webnovel

Tower of Survivor

Aku adalah preman yang biasa menampung anak buahku. Menggaji mereka sesuai apa yang mereka usahakan, kalau dapat banyak ya dapat banyak upahnya. Begitu pula sebaliknya. Begitulah keseharianku, sampai aku dikunjungi oleh seseorang yang ingin kuinjak wajahnya dan menyatu dengan ubin. Orang itu membawa kabar kepadaku, adik beda ayah pertama ku hilang setahun yang lalu. Setelahnya adik keduaku mendapatkan sebuah surat aneh yang memiliki lokasi tidak masuk akal. Orang itu menawarkan sejumlah uang yang bukan main banyaknya. Akan tetapi dengan syarat, aku harus menerima undangan itu atas nama adik kedua beda darah ini. Menyusup sebagai penggantinya, dan menyelamatkan adik beda ayah pertama ku. Tidak bermodalkan uang, makanan, atau apapun itu. Hanya sebuah Katana milik keluarga ayah tiriku, satu-satunya tiang untukku hidup.

Sunnava · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
22 Chs

Bab 18: lantai 2 (1) Hide and seek

Terdengar suara remukkan kecil dari dalam ruangan itu, "Kita telah didahului oleh pemain lain," ujar suara satu.

"Tapi siapa? Aku yakin hanya anggota Guild Tameng Suci yang mengetahui keberadaan topeng ini." Suara ke dua tampak bingung.

"Kemungkinan besar hanya satu, ada pengkhianat yang membocorkan informasi keberadaan topeng itu." Diikuti suara satu, terdengar suara sesuatu yang hancur, langkah kaki dan lift yang kembali beroperasi.

Aku keluar dari persembunyianku, mendapati beberapa bebatuan telah hancur menjadi debu. Entah itu ditendang, atau diinjak begitu saja. Sungguh kuat sekali, mereka bisa meremukkan sebuah kepala manusia hanya dengan menggenggam saja, tapi apa tidak merepotkan memiliki kemampuan itu? Maksudku saat melakukan kegiatan sehari-hari, bukankah sangat menyusahkan saat harus mendapati pintu yang terus-menerus hancur? Atau memang barang di lantai atas sangat keras? Entahlah, sekarang aku harus naik ke lantai atas untuk menyusul Hak dan lainnya. Aku harap, mereka baik-baik saja di sana.

Memasuki lift yang terasa sama saat menaikinya dengan pemandu Mahluk bersetelan jas, aku menyenderkan punggungku. Menatap Kilauan desain lift yang cukup sederhana namun terkesan mewah di mataku. Menaiki lantai ke dua, setelahnya aku disambut dengan hamparan rumput yang luas di sepanjang mataku memandang, lengkap dengan cahaya sinar mentari yang terasa hangat dan menyejukkan ini. Berbeda dengan lantai pertama, tidak ada satupun rumah yang kulihat atau beberapa pohon.

"Kak Shima!" Gin berseru sembari melambaikan kedua tangannya. Aku tersenyum dan menghampiri bocah ini, menepuk kepalanya.

"Aku kira kau sudah duluan naik ke lantai berikutnya," ucapku.

"Tidak, kak Hak memutuskan untuk menunggu Kakak agar bisa naik ke lantai berikutnya bersama."

"Baik sekali," celetukku.

Gin terkekeh kecil, "Tentu saja kak Hak tidak mengatakan itu. Tapi aku menerjemahkannya demikian."

Aku tersenyum, "Bocah pintar."

"Sudah sampai," ucap Gin riang sembari menunjukkan sebuah tempat yang tampaknya sudah dirapihkan demikian rupa dengan penampakan dua orang yang putus asa. Mereka terlihat kelelahan, keringat bercucuran dari pelipis sampai membasahi punggung mereka. Aku memiringkan kepala tidak mengerti.

Hak mengangkat kepalanya tampak kesal, menatap Gin. "Kau ini, bukankah sudah kubilang untuk mencari kelinci itu?"

Gin menggenggam tanganku, "Saat mencari di dekat lift, aku bertemu kak Shima yang baru saja naik. Jadi, aku mengantarnya kemari."

Hak mendengus kesal, "Baiklah, sekarang cari lagi," dia berdiri dan merenggangkan tubuhnya. Melirik Xixie. Wanita itu hanya membalas lambaian tangan.

"Nanti aku menyusul," ujarnya. "Teruslah mencari kelinci itu."

Tanpa diberitahu, aku mulai paham dengan apa yang mereka maksud dengan 'Mencari kelinci.' Artinya untuk naik ke lantai berikutnya, kami harus mencari seekor kelinci, yang entah bagaimana rupanya itu. Gin ke arah jam dua belas (berdasarkan jam tangannya), Hak di sekitar lift, sementara aku di arah jam enam. Mungkin ketimbang mencari kelinci, aku akan lebih senang hati untuk melawan beberapa ekor monster sekaligus. Masalahnya tidak ada pohon atau apapun untuk membantu mencari hewan ini, pun rerumputan di sini menghalangi pandanganku.

Aku berdecih kesal, menghunuskan pedangku. Secepat mataku menangkap, aku menebas rerumputan yang menghalangi pandangan. Asal mengayunkan pedang katana ini terus menerus. Hembusan angin melewati tubuhku, membawa serta puluhan ... tidak, ratusan sampai tak terhitung keping rumput yang aku pangkas tiada hentinya sampai saat ini. Beberapa menit aku melakukannya terus menerus, sampai satu jam setelahnya aku berhenti dan terduduk lemas di antara rumput yang aku potong asal. Tidak tidur semalaman dan melakukan hal ini, sungguh membuat energiku terkuras. Tubuhku basah oleh keringat, terengah-engah. Tidak ada petunjuk perihal di manakah kelinci itu berada. Rasanya syarat ini sangat mustahil.

"Kelinci ya?" aku bergumam, menghela napas berat lantas berdiri kembali melihat sekitar. Kelinci yang mana? Iya kalau di dunia biasa, aku yakin di menara ini 'Kelinci' yang di maksud adalah hewan yang sangat lain. Kalau di cari tidak bisa, bagaimana jika kupancing? Yah, walaupun aku sendiri ragu untuk melakukannya, tapi tidak ada yang salah untuk mencoba. Aku mengeluarkan sekantung penuh buah-buahan pemberian sang Raja Monyet. Tentu saja semuanya hanya buah, akan tetapi apel harum berwarna hijau ini layak dicoba juga, walau bentuknya sedikit mengingatkanku pada apel batu Malang.

"Search," ujarku.

'Apel hijau harum, memakannya menimbulkan efek penguatan tubuh selama lima menit.'

Ternyata buah ini juga memiliki efek tersendiri seperti bery pertahanan dari api, yah ... tidak masalah. Paling penting adalah, apel ini cukup harum dan memikat. Tidak seperti tadi, aku berjalan santai sembari melemparkan apel ini di udara beberapa kali, mainkannya di atas telapak tanganku. Berkeliling di antara rerumputan sembari menenangkan kepalaku yang sedikit berontak karena kelelahan. Beberapa saat kemudian, aku mendengar gemerisik di antara rumput yang panjang. Semakin lama, semakin dekat rasanya kepadaku. Sampai aku mendengar sebuah seruan kecil di belakangku.

"Buah sang Raja Monyet!"

Aku menaruh apel hijau ini ke dalam saku celanaku, dan sumber suara ini meloncat, mendarat di hadapanku. Seekor kelinci dengan busana aneh berwarna merah cerah, seandainya hewan ini tidak berukuran kurang dari tiga puluh senti aku yakin akan bisa menemukannya dengan mudah.

"Buah-buah-buah, sang Raja Monyet! Berikan, berikan itu kepadaku!" ucapnya sembari melompat-lompat di hadapanku.

"Tidak, sampai aku bisa menaiki lantai ke dua bersama temanku," ujarku dengan nada angkuh, menatap tubuh kecilnya, melipat kedua tanganku di bawah dada.

"Tidak! Aku tidak mau dipukul lagi oleh tuan Rabbit," dia menarik kedua telinga panjangnya, tampak ketakutan.

Aku menyerngitkan dahiku, "Dipukul?"

Mahluk itu mengangguk, "Iya, kalau aku sampai tertangkap oleh pemain. Aku akan dipukul."

"Astaga, buruk sekali perlakuannya kepadamu. Tapi tanpa menyerahkanmu aku tidak bisa naik ke lantai selanjutnya, dan kau tidak bisa memiliki buah ini," aku mengeluarkan sebuah apel dari saku celanaku. Menggodanya.

Mahluk itu tampak gelisah, "Se-sebenarnya aku memiliki kunci untuk lantai berikutnya, akan tetapi hanya untuk satu pemain saja. Kalau kau mau, kita bisa melakukan barter."

Aku tersenyum, tampaknya rencanaku akan berubah. "Baiklah," ujarku.

Kelinci itu mengangguk senang, dia menyerahkan sebuah kunci berwarna tembaga kepadaku. Begitupun aku yang menyerahkan sebuah apel hijau kepadanya, menerima kunci aneh ini. Sebelum aku beranjak pergi, dia menarik celana jeansku.

"Tunggu, sebagai tanda terimakasih," dia meletakkan sebuah kunci perak dari dalam bajunya. Lantas pergi menghilang dari balik rerumputan yang rasanya tidak ada ujung sama sekali.

Aku memungut kunci berwarna perak ini, "Tanda terimakasih, ya?" gumamku. Tampaknya ini bukanlah kunci untuk naik ke lantai berikutnya, kunci lain, entah untuk membuka apa. Tapi tidak ada salahnya untuk menyimpan benda ini untuk berjaga-jaga. Aku membuka jendela penyimpanan, menaruh dua kunci yang aku dapatkan di sana.

Rasanya tidak enak saat berhutang dengan orang lain, mau tidak mau aku harus berusaha untuk membalasnya, walaupun rasanya itu tidak seberapa dengan menyelamatkan nyawaku. Persis seperti kelinci itu. Hewan yang berhasil membuatku menghargai setiap tindakannya. Aku berjalan, kembali ke titik di mana Hak, Gin, dan Xixie pasti sedang beristirahat kembali di sana.

~***~