webnovel

To Be Young and Broke

Teresa seorang gadis berusia 18 tahun berusaha membalaskan dendamnya pada seseorang yang amat menyayangi dirinya, ayahnya. Tetapi jalannya tidak mulus, diantara dendam dan ayahnya, Teresa dihadapi oleh seorang teman, sahabat dan mungkin cinta pertamanya, di sisi lain kehidupan bersama Bintang seorang duda berusia 17 tahun lebih tua dari dirinya dengan kondisi sekarat menjanjikan pembalasan dendam yang lebih mudah dan cepat untuk dipilihnya. Apa yang akan terjadi diantara mereka? Pertarungan antara cinta dan dendam, masa muda dan kematangan, kemapanan dan kehancuran.

StrawMarsm · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
26 Chs

23| To Be Young and Broke

Evan dan Talita bersikeras untuk tinggal bersama menemani Teresa di rumah sakit, Evan menyerahkan semua pekerjaannya pada tangan kanannya dan Talita menitipkan Hani untuk sementara pada Mba Yun. Teresa bersikeras supaya kedua orang tuanya pulang dan membawa dirinya keluar dari rumah sakit ini, ia tidak merasakan sakit apapun, kepalanya hanya pening dan itu biasa saja, masih dapat ia atasi tanpa harus dirawat inap di rumah sakit

Segala kegiatan sekolah sudah diatur sedemikian oleh Evan dan segalanya tetap menajdi rahasia, pernikahan dan kehamilan Teresa, hanya Talita, Evan dan dokter yang menangani Teresa yang mengetahuinya, segalanya berusaha ditangani oleh kedua orang tuanya

"Papa pulang aja, papa masih punya tanggung jawab di kantor kan gak mungkin semuanya papa serahin ke anak buah papakan?" Tukas Teresa berusaha membujun Evan

Kemudian gadis itu menoleh pada Talita yang sedang menguasi buah-buahan untuk Teresa "Hani juga gak mungkin ditinggal lama-lama kan?" Tukasnya lagi supaya Talita pulang

Mereka berdua, Evan dan Talita dengan kompak menggeleng

"Nak, uang dan perusahaan jika yang terburuk papa bisa saja kehilangan itu, papa bisa mulai lagi semua dari awal. Tapi kalo papa sampai kehilangan kamu, seumur hidup papa meskipun papa memiliki sepuluh perusahaan besar dan uang yang melimpah, papa akan tetap menyesal. Papa sudah pernah kehilangan kamu, papa bahkan masih kehilangan kepercayaan dan mungkin rasa sayang kamu, papa gak mau kehilangan lebih lagi" Evan membelai pipi anak sulungnya yang menatapnya dengan tatapan sendu "Papa akan tetap di sini sama kamu, Talita dan cucu papa" Tukasnya sambil menoleh ke arah perut Teresa dan entah mengapa membawa gelenyar hangat yang menenangkan bagi gadis itu

Talita kembali meremas tangan Teresa "Hani baik-baik aja sama Mba Yun Ter, kamu gak usah khawatir" Tukas wanita itu yang membuat senyum suka cita sedikit tertoreh pada wajah Teresa

Talita menyediakan semua kebutuhan dan keperluan Teresa, sementara Evan sesekali dengan sangat terpaksa mengangkat panggilan ponselnya, beberapa dari perusahaan dan untuk beberapa saat lelaki itu akan tenggelam dalam urusan bisnis dan memaki siapapun yang ada di sebrang sambungan itu kemudian dengan sepihak mengakhiri pangiilan itu dan beberapa dari pemakaman Kakek Adam yang kemudian langsung Evan kabarkan pada Teresa dan Talita, pamakaman itu berjalan dengan lancar dan sedikit air mata, beberapa kerabat dan rekan bisnis yang mungkin menghabiskan banyak investasi dan menjadi dejat secara personal menghadiri pemakaman itu dengan terbang langsung ke sana, dan sebagian besar investor yang mendapat keuntungan dari bisnisnya bersama Adam di masa silang mengiriminya banyak sekali karangan bunga dan ucapan duka cita ke kantor dan rumah Adam, Bintang dan sebagian entah bagaimana tersasar ke rumah Evan

Teresa dan Talta diam saja mendengarkan, suasana itu sejenak terasa sangat menyedihkan

Malam menjelang, Talita sudah mulai membujuk Teresa untuk beristirahat namun gadis itu menolak, Teresa tidak banyak bicara, gadis itu hanya bereaksi seperlunya kepada kedua orang tuanya yang seolah sedang melayaninya sebagai seorang ratu lebah yang dikerubungi oleh lebah pekerjanya

Berjam-jam keadaan itu berlangsung hingga jam menunjukan hampir tengah malam

"Teresa, sayang, kamu harus istirahat" Tukas Talita sambil mengelus punggung tangan anak gadinya itu

Gadis itu kembali menggeleng tidak setuju

Evan yang sedari tadi mondar-mandir mendekati Teresa dan mengelus puncak kepala anak gadisnya sambil memaksa gadis itu membalas tatapan matanya "Sayang, ini bukan hanya untuk kamu, untuk anak kamu juga" Tukasnya dan sejenak membuat Teresa termenung

Gadis itu mengangguk "Tapi aku gak bisa tidur di ranjang ini" Tukasnya dengan lesu mengakui semua trauma keparatnya yang ditimbulkan oleh orang yang berhasil membujuknya untuk beristirahat

Evan menghela nafasnya, ia mengetahui itu semua, dari awalnya, setiap hari sepulang kerja terkadang ia menengok ke dalam kamar putrinya untuk sekedar melihat anak gadisnya itu, untuk pertama kali ia tidak mendapati Teresa di ranjangnya, ia panik setengah mati, Evan mengobrak-abrik seluruh rumah dan memerintahkan semua orang yang bisa diperintahnya untuk mencari anak gadisnya, kemudian Bu Yun menemukan gadis itu di kolong tempat tidurnya dan semuanya menjadi jelas, gadis itu menderita gangguan pasca trauma, sejak saat itu Evan memaksakan sejumlah terapi dan konseling pada putrinya yang dihadiahi oleh rasa benci putrinya akan dirinya yang semakin mejadi

Pria itu menggelarkan selimut pada lantai tepat di bawah brankar Teresa dan melangkah keluar ruangan

Pria itu duduk pada deretan kursi tunggu di rumahsakit itu dan tanpa menghiraukan berbagai macam tanda yang ada di sana untuk tidak merokok, pria itu menyulut sebatang rokok

Talita mengetahui itu juga, Evan menceritakan padanya dan dengan senyum suka cita, perempuan itu membimbing Teresa untuk turun dari ranjangnya dan ikut berbaring miring di samping gadis itu

Teresa menatap langit-langit putih di atasnya, membiarkan Talita mengusap-usap lengannya sambil sebelah tangangannya mengelus perutnya

"Om Bintang gimana?" Tukas Teresa tiba-tiba dan berbarengan dengan itu Evan kembali masuk ke dalam ruangan itu, baru beberapa saat pintu tertutup di belakang pria itu, seorang perawat dengan nafas memburu membukanya lagi dan menghampiri mereka

Teresa terduduk dengan bantuan Talita yang ikut terduduk dengan agak terkejut di samping Teresa

"Pak Bintang sadar" Tukasnya dengan nafas tersengal dan seketika Teresa memaksakan dirinya untuk berdiri dan menyeret suster itu untuk mengantarnya ke ruangan Bintang

Talita dan Evan berusaha menahannya namun gadis itu mengabaikannya tanpa sama sekali menghiraukannya

Gadis itu melepaskan infusnya dan memaksa perawat itu hingga memenuhi perintahnya untuk mengantarnya ke ruangan Bintang

Evan dan Talita membuntut di belakang gadis itu, Talita merangkul Teresa sementara Evan berada di belakang kedua perempuan itu memperhatikan setiap langkah Teresa dan siaga untuk menangkap tubuh anak gadisnya itu kalau-kalau tiba-tiba terjatuh

Dibalik kaca yang memisahkan mereka semua dengan Bintang, segerombolan dokter sedang melakukan sejumlah pemeriksaan pada pria itu, lalu mereka keluar dan sebagian langsung pergi berpencar arah bersama segerombolan perawat, menyisakan Julius yang mulai menceritakan semua detail tentang keadaan Bintang, Teresa tidak peduli dengan rangkaian cerita itu, ia ingin bertemu Bintang, gadis itu begitu saja menerobos masuk ke ruangan itu meninggalkan Julius dan kedua orang tuanya dengan segala obrolan medis itu, Evan hendak menyusul namun Talita menahannya "Biarkan mereka berdua dulu mas" Tukasnya pada suaminya itu

Bintang menatap Teresa dan menyunggingkan sebuah senyum "Hei" Tukasnya

Gadis itu diam saja memerhatikan keadaan Bintang yang sangat menyedihkan, ia marah dan khawatir "Lu Ingkarin janji lu sama gue" Tukas gadis itu begitu saja

Pria itu meringis

"Kenapa? Kenapa lu berusaha bunuh diri?" Tukas gadis itu setengah meraung

Bintang menghembuskan nafas yang terasa berat dan sebulir air mata menetes dari matanya "Ayah saya meninggal semalam dan istri saya membenci saya. Saya tidak punya alasan untuk memertahankan kehidupan dan keadaan sekarat yang menyedihkan ini lebih lama lagi" Tukas pria itu terdengar sangat menyakitkan "Saya minta maaf atas semua perbuatan saya yang menyakiti kamu, saya tidak pernah menyesal menikahi kamu dan melakukan perbuatan itu pada kamu, yang saya sesalkan adalah segala tindakan kasar saya pada kamu, saya harap kamu memaafkan saya" Lelaki itu terlihat kelelahan setelah percakapan singkat itu, lelaki itu menatap Teresa dengan sendu dan menyingkirkan kabel oksigen yang ada di wajahnya "Saya sudah mengalihkan semua aset saya pada kamu, setelah kamu berusia 21 tahun, kamu dapat memegang kendali atas itu semua secara mandiri"

Teresa menarik kerah pakaian rawat inap Bintang, mencengkramnya erat

"Bangsat!" Tukas Teresa dan gadi situ menangis "Gue benci lu, tapi lu gak boleh mati!" "Gue benci perbuatan kasar lu sama gue tapi gue gak benci anak ini" Tukas Teresa sambil menatap Bintang dengan wajah penuh air mata "Jangan tinggalin gue, gue gak bisa jalanin semuanya sendirian. Lu akan jadi bapak! Lu harus selamet, lu gak boleh mati!" Raung Teresa yang disaksikan Julius dan kedua orang tuanya "Lu punya alesan hidup, lu bakal punya anak!"

Bintang terdiam, air mata menetes pada mata pria itu, ia meraih Teresa kedalam pelukannya, mengecup puncak kepala gadis itu yang gemetar dalam pelukannya, pria itu mengabaikan seluruh rasa sakit yang menghantam tubuhnya, mereka berdua hanya diam merasakan emosi yang meluap-luap di yang bergejolak pada dada dan fikiran masing-masing

Bintang tidak boleh terlalu banyak berkomunikasi dengan orang lain dulu dan dengan sangat keberatan Teresa diusir keluar oleh Julius dari ruang rawat intensif Bintang untuk kembali ke runag rawatnya sendiri.

Gadis itu termenung menatap langir-langit, selimut tebal telah disiapkan oleh Evan sebagai alas tidurnya di bawah brangkar rawatnya, malam itu sudah lewat dari tengah malam, Talita berada di sebelahnya, setengah memeluk dan telah terlelap, Evan tertidur di sofa menghadap mereka, menyisakan Teresa yang masih terjaga. Gadis itu berulang kali mengelus perutnya, sejujurnya gadis itu masih bingung dengan apa yang terjadi dan dengan apa yang akan terjadi. Bayi yang ada di perutnya sama sekali tidak bisa disalahkan kehadirannya, Teresa tau itu, namun, bagaimana keadaan setelahnya? Teresa memang tidak pernah tertarik dengan sekolah, gadis itu telah dua kali mengulang tingkatan yang sama saat kelas 1 dan sekarang dirinya dipenghujung kelas 2 dan terancam berhenti sekolah. Sekolah bukan sesuatu yang digilai Teresa, namun sekolah adalah satu-satunya tempat bagi gadis itu melarikan diri dari segala hal, dan terkadang termasuk juga dari Bintang, gadis itu mulai memikirkan bagaimana kelanjutan hidupnya setelah itu, memiliki anak di usia 19 tahun? Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat mencoba menghapus berbagai macam fikiran dan prasangkanya akan masa depan yang mulai menerkamnya pelan-pelan dan berusaha untuk tertidur

Teresa terbangun saat cahaya matahari seperti sedang mengarahkan sorotannya pada gadis mungil itu, butuh beberapa saat bagi gadis itu untuk sepenuhnya tersadar dan mendapati Bintang tertidur di sampingnya, lelaki itu memeluknya dengan segala infus yang masih mengalir ke dalam tubuhnya. Teresa mengedarkan pandanganya ke sekitar ruangan itu dan melihat tempat dimana kemarin ayahnya tertidur, namun semuanya kosong, hanya ada gadis itu dan Bintang

Merasakan sebuah pergerakan di sampingnya, Bintang mulai tersadar dari lelapnya, lelaki itu tersenyum pada Teresa walau wajah lelaki itu masih pucat dan belum begitu membaik dari saat pertama kali Teresa melihatnya di ruang rawat intensif

"Om" Tukas Teresa dengan suara seraknya

Bintang mengelus kepala gadis itu, menyingkirkan anak rambut yang menghalangi wajah cantik itu

Mata mereka saling menatap dalam diam, tidak ada sepatah katapun yang terucap, pandangan mereka saling menyedot satu sama lain untuk mendalami dan menerka-nerka apa yang ada di fikiran masing-masing sambil menimbang-nimbang kata-kata yang mungkin terucap dan gelagat yang harus tersirat dalam fikiran kalut mereka

"Beri saya satu kesempatan lagi, saya akan perbaiki semuanya" Tukas Bintang dengan tatapan yang tulus dan penuh penyesalan pada gadis di dekapannya "Saya akan buat kamu dan anak kita bahagia"

Teresa memejamkan matanya, ada rasa perih dalam dadanya, gadis itu tidak mampu menjelaskan gelora rasa yang seakan-akan menyambar-nyambar dadanya, anak yang ada di dalam rahimnya mungkin akan memiliki ayah, namun hatinya akan kehilangan cinta, tidak mungkin lagi baginya untuk bersama Roy, masih terlalu pagi dan gadis itu baru tersadar dari tidurnya setengah jam yang lalu, masih terlalu pagi untuk menangis, namun gadis itu tidak mampu menahan air mata yang menetes dari matanya. Fikirannya setuju dengan keadaan ini, Bintang berniat untuk hidup dan mereka akan memiliki anak, namun hati gadis itu menjerit, bukan Bintang yang ada di sana. Gadis itu mengelus perut rampingnya dan memaksa hatinya untuk sejalan dengan fikirannya

Gadis itu mengangguk "Buat gue dan anak kita bahagia" dan menangis dalam pelukan laki-laki pucat itu

Bintang memaksa Julius untuk di rawat di rumahnya karena Teresa harus segera pulang setelah dokter memberikan vonis untuk pulang dan Bintang tidak setuju dengan gagasan Teresa yang akan mengikutinya menginap di rumah sakit itu, lingkungan rumah sakit sama sekali bukan pilihan terbaik bagi Teresa dan calon anaknya, pria itu sangat keras kepala dan punya bakat memaksa yang tidak dapat ditolak, Julius nyaris berteriak pada Bintang dan harus membujuk beberapa rekannya dan menjaminkan dirinya untuk kondisi Bintang hingga pria itu mendapatkan apa yang mejadi keinginanya

Masih ada rasa canggung di antara Teresa dan Bintang untuk satu minggu pertama kebersamaan mereka, dengan berbagai bujukan Bintang berhasil membujuk Teresa untuk tidur di kamarnya dengan tiga buah guling yang menjadi pemisah di antara mereka, lelaki itu terkadang masih mengurusi pekerjaan di samping keadaannya yang sekarat tanpa sepengetahuan Teresa dan gadis itu sendiri masih berangkat ke sekolah meskipun Bintang sudah memintanya untuk home schooling, pria itu akan mengurus semuanya untuk Teresa dan semuanya ditolak mentah-mentah oleh gadis itu

Kehidupan mereka tidak berubah bagi orang-orang di sekitar mereka namun berputar terblik bagi keduanya, selain pada pekerjaan, belakangan ini Bintang juga terobsesi dengan Teresa dan anaknya sementara Teresa terobsesi pada sekolah dan kesehatan Bintang, gadis itu sudah tidak langi memanggil Bintang dengan sebutan om untuk memanggil pria itu dan sudah mulai konsisten dengan itu. Bintang membuang semua alkoholnya dan meminum semua obatnya serta melaksanakan semua rangkaian pengobatannya, pria itu juga mencari donor yang mungkin akan menjadi pilihan terakhirnya. Teresa sudah meninggalkan rokoknya dan berganti pada kacang dan kuaci sebagai gantinya

Malam itu, Teresa sudah berbaring pada bedcover tebalnya di bawah ranjang, Bintang membelikanya berbagai macam dan jenis kasur lantai tapi gadis itu sama sekali tidak menghiraukan semua benda-benda itu, ia hanya mengalaskan bedcover sebagai alas tidurnya, dan Bintang ikut berbaring di sampingnya dengan tiga buah guling yang membentang di antara mereka

"Mas, kamu tidur di kasur aja, gak bagus buat kesehatan kamu tidur di sini" Tukas Teresa menyamping menatap Bintang yang juga menatapnya

Bintang tersenyum, wajah pria itu sudah tidak sepucat sebelumnya, infusnya juga sudah dilepas namun pria itu sama sekali tidak diizinkan oleh Teresa untuk mulai maniak lagi bekerja

"Mana mungkin saya biarkan kamu dan bayi kita tidur di sini sementara saya di atas ranjang" Tukasnya sambil meraih dan mengelus kepala Teresa

Teresa menghembuskan nafas berat "Aku tau ini gak bagus buat aku dan anak kita, tapi..." Gadis itu menundukan tatapannya "Aku gak mau mimpi tentang kecelakaan mama lagi" Tukasnya

Bintang teridam dan menyibakan anak rambut gadis itu ke belakang telingannya "Saya paham" Tukasnya "Kita cari jalan keluar dari ini semua sama-sama" "Saya akan selalu ada di samping kamu"

Pria itu menghembuskan nafas sambil matanya menatap intens pada Teresa "Sayang," Tukasnya "Saya mau mulai semuanya dengan kamu, benar-benar dari awal dan penuh kepercayaan, saya tidak mau ada yang disembunyikan dari satu sama lain"

Teresa menatap wajah pria itu menyimak tanpa mengintrupsi kemudian mengangguk pelan

Untuk sejenak Bintang ragu dan mendesa sebelum pria itu kembali membuka kata-katanya "Tentang Roy"

DEG

Sejenak Teresa merasakan detakan yang kencang pada dadanya, nama itu kembali muncul di permukaan, semua atensi gadis itu tertuju padanya

"Dia sudah mulai pulih dari serangkaian oprasinya setelah komplikasi terakhirnya" Tukas Bintang dengna tatapan mengarah pada guling sementara tangannya masih berada di kepala gadis itu

Gadis itu membeku dengna semua yang didengarnya, informasi yang seolah tidak nyata. Keadaan Roy membaik dan mungkin akan segera sembuh dan akan kembali berada di dekatnya, sejenak hati gadis itu membuncah, dadanya berdegup kencang dan fikirannya menggelora seakan semua doa dan harapannya menjadi kenyataan, untuk bertemu sang kekasih dalam keaadan utuh dan bangun dari komanya, kekasih itu bukan Bintang. Teresa mengingatkan dirinya dan semua gejolak kebahagian itu sirnah mendadak

"Saya mau mulai hubungan kita dengna kejujuran Teresa, dan kepercayaan" Tukas Bintang lagi membuat Teresa terlonjak dari semua fikirannya mengenai Roy "Kamu masih sayang sama Roy?"

Gadis itu diam untuk beberapa saat sambil menatapi pandangan tulus di hadapannya dengan kondisi temaram 'Gue minta maaf, semua yang lu mulai dengan kejujuran dan kepercayaan harus gue bales dengan kebohongan dan penghianatan, gue masih sayang sama Roy, lebih dari apa yang gue rasain sama lu' Batin gadis itu sambil mengulas sebuah senyuman "Mas gak perlu khawatir, aku punya mas dan calon anak kita, Roy cuma kakak kelas aku" Tukasnya tidak berai menatap mata Bintang

Pria itu tersenyum dan menyingkirkan sebuah guling yang memisahkan mereka, menyisakan dua penghalang lainnya yang setidak-tidaknya mengikis jaraknya dengan istrinya, pria itu tanpa sengaja menghantamkan kepalanya pada rangka ranjang yang ada di atas kepalanya dalam usahanya mencium pelipis gadis itu "Saya pasti bahagian kamu dan anak kita" Bisiknya

Teresa memakan sarapannya dengan lahap sementara Bintang sibuk dengan buku yang ada di tangannya sesekali mengigit roti lapisnya, sejak tiga hari yang lalu, semenjak infus pria itu dilepaskan dan tubuhnya yang sudah mulai bisa menjalankan berbagai aktifitas, pria itu seperti terobsesi pada buku-buku itu

"Baca buku apasih mas?" Tanya Teresa yang rasa penasarannya sudah tidak terbendung lagi pada pria di hadapannya

Bintang mengalihkan pandangannya dari lembaran buku itu kemudian menutupnya dan sepenuhnya menatap wajah Teresa untuk menyeka sudut-sudut bibir gadis itu yang belepotan selai "Bukan apa-apa" Sautnya sama sekali tidak mengobati rasa penasaran Teresa,

Gadis itu menatap Bintang dengan tatapan menyelidik dan dahi yang berkerut sebelum dengan begitu saja merebut buku itu dari hadapan Bintang

"Pregnant Journey?" Tukas Teresa membaca judul buku itu dan menatap Bintang dengan kerutan di dahinya yang lebih dalam

Bintang menghindari pandangan itu

Kemudian tawa Teressa pecah dan pria itu kembali menatap gadisnya kemudian ikut terkekeh "Kan aku yang hamil, kok kamu yang baca buku kayak gini?" Tukas gadis itu di sela-sela tawanya sambil menunjukan buku itu pada Bintang

Pria itu tidak mengerti, tapi kebahagian dan tawa yang ditorehkan istrinya, menular padanya "Kalo saya bisa gantiin kamu hamil, akan saya gantiin kamu hamil" Tukasnya

Gadis itu masih terkekeh "Jangan dong, nanti aku yang repot kalo kamu yang hamil" Tukas Teresa menanggapi Bintang

Pria itu kembali terkekeh "Mangkanya itu, tugas kamu udah hamil aja, segalanya tentang kamu, bayi kita dan kehamilan kamu biar saya yang urus" Tukasnya lagi

Teresa menggeleng seraya menatap suaminya "Jangan mas, biar kita lalui berdua, bukan hanya kamu, bukan cuma aku, tapi kita" Gadis itu mengucapkan semua itu dari dalam hatinya, gadis itu sangat bersunggu-sungguh untuk anaknya

Bintang merekahkan senyumnya dan bangkit dari duduknya, pria itu mengecup singkat bibir istrinya dan beralih ke puncak kepalanya sebelum berlutut dan menunduk untuk menyamakan posisi kepalanya dengan perut Teresa "Sayang, papa janji, papa akan lakukan yang terbaik untuk kamu dan mama" Tukas pria itu mengajak bayinya yang mungkin masih sebesar biji kacang hijau itu berbicara

Menyaksikan itu, Teresa mengelus perutnya dan kemudian tangan Bintang membingkai di atasnya, untuk beberapa saat Teresa dan Bintang saling memandang, pria itu mendangak dan Teresa agak menunduk untuk menatap satu sama lain

"Mas" Tukas gadis itu pada Bintang tanpa memutuskan pandangan mereka "Aku mungkin bukan wanita terbaik atau ibu yang terbaik atau istri yang terbaik buat anak kita nanti dan untuk kamu. Tapi aku janji aku akan usahakan yang terbaik untuk kalian dan jauh dari yang terburuk" Tukas gadis itu bersungguh-sungguh

Bintang bangkit dari posisinya dan merengkuh Teresa dalam pelukannya "Sayang" Tukas lelaki itu dalam "Kamu yang terbaik, kamu yang paling baik untuk saya dan anak kita. Kamu hadiah terindah yang pernah ada di hidup saya dan jika pernikahan kita adalah sebuah kesalahan dahulunya, itu satu-satunya kesalahan yang tidak pernah saya sesali. Kamu sempurna untuk kami Teresa, untuk saya dan anak kita"