Aku melipat mukena, setelah melaksanakan salat Isya.Kuletakkan di tempat semula, kemudian duduk di ujung ranjang. Bayangan senyum Bos Koko masih terlintas di benak. Aku merasa ada yang berbeda dengan sorot matanya. Tapi apa, ya? batinku. Ah, entahlah. Ada yang lucu mengingat kekhawatiran di wajah Bos Koko, ketika aku menghadang truk di jalan. Aku seperti menikmati perhatian lebih yang diberikannya. Em, apa mungkin Bos Koko menyukaiku? Aduh! Sepertinya aku terlalu kegeeran. Mana mungkin! Toh, Bos Koko perhatian pada semua karyawan di kantor. Aku jadi teringat saat pertama kali masuk bekerja, seorang anak kecil yang sangat lucu tertawa riang di gendonganku.
"Hai, Manis. Nama kamu siapa?" tanyaku waktu itu.
Anak kecil berambut lurus dan bermata sipit itu terlihat malu-malu menyebut namanya. "Zeze, Kak."
Aku mencium pipinya gemas.
"Dia anaknya Pak Koko,Rei," ucap Mbak Vita yang tiba-tiba datang dengan menenteng tas kecil yang ternyata milik anak itu.
Bos koko meminta Mbak Vita menjaga Zeze, ketika anak itu ikut bekerja. Dari Mbak Vita juga aku tahu jika ternyata ia telah memiliki dua orang anak dari pernikahannya terdahulu yaitu: Zeze yang sekarang berumur 4 tahun, dan anak pertamanya Nicole yang berumur 6 tahun. Hanya saja aku belum pernah bertemu Nicole. Menurut cerita yang aku dengar, Nicole diasuh oleh ibu kandungnya.
Tiba-tiba ponsel bergetar hingga membuatku terbuyar dari lamunan. Terlihat ada pesan WA masuk. Aku mengambilnya dari nakas dan membukanya. Segaris senyum tergambar di bibirku, ketika melihatnya. Ternyata itu pesan yang berasal dari kontak bernama Bos Killer.
[Jangan coba-coba menghadang truk lagi lain kali!]
Bos Koko pikir aku anak kecil, harus diingatkan masalah beginian. Aku membalasnya.
[Emoji tersenyum.]
[Saya serius, Rey.]
[Saya tahu Bapak selalu serius. Emoji senyum.]
[Serius! Saya takut kehilangan kamu, Rey.]
Deg!
Ada yang berdetak di jantung, ketika membaca pesan terakhirnya. Aku tidak ingin membalas pesan itu lagi. Aku takut mengetahui alasan di balik ketakutannya. Apakah ...?
Ish!
Aku mikir apa, sih? Aku membanting ponsel begitu saja ke atas kasur, lalu memukul kepala. Aku beringsut turun dari ranjang, lalu mengambil gawai kembali. Kumasukkan gawai ke dalam saku celana, setelahnya keluar menuju ruang keluarga. Tampak Santi sedang sibuk mengerjakan PR, sedangkan Bagus sibuk main game di laptopnya. Keadaan Tante Siska terlihat lebih baik daripada kemarin, matanya serius menonton televisi. Kami berkumpul di ruang keluarga.
"Rey, makan duluan saja kalau sudah lapar!" Tante menawarkan.
"Nanti saja, Tante," jawabku singkat.
Aku duduk di hadapan Santi, memperhatikannya yang sedang mengerjakan tugas.
"Mbak, ajarin, dong."
"PR apa?"
Aku sembari sibuk memperhatikan tulisan di bukunya.
"Bahasa Inggris, Mbak."
Dahiku berkerut, bingung. Aku tidak terlalu pandai pelajaran ini, tapi sedikit-sedikit mungkin bisa membantu. Ah, cukup puyeng juga membantu Santi mengerjakan PR-nya, tapi alhamdulillah akhirnya kami bisa merampungkan semua soalnya.
"Tante, Om Darmo belum pulang?" tanyaku iseng.
"Yasinan di rumah tetangga, Rey," jawabnya dengan mata yang masih fokus menatap layar televisi. "Tuh, kan. Tante tuh suka sebel, kalau lihat si Paijo selingkuh dari si Kartiyem. Lihat itu, Rey! Paijonya bodoh! Kok, bisa-bisanya tergoda sama si Suketi? Padahal, cantikkan Kartiyem kemana-mana, loh!"
Tante Siska terlihat geram menonton sinetron. Aku dan Santi saling pandang, lalu sama-sama menahan tawa.
"Tante, pinjam sisir. Aku belum sisiran dari habis mandi tadi."
Sudah beberapa hari aku memang tidak menyisir rambut, karena sisir di kamar hilang. Saat pergi kerja pun hanya kukuncir seadanya. Untung rambutku tidak terlalu kusut, sehingga masih terlihat rapi meskipun tanpa disisir.
"Ambil saja, Rey. Ada di kamar Tante."
Aku beranjak, lalu berjalan menuju kamarnya. Setelah masuk, terlihat sisir berwarna kuning ada di atas meja riasnya. Aku mendekat, lalu mengambilnya. Detik berikutnya sudah menyisir rambut sembari bercermin. Saat sedang asyik menyisir, tanpa sengaja aku melihat ponsel Om Darmo yang tergeletak di meja rias ini. Sungguh, aku penasaran ingin melihat isinya. Jujur saja aku takut berdosa, tapi air mata Tante Siska malam itu mendorong keingintahuanku mengenai sosok wanita yang membuat Om Darmo berpaling. Ragu, aku mengambil ponsel itu, lalu mengucap bismillah berulang kali sebelum membukanya. Saat gawai sudah di tangan dan akan kubukan, ternyata tidak bisa. Om Darmo mengunci gawainya memakai kode pengaman.
Aduh, pakai kode pengaman lagi.
Aku coba memasukkan kode 123456, lalu kutekan oke. Ternyata salah. Aku mencoba lagi menekan angka tanggal lahirnya, ternyata tidak berhasil. Aku menggigit bibirku sendiri. Terus mencoba berpikir dan berpikir.
Kira-kira apa kata sandi dari ponsel ini? Iseng-iseng, aku memasukkan tanggal lahir Bagus. Alhamdulillah, ternyata bisa terbuka. Aku mulai memeriksa satu persatu chat Om Darmo dengan semua orang. Tidak ada yang mencurigakan. Mungkin sudah dihapusnya. Aku pun mencoba melihat log panggilan. Dahiku mengerut, meneliti setiap panggilan masuk dan keluar. Ada satu nomor yang sering meneleponnya, Om Darmo tidak memberi nama nomor itu. Dengan cepat, aku mengeluarkan ponsel dari saku celana untuk mencatatnya. Selesai. Kini aku mencoba melihat foto–foto di dalamnya. Semuanya foto keluarga, kecuali ... ada satu foto kiriman dari seseorang. Foto ini masuk ke di galeri album lainnya.
Aku membukanya, terlihat seorang wanita memakai tanktop berwarna hitam. Mataku menyipit mencoba mengamati. Ah, mukanya tidak kelihatan, karena dia difoto dari belakang? Tapi tunggu dulu, aku seperti kenal wanita ini. Coba aku zoom, siapa tahu ada titik terang.
Cukup lama aku mencermati foto ini, tapi kenapa dia seperti ... aku terdiam sambil berpikir. Mungkinkah dia? Kutarik napas dalam-dalam. Mulut mengaga tidak percaya. Mungkinkah ini benar dia? Tapi aku tidak mungkin salah, aku yakin ini dia.
"Rey!" teriak Tante Siska dari luar.
"Iya, Tante?"
Cepat-cepat kuletakkan ponsel Om Darmo ke tempat semula.
"Yuk, makan!"
"Oke, Tante."
Bergegas aku keluar kamar. Dimeja makan, pikiranku kemana-mana. Bagaimana caranya aku bisa membuktikan perselingkuhan mereka? Karena bukti yang sekarang ini saja belum kuat. Dengan mudah mereka bisa mengelak kalau aku katakan sekarang. Bergegas aku keluar dari kamar. Mengulas senyum saat bertemu Tante Siska dan yang lainnya. Melihat aku, Tante Siska langsung beranjak menuju ke belakang, sementara aku mengekor dari belakang. Sampai di meja makan kami duduk berbelahan. Tante Siska mengambilkan piring kosong untukku.
"Wah kayaknya enak nih, Tante."
"Kesukaan kamu banget, kan? Lele goreng sama sambal goreng tumbuk."
Aku tersenyum. "Iya. Apalagi masakannya Tante Siska, nggak ada duanya."
"Kamu, bisa aja!"
Kami makan dengan tenang. Saat sedang makan, tiba-tiba aku teringat foto yang ada di ponsel Om Darmo dan aku yakini, dia pasti perempuan itu. Aku tidak mungkin salah.
"Rey!"
Panggilan Tante Siska membuyarkan lamunan.
"Iya, Tante?"
"Makan yang banyak, ya!"
"Pasti. Nggak bisa makan sedikit kalau yang masak Tante Siska."
"Mulai deh, bikin pipi Tante merah ..."
Kami sama-sama tersenyum, selanjutnya makan sembari bercerita banyak hal. Besok, aku akan mulai menyelidiki semua ini. Sebelum aku menemukan siapa wanita dalam foto yang ada di ponsel Om Darmo, aku tidak akan berhenti. Senyum keluarga ini harus kembali lagi. Wanita itu harus menjauh dan pergi dari kehidupan Om Darmo. HARUS!