webnovel

TRISALVARD

Aku bahkan tidak mengetahui siapa aku sebenarnya, dari mana asal-usulku, dan orangtuaku. Yatim piatu, begitu orang biasanya menjulukiku. Saat ini aku hidup di sebuah negeri yang bernama Slanzaria, Kerajaan yang sangat berjasa bagiku sebab telah mengangkatku sebagai anaknya. Aku bertekad untuk membalaskan jasa pada negeri ini, dengan mengejar impianku menjadi seorang Prajurit Suci. Namun, beberapa hari sebelum aku dikukuhkan sebagai calon Prajurit Suci, peristiwa-peristiwa aneh dan menyeramkan menghampiri hidupku. Bayangan makhluk itu datang kembali dan mencakar kulitku, kemudian menghilang meninggalkan rasa sakit dan tanda tanya besar di hari-hariku. Perlahan-lahan, aku menjalani rentetan misteri dan teka-teki yang menghampiriku. Yang perlahan-lahan membongkar siapa diriku yang sebenanarnya, dan membongkar misteri tentang negeri ini yang disimpan selama ratusan tahun.

YourPana · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
25 Chs

Burglor

Begitu sampai di perkemahan, Joah lekas menyingkirkan kayu pengangkat shadhavar itu dari pundaknya kemudian berlari ke tendanya yang tengah terbuka lebar. Ia memasukkan dirinya ke tenda itu tanpa sapaan dan mendapati Shany tengah menangis cemas beserta Arion di sampingnya yang masih terbaring tak berdaya. Jelas sekali Joah melihat perubahan pada Arion, namun perubahan di sini adalah tubuhnya semakin memucat dan bergetar kencang.

"KENAPA KALIAN LAMA SEKALI? Aku pikir kalian sudah diterkam hewan buas, sehingga hanya aku yang tersisa di pulau ini karena Arion pun tidak akan sembuh." Sambut Shany membentak setengah menangis.

"Maaf Shany, ceritanya panjang sekali." Ucap Joah.

"Aku tidak peduli apa yang kalian lalui, apa kalian berhasil mendapatkan ladymunnya?" tanya Shany lirih.

"Kita hanya perlu melumatnya lalu memeras sari-sarinya dengan air!" Alan kemudian masuk dan menunjukkan bunga itu pada Shany. Mendadak Shany menjadi seperti gejolak api yang padam disiram air.

"Shany, ambil air dan cari batu, kemudian kerjakan apa yang aku jelaskan tadi!" pinta Alan.

Alan menyerahkan bunga itu ke genggaman Shany. Shany yang setengah tak percaya kalau bunga itu ternyata nyata, hanya terdiam memandanginya lalu membawa bunga itu keluar untuk diolah. Setelah itu Joah dan Alan langsung mendekati Arion, Alan mendaratkan telapak tangannya ke dahi Arion dan memeriksa anak itu secara menyeluruh.

"Apa suhu tubuhnya semakin panas?" tanya Joah.

"Ya, tapi tenang saja, semuanya akan baik-baik saja!" Alan menatap mata Arion yang juga sedang menatapnya.

"Maafkan kami, Arion. Perjalanan tidak semudah yang kita bayangkan." Ucap Joah, bagaimanapun ia merasa sangat menyesal meskipun ini bukan kesalahannya dan di luar kemampuannya.

Kemudian Arion membalas pandangan Joah, dari tatapannya anak itu tampak berusaha mengatakan kalau dirinya akan baik-baik saja seperti yang dikatakan Alan. Kemudian Joah juga menyentuh dahi Arion dan ia tampak menyesal telah melakukan itu, sebab kekhawatirannya semakin menjadi-jadi.

Untunglah tidak terlalu lama bagi mereka untuk menunggu Shany, karena beberapa menit kemudian gadis itu datang dan membawa dua mangkuk yang berisi air perasan ladymun dan air biasa. Pemandangan itu membuat Joah mampu bernapas lebih tenang. Shany lekas-lekas menghampiri Arion dan perlahan-lahan menyodorkan mangkuk berisi air perasaan ladymun ke mulutnya, dia dibantu oleh Joah yang berusaha sedikit mengangkat kepala Arion.

"Minum ini Arion, kami tidak tahu bagaimana rasanya. Kalau pun pahit, pastilah tidak sepahit jika hidupmu harus mati muda karena keracunan." Ucap Shany sambil menyodorkan mangkuk itu ke mulut Arion.

Arion menutup matanya rapat-rapat dan menyedot seluruh isinya dengan sedotan yang cepat, tampaknya dia berusaha untuk menghindari rasa pahit. Akhirnya seluruh air perasan itu habis tak bersisa sehingga mengukir ekspresi tak enak di wajah Arion.

"Tahan, jangan sampai kau muntahkan!" cegah Joah.

"Berikan dia air biasa agar rasa pahit di mulutnya tertelan!" pinta Alan.

Shany lekas mengambil mangkuk satu lagi yang berisi air biasa dan meminumkannya pada Arion. Hanya dengan beberapa kali tegukan yang dibutuhkan hingga wajah anak itu kembali normal. Joah kembali membaringkan tubuh Arion dan membiarkan anak itu memicingkan matanya yang berat.

"Kira-kira berapa lama ramuan ini akan bereaksi?" tanya Shany.

"Menurut legenda, ladymun membutuhkan waktu yang cepat untuk menyembuhkan. Tapi aku tidak tahu bagaimana kenyataannya, kita lihat saja bagaimana ke depannya. Tetapi firasatku berkata semua akan baik-baik saja, dan yang paling penting kita harus tetap tenang melewati semua ini." Jawab Alan.

Perkataan Alan itu mampu menumbuhkan semangat dan keoptimisan yang sebelumnya turun-naik pada Joah dan Shany. Mereka bertiga berdiam diri sejenak untuk merenungi setiap kejadian, tetapi tak lama setelah itu perut Joah kembali menggerutu.

"Kau kelaparan, Jo? Maaf aku tidak menyiapkan apa-apa untuk menyambut kepulangan kalian." Ucap Shany.

"Tidak apa-apa, aku tahu kau pasti sibuk menjaga Arion." Balas Joah.

"Sepertinya bukan hanya Joah, kita semua sedang kelaparan. Untunglah bunyi perut Joah mengingatkanku kalau kami membawa buruan berupa shadhavar. Kita akan menyantapnya untuk malam ini." Ujar Alan.

"Tapi bagaimana dengan makananmu, Shany?" tanya Joah.

"Tidak masalah, aku bisa memakan sisa buruan tadi siang yang sengaja aku sisakan untuk makan malam." Jawab Shany.

"Bagus kalau begitu. Tenaga kita sudah terkuras banyak sekali sehingga kita perlu mengisinya kembali, sekalian untuk berjaga-jaga siapa tahu kita membutuhkan banyak tenaga untuk malam ini." Respon Alan.

"Joah, sepertinya kau sudah sangat kelelahan. Beristirahatlah di tenda ini sambil menemani Arion, biar aku dan Shany yang menyiapkan makan malam." Pinta Alan.

"Baiklah." Joah mengangguk.

Alan lekas memberi isyarat pada Shany untuk mengikutinya, mereka berdua pun keluar dari tenda dan mulai mengolah barang mentah itu menjadi makanan. Untunglah tidak perlu berlama-lama bagi daging shadhavar dan tumbuhan-tumbuhan itu agar masak, sehingga Joah yang sedari tadi melamun dalam kegelapan, tidak terasa akhirnya diberitahu Alan bahwa makan malam sudah siap.

"Bagaimana dengan Arion, apa dia ikut makan bersama kita di luar ini?" tanya Joah.

"Tidak usah, biarkan saja dia di dalam tendanya, aku yang akan menyuapinya. Lagipula aku belum terlalu lapar sehingga bisa makan belakangan." Balas Shany.

Joah dan Alan kemudian menyantap makan malam mereka didampingi oleh sinar bulan yang terang dan bunyi deburan air sungai pada malam hari. Sedangkan Shany memasuki tenda Arion untuk menyuapinya. Ini pertama kali bagi Joah menyicipi daging shadhavar, dan ia tidak sungkan-sungkan menyatakan betapa lezatnya daging hewan ini, ia makan dengan sangat lahap.

Tidak lama kemudian Shany keluar dari tenda dan mengungkapkan betapa senangnya dirinya melihat Arion mampu makan dengan lahap. Dia juga mengatakan kalau Arion langsung tertidur setelah makan, dia sangat yakin kalau anak itu akan segera sembuh. Kemudian Joah meminta Shany untuk menyantap makanannya, sedangkan Alan memutuskan untuk mengubur tulang dan sisa daging shadhavar yang tidak dimakan.

Tampaknya ini sudah waktunya untuk tidur dan mengistirahatkan diri, Alan menyalakan api unggun sebagai pengganti mulai melemahnya api yang dinyalakan Shany. Shany yang pertama berpamitan pada Joah dan Alan untuk tidur, kemudian dia langsung memasuki tendanya. Joah sibuk memperhatikan gerak-gerik Alan sebelum akhirnya Alan memerintahkannya untuk tidur, anak itu pun langsung memasuki tendanya.

Joah membaringkan dirinya di samping Arion. Sebelum mencoba untuk tidur, ia terlebih dahulu menghadapkan tubuhnya pada Arion, dan kebetulan sekali Arion pun sedang menghadap ke arahnya. Dan yang paling membuat Joah bahagia adalah mendapati Arion balik menatapnya dengan mata yang lebih segar dari sebelumnya.

"Arion, kau ingin mengatakan sesuatu?" Joah mendadak mengganti posisinya menjadi telungkup.

"Tidak ada." Jawab Arion singkat, suaranya masih lemah.

"Wah. Arion, kau terlihat jauh lebih membaik. Apa kau merasakan hal yang sama?" tanya Joah.

Arion hanya membalasnya dengan mengangguk, dan itu cukup membuat bibir Joah melengkung lebar. Joah mengucapkan selamat malam pada Arion, kemudian ia kembali membaringkan tubuhnya dan mulai memejamkan matanya.

Rasanya tidak berlebihan jika Joah merasa tidak nyaman dan terbiasa jika harus tidur di tempat seperti ini, biasanya ia membaringkan tubuhnya di ranjang empuk di Parenthium. Ini adalah pertama kali baginya berusaha tidur di luar Slanzaria. Ia memang pernah tertidur selama perjalanan, tapi mungkin itu lebih cocok disebut pingsan atau tidak sadarkan diri.

Joah berusaha mensugesti pikirannya jika ia hanya perlu berlatih dan menyesuaikan diri. Ia meyakinkan dirinya kalau besok malam pasti sudah terbiasa dengan keadaan begini. Tetapi tampaknya tidak ada satupun sugestinya yang berhasil, ia sedari tadi hanya membolak-balikkan tubuh dan mengganti gaya tidurnya. Ia sama sekali tidak tidur, melainkan hanya pura-pura tidur. Bola matanya serasa ingin berkeliaran kemana-mana.

Ia pikir sudah cukup lama percobaannya untuk tidur tidak berhasil, ia sekali lagi membalikkan badannya dan mendapati Arion sudah tertidur dengan nyenyak. Rasanya ini merupakan keadaan yang tidak menyenangkan, ia pikir lebih baik ia berada di luar dan menikmati pemandangan malam dan menunggu barangkali angin malam yang berhembus dan paduan suara jangkirik mampu membuatnya tertidur.

Terlebih tiba-tiba ia mulai merasakan haus, maka perlahan-lahan ia mulai bangkit dan berjalan ke luar tenda. Ia membuka pintu tenda dan melihat pemandangan yang menenangkan tersaji di depan matanya. Api unggun berkibar dengan lembut, angin malam menggerakkan rambut dan dedaunan pada ranting-ranting pohon, serta paduan suara jangkrik dan dekut burung hantu.

Joah terkejut melihat seorang pria yang tengah duduk pada batu besar di pinggir sungai sambil memeluk lutut dan menegadahkan kepalanya ke langit-langit yang berbintang. Pria itu adalah Alan yang ternyata belum tidur juga, mungkin alasannya sama seperti dirinya yang mencoba mengantukkan diri dengan hembusan angin. Kelihatannya Alan sedang merenungkan sesuatu di seberang sungai sana.

"Apa yang dilakukannya malam-malam begini?" bisik Joah sambil kembali memperhatikan apakah itu benar-benar Alan atau sesuatu yang menipu.

Tapi tampaknya tidak ada yang mencurigakan dari itu, Joah pun kembali melanjutkan tujuannya dan berjalan mengambil kantung air milik Alan yang diletakkan di dekat api unggun. Malangnya kantung air itu kosong sehingga mau tak mau Joah harus membawanya ke arus sungai untuk diisi kembali.

Ia memilih menampung air di sisi sungai yang lain, alasannya supaya Alan tidak menyadari keberadannya dan tidak menginterogasinya. Ia menghanyutkan kantung air itu ke sungai dan dapat merasakan betapa dingin dan menusuknya air sungai ini pada malam hari walau tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan dinginnya Laut Asquir. Setelah kantung itu penuh, Joah langsung meninggalkan tepian sungai itu dan berjalan ke arah api unggun.

Entah karena suasana yang gelap sehingga jalanan tidak terlihat jelas, Joah tiba-tiba tersandung oleh batu dekat tendanya sehingga air dari kantung airnya tertumpah ke api unggun itu. Untunglah jatuhnya tidak membuat suara gedebuk kuat dan erangan panjang sehingga Alan tidak menyadari peristiwa ini. Namun parahnya api itu memadam begitu saja tanpa ada upaya pertahanan sehingga membuat suasana menjadi lebih gelap, kini mereka hanya bisa mengandalkan penerangan dari bulan.

Joah lekas bangkit dari jatuhnya. Kini ia bingung harus bagaimana, apakah menyalakan kembali api ini terlebih dahulu atau kembali mengambil? Joah memutuskan untuk kembali menyalakan api terlebih dahulu, tetapi kayu-kayu itu sudah basah sehingga tidak bisa digunakan lagi. Dengan begini, mau tidak mau ia harus memberanikan dirinya untuk memberitahu dan meminta bantuan Alan.

Joah berjalan perlahan-lahan ke arah pria itu, sambil kepalanya mulai menyiapkan alasan-alasan logis yang akan dikeluarkan siapa tahu Alan menginterogasinya. Joah mendudukkan dirinya tepat di samping Alan yang sedang menengadah ke langit sambil bersandar pada kedua tangannya. Pria itu tampak serius sekali memandang langit sampai-sampai untuk beberapa menit dia sama sekali tidak menyadari kehadiran Joah sebelum Joah menyebut namanya.

"Joah, kenapa kau belum tidur?" Alan hanya mengubah arah kepalanya menghadap Joah.

"Aku kesulitan untuk tidur, kupikir aku belum terbiasa dengan keadaan seperti ini." Jawab Joah.

"Oh, tidak masalah." Respon Alan.

"Kupikir aku harus merilekskan pikiranku dengan suasana malam ini agar dapat tidur dengan nyenyak." Tambah Joah yang mulai kehilangan arah tujuannya. Walaupun jawabannya itu ada benarnya, tetapi itu bukanlah alasan utama mengapa ia mendatangi Alan.

"Ide yang bagus." Ungkap Alan.

"Apa aku boleh tahu kenapa kau juga belum tidur?" tanya Joah, anak itu sepertinya benar-benar sudah melupakan tujuannya.

"Wah, seingatku tidak ada orang yang pernah menanyakan pertanyaan itu padaku. Yang aku tahu, aku biasanya menghabiskan malam ku dengan merenung seputar kehidupan dan hanya mulai tidur ketika sudah hampir fajar, walaupun tidak selalu seperti itu." Jawab Alan, nada bicaranya menjadi sangat lembut.

"Aku juga sering seperti itu, walaupun tidak selalu. Entah kenapa kepalaku sering dihampiri pikiran-pikiran berat saat malam hari, padahal semestinya siang lah saat kita harus berpikir banyak." Balas Joah.

"Apa pikiran-pikiran itu juga seputar kehidupanmu?" tanya Alan.

"Tentu saja." Balas Joah.

"Contohnya?" tanya Alan.

"Sebenarnya ada banyak. Salah satunya sudah pernah ku ceritakan, apalagi kalau bukan tentang asal-usulku." Ucap Joah, tiba-tiba ia merasa inilah saat yang tepat baginya untuk memancing Alan menceritakan segala apa yang ia ketahui tentang dirinya.

"Oh. Pasti rasanya berat sekali jika tidak mengetahui asal-usul diri sendiri. Apa kau selalu berusaha untuk mencaritahunya?" tanya Alan.

"Tentu saja, pasti sangat indah sekali jika kita mengetahui siapa keluarga kita. Aku berharap jika ayah dan ibuku masih hidup, mereka juga mencari ku sebagaimana aku mencari-cari mereka." Ucap Joah.

"Apakah kau menyayangi mereka walaupun tidak pernah bertemu?" tanya Alan.

"Tentu saja, aku pikir tidak ada bedanya sebagaimana perasaanku kepada ibu pengasuhku di Parenthium." Jawab Joah.

"Tapi aku yakin hidupmu tidak kesepian. Kau punya Parenthium, Galathium, Arion, dan Shany. Sepertinya kau sudah menganggap mereka seperti saudaramu sendiri." Ucap Alan.

"Kau benar, aku masih beruntung memiliki mereka." Balas Joah.

"Apakah Arion dan Shany pernah menyakitimu?" tanya Alan.

"Pasti pernah. Mereka juga manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan, tidak ada yang aneh dari itu." Jawab Joah.

"Kalau begitu, bagaimana seandainya orang yang selama ini sudah kau anggap sahabat, ternyata berbohong dan mengkhianatimu?" tiba-tiba Alan memberikan pertanyaan yang sangat dalam.

"Rasanya pasti sangat sakit dan kecewa. Jika aku benar-benar kuat maka aku pasti akan memaafkannya. Dan yang harus kau tahu, aku selalu mencoba menjadi kuat." Jawab Joah.

"Jawaban yang bagus sekali." Ungkap Alan.

"Lalu kalau aku boleh tahu, bagaimana asal-usulmu?" Joah memberanikan dirinya bertanya.

"Aku sudah yakin kau akan balik menanyakannya. Dan aku lebih yakin kalau sebentar lagi kau akan menemukan sendiri jawabannya tanpa melalui aku." Jawab Alan.

"Tapi itu tidak adil, bagaimana kalau besok aku mati dan tidak berhasil menemukan jawabannya?" balas Joah.

"Jika kau mati pun, kau mungkin akan mengetahuinya walau dalam dimensi yang berbeda. Aku yakin kalau tidak ada orang yang benar-benar mati. Percayalah, sekali manusia itu diciptakan, maka dia akan abadi selama-lamanya walau dalam wujud dan dimensi yang berbeda. Kita ini juga makhluk abadi." Ucap Alan.

"Ada benarnya, tapi doakan saja aku akan mengetahuinya tanpa harus di dimensi yang berbeda. Jika memang aku akan mati pun, entah mengapa aku selalu berharap aku dapat hidup sekali lagi." Respon Joah.

"Maksumu seperti phoenix? Oh ya, kau pasti sudah tahu, burung api itu akan mati lalu berubah menjadi abu, kemudian secara ajaib abu itu akan terlahir kembali menjadi phoenix yang baru dan begitulah seterusnya." Alan menjelaskan.

"Apa kau pernah melihat phoenix?" tanya Joah.

"Aku belum pernah melihatnya dengan mata kepalaku, tetapi aku tidak perlu melihatnya untuk meyakinkan diriku kalau makhluk itu memang nyata." Jawab Alan.

"Maksudmu?" Joah berusaha mencerna kalimat Alan.

"Lupakan saja, kau termasuk orang yang banyak ingin tahu ya. " Ujar Alan.

Alan terseyum tertawa memandang Joah, sedangkan Joah sedikit kesal sebab hampir semua pertanyaan pentingnya tidak dijawab oleh pria itu. Kemudian, Alan mengangkat sebuah benda yang terbungkus kain berwarna putih dan menunjukkannya pada Joah.

"Apa itu?" tanya Joah.

"Ini tanduk shadhavar yang tadi kita buru." Jawab Alan.

"Kau memotongnya dari kepalanya, untuk apa?" tanya Joah.

"Untuk menunjukkan kepadamu salah satu keistimewaannya. Shadhavar memanglah tidak bisa terlahir kembali seperti phoenix, namun mereka memiliki keistimewaannya sendiri. Jika mereka mati dan tanduknya terhembus angin, maka akan mengeluarkan bunyi yang mampu mengundang berbagai jenis hewan. Daripada mati menjadi bangkai busuk, mereka membiarkan tubuh mereka dimakan oleh hewan-hewan itu. Kau mengerti maksudku?" Ucap Alan sambil diikuti oleh anggukan Joah.

"Nah, tampaknya aku harus membuktikannya padamu!" ucap Alan.

"Tetapi kau kan sudah mengubur tubuh shadhavar itu sehingga hewan-hewan yang datang tidak akan bisa memakannya?" Joah keheranan.

"Tidak, aku hanya akan menunjukkan kemampuan benda ini untuk memanggil hewan-hewan." Ucap Alan.

Alan membuka kain pembungkusnya dan memamerkan tanduk shadhavar itu pada Joah. Pria itu mengangkat benda itu tinggi-tinggi ke udara. Angin berhembus sepoi-sepoi, dan perlahan-lahan Joah dapat mendengar lantunan bunyi yang keluar dari rongga-rongganya. Joah dapat melihat daun pepohonan mendadak melambai-lambai lebih cepat, itu artinya angin pun sedang berhembus lebih kuat dari sebelumnya sehingga bunyi yang tercipta pun terdengar semakin jelas dan indah. Sangkin indahnya, Joah yakin ia akan mati-matian melacak keberadaan sumber bunyi ini jika sekiranya benda ini sedang tidak berada di depan matanya.

"Bagaimana, indah sekali kan? Keindahannya itulah yang membuat hewan-hewan lain penasaran dan menghampirinya." Alan menjelaskan.

Beberapa menit kemudian, semak belukar di dekat mereka berkeresek dan mengeluarkan seekor kucing hutan yang langsung berjalan mendekati mereka lalu duduk dengan manis. Ternyata kucing itu tidak hanya datang sendirian, melainkan juga membawa tiga ekor kucing hutan lain yang juga keluar dari semak belukar. Beberapa ekor musang berjalan dari arah hulu menuju mereka, begitu juga burung hantu yang tadinya bersembunyi kini hinggap di tanah dekat mereka.

"Alan, apakah ini tidak akan menganggu kita." Tanya Joah yang mulai khawatir jika sekiranya seluruh hewan malam yang ada di pulau ini mendekat.

"Tidak akan." Balas Alan.

"Bagaimana kalau mereka mengira kau lah bangkai shadhavar itu?" ledek Joah.

"Tidak masalah. Lagi pula kebetualan di antara hewan-hewan ini tidak ada pemangsa shadhavar." Alan menjelaskan.

Alan tetap membiarkan tanduk itu terhembus angin untuk beberapa saat. Pria itu tampak sangat menyukai alunan bunyinya, sedangkan Joah khawatir dan memperhatikan sekelilingnya siapa tahu hewan-hewan berbahaya datang ke sini. Kemudian Alan menutup rongga-rongga tanduk itu dengan telapak tangannya sebelum dibungkus kembali dengan kain putih itu.

"Bagaimana, sudah terbukti kan?" tanya Alan menyelesaikan atraksi luar biasanya.

"Keren sekali, tapi sebaiknya kau harus lebih menjaga keselamatan makhluk yang masih hidup daripada menunjukkan kehebatan bagian tubuh dari makhluk yang sudah mati." Kritik Joah.

"Oh maaf kalau begitu, nyatanya tidak ada hewan buas yang datang, hewan-hewan ini juga sebentar lagi akan pergi." Jawab Alan sambil menunjuk hewan-hewan di sekitarnya yang tiba-tiba seolah-olah kebingungan mengapa mereka berada di sini.

Joah melihat kucing-kucing itu mulai berbalik ke semak belukar, kawanan musang yang berjalan ke hulu, dan burung-burung hantu yang terbang meninggalkan mereka dengan wajah kecewa. Alan baru saja ingin mengatakan kalau sekarang hanya tersisa mereka berdua di alam terbuka itu, sebelum mereka berdua kompak mendengar suara lolongan panjang dari balik tanaman perdu. Joah menamjamkan pendengarannya dan ia yakin tidak ada yang salah dengan kedua telinganya

"Alan, kau mendengarnya juga kan?" bisik Joah, melihat ekspresi Alan yang tercengang, ia yakin kalau ini bukan halusinasinya saja.

Alan tidak mampu menjawab pertanyaan Joah. Dia menolehkan kepalanya ke arah tanaman perdu itu bersamaan dengan Joah, dan berusaha menajamkan penglihatan mereka untuk melihat apa yang ada dibaliknya. Tentu saja mereka tidak dapat melihat sesuatu dibaliknya, tapi jelas sekali tanaman perdu itu bergerak-gerak bukan disebabkan oleh angin.

Tiba-tiba sebuah kilasan hitam melompat dari balik tanaman perdu itu dan mendarat tepat di hadapan mereka. Bulu kuduk Joah mendadak berdiri mendapati seekor serigala berbulu hitam kecoklatan yang tengah menyeringai memamerkan taring-taring penuh air liurnya. Joah merapatkan tubuhnya pada Alan, dan bersamaan dengan itu melompat pula kilasan lainnya membentuk serigala-serigala lain yang sama garangnya.

Joah memperhatikan serigala-serigala itu, kira-kira berjumlah sepuluh ekor dan semuanya berjalan gagah dengan keempat kakinya. Tapi semakin dalam Joah memperhatikannya, ia menyadari bahwa setiap serigala memiliki kerusakan atau kecacatan pada salah satu bagian tubuhnya. Ada yang wajahnya terukir bekas cakaran sehingga mengeluarkan darah, berkaki pincang, berbulu rontok, dan pada lehernya tampak bekas cengkeraman. Hal itu membuat Joah semakin bergetar.

"Alan, apa ini yang kau jamin sebagai 'tenang saja'? Lihat serigala-serigala ini, mereka tampak babak belur dan masih mampu berjalan dengan kokoh." Kritik Joah.

"Saat ini aku tidak bisa menyampaikan apa-apa kecuali jangan lengah terhadap sekelilingmu, dan tenanglah." Balas Alan.

"Kita harus menyerah. Aku tidak peduli seberapa besar obsesimu terhadap tanduk shadavar itu, kau harus melemparnya jauh-jauh agar mereka bisa mengikutinya." Desak Joah.

"Oh, pikiran yang sangat gegabah. Kau sendiri yang mengkritik kegegabahanku sebelumnya kan? Kita hanya akan menyerah jika waktunya sudah tepat untuk menyerah." Jawab Alan.

Joah mencoba untuk melawan ketakutan dan menumbuhkan keberaniannya, ia mengambil sebuah kayu panjang yang sebelumnya mereka gunakan untuk mengangkut shadhavar dan mengarahkannya ke arah serigala-serigala itu secara bergantian. Kini serigala-serigala itu sudah mengepung mereka membentuk setengah lingkaran, itu pun hanya karena tepat di belakang mereka ada sungai.

Alan memasangkan anak panah ke busurnya dan mengarahkannya ke sekeliling serigala itu, tampaknya tingkah Alan itu membuat kawanan serigala ini merasa terhina sehingga mereka semakin memamerkan taring-taring tajam mereka dan membuat gerakan mengintimidasi. Seekor serigala melompat ke arah Joah dan anak itu lekas mengayunkan kayu di tangannya dengan pukulan keras tepat di wajah serigala itu sehingga hewan itu terpental ke samping mengenai kawanannya.

Bukan serigala namanya jika diam melihat anggota koloninya diserang, mereka bergerak merapat mengelilingi Joah dan Alan,. Tak dipungkiri Joah dan Alan pun melangkah mundur, Joah tampak cemas serta berulang kali mendesak Alan agar menggunakan panahnya itu, sedangkan Alan tampak berusaha membaca gerak-gerik mereka dan melacak bagaimana cara menyelamatkan diri.

"Jika kau gentar, gentarlah sewajarnya. Kita harus melarikan diri dari sini secepatnya." Ucap Alan.

"Bagaimana rencananya?" tanya Joah.

"Kita tidak akan masuk ke hutan karena medannya tidak cocok, bisa-bisa kita kekurangan pencahayaan dan terjerembab. Untuk sementara waktu kita akan berlari menyusuri aliran sungai." Ujar Alan.

"Bagaimana dengan Arion?" tanya Joah.

"Aku bisa membawanya di punggungku." Jawab Alan.

Tiba-tiba terdengar sebuah teriakan kencang dari depan mereka. Berselang beberapa detik, dari sumber suara keluarlah seekor serigala berbulu cobel sambil melolong panjang ke arah kawanannya. Seluruh tubuh Joah membeku menyadari kalau itu adalah teriakan Shany yang terbangun di tendanya menyadari seekor serigala baru saja masuk dan keluar dari tendanya.

Kawanan serigala yang sedang mengepung Joah dan Alan bergegas menolehkan tubuh mereka ke arah serigala cobel itu, mereka serentak melolong untuk membalas lolongannya lalu berlari ke arahnya. Secepat kilat Alan membidikkan anak panahnya ke jantung serigala cobel itu, bidikannya tepat sasaran sehingga menghunus jantungnya dalam-dalam.

Bukannya tumbang, serigala cobel itu tidak menunjukkan reaksi apapun melainkan sedikit terkejut. Mata tajamnya menatap Alan yang juga sedang menatapnya dengan tatapan tercengang, kemudian melolong seperti tertawa diikuti kawanan lainnya.

"Kenapa dia tidak mati atau setidaknya kesakitan setelah kau panah?" Joah keheranan

"Joah, apa kau tahu siapa yang memadamkan api yang aku nyalakan?" Alan balik bertanya menyelidik.

"A-a-aku, aku tidak sengaja melakukannya." Jawab Joah tidak paham tujuan Alan menanyakan itu.

"Kalau begitu ini adalah kesalahan kita berdua. Kau memadamkan api yang sengaja ku nyalakan untuk menghindari mereka, dan bunyi tanduk shadhavar yang aku mainkan membuat mereka dapat dengan mudah mendeteksi keberadaan kita. Walaupun sebenarnya kesalahan ini lebih berat padamu." Alan menjelaskan.

"Maksudmu?" Joah kebingungan.

"Aku memanahnya hanya untuk menguji dugaanku, dan sekarang aku sudah dapat menyimpulkannya. Mereka bukanlah serigala, melainkan kawanan burglor." Ucap Alan.