Seseorang yang patah hati
mencoba berdiri kembali
di lancipnya ujung duri
sementara jiwanya telah dihanguskan jilatan api
Ario Langit memutar otaknya. Dia yakin bisa menuruni tebing meski harus disertai kewaspadaan yang sangat tinggi. Tapi dia cemas Galuh Lalita dan Sekar Wangi tidak bisa mengikutinya. Butuh kemampuan meringankan tubuh tingkatan sangat tinggi agar bisa menaklukkan tebing yang nyaris tegak lurus. Apalagi pegangan tangan hanya bisa mengandalkan perdu dan semak rapuh yang setiap saat bisa tercabut dari akarnya dan runtuh.
"Aku akan coba menyusup ke dalam benteng besok pagi-pagi sekali. Biasanya penjaga sangat lengah di waktu seperti itu. Aku minta kalian tinggal dan bersembunyi di sini. Di sebelah sana banyak terdapat pohon buah-buahan yang bisa diambil untuk dimakan. Jangan coba menyusulku. Ini akan sangat berbahaya! Kalian mengerti?"
Pendekar Langit menatap tajam Galuh Lalita dan Sekar Wangi untuk memastikan mereka memperhatikan apa yang dia katakan. Kedua gadis itu mengangguk patuh. Maklum akan bahaya yang menanti mereka jika tidak menaati perintah tersebut.
"Aku akan mencari tahu di mana Arya Batara berada. Lalu mempelajari kelemahan pintu masuk benteng agar bisa keluar masuk dengan lebih mudah. Mungkin aku akan melakukan ini beberapa hari. Jadi sebaiknya kalian besok mulai mencari tempat yang lebih layak untuk menunggu."
Kembali kedua gadis itu mengangguk mengiyakan. Ini memang tugas yang sama sekali tidak ringan. Menyusup ke sebuah benteng musuh yang berpengamanan tinggi sekaligus berpenghuni orang-orang yang berkepandaian tinggi. Tingkatan ilmu mereka belumlah setinggi Ario Langit. Tidak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu.
Sisa malam dipergunakan oleh Ario Langit untuk berkelebat kesana kemari mencari posisi paling tepat untuk memulai penyusupan. 3 arah tebing dijelajahinya semua. Menjelang pagi, Ario Langit memutuskan bahwa tebing yang paling memungkinkan untuk dituruni adalah sebelah utara atau bagian belakang. Semak dan perdu yang terdapat di sana terlihat lebih kokoh sebagai pegangan. Dia sudah coba menuruninya tadi.
Ario Langit mengira-ngira waktu. Bulan berusia separuh akan membantunya turun ke bawah dan tidak akan cukup terlihat oleh siapapun yang ada di bawah. Pemuda ini memang sedari dulu lebih suka memakai pakaian serba hitam. Temaram dinihari akan menyamarkannya.
Putra angkat Arawinda itu memulai perjalanannya yang mengerikan dengan sangat berhati-hati. Untungnya tebing ini tidak seluruhnya tanah dan banyak tersusun atas batu-batu cadas yang keras. Selain menjadikan perdu dan semak yang cukup kuat sebagai pegangan, Ario Langit juga bisa menjadikan batu-batu yang menonjol sebagai tumpuan maupun pegangan juga.
Ario Langit beristirahat sejenak di setengah perjalanan untuk mengambil nafas sambil memperhatikan keadaan. Tidak ada tanda-tanda penyusupannya diketahui orang. Fajar tak lama lagi menyingsing. Sebelum cahaya menyentuh permukaan tebing, dia sudah harus sampai di bawah dan mencari cara untuk melakukan penyamaran sehingga bisa berbaur dan menjelajahi lembah yang luas itu secara lebih leluasa.
Pertama yang harus dilakukannya setibanya di bawah adalah mencari dapur umum benteng. Dia akan menyamar menjadi juru masak atau peladen. Namun sebelumnya tentu dia harus merobohkan seseorang dan berganti pakaian.
Ario Langit melanjutkan perjalanannya dengan lebih cepat. Suara kokok ayam pertama seperti menyadarkan bahwa dia harus bertindak cepat. Bayangan hitam pemuda sakti itu seolah melayang turun dari tebing seperti bayangan hantu gunung. Nyaris satu kali terjatuh karena berpegangan pada perdu yang rapuh, Ario Langit berhasil menyelamatkan diri dengan sebisanya meraih batu-batu yang bertonjolan untuk berpegangan.
Saat kakinya menapak ke tanah yang lembab, Ario Langit menghirup udara dalam-dalam. Menghapus keringat yang membanjir di dahinya kemudian mengendap-endap sambil mengerahkan kemampuan meringankan tubuhnya. Di bagian belakang benteng ini terdapat banyak bangunan kecil-kecil. Mungkin tempat istirahat para prajurit yang bergiliran jaga.
Mata Ario Langit mengarah ke sebuah bangunan besar dan terang yang terlihat mulai ramai. Asap putih dan bau masakan menguar dengan kuat dari bangunan itu. Dapur! Ario Langit bernafas lega. Dia menemukan tempat yang dicarinya. Tubuh pemuda itu berkelebat cepat menuju bangunan tersebut lalu bersembunyi di balik tumpukan kayu bakar yang menggunung dan banyak terdapat di situ.
Sambil mengatur nafas, Ario Langit menunggu kesempatan terbaik untuk menemukan orang yang bisa dijadikan sebagai penyamaran. Lalu lalang beberapa orang dari arah dapur ke tumpukan kayu bakar yang terjadi sekali-sekali. Dia harus memilih orang yang perawakannya mirip untuk dibuatnya pingsan.
Itu dia! Mata Ario Langit terus mengikuti seorang pemuda berperawakan sedang dan tegap yang sibuk bolak-balik membawa ember-ember berisi air. Ario Langit menunggu sampai pemuda itu berdiri sendirian saat mengisi air dari pancuran besar yang terdapat di belakang dapur. Tubuh pemuda pembawa air roboh tak bersuara saat sebuah totokan jari Ario Langit mendarat di lehernya. Pemuda itu hanya pingsan. Ario Langit menambahkan sedikit totokan di leher bawah, bahu dan kaki agar saat siuman pemuda itu tidak membuat gaduh. Ario Langit tidak menotok bagian lengan dan tangan pemuda itu agar nanti bisa makan dan minum yang akan disediakan di sampingnya. Gudang kecil berisi tumpukan beras ini rasanya cukup untuk menyembunyikannya dalam beberapa hari.
Setelah menelanjangi jubah luar pemuda yang pingsan itu, Ario Langit mengenakannya dan melenggang keluar gudang dengan santainya sambil menenteng 2 ember besar berisi air dan membawanya ke dapur.
"Heii! Seharusnya kau mengisi air yang hampir kosong di dapur 2 sana! Di sini sudah penuh. Ayo cepat lakukan!" Seorang lelaki setengah baya yang terlihat sebagai penanggung jawab dapur berteriak di muka Ario Langit yang nyaris terjengkang ke belakang saking kagetnya.
Sambil menunduk dan mengangguk-angguk, Ario Langit tergopoh-gopoh mengambil ember-ember kosong dan berlari menuju tempat yang ditunjuk oleh lelaki itu.
Dapur markas pasukan Lawa Agung ini ternyata banyak. Terdapat 5 dapur yang semuanya mengepulkan asap tipis sedang bekerja. Ario Langit kagum melihat asap dapur ternyata diatur sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan asap tebal. Orang-orang yang melihat dari kejauhan hanya akan mengira bahwa asap itu hanyalah kabut yang terangkat ke permukaan.
Ario Langit melakukan tugasnya mengisi air di semua dapur yang ada. Begitu terus sampai seseorang menyuruhnya berhenti karena persediaan air dirasa sudah cukup. Kesempatan beristirahat itu digunakan Ario Langit untuk mengambil persediaan makanan bagi pemuda yang disanderanya supaya cukup makan dan minum. Pemuda itu tidak bisa bergerak kemana-mana serta kehilangan kemampuannya untuk bersuara. Dia hanya bisa menggerakkan kedua tangan untuk meraih makanan dan minuman yang berada di dekatnya saja.
Ario Langit juga menyempatkan diri untuk melakukan penyelidikan secara tidak kentara di area belakang benteng yang luas.
Sedikit ke depan dari jajaran dapur terdapat beberapa aula besar yang merupakan tempat makan bagi para prajurit. Ke arah depannya lagi adalah barak-barak prajurit berjumlah ratusan. Ario Langit belum sempat melihat bagian ke depannya lagi karena ini akan sangat mencurigakan. Seorang pembantu dapur berkeliaran hingga jauh dari dapur.
Setelah waktu makan pagi, dia akan berkesempatan melihat lebih jauh lagi karena tugasnya adalah juga membereskan peralatan makan kotor yang selesai dipergunakan makan oleh para prajurit.
Ario Langit mengrenyitkan keningnya. Dapur-dapur di bagian belakang ini tidak membuat masakan yang lezat dan mewah. Ini pasti dapur umum para prajurit.
Dia harus menemukan dapur khusus yang menyediakan makanan bagi para petinggi kerajaan! Dari sana dia akan lebih leluasa untuk melebarkan area penyelidikannya. Setelah itu dia akan menyamar sebagai prajurit dengan pangkat agak tinggi agar bisa lebih leluasa lagi berkeliaran kesana kemari.
Ario Langit tersenyum geli. Penyamaran ini cukup menjengkelkan. Apalagi pakaian pembantu dapur yang dikenakannya ini terasa berat dan gatal!
---*****