webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
22 Chs

Bab 19: lantai 2 (2) Hide and seek

Hak, Gin, dan Xixie. Entah kata apa yang bisa dijabarkan untuk mereka berdua, putus asa, kehilangan harapan. Rasanya tidak ada kata yang sesuai dengan keadaan mereka saat ini, sedih rasanya melihat hanya aku yang mendapatkan kesempatan emas untuk melewati lantai ini dengan mudah. Walaupun aku menyembunyikan fakta perihal itu, agar mereka tidak merasa terbebani dengan pikiran lain yang timbul akibat pengetahuan itu. Matahari tampak enggan untuk mengubah posisinya, seperti memang benda bercahaya itu di setel untuk tidak berpindah posisi satu inci pun. Berbeda jauh dengan lantai pertama.

Gin memakan rotinya dengan pelan, Xixie pingsan terbaring di atas tanah. Sementara Hak menendang sambil memaki entah sudah berapa kali, sia-sia. Sementara itu bisa kupastikan, kelompok pria bertopeng itu sedang menuju kemari. Aku berdeham, berusaha memecahkan keheningan.

"Dari pada mencari, bagaimana kalau kita memancingnya keluar?" saranku, mengingat aku berhasil memancing kelinci itu keluar begitu saja.

"Aku sudah mencobanya, dengan roti, wortel, dan sebagainya," ujar Gin lemas.

"Kau pikir kelinci itu kelinci biasa, huh?" maki Hak geram.

"Aku kan hanya memberikan saran," bantahku, berdecih kesal.

Hak mendengus, "Kalau begitu lakukan seperti apa yang kau katakan, aku yakin seratus kali mencoba pun. Kelinci itu tidak akan keluar ujung telinganya."

Justru kamulah di sini yang tidak berhasil, tapi tidak kuutarakan untuk menjaga suasana. Menghela napas berat aku berpikir sejenak, membayangkan posisi di mana aku tidak berhasil menemukan kelinci itu sama sekali. Sampai membayangkan diriku sendiri menjadi kelinci, kemudian tercetuslah ide saat mengingat bagian 'Telinga.' Aku memanggil Hak, dan Gin. Membiarkan Xixie yang tampaknya sedang terlelap untuk beristirahat.

"Kelinci itu memiliki pendengaran yang tajam bukan?" tanyaku.

Gin hanya mengangguk, sementara Hak mendengus kesal kemudian berkata. "Tentu saja bodoh!"

"Aku serius Hak, kelebihan pendengarannya itu bisa jadi kelemahannya sendiri," ujarku yang tampaknya berhasil membuatnya bungkam. "Hewan ini memiliki pendengaran tajam, dia bisa mendengar suara terpelan. Akan tetapi tidak akan tahan dengan suara keras. Hak, kau masih punya tenaga bukan? Gin, batas kecepatanmu berapa?"

"Tentu saja, aku tidak selemah yang kamu bayangkan, meskipun level kita berbeda jauh," ucap Hak dengan angkuhnya.

Aku tidak mengacuhkannya, lantas tertuju pada Gin yang menjawab kalau dia memiliki kecepan dengan digit dua puluh. Kurasa cukup cepat walau angkanya tidak sebanyak kecepatan milikku. Aku meminjamkannya topeng yang kulepaskan dari wajahku.

"Pakailah," ucapku.

Gin menurut, lantas mengenakan topeng yang aku kira akan kebesaran. Justru muat dan pas dengan kepala kecilnya, kurasa topeng ini bisa menyesuaikan diri dengan penggunanya. Aku penasaran, apakah benda ini termasuk ke dalam golongan benda hidup. Tetapi selama mengenakannya, aku tidak mendapatkan komunikasi apapun dari topeng ini.

"Hak, berteriak lah sekencang yang kamu bisa. Gin, berlarilah saat kamu melihat ada yang bergerak di antara rumput itu," perintahku.

Hak sempat protes, namun dia sekarang hanya bisa menuruti apa kataku. Pemuda itu lalu berteriak sekencang yang dia bisa, sampai telingaku sendiri terasa tidak bisa mendengar apapun setelahnya. Beberapa saat kemudian, Gind dengan kecepatannya yang bertambah dua kali lipat berlari menghampiri sesuatu. Lalu kembali dengan membawa kelinci yang dibawanya lembut seperti bocah pada umumnya. Aku tersenyum, lantas melepaskan topeng itu dari Gin kemudian kukenakan. Kelinci berpakaian merah terang itu tampak ketakutan.

"Aku tidak berniat menangkapmu loh, tapi mereka juga ingin naik ke lantai berikutnya," ujarku menenangkan kelinci tersebut walau rasanya sia-sia.

Tepat beberapa detik setelahnya, aku berdecih kesal sembari menghunuskan pedangku. Menangkis serangan sebuah belati yang diluncurkan oleh seorang pria bertopeng putih tepat ke arah wajah Gin. Aku menendang tubuhnya menjauh sekuat tenaga, membuat pria sialan itu menjauh beberapa langkah. Gin yang baru saja tersadar, segera menghunuskan pedang bermata duanya dan melindungi Xixie yang terbaring lemas di atas tanah. Gin memekik ketakutan beserta kelinci yang ada di pelukannya. Untunglah hewan itu juga sama takutnya sehingga tidak ada niatan untuk lepas dari pelukan Gin.

Tanpa berbasa-basi, aku mengayunkan pedang katanaku ke arah pria yang nyaris membuat nyawaku melayang di menara ini. Membuat pedangku beserta belatinya beradu di udara, seolah menunjukkan kalau keduanya memiliki tuan yang tidak bisa dianggap remeh lagi. Tampak tangan kanan pria itu sembuh total dari luka yang aku timbulkan dari pedang katanaku. Jadi, dia juga mendapatkan pertolongan huh? Tidak kusangka pria ini ternyata mau menerima bantuan setelah membantai seluruh peserta lain yang masuk bersamanya. Sial, kenyataan itu sungguh membuatku muak. Seperti, kalau kamu mau menjadi penjahat sekalian saja, sialan!

Sekilas matanya kembali menyala merah persis seperti apa yang aku lihat pada waktu itu, belati berwarna hitam yang dia genggam mulai mengobarkan api di sepanjang mata pisaunya. Pria itu menendang ku dari arah samping, aku berhasil menahannya. Namun saat belati berkobar itu mulai menyerang ke arahku, aku meloncat mundur sejauh yang aku bisa. Kudengar pria itu memaki, namun tidak terdengar jelas karena tertutup topeng putih itu. Begitu dia mengangkat belatinya ke atas, pedang pendek yang semula berkobar kini padam dan tergantikan oleh kabut yang muncul. Kabut itu, aku mengenalnya.

"Semuanya, lari!" seruku.

Aku berlari sembari menggenggam tangan kecil Gin, sementara Hak berlari dengan menggendong tubuh Xixie. Ternyata fakta dia memiliki tenaga yang cukup kuat meskipun berbeda level, bukanlah bualan belaka. Pemuda itu benar-benar masih kuat meskipun puluhan langkah dia ambil. Tidak lupa akar es yang mengikuti dari belakang, membekukan rumput-rumput yang di lewatinya. Sesampainya di dalam lift, aku segera menutup pintunya. Akhirnya kami semua menghela napas lega, terengah-engah. Tampaknya akar es itu tidak bisa menjangkau lift ini. Tapi itu adalah kabar yang sangat baik.

Gin terduduk kaku saat lift mulai bergerak ke atas, bocah itu mulai menangis kencang. Hak yang biasanya bersikap kasar, kini hanya terdiam seribu bahasa sembari mendekap tubuh Xixie yang masih belum sadarkan diri. Kelinci berbaju merah yang baru saja lepas dari pelukan Gin mulai melompat-lompat menuju pintu lift, berusaha menggalinya. Sementara aku menyandarkan punggungku pada dinding lift, mengatur napas. Tidak menduga kalau pria bertopeng itu ternyata sudah menyusul begitu cepat. Padahal aku berharap jika dia bisa menikmati tidur malamnya lebih lama.

"Mulai sekarang dan seterusnya hidup kita tidak akan sama seperti sebelumnya. Musuh kita tidak hanya para monster atau menara sialan ini yang telah mengurung kita. Juga manusia gila seperti tadi, tidak kusangka dia bisa begitu mengerikannya seperti itu," ujar Hak yang akhirnya membuka mulutnya. "Omong-omong, aku pikir dia hanya mengincarmu. Tapi saat aku melihatnya menyerang Gin yang memeluk kelinci ini, barulah aku sadar kalau tidak hanya kamu yang dia incar."

"Kau baru sadar?" cemoohku, "aku sendiri tidak tahu apa yang dia incar, tapi yang aku lihat dia menginginkan sesuatu lebih dari itu."

"Maafkan aku," ucapnya singkat.

"Jangan khawatir," ujarku, "aku tidak pernah menanggapi serius hinaanmu itu. Termasuk saat kau memanggilku, 'coklat.'"

~***~