedangkan Joah selalu memprotes kalau ini adalah langkah tercepatnya dan Alan yang seharusnya sedikit memperlambat langkahnya. Untunglah Alan memiliki ingatan dan kemampuan spasial yang baik karena tidak perlu berhenti dan mendiskusikan jalan mana yang harus mereka tempuh, hal itu sangat menguntungkan Joah yang sebenarnya sudah merasakan kantuk sehingga berjalan dengan kurang konsentrasi.

Tampaknya ini adalah petualangan malam terakhir Joah bersama Alan. Joah tersenyum puas karena tak terasa mereka sudah sampai di depan perkemahan mereka yang ternyata sudah dinyalakan api besar di tengah-tengahnya, sesuai apa yang diperintahkan Alan kepada Shany. Namun saat itu juga tanda tanya kekhawatirannya semakin berada di puncak, apakah Arion masih bernapas?