webnovel

Bab 25-Inti Bumi

Bumi adalah nampan

bagi meja perjamuan

yang dihadirkan manusia

setiap harinya

"Kalau berkaitan dengan olah kanuragan dan ilmu kesaktian, mereka tidak mau kalah, Nduk. Bisa saja mereka bertarung sampai mati hanya untuk mempertahankan nama besar dan ilmu yang dimilikinya."

Wah ini gawat! Pikir Ratri Geni. Kalau tokoh-tokoh sakti itu saling bertemu dan kemudian saling beradu ilmu, tidak terbayang akibatnya. Ki Ageng Sasmita mengatakan bahwa tokoh Delapan Penjuru Gunung sangat sakti. Dengan kelebihannya masing-masing, mereka bisa membuat kekacauan besar bagi orang-orang di sekitarnya jika terjadi pertarungan di antara mereka sendiri.

"Karena itulah kau harus menyempurnakan Inti Bumi, Nduk. Kau akan memiliki kemampuan untuk mencegah kekacauan yang membahayakan orang-orang yang akan berdatangan ke Puncak Ciremai untuk memperebutkan kitab langka itu. Keempat tokoh itu sebetulnya datang juga untuk menjaga agar kitab itu tidak terjatuh ke tangan orang lain. Setelah dipanggil keluar oleh Ki Ageng Ciremai karena Gunung Ciremai dirasa sudah aman, Kitab Langit Bumi akan berdiam di puncak gunung yang belum diketahui. Kitab itu yang akan memilih sendiri kediaman selanjutnya." Begitu pesan terakhir Ki Ageng Waskita sebelum Ratri Geni berangkat meninggalkan Ngarai Alas Roban.

Ratri Geni menyudahi latihan pagi ini. Perutnya lapar sekali. Diliriknya Sima Braja yang masih enak tidur. Ratri Geni mengelus kepala harimau itu dengan sayang tapi juga gemas.

"Huh, Sima Braja. Seharusnya kau mencarikan makanan untuk tuan puterimu ini. Kau berbeda dengan Sima Lodra. Dia sudah menyiapkan makanan bahkan sebelum aku terbangun dari tidur." Ratri Geni mengomel sembari tersenyum geli.

Sima Braja membuka matanya malas-malasan. Lalu tidur lagi. Ratri Geni melincipkan bibirnya. Percuma membujuk harimau penidur ini. Gadis ini berkelebat ke atas pohon dan memetik beberapa buah mangga hutan yang ranum-ranum. Sambil mengupas mangga Ratri Geni melirik lagi Sima Braja. Harimau itu terjaga dan mengendus-endus hidungnya. Terlihat kecewa lalu lanjut tidur lagi. Ratri Geni tertawa tergelak. Memangnya kau kira aku mencari ikan? Enak saja!

Setelah perutnya penuh oleh buah mangga, Ratri Geni siap berangkat lagi. Dia tidak akan membangunkan Sima Braja. Harimau itu dengan mudah akan bisa menemukan dirinya. Sambil bersiul-siul ringan, Ratri Geni berjalan santai menembus rapatnya hutan. Jika menurut perkiraannya, apabila dia berjalan pelan seperti ini, dia akan sampai di lereng Gunung Ciremai tiga hari lagi. Masih cukup waktu. Menurut Ki Ageng Waskita, Kitab Langit Bumi akan dipanggil oleh Ki Ageng Ciremai lima hari dari sekarang. Tepat saat purnama penuh menguasai langit.

Setelah melatih hawa sakti Inti Bumi setiap hari, Ratri Geni merasakan ada perubahan hebat di tubuhnya. Aliran darahnya menghangat dan tubuhnya menyesuaikan diri dengan cepat atas perubahan cuaca yang terjadi secara ekstrim.

Contohnya malam ini. Tiba-tiba saja hujan luar biasa deras seolah ditumpahkan dari langit. Padahal belum lama bintang-bintang nampak bertaburan di angkasa. Suhu turun dengan sangat cepat. Tadinya cukup panas dan lembab, anjlok menjadi sangat dingin dan berangin. Ratri Geni tidak sempat mencari tempat berlindung seperti gua atau rongga pohon besar. Tubuhnya basah kuyup. Akan tetapi gadis ini tetap merasa hangat meski dia tidak berusaha sedikitpun mengerahkan hawa panas di tubuhnya.

Ratri Geni teringat akan cerita ayahnya yang telah mencapai tingkatan ketika Amurti Arundaya dan Danu Cayapata bercampur secara sempurna dalam tubuhnya karena pengaruh mustika naga api dan naga air. Barangkali ini juga yang sedang terjadi dalam tubuhnya. Ratri Geni tertarik untuk mencoba. Selama ini ayahnya selalu bilang bahwa untuk menyempurnakan kedua pukulan hingga menyatu mesti dibutuhkan bantuan dari luar. Mungkin bantuan dari luar itu seperti hawa sakti Inti Bumi.

Gadis itu membiarkan dirinya dihajar oleh hujan deras dan angin dingin. Dia tidak melawan. Tidak mencoba sedikitpun mengerahkan hawa sakti. Hujan deras dan angin dingin yang bisa menggigilkan tubuh itu tidak dirasakannya sama sekali. Aliran hawa hangat Amurti Arundaya di dalam tubuhnya muncul dengan sendirinya. Gadis ini menjadi girang. Kali ini dia memutuskan untuk berlatih Inti Bumi di tengah hujan deras. Tubuhnya duduk bersila. Menghimpun hawa dingin yang diakibatkan hujan lalu menyalurkannya ke dalam tubuh.

Uap tipis panas nampak mengepul keluar dari seluruh tubuhnya. Seakan-akan dirinya adalah bara api yang disiram oleh es. Ratri Geni terus melakukan latihan hingga tengah malam sampai hujan itu berhenti. Gadis itu membuka mata. Merasakan tubuhnya menjadi sangat ringan. Dicobanya melompat ke pohon tinggi yang banyak terdapat di hutan rimba itu. Tubuhnya melenting dengan kecepatan tinggi ke atas. Ratri Geni tahu bahwa dalam setengah malam saja ilmu meringankan tubuhnya meningkat dengan sangat pesat.

Dengan bantuan cahaya bulan temaram yang menembus rapatnya tajuk pepohonan, gadis ini berlari dan berlompatan melanjutkan perjalanan. Tubuhnya seperti bayangan iblis yang menari-nari di kegelapan malam. Jika ada orang yang melihatnya, pasti orang itu mengira telah melihat hantu terbang.

Menjelang pagi, Ratri Geni menghentikan larinya. Telinganya yang tajam mendengar suara auman menggetarkan dari kejauhan. Sima Braja sedang marah dan berada dalam bahaya!

Tubuhnya berkelebat sangat cepat menuju sumber suara. Menemukan Sima Braja sedang menyerang hebat seorang kakek bertongkat yang sudah sangat tua sedang mempermainkannya. Memukul ekornya dengan tongkat lalu mengelak cepat saat cakar tajam Sima Braja hendak mengoyak tubuhnya lalu memukulkan tongkatnya lagi ke bagian tubuh lain Sima Braja.

Ratri Geni memperhatikan dengan alis berkerut. Kakek tua itu lihai luar biasa. Sima Braja bukan harimau biasa. Binatang itu memiliki kemampuan dan kekuatan hebat. Tapi kali ini dia seperti seekor kucing rumahan yang dipermainkan seorang bocah nakal.

Ratri Geni membentak lirih sambil menerjang maju.

"Minggir Halilintar!" kedua tangannya terayun ke depan. Mengirimkan pukulan untuk menghentikan kakek tua itu.

Sima Braja mengenali suara Ratri Geni. Tubuh besarnya berhenti menyerang dan sekarang berdiri dengan siaga di pinggir arena pertarungan yang langsung tersaji di tengah hutan antara Ratri Geni dan kakek tua yang kelihatan terkejut melihat betapa dahsyatnya tenaga gadis ini, namun raut mukanya malah menunjukkan kegirangan yang luar biasa. Ada lawan tanding setimpal untuk mencoba ilmunya yang telah lama tidak dikeluarkan karena sibuk bertapa.

Ratri Geni tak kalah terkejut. Hawa pukulan yang dikeluarkan kakek itu untuk menahan pukulan dan serangannya terasa sangat dahsyat. Seperti angin puting beliung yang membuat rambut dan bajunya berkibar-kibar. Kakek ini seorang sakti. Ratri Geni menambah serangannya dengan menggunakan Pukulan Busur Bintang yang berhawa es.

Kembali kakek tua itu sangat kaget. Namun wajahnya semakin terlihat girang. Gadis muda ini sangat luar biasa. Dia bisa leluasa mengeluarkan pukulannya yang berangin dahsyat berupaya mendesak gadis lihai ini. Ratri Geni mengimbanginya dengan baik. Pukulan Busur Bintang digantinya dengan Geni Sewindu. Gadis ini khawatir kakek tua yang hebat ini menyisipkan ilmu sihir dalam pukulannya.

--*****