webnovel

To Be Young and Broke

Teresa seorang gadis berusia 18 tahun berusaha membalaskan dendamnya pada seseorang yang amat menyayangi dirinya, ayahnya. Tetapi jalannya tidak mulus, diantara dendam dan ayahnya, Teresa dihadapi oleh seorang teman, sahabat dan mungkin cinta pertamanya, di sisi lain kehidupan bersama Bintang seorang duda berusia 17 tahun lebih tua dari dirinya dengan kondisi sekarat menjanjikan pembalasan dendam yang lebih mudah dan cepat untuk dipilihnya. Apa yang akan terjadi diantara mereka? Pertarungan antara cinta dan dendam, masa muda dan kematangan, kemapanan dan kehancuran.

StrawMarsm · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
26 Chs

6| To Be Young and Broke

Pagi itu Teresa terbangun karena suara ayam yang berkokok hampir membuat jantungnya mencuat dari dadanya. Dilihatnya langit yang masih gelap dari sebuah jendela yang tidak bergorden dari dalam rumah itu, Teresa mencari-cari keberadaan Roy, lelaki itu tidak ada di luar, begitu juga motornya, Teresa tidak dapat melihat lebih jauh dari jarak 5 meter karena kegelapan yang seolah-oleh melenyapkan segalanya, cahaya lampu kuning yang berada di depan rumah itu juga tidak banyak membantu Teresa, Teresa meraih handle pintu untuk membukanya, namun pintu itu tidak bisa terbuka, sejenak kepanikan melanda Teresa, Teresa hampir berteriak ketika sebuah cahaya sorot tertangkap oleh bola matanya

Motor Roy berhenti tepat di depan rumahnya, lelaki itu menanggalkan helmnya, sudah hampir subuh dan Roy masih menggenakan seragamnya, lelaki itu berjalan ke arah Teresa, ia meraih sebuah kunci dari saku celananya dan membuka pintu rumah itu, Teresa menatap Roy kebingungan, ia memandang Roy dengan penuh tanda tanya

"Dari mana lu?" Tukas Teresa menyuarakan yang ada di kepalanya

Roy tidak begitu menanggapi pertanyaan Teresa, laki-laki itu melenggang mengambil beberapa lembar pakaian dari lemarinya kemudian menuju toilet

Teresa bertanya-tanya dalam hatinya, apa yang dilakukan Roy tengah malam hingga menjelang pagi? Dari mana pria itu? Mungkin ini yang dimaksud oleh Roy dengan bekerja paruh waktu , mungkin pria itu menjadi bar tender atau pramusaji club? Teresa berusaha menyingkirkan semua tanda tanya di kepalanya mengenai Roy, Teresa melangkah beberapa langkah ke luar dari rumah Roy, ia mengedarkan pandangannya kesekeliling lingkungan itu, gelap. Teresa tidak tau ia berada dimana, ini lingkungan yang asing baginya dan sangat dingin.

Teresa kembali memasuki rumah Roy, matanya kembali memindai tempat itu, Teresa mengedarkan pandangannya lagi dan ruangan itu tidak berubah dari penglihatannya semalam. Roy memang lelaki yang sangat simple, pria itu bahkan tidak memiliki kursi dan meja. Hanya ada tempat tidur dan sebuah lemari di ruangan itu dan sebuah nakas, Teresa baru menyadari ada nakas di samping tempat tidur Roy, ada beberapa laci pada nakas itu, sebuah jam tangan, bungkus rokok dan frame foto kecil yang terbalik, Teresa mengambil frame foto itu

Teresa tersenyum kecil dan ada sedikit geli pada perutnya, itu adalah fotonya. Fotonya saat ia merengut dihukum hormat bendera di tengah hujaman sinar matahari

Teresa asik menertawakan wajahnya di foto itu, gadis itu tidak menyadari jika Roy sudah keluar dari toilet dengan seragam baru dan rambut yang masih basah "Jelek kan lu" Tukas Roy sambil menyeringai mendapati Teresa sedang mengamati sosok yang ada di dalam bingkai foto yang ada di atas nakasnya itu

Teresa tidak begitu menanggapi perkataan Roy, gadis itu malah tersenyum semakin lebar dan senyuman itu berubah menjadi tawa "Liat muka gue, kayak platipus gitu" Tukas Teresa sambil tertawa hingga kedua mata gadis itu nyaris terpejam

Roy ikut tersenyum tipis melihat Teresa yang begitu bahagia, gadis ini begitu sederhana, dia tidak pernah menuntut lebih dari yang Roy punya, dan terutama, Teresa mampu membuat Roy bahagia hanya dengan kehadirannya

"Kenapa lu simpen foto gue" Tukas gadis itu disela-sela tawanya

Roy mengalihkan pandangannya dan berdeham menutupi sikap gagapnya

"Lu udah mulai naksir sama gue ya?" Tukas gadis itu lagi sambil menetrakan nafasnya setelah derai tawanya pudar

Ketika Teresa selesai dengan gejolak tawanya, ia memerhatikan Roy yang sudah selesai mandi dengan rambut yang masih basah memalingkan wajah darinya

"Lu ada tisu basah ga?" Tanya Teresa yang disambut kerutan di kening Roy

"Buat apa?" Laki-laki itu balik bertanya

Teresa memasang senyum jenakanya "Gue males mandi hehe" Saut gadis itu

Roy menatap jengah gadis kecil di hadapannya itu "Jorok" Tukasnya singkat

"Bodo amat, dingin tau" Tukas Teresa menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya memberi postur bahwa ia sedang kedinginan

Roy menyeringai melihat tingkah gadis itu "Bentar, gue masakin air" Tukasnya "Lu harus mandi, gue gak punya tisu basah, adanya pasir bangunan kalo lu mau mandi abu biar gak dingin" Sambung Roy sambil melenggang menuju sisi lain dari ruangan itu dan mengangkat sebuah pelapis platinum yang sebelumnya keberadaannya luput dari pandangna Teresa, benda itu tenyata merupakan kompor induksi satu tungku

Teresa mendekat ke arah Roy dengan wajah takjub dan menganga "Lu bisa masak" Tukas Teresa menyuarakan apa yang ada di kepalanya

"Ga" Saut Roy singkat

Teresa mengerutkan dahinya "Kenapa lu punya kompor?"

Roy memasang wajah jengah "Beli" Tukasnya

Teresa merengut, gantian gadis itu yang memasang wajah jengah "Iya gue tau Roy, trus kenapa lu beli kompor kalo lu gak bisa masak?"

Roy mendengus sambil mencari-cari sesuatu "Kadang-kadang gue butuh buat keadaan sekarang contohnya" Saut pria itu sambil menoleh ke arah Teresa setelah menemukan apa yang ia cari dan mengisi alat itu dengan air

Teresa mendengus "Emang lu kadang idiot, kenapa lu beli kompor tapi gak beli panci?" Teresa memijat keningnya

Roy memandang salah tingkah pada pemandangan dihadapannya dan tidak tau hendak merespon apa kepada Teresa "Ya, biasanya gue gak butuh panci" Tukas Roy akhirnya

Teresa bersandar pada dinding di belakang tubuhnya dan menghela nafas jengah "Yaudahlah, gue gak usah mandi, lu masak air pake teflon ampe subuh juga gak anget-anget airnya Roy, kecuali gue mandi pake air cuma secangkir" Sungut Teresa pada Roy "Gue bawa farfume kok lagian, nanti gue mandi di rumah sakit aja"

Tendensi antara Roy dan Teresa memudar ketika perut Teresa berbunyi 'kruk'kruk'kruk

Teresa lantas memegangi perutnya sambil tertawa cengengesan, Roy tidak kuasa menahan cengirannya dan mematikan kompornya "Mau makan apa?" Tanya Roy akhirnya

"Lu adanya apa?" Teresa bertanya balik

Sebelah alis Roy menukik "Di sini?"

Teresa mengangguk

"Gak ada apa-apa" Tukas Roy

Teresa menatap Roy sengit dan menjulingkan matanya

Roy menyeringai "Ganti baju buruan" Tukasnya seraya melenggang melewati Teresa memasang sebuah kain pada jendela yang tak bergorden dan keluar meninggalkan ruangan itu menutup pintunya dari luar

Teresa menuruti perkataan Roy dan mengganti pakaiannya, tidak membutuhkan waktu lama bagi Teresa untuk sekedar mengganti pakaian, setelah selesai berganti pakaian, Teresa melangkah keluar dari ruangan itu, ia mendapati Roy masih dengan rambutnya yang basah sedang berdiri sambil merokok membelakanginya

Pria itu, mungkin sudah hidup seperti ini sejak awal mulanya, sendirian tanpa kasih sayang. Tanpa sadar segores senyum terbentuk di bibir Teresa, gadis itu melangkah mengikis jarak antara dirinya dan pria yang sedang menatap ke kejauhan ketika matahari baru saja menunjukan dirinya pada dunia

Teresa mengambil sapu tangan dari tasnya, Roy menoleh saat Teresa telah berada tepat di belakangnya, tatapan mereka bertemu, Teresa tersenyum cerah pada Roy, begitu saja gadis itu megusap kepala Roy dengan tangannya lalu dengan sapu tangan yang ada di tangannya yang lain ia berusaha mengeringkan rambut pria itu "Nanti kalo lu sakit, gue yang repot" Tukas Teresa sambil tetap melakukan kegiatannya sementara Roy membatu di tempatnya berdiri dan tatapannya seolah tersihir akan wajah cantik di hadapannya

"Kenapa lu liatin gue, terpesona ya" Seloroh Teresa tanpa dosa dan matanya fokus pada rambut Roy

Roy berdeham sejenak dan membuang padandangannya dari Teresa "Gue baru sadar kalo lu itu jelek banget" Tukas Roy mengingkari kata hatinya

Teresa memberengut dan menjitak kepala Roy seraya meninggalkan sapu tangannya yang sudah basah begitu saja di atas kepala Roy "Kalo gue jelek, berarti lu buruk rupa!" Tukas Teresa melenggang menuju motor Roy "Buruan, laper tau" Teresa menyilangkan tangannya di dadanya memeluk dirinya sendiri "Dingin lagi" Sambung gadis itu lagi

Roy tersenyum tipis tanpa gadis itu sadari melihat kelakuan Teresa. Roy meraih sapu tangan itu dan memasukannya ke saku celananya sembari menyusul Teresa menuju ke motornya. Roy memberikan sebuah helm pada Teresa, gadis itu menerimanya dengan wajah masih memberengut "Kenapa lu? Cemberut gitu makin mirip platipus tau ga" Seloroh Roy menggoda Teresa "Mau makan apa?" Tanya pria itu lagi berusaha menarik perhatian Teresa

Teresa membuang muka dengan wajah yang masih memberengut "Apa aja" Saut gadis itu sambil menaiki motor Roy dengan helm yang telah dikenakannya

Roy mengendarai motornya untuk beberapa menit, melewati kembali gang-gang kecil yang semalam dilalui Teresa menuju ke sebuah gerai tenda yang lampu-lampunya masih menyala kuning, Roy memarkirkan motornya tepat di depan tenda itu, Teresa meloncat turun dari motor itu dan tanpa ragu membuka helmnya, menyerahkannya terburu pada Roy yang baru saja mematikan mesin sepeda motornya kemudian gadis kecil itu melesat memasuki tenda itu

Roy membawa gadis itu pada kedai nasi uduk pagi yang memang selama ini menjadi tempat sarapan Roy, tempatnya kecil sangat sederhana tetapi bersih, makanan di tempat itu enak dan mungkin akan bertambah lezat dengan kehadiran Teresa, gadisnya.

Kembali sebuah senyum tipis merekah pada bibir Roy melihat wajah bahagia gadisnya memilih sendiri lauk pauk pada nasi uduknya. Roy mengambil tempat di samping gadisnya, memesan apa yang dipesan oleh gadisnya dan membawakan makanan mereka ke sisi kiri tenda dimana di sediakan beberapa jejeran kursi dan sebuah meja di sana.

Teresa memakan makanannya dengan lahap dan pancaran kebahagian terpancar dari mata gadis itu "Udah gak cemberut lagi lu?" Tukas Roy lagi-lagi menggoda Teresa

Gadis itu menggeleng

"Kan emang lu jelek" Ejek Roy lagi sambil mengintip gadisnya dari ujung matanya

Teresa tidak menaruh perhatian pada perkataan Roy sama sekali, gadis itu fokus pada makanannya

"Ter?" Tukas Roy lagi mencoba mendapatkan perhatian gadis itu

Teresa menoleh pada Roy "Apa sih Roy?" Respon gadis itu akhirnya dengan wajah terganggu "Iya emang gue jelek. Gue cemberut bukan karena marah tapi karena kesel gue laper, dingin dan lu malah ngeledekin gue" Teresa kembali menyuap makanan ke mulutnya "Dan inget, kalo gue jelek, berarti lu buruk rupa!" Sambung gadis itu dengan mulut penuh makanan

Roy agak kehilangan ketertarikan pada makanannya, perhatiannya hampir seluruhnya tercurah pada gadis di hadapannya "Enak aja lu, gue sih tampan ya" Tukas Roy menyilangkan kedua tangannya di atas meja sambil memandangi Teresa

Teresa mendengus menyeringai meremehkan "Ganteng sih, tapi nyebelin" Tukas Teresa kemudian menenggak minumannya "Ganteng sih, tapi jomblo" Tukas Teresa lagi sambil tertawa meledek "Ganteng sih, tapi gak laku" Kemudian gadis itu menyeringai usil pada sosok laki-laki yang paling disegani di sekolahnya itu

Roy menyeringai memerhatikan gadis yang asik meledeknya "Gue jomblo bukan karena gue gak laku, tapi karena udah ada seseorang yang milikin hati gue"

Teresa tertawa terbahak-bahak nyaris tersedak "Hah sejak kapan lu jadi penjual organ" Tanya Teresa di sela-sela tawanya

Roy hanya menyeringai tipis pada Teresa

Melihat respon yang diberikan Roy, Teresa perlahan mulai mengendalikan tawanya, selama Teresa mengenal Roy, lelaki itu tidak pernah mengucap kata berbau gombla seperti itu sebelumnya. Setelah beberapa saat, ledak tawa Teresa tergantikan oleh sebuah senyum tipis di wajah gadis itu,pandangan gadis itu tertuju pada Roy

"Mulai sekarang lu jadi pacar gue" Tukas Roy membuat tawa dan senyum Teresa lenyap seutuhnya

"Hah" Hanya itu yang keluar dari bibir gadis itu dengan wajah menuntut penjelasan

Roy kembali menyuap makanan ke mulutnya dan pandangannya menuju pada makanan di hadapannya, sepenuhnya membiarkan Teresa dengan wajah penuh tanda tanya dan menuntut penjelasan di hadapannya

Teresa diam beberapa saat dengan wajah tercengang sebelum sebuah ledakan tawa kembali menghantamnya

Roy menatap gadis yang tertawa geli dihadapannya dengan heran

"Apa yang lucu?" Tanya Roy tidak mengerti

"Becanda lu" Saut Teresa di sela-sela tawanya

"Hah" Gantian Roy yang bertanya-tanya dan menuntut penjelasan

Teresa masih asik tertawa hingga beberapa orang yang juga makan di situ mengalihkan perthatian mereka pada Teresa "Gak mungkinkan lu nembak platipus kayak gue" "Becanda lu tadi buat gue mikir kalo lu nembak gue beneran" Teresa menetralkan tawanya tidak menyadari tatapan dingin Roy "Oh ya, btw tadi pagi sebelum gue bangun lu kemana"

Roy mengalihkan pandangannya dari gadis dihadapannya "Bukan urusan lu" Saut pria itu dingin

Mendengar jawaban dingin dari pria itu, Teresa tidak melanjutkan percakapan mereka, gadis itu kembali melahap makanannya denga lahap

Setelah selesai sarapan, Roy membayar tagihan makanan mereka berdua dan berjalan mendahului Teresa menuju motornya, sepanjang perjalanan Roy hanya diam dan mengendarai motornya dengan kencang, Teresa juga demikian, gadis itu hanya diam dan berpegangan dengan erat pada pinggang pria itu. Sesampainya di sekolah, Roy memarkir motornya dengan sekali belok dan dengan begitu saja menarik lengan Teresa turun dengan helm yang mereka berdua masih kenakan

"Mulai sekarang lu jadi pacar gue, gue gak bercanda" Tukas Roy membuat Teresa bengong

"Hah emang gue mau?" Tanya gadis itu di balik helmnya "Seenaknya aja lu" Gadis itu bertulak pinggang

Roy mendengus di balik helmnya "Gue gak perlu persetujuan lu" Tukas lelaki itu

Teresa bersungut "Gila lu ya, kalo lu gak butuh persetujuan gue yaudah sana pacaran aja ama tembok jangan sama gue" Seloroh Teresa

Roy bertulak pinggang "Denger ya Ter, lu itu milik gue. Lu bahkan ngajak gue merried dan gue sanggupin, so jelasin ke gue alesan kenapa lu bisa nolak gue jadi pacar lu" Tuntut Roy

Teresa menghembuskan nafas dan menurunkan tangannya dari pinggangnya "Gue seneng dan nyaman sama lu, kondisi dan status kita ini udah buat gue nyaman" Tukas Teresa menghidari pandangan Roy

"Trus? Itu bukan alesan Ter" Sela Roy

Teresa melepas helmnya dan menaruhnya di atas motor Roy "Gue dijodohin Roy" Tukas Teresa akhirnya

Roy terpaku sesaat menyadari gejolak di dalam dadanya, seperti ada bara api yang tertelan olehnya dan membakar jantungnya

Roy melepaskan helmnya kemudian melemparnya kuat-kuat tepat di samping kepala Teresa, helm itu terbelah dua "Gila lu" Tukas pria itu lalu melangkah pergi meninggalkan Teresa yang mematung di sana, parkiran pagi itu masih sepi, hanya ada mereka dan tanpa sengaja sang ketua osis yang memang langganan datang sepagi itu dan dua orang satpam yang menyaksikan kejadian itu

Untuk beberapa menit kemudian Teresa masih mematung di tempatnya berdiri, kemudian gadis itu menghembuskan nafas berat dan berjalan meninggalkan tempatnya mematung barusan tanpa menengok ke belakang dan tanpa perduli tatapan dari Jordan dan satpam yang memandangnya, Seorang satpam juga mencoba menyapanya tapi Teresa hanya mengabaikannya, ia tidak perduli dengan sekelilingnya, sekarang ini hatinya sedang luluh lantah

Tanpa semangat Teresa masuk menuju ke kelasnya, ia duduk di kursinya dan langsung memandang langit, hatinya sedang tidak menentu sekarang ini. Teresa tidak mengerti mengapa hatinya seakan terluka melihat reaksi Roy barusan, Roy memang selalu menjadi temannya, teman satu-satunya, pria itu yang selalu ada untuknya dan membelanya, Teresa juga sangat sadar dia telah melamar pria yang awalnya enggan menikah dengannya, dan ketika lelaki itu bersedia, Teresa di hadapkan dengan sesuatu yang lain lagi, pembalasan dendam yang lebih mudah, perjodohan dengan lelaki sekarat yang lebih tua dua kali lipat dari dirinya

Langit begitu biru di luar sana, matahari baru saja menuju mega-mega dan awan-awan beterbangan seperti kapas tanpa beban, seolah semesta tidak perduli dengan segala masalah mental umat manusia, mereka hanya menjalani rutinitas menjalani hari mengulang siklus, menyambut setiap kelahiran dan mengantarkan setiap kematian manusia yang berada di bawahnya

Jam masuk kelas tidak dihiraukan oleh Teresa, pelajaran demi pelajaran berlalu, Teresa hanya menatap kosong sesekali ke arah guru yang sedang menjelaskan atau teman-temannya yang menyampaikan pendapat tentang teori atau apapun itu kemudian Teresa kembali membuang pandangannya pada langit biru di luar jendela yang terbentang menaungi bumi, hingga jam istirahat tiba, baru kemudian Teresa dengan enggan berjalan menuju pelataran taman yang posisinya terjepin bangunan sekolah agak menjorok ke belakang berdekatan dengan sebuah gudang besar berdebu tempat ia biasa merokok

Teresa mengeluarkan sebatang rokok yang berhasil ia selundupkan yang ia selipkan pada telingannya dan ia tutupi dengan rambutnya yang terurai. Teresa bersandar pada sebatang pohon belimbing yang rindang, di taman itu hanya ada dirinya karena letaknya yang tidak begitu menggugah siswa lain untuk menghabiskan waktu di sana, kecuali segerombolan siswa nakal yang memiliki tujuan sama dengan Teresa, merokok diam-diam

Teresa menghembuskan asap rokoknya dengan penuh penghayatan, ia membiarkan kepulan asap memenuhi paru-parunya, mengambil alih beberapa stimulus otaknya dan memberikan ketenangan samar pada dirinya. Teresa kembali menatap langit yang mulai bewarna putih dan matahari yang berubah terik. Perlahan dendam pada dirinya berubah menjadi sesuatu yang dapat membunuhnya perlahan, Teresa memejamkan matanya, biarlah ia mati bersama dendamnya

Dari sudut matanya, Teresa manangkap sebuah sosok yang mendekat ke arahnya, ia menoleh berharap sosok itu adalah Roy, tatapi salah, itu bukan Roy orang yang sedang diinginkan kehadirannya oleh Teresa, melaikan, Jordan si ketua osis yang saat ini paling tidak ingin ditemui oleh Teresa

Sosok lelaki itu sudah ada di samping Teresa, ia diam berdiri menutupi cahaya matahari yang mengguyur Teresa

"Ngapain lu" Tukas Teresa ketus bercampur malas

"Ada yang nyariin lu" Tukas Jordan

Teresa kembali menghembuskan asap rokoknya "Kalo kepala sekolah bilang aja gue udah mati" Tukas gadis itu seenaknya

Jordan menghembuskan nafas jengah "Bukan"

"Lu? Lu nyariin gue? Kenapa? Ini belom jam balik sekolah, nanti abis balik juga gue ke ruang osis buat jadi babu" Tukas gadis itu ketus sembari kembali menghisap rokoknya "Udah pergi lu jauh-jauh gak usah ganggu gue" Sambungnya sambil mengibaskan tangan pada Jordan

Jordan semakin jengah dengan tidak tanduk gadis bar-bar di hadapannya, perlu beberapa menit untuk Jordan menetralkan emosinya untuk tidak menyeret paksa gadis itu untuk ikut bersamanya

Teresa membuka matanya, jengah dengan Jordan yang tidak mau menyingkir dari hadapannya dan menghalangi sinar matahari untuk menerpa kulitnya "Mau lu apa sih?" Tukas Teresa akhirnya dengan intonasi malas dan jengah "Kalo bokap gue yang nyari gue, bilang aja gue bolos hari ini"

Jordan menghembuskan nafas kesal dan setengah mati menahan gusar akan gadis di hadapannya itu "Pimpinan yayasan nyariin lu" Sentak Jordan

Teresa otomatis duduk dengan tegak "Hah? Kakek Arahap?" Teresa bertanya kepada dirinya sendiri "Yakin lu? Salah orang lu, Kakek Arahap gue denger lagi di opname sekarang, gak mungkin bisa nemuin gue di sekolah ini sekarang" Tukas Teresa menyuarakan apa yang ada di kepalanya

Jordan bertulak pinggang dan lagi-lagi membuang nafas jengah "Bintang Arahap yang nyariin lu" Tukas Jordan sambil meremehkan "Kena masalahkan lu sekarang sama orang yayasan, mangkanya jangan banyak berulah" Seloroh Jordan

Teresa semakin bertanya-tanya "Hah, yakin lu Om Bintang yang nyariin gue? Seharusnya dia juga lagi dirawat di rumah sakit atau paling gak dia lagi ngurusin kerjaan kantornya, mana ada waktu dia buat nyariin gue. Lagian kan pimpinan yayasan bukan Bintang tapi Kakek Arahap" Tukas Teresa masih memegang putung rokok yang tidak ia hisap-hisap "Lu tau kan tampang Om Bintang kayak apa? Lu udah mastiin itu dia?" Teresa balik bertanya

Kesabaran Jordan habis dan tidak bisa dinetralkan lagi, begitu saja ia manarik lengan Teresa untuk berdiri dan memaksa gadis itu untuk mengikuti langkahnya

"Apaan si lu, lepasin gue bangsat" Pekik Teresa berusaha melepasakan cengkraman Jordan pada lengannya

Jordan terus menarik lengan Teresa tidak menghiraukan gadis itu yang terus meronta "Denger ya miss troublemaker, gue gak peduli Pak Arahap itu kakek lu atau anaknya yang namanya Bintang itu om lu atau bukan, gue juga gak tau proses serah terima jabatan pimpinan yayasan antara ayah dan anak itu gimana, juga gue gak peduli siapa yang sakit dan siapa yang dirawat, pokoknya lu ikut gue ke ruang rapat yayasan" Seloroh Jordan sambil terus menyeret Teresa

"Eh lu gila ya, lepasin buruan!" Jerit Teresa yang menjadi tontonan orang-orang yang ada di sekitarnya

Setibanya Teresa dan Jordan di ruang rapat yayasan, Teresa mebelalakan matanya, dihadapannya telah duduk Bintang seseorang yang dijodohkan kepadanya dan ayahnya dengan raut wajah lelah duduk di samping Bintang. Jordan melenggang pergi ketika Teresa masih diam terpaku di tempatnya berdiri, gadis itu seperti beku, ia tidak tau apa yang akan terjadi, dirinya tegang, gelisah dan sedikit takutpun tak dapat ia bendung

"Duduk Teresa" Tukas seorang lelaki paruh baya yang kehadirannya tidak disadari oleh Teresa sebelumnya, lelaki itu adalah kepala sekolahnya

Teresa melangkah sedikit ragu dan duduk di hadapan ayahnya dan Bintang, kecanggungan dan ketengangan yang luar biasa kaku menyerang ruangan itu, mendadak ruangan itu bertambah dingin meskipun pendingin udara di ruangan itu terletak agak jauh dari tempat dimana Teresa duduk

Evan dan Bintang memandangi Teresa, memindai gadis itu dari ujung kepala hingga ujung kakinya, kemudian dehaman si kepala sekolah seolah membuyarkan sedikit tendensi di ruangan itu "Baik, bapak-bapak saya permisi dulu" Tukasnya dan dengan sedikit terburu kepala sekolah itu pergi meninggalkan ruang rapat

Sepeninggalan sang kepala sekolah, ada jeda diam diantara mereka sehingga yang mengisi kesunyian itu hanyalah hembusan angin dari pendingin udara yang ada di sana, Teresa berdeham "Kenapa kalian ke sini?" Tukasnya tak bersahabat

Evan menghembuskan nafas lelah nan berat, lelaki itu sudah hampir putus asa menghadapi putri sulungnya yang sekarang sedang mencoba menantangnya "Teresa" Tukas Evan "Papa sudah setuju kamu jadi menikah dan dijodohkan dengan Bintang, papa sudah bicarakan rancangan pernikahan kamu nak, papa juga ingin kamu bahagia dan terutama papa ingin kamu pulang, papa sama sekali tidak marah dengan kamu, papa sangat berharap kamu akhiri semua perang dingin ini ya nak, pulanglah sama papa"Sambung Evan dengan pandangan memohon dan memelas langsung menatap mata Teresa

Bintang diam dan memerhatikan sejenak interaksi antara ayah dan anak ini

Gadis dihadapannya mendadak menjadi muram, seakan tidak suka dengan apa yang dikatakan oleh ayahnya sendiri dan pandangan gadis itu tiba-tiba melotot kepada Bintang "Gue gak bisa nunggu 3 tahun asal lu tau" Tukas Teresa kepada Bintang lalu mengalihkan padangannya pada Evan "Mungkin aku akan nikah sama Roy, Roy yang bukan anak baik-baik itu"

Evan menghembuskan nafas untuk kesekian kalinya, ia melemparkan pandangannya pada Bintang

Bintang ikut menghela nafas "Ulang tahun kamu yang ke 19 saya akan menikahi kamu" Tukas Bintang akhirnya

To Be Continue 21 Agustus 2020

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

StrawMarsmcreators' thoughts