webnovel

Bab 20-Keputusan-keputusan Sulit

Di saat kau memutuskan untuk membangun istana dari pasir

di tepian pantai yang seringkali diaduk angin

maka percayalah pada gelombang takdir

tidak ada satupun garisnya yang dibuat sumir

karena penulisnya mempunyai sembilan puluh sembilan nama

tak ada satupun yang tak disayangiNya

Arya Dahana yang tubuhnya bergoyang-goyang saat adu pukulan sakti tadi mengangkat tangannya.

"Siluman Pangrango, berhentilah berbuat rusuh. Tidak ada gunanya kau terus mengumbar amarah. Mereka juga punya hak yang sama untuk tinggal di gunung ini. Apakah kau tidak ingat Perjanjian Gunung dengan Delapan Penjaga Gunung?" Suara pendekar itu pelan namun gemanya luar biasa. Sanggup membuat seisi lembah bergetar. Pasukan siluman lari mundur jauh ke belakang karena suara itu membuat kepala serasa mau meledak.

Arya Dahana sengaja mengerahkan hawa sakti Geni Sewindu untuk membuat siluman-siluman pemarah itu gentar dan segera memutuskan mundur. Tapi yang dihadapinya saat ini adalah Siluman Puncak Pangrango, siluman paling pemarah setelah Siluman Ngarai Raung.

"Hmm, Arya Dahana. Aku sering mendengar nama besarmu. Tapi yang kau hadapi sekarang adalah Siluman Puncak Pangrango. Gurumu saja Si Bungkuk Misteri tidak berani mengusikku. Tapi kamu begitu berani menantangku!"

Arya Dahana tersenyum ringan. Lelaki paruh baya itu berkata dengan sabar.

"Aku tidak menantangmu Siluman Puncak Pangrango. Guruku pun juga segan kepada seluruh Siluman Gunung. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu. Tapi tolonglah berhenti membuat kekacauan. Bukankah lebih nyaman hidup berdampingan?"

Siluman Puncak Pangrango mendengus kesal. Tanpa basa basi tangannya diayunkan ke depan. Selarik cahaya hitam berbau amis berderu menghantam Arya Dahana. Pendekar itu dengan tenang menyambut pukulan mematikan Siluman Puncak Pangrango dengan Pukulan Busur Bintang yang dipadukan dengan Geni Sewindu. Untuk kedua kalinya dua pukulan dahsyat dari dua tokoh hebat beradu.

Blaaarrr!

Pecahan es berhamburan ke segala arah. Pukulan Siluman Puncak Pangrango membeku terkena Busur Bintang dan hancur akibat Geni Sewindu. Pecahannya menyambar ke mana-mana. Saat mengenai permukaan tanah, terciptalah lubang-lubang kecil dengan gumpalan-gumpalan tanah membeku.

Siluman Puncak Pangrango terjajar beberapa langkah ke belakang. Dadanya terasa sesak. Adu pukulan itu menunjukkan lagi bahwa dia kalah segalanya dari Arya Dahana. Siluman itu kembali menggeram penuh kemarahan. Raja siluman gunung yang berangasan itu mengumpulkan segenap tenaga di perutnya, keluarlah pekikan memekakkan telinga di seantero lembah. Pekikan maut yang serupa dengan Jerit Siluman Galuh Lalita. Para prajurit yang berada agak jauh dari gelanggang saja terpelanting kesana kemari seperti ngengat terkena api dalam keadaan terluka dalam.

Arya Dahana kembali melemparkan kata-kata sabar.

"Siluman Puncak Pangrango, aku benar-benar tidak mau bermusuhan denganmu. Kembalilah ke Puncak Pangrango. Jangan lagi mengganggu orang-orang ini. Mereka juga aku rasa tidak mengganggumu. Bukan begitu Panglima Amranutta?"

Panglima Amranutta mengangguk tegas. Siluman Puncak Pangrango menghela nafas pendek. Dia tahu jika pertarungan diteruskan, dirinya tak mungkin menang lawan pendekar luar biasa sakti itu.

"Aku akan pulang ke tempat asalku. Aku harus mendapat jaminan dari Raja Lawa Agung ini agar pasukannya tidak melanggar wilayah leher gunung hingga puncak. Selain itu aku minta dua siluman dari laut selatan dan utara itu pergi dari sini. Kami benar-benar terganggu dengan aroma siluman mereka. Kami merasa sangat terancam."

Siluman Puncak Pangrango berkata panjang sambil memandang Arya Dahana dan Panglima Amranutta bergantian. Dia ingin mendapatkan jaminan dari kedua orang itu.

Sekali lagi Panglima Amranutta mengangguk tegas. Sedangkan Arya Dahana tersenyum sabar. Sebenarnya dia tidak ingin ikut campur urusan antar siluman dan juga dengan Lawa Agung. Tapi melihat betapa banyaknya prajurit tak bersalah yang menjadi kebrutalan anak buah Siluman Puncak Pangrango, mau tak mau dia akhirnya terlibat.

Arya Dahana kembali ke Lembah Mandalawangi karena sangat penasaran dengan apa yang terjadi terhadap setengah menantunya, Ario Langit. Dewi Mulia Ratri sendiri melanjutkan perjalanan mencari Ratri Geni. Pendekar wanita itu ingin tahu ketegasan pendapat putrinya tentang pertunangannya dengan Ario Langit. Dewi Mulia Ratri tidak ingin dia akhirnya harus bentrok dengan Arawinda. Urusan ini harus segera dibereskan dan tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.

Siluman Puncak Pangrango memberikan isyarat kepada semua anak buahnya agar segera pergi dan kembali ke Puncak Pangrango. Setidaknya dia sudah memberikan peringatan berdarah kepada Panglima Amranutta yang kehilangan ratusan prajuritnya akibat serangan kilat ini.

Ario Langit sudah mewujud ke bentuk manusianya. Begitu juga Galuh Lalita. Kembali menjadi seorang gadis cantik yang normal. Arya Dahana menatap Ario Langit.

"Kau ikutlah denganku Ario. Kau sudah bebas sekarang. Kita bicarakan urusanmu dengan anakku di tempat yang jauh dari wilayah Pangrango."

Ario Langit mengangguk patuh. Pemuda itu menoleh ke arah Galuh Lalita yang balik memandangnya dengan wajah pasrah. Ario Langit menjadi tidak tega.

"Paman Arya, aku akan ikut denganmu. Mohon kiranya Paman berkenan aku mengajak Galuh Lalita bersama kita." Nampak raut muka lega Galuh Lalita mendengar jawab Ario Langit. Arya Dahana mengangguk. Dia sudah melihat gadis yang ternyata siluman laut selatan itu mempunyai watak baik. Kemampuan gaib dan hitam gadis itu mesti dikendalikan. Dia akan mengajarkan ilmu yang bisa membantu gadis itu bisa mengendalikan diri silumannya kelak.

"Aku tunggu kalian di Puncak Merbabu. Susullah aku ke sana. Bereskan urusan kalian dulu dengan Panglima Amranutta." Tanpa menunggu jawaban, dalam sekejap mata Arya Dahana sudah lenyap dari tempat itu.

Panglima Amranutta menghela nafas panjang. Berandai-andai pendekar hebat itu berada di pihak Lawa Agung. Meskipun di masa lalu mereka mempunyai masalah tapi dia akan dengan senang hati melupakannya jika pendekar itu bersedia bergabung. Tapi tentu saja Panglima Amranutta menyadari hal itu cukup mustahil. Saat ini tidak bermusuhan dengan keluarga pendekar itu saja sudah cukup.

"Jadi, kami bebas pergi Panglima?" Ario Langit bertanya pelan.

Panglima Amranutta mengangguk.

"Iya pendekar kau dan gadis ini bebas pergi. Kalian sudah bukan tawanan jaminan Lawa Agung lagi."

Raja Lawa Agung itu melanjutkan kalimatnya sambil menatap penuh harap kepada Galuh Lalita.

"Tuan Putri, aku berharap kau masih tertarik untuk bergabung dengan kami mewujudkan cita-cita besar Lawa Agung dan Kerajaan Laut Selatan."

Galuh Lalita mengangguk.

"Aku tentu saja akan mempertimbangkan tawaranmu Paman. Apalagi ternyata aku adalah keturunan dari laut selatan. Namun keputusan akhirku akan sangat tergantung pada keputusan Kanda Langit. Kalau dia mengatakan iya maka akupun iya. Tapi jika dia berkata tidak maka akupun akan berkata tidak."

Panglima Amranutta ganti menoleh kepada Ario Langit. Menunggu keputusannya. Ario Langit menghela nafas panjang. Hidupnya sangat kacau. Dia harus mempunyai tujuan agar kekacauan ini tidak menghancurkan semuanya. Urusan dengan Ayu Kinasih jelas tidak akan menemui ujung karena yang tersisa hanyalah dendam membara. Urusan dengan Ratri Geni juga semakin tidak karuan. Dia menyanggupi menyusul dan menemui Arya Dahana karena sudah mempunyai keputusan dalam hatinya untuk disampaikan kepada pendekar besar itu. Urusan dengan Ibunya akan dipikirkan nanti saja. Semarah-marahnya Arawinda tidak mungkin akan memukul mati putranya sendiri. Kalaupun itu yang terjadi, mungkin memang itu sudah menjadi garis takdirnya.

--