webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
22 Chs

Bab 5: lantai 0 (3) Maze

"Oh ... Jadi kakak tidak pernah bermain games? Dan paman Goblin hijau itu tidak menjelaskan sistem games menara ini secara rinci?" Tanya bocah itu kala kami mengitari jalan yang rasanya tiada ujung.

Aku mengangguk dusta untuk kesekian kalinya, "Kakak terlalu sibuk untuk itu, jadi ... bisakah kau mengajariku?"

Bocah itu mengangguk, lantas mengeluarkan sebuah permen dari kantong sakunya, menyerahkan kepadaku. Aku mengambilnya tidak mengerti, memperhatikannya dengan seksama. Ia lalu menginstruksikan cara mengaktifkan sistem 'Search,' dengan cara menyebutkan perintah dari mulut. Aku melakukannya, dan yah ... sekejap sebuah jendela informasi perihal permen ini muncul. Walaupun ada kata yang sedikit tidak enak untuk kubaca saat ini, 'Babi.' Lantas aku kembalikan permen itu kepada bocah berkacamata bulat, sambil berjalan santai.

"Terimakasih," ujarku. "Hanya itu yang ingin aku ketahui."

"Kalau kakak membutuhkan apapun, aku bisa bantu!" serunya polos.

Aku tersenyum miring, "Itu artinya aku akan banyak berhutang budi padamu, bocah."

"Tidak juga," jawabnya, "aku tidak menghitung itu sebagai hutang kakak."

Aku meliriknya sedikit yang berjalan di sampingku, lantas fokus ke arah jalan. Bocah ini rasanya masih terlalu polos untuk tahu betapa kejamnya dunia saat ini, sekuat apapun dirimu ... pasti ada saja yang memanfaatkan celahmu walau sekecil apapun. Akan tetapi, aku tidak terang-terangan memberitahu. Membiarkannya tahu sendiri warna dari dunia yang sesungguhnya. Kadang, diam pun ada bagusnya juga.

Saat kami berjalan lurus melewati jalan bertigaan, bocah ini terdiam di tengah pertigaan itu. Aku menghentikan langkah, melihat ekspresi ketakutan yang tergambar jelas di wajahnya. Kutengok pemandangan yang dilihatnya, mendapati segerombolan mahluk mengerikan itu tengah berpesta ria memakan sesuatu. Tidak tahu peserta siapa yang menimpa kesialan seperti itu, namun ada secarik kain pink yang tercecer dengan noda darah di sana. Aku ingat siapa pemiliknya, tapi yang kulakukan saat ini hanyalah berdecak kesal dan menarik bocah ini untuk terus berjalan.

"Ta-tadi itu ... Sekelompok Goblin-"

"Aku tidak peduli nama mahluk yang mengerikan itu," ujarku. "Kalau mereka pemakan daging manusia, anggaplah mereka jahat dan bahkan tidak pantas untuk dilihat dari arah manapun!"

Tepat saat aku sudah mengatakan itu, lima ekor mahluk mengerikan itu menghadang jalan kami. Aku berdecak kesal, mengeluarkan sebilah katana dari sarungnya lantas membabi-buta para mahluk sialan ini. Tidak tahu apakah memang begini cara memegang senjata ini atau apa, yang penting mahluk itu sudah tinggal darahnya, beserta ceceran organ dan daging yang berbau busuk. Tidak lupa memasukkan kembali pedang ini ke dalam sarungnya. Lantas ku gendong bocah ini untuk berlari bersamaku.

Setelah cukup jauh, aku menurunkan bocah ini. Lalu menyingkirkan sebuah jendela apung bertuliskan selamat untuk naik level ke level 8, untunglah aku tidak tersandung selama jendela ini menghalangi pandanganku. Aku melirik bocah yang kuselamatkan tadi, "Kau tidak apa-apa?"

Dia menggeleng, "Goblin yang sangat menyeramkan, sebelumnya aku juga dikejar-kejar oleh mereka."

"Yah ... aku tahu, karena akulah yang kau tabrak saat itu," ujarku mengungkit pertemuan pertama saat itu.

"Kakak tadi pakai senjata apa?"

Aku melirik pedang katana yang berselimut sarung berhiaskan corak indah keemasan, dengan kuat mencengkram pinggangku seperti tidak ingin lepas. Aku menghela napas, "Hanya sebuah pedang peninggalan keluargaku," dustaku lagi.

"Ta-tapi ... barusan terlihat seperti bukan pedang."

"Pedang, ya pedang," ujarku santai. "Selain itu apa lagi? Pisau, hah?"

Bocah itu menggeleng, aku menatapnya lama. "Suatu hari nanti kau juga akan tahu. Sekarang sangat berbahaya kalau aku memberitahumu." Aku menghela napas, sejujurnya sangat memuakkan bagiku untuk terus berbohong kepadanya. Tapi, aku tidak punya pilihan. Mengingat dulu, aku pernah mendengar betapa buruknya warga Korea selatan terhadap warga Jepang. Bisa-bisa aku habis di tengah jalan.

"Hahahahaha ... sungguh pemandangan yang sangat menarik."

Tiba-tiba suara yang menyambutku saat itu telah muncul, tapi ... kenapa nada bicaranya sekarang dua kali lebih menyebalkan dari pada sebelumnya? Aku hanya terdiam, sementara bocah di hadapanku terkejut.

"Aku sangat tidak menyangka, dari delapan peserta baru. Hanya dua yang berhasil melewati lantai nol ini. Aku ucapkan selamat ... untuk kalian berdua," mahluk itu muncul dari lubang ungu, kemudian bertepuk tangan hangat. Tidak sinkron dengan nada bicaranya sekarang.

Aku mendengus, menoleh menatapnya. "Jadi ... apakah kami berdua lolos?"

"Yah ... kalian berdua lolos dengan hasil di luar ekspetasi kami," ia menjawab lugas. "Hanya saja, sebelum kalian naik ke lantai atas. Aku ingin menawarkan kepada kalian, suatu kesempatan sekali seumur hidup." Mahluk itu menjentikkan jarinya. Dalam sekejap , muncul tiga pintu di tembok hitam yang hanya berhiaskan garis cahaya neon. Putih, merah, dan terakhir hitam. "Kalian bisa menantang bos dari balik setiap pintu ini, tentu saja ada hadiah di setiap pintu. Atau langsung naik ke lantai 1 dan membeli perlengkapan di sana."

"Kamu," aku menoleh ke arah bocah yang kuselamatkan tadi. "Naiklah ke lantai 1."

"Bagaimana denganmu? Ja-jangan bilang!"

"Aku hanya menemanimu sampai jalan keluar, dan ini adalah jalan keluarnya," ujarku. "Artinya, kita berpisah di sini."

Bocah itu terdiam, kemudian mengangguk. "Aku mengerti, tapi ... apakah nanti kita akan bertemu lagi."

"Sekarang kita semua terjebak di dalam menara, memangnya kemana lagi aku harus pergi?" tanyaku.

"Baiklah, sudah cukup untuk perpisahan yang mengharukan ini," mahluk itu mengangkat tubuhnya. Bocah berkacamata itu tidak melawan.

"Tunggu!" sahutku sebelum mereka berdua pergi. "Bolehkah aku memasuki ketiga pintu ini sekaligus?"

Mahluk itu menyeringai kejam, "Tentu saja, tidak ada yang melarang itu! Namun, ini pertama kalinya seorang peserta menanyakan hal itu kepadaku. Biasanya mereka tidak akan bertanya lebih jauh, atau langsung membeli suatu 'item' dariku. Semoga beruntung!" Dia lantas menghilang di balik kegelapan, beserta bocah itu.

Aku berdecih kesal. Membeli ya ... tadi aku tidak dijelaskan soal itu. Dan tampaknya, bocah itu tidak mengetahui pembelian barang yang disebut 'item.' Aku lantas membuka jendela status, meneliti jendela ini lebih lanjut. Lantas menemukan suatu hal yang aku cari, status isi dompet. Bukan dalam bentuk rupiah, dolar, ataupun sen. Tampaknya ini disebut sebagai emas, karena ada kata 'gold' di sebelah beberapa digit angka. Uangku ... hanya ada 1.500 emas, entah itu angka yang besar atau apa saat ditukar. Aku berharap di lantai satu ada beberapa kios yang menjual beberapa makanan yang bisa aku makan. Karena tidak ada apapun di sini.

Tapi, haruskah aku melawan para bos itu? Nyawaku hanya satu dan tidak mungkin di sini ada keajaiban hidup kembali. Aku sudah melihat sendiri nasib para peserta lain yang mati saat itu, terlalu mengenaskan, tapi entah kenapa memang pantas untuk mereka. Dan katanya, 8 dari peserta baru yang selamat hanya bocah itu dan aku. Apakah ini suatu keberuntungan yang tidak akan terterulang lagi, atau memang beginilah diriku sekarang?

Aku membuka jendela status, beberapa angka meningkat secara signifikan. Apa lagi 'Speed,' yang semula hanya satu digit, sekarang sudah menyentuh angka enam belas. Sementara 'attack,' dan kawan-kawannya hanya bertambah sembilan poin, dari pada sebelumnya yang hanya menunjukkan angka satu saja.

"Kesempatan sekali seumur hidup, kan? Yah ... tidak ada salahnya untuk mencoba. Di mulai dari pintu putih itu."

~***~