webnovel

To Be Young and Broke

Teresa seorang gadis berusia 18 tahun berusaha membalaskan dendamnya pada seseorang yang amat menyayangi dirinya, ayahnya. Tetapi jalannya tidak mulus, diantara dendam dan ayahnya, Teresa dihadapi oleh seorang teman, sahabat dan mungkin cinta pertamanya, di sisi lain kehidupan bersama Bintang seorang duda berusia 17 tahun lebih tua dari dirinya dengan kondisi sekarat menjanjikan pembalasan dendam yang lebih mudah dan cepat untuk dipilihnya. Apa yang akan terjadi diantara mereka? Pertarungan antara cinta dan dendam, masa muda dan kematangan, kemapanan dan kehancuran.

StrawMarsm · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
26 Chs

17| To Be Young and Broke

Sore itu Teresa sama sekali tidak berminat untuk berdiri meninggalkan tempat duduknya, gadis itu menatap ponselnya, ponsel yang diberikan oleh ayahnya, bukan karena ponsel itu bagus atau aneh, tapi karena nomer telfone yang tertera di layarnya, gadis itu hapal nomer telfone Roy di luar kepalanya, nomer itu sudah gadis itu ketik sedemikian rupa pada layar ponselnya, hanya sebuah sentuhan ringan pada icon berwarna hijau bergambar telfone bulat yang masih ragu gadis itu tekan. Ini sudah lama semenjak Roy pergi untuk pengobatannya, sudah lewat dari dua bulan, sebagian anak kelas tiga menggila belar sana sini untuk menghadapi berbagai ujian, sekolah belum mengambil keputusan resmi untuk mengeluarkan Roy atau menunggu sampai benar-benar ujian akhir dan membiarkan Roy mengikuti susulan atau mengulang tahun selanjutnya

Gadis itu mengerang dan meletakan ponselnya di atas meja, berbagai pikiran praduga berkecamuk di kepalanya, 'Gimana kalo nomer Roy gak aktif?, Gimana kalo cowo itu ganti nomer?, Dia lagi di Amrik gak mungkin pake nomer yang lama' Gadis itu menyentakan dirinya pada sandaran kursi menolehkan kepalanya ke belakang sebingga semua benda terlihat terbalik dan kemudian gadis itu tersentak karena ada Jordan yang juga nampak terbalik

"BANGSAT" Sentak Teresa

Jordan mendekat kearah gadis itu "Kenapa lu?" Tanya pria itu

"Kenapa sih lu ada dimana-mana? Ngapain lu di kelas gue?" Tukas gadis itu bersungut

"Rapat osis" Saut lelaki itu duduk di depan Teresa

"Kenapa di kelas gue? Ruang osislah sana" Sungut Teresa

"Lagi direnovasi"

Teresa membelalakan mata "Kenapa pake direnovasi segala gak digusur aja sekalian?" Tukas gadis itu

Jordan mendelik ke arah Teresa "Gara-gara ada anak cewe gila yang rusakin jendela ruang osis"

Teresa menghembuskan nafas jengah sambil tiba-tib atubuhnya menjadi seperti jeli dan kembali bersandar di kursinya "Kenapa harus di kelas gue?" Tukas gadis itu sambil menengadahkan kedua tangannya ke udara

"Karena takdir" Saut lelaki itu asal

Teresa memejamkan matanya sambil menghembuskan nafas, tidak ingin membahas lebih lanjut mengenai persoalan ruang osis "Kaki lu udah sembuh?" Tanya gadis itu sambil matanya tetap terpejam dan masih bersandar di kursinya

Senyap

Senyap

Teresa membuka matanya "Gue nanya bangke" Protes gadis itu merasa dicueki Jordan

Lelaki itu menatap kearah Teresa dengan jengah "Gue udah ngangguk" Tukasnya

"GUE LAGI MEREM, GAK KELIATAN, JAWAB AJA PAKE BAHASA MANUSIA GAK BISA?" Dikte gadis itu

Jordan berdecak "Gue rasa lu juga udah baik-baik aja, udah ngeselin lagi soalnya" Tukas lelaki itu "Yang waktu itu dateng om lu?" sambil mengalihkan kembali pandangannya ke depan sambil mengangguk pada beberapa anggota osis yang menyapanya dengan gestur tubuh

Teresa mengangguk

Meresa jawabannya tidak direspon oleh perempuan biag onat di belakangnya, Jordan menoleh pada Teresa "Gue nanya" Tukasnya

"Gue udah ngangguk" Saut gadis itu

"Gue gak liat" Saut Jordan lagi

"Buta"

Jordan memawang wajah jengah "Udah tau lu ngeselin gini, kenapa coba Roy peduli banget sama lu? Kalo om lu gue masih ngerti, dia keluarga lu sampe bela-belain nyamperin ke kemah pake helicopter segala" Tukas Jordan yang terdengar seperti sindiran dan lelaki itu keceplosan soal Roy yang berpesan padanya untuk mengawasi Teresa selama ia tidak ada

"Tau apa lu soal Roy?" Tukas Teresa sengit

Jordan menggeleng sambil mengalihkan lagi pandangannya pada anak-anak osis yang sudah mulai ramai

Sadar Jordan menghindarinya, Teresa membereskan tasnya dan begitu saja menyentakan tas itu pada kepala Jordan yang sedang membelakanginya sampai lelaki itu tersungkur ke depan menghantam meja dan gadis itu dengan langkah seribu berlari meninggalkan tempat kejadian

"TERESA" Teriakan lelaki itu yang masih terdengar oleh Teresa di koridor dan gadis itu memasang senyum kemenangan sambil terus berjalan menuju gerbang depan

Di depan gerbang sekolah sudah menunggu salah satu sopir Bintang yang dengan ramah menyapa dan tersenyum pada Teresa kala melihat gadis itu dengan jendela terbuka, gadis itu tersenyum balik dan masuk kedalam mobil itu, semenjak menikah dengan Bintang dan lelaki itu meberinya fasilitas, mobil, sopir, uang dan tempat tinggal, gadis itu diantar kemput dan semua kegiatannya otomatis Bintang ketahui, awalnya gadis itu mengira akan sangat buruk, tetapi setelah berjalan, hal itu tidak buruk sama sekali, sopirnya merupakan pria tua yang ramah dengan gaya menyetir yang baik dan sangat beryali jika disuruh kebut untuk mengejar bel sekolah, juga bisa diajak kompromi untuk sesekali membolos kemana pun itu, bapak itu juga tidak keberatan jika Teresa merokok di mobil, dia malah ikutan.

Sore itu Teresa diminta langsung pulang oleh Bintang, ada yang ingin lelaki itu bicarakan, Teresa menyandarkan tubuhnya pada kursi mobil itu, 'Semoga bukan tentang anak' Bati gadis itu, gadis itu ingat bahwa ia pernah bertanya mengenai keinginan lelaki itu memiliki anak, dan lelaki itu jelas menginginkannya, namun tidak dengan Teresa, gadis itu mengharapkan sebaliknya, ia tidak ingin memiliki bayi, ia tidak ingin sebuah tanggung jawab lagi, ia tidak menginginkan beban moral dan segala turunan tentang tanggungannya, ia takut jika ia tidak sanggup untuk apapun yang terjadi pada si bayi itu dan kejadian setelahnya, ia takut mentalnya tidak stabil atau suatu saat tidak stabil dan menyakiti bayinya, ia takut jika Bintang di tengah jalan berubah dan menghancurkan semuanya, atau dirinya sendiri yang berubah dan menghancurkan segalanya dan yang terburuk, Teresa takut membayangkan dirinya berubah menjadi seperti orang tuanya dulu di masa kecilnya dan anaknya berubah membenci dirinya seperti apa yang di lakukannya pada orangtuanya

Gadis itu mendesah berusaha tidak memikirkan semua hal yang membebaninya dan meraih ponselnya di dalam tas

Tanpa sengaja gadis itu menekan tombol hijau yang sedari tadi ditatapnya di kelas

'Calling' Tertera di layar ponsel itu

Gadis itu meruntuki dirinya sendiri

"Halo" Tukas suara di sebrang sana samar-samar

Dengan cepat Teresa meletakan benda persegi panjang itu di salah satu daun telinganya

"Halo" Tukasnya "Roy?"

Sunyi untuk beberapa saat di sebrang sana

"Roy?" Ulang gadis itu lagi dengan dahi yang berkerut

"Hai" Akhirnya jawaban dari sebrang sana

Entah apa yang merasuki gadis itu, air mata begitu saja mengalir dari matanya mendengar suara yang biasanya berdebat setiap hari dengannya, suara yang dirindukannya, ada banyak yang ingin ditanyakan gadis itu, tapi seolah ia kehilangan suaranya, gadis itu kelu

"Teresa?" Tukas suara di sebrang sana

Teresa masih diam dan berusaha mengendalikan emosi aneh yang mengusai dirinya

"Ter?" Tukas suara di sebrang sana lagi menanggapi keheningan dari sambungan Teresa

"Iya, gue Teresa, Teresa Adiwijaya ade kelas lu" Tukas gadis itu akhirnya

Ada suara tawa rendah disebrang sana, tawa yang seperti sudah lama sekali tidak didengar gadis itu

"Lu Roy kan?" Tanya Teresa, suaranya tersendat, ia mengenali suara Roy, gadis itu hanya ingin memastikan bahwa pikirannya tentang lelaki itu tidak membodohinya, karena belakangan ini, semua orang yang berada di sekelilingnya menjadi mirip dengan Roy

Lelaki itu berdeham meredakan tawanya "Lu lupa suara gue?" Pria itu balik bertanya

Teresa tersenyum, gadis itu menggeleng, tentu saja tidak dilihat oleh Roy "Ga, gue mastiin aja" Tukas gadis itu memejamkan matanya erat-erat menahan rasa bahagia yang muncul di dadanya begitu saja hanya karena ia dapat berbicara dengan Roy "Giman akabar lo?" Sambung gadis itu masih dengan mata yang terpejam dan bibir yang tersenyum

"Gue baik-baik aja" Saut suara disebrang sana "Lu gimana? Gimana kabar sekolah tanpa gue?" Lelaki itu bertanya dengan nada riang

"Gu juga baik-baik aja" Gadis itu menarik nafas dan menghembuskannya kembali, membuka kedua kelopak matanya tapi senyuman tidak hilang-hilang dari bibirnya "Hmmm, ya biasa aja, gue gak hobi-hobi amat sekolah dan semenjak lu pergi gue jadi semakin gak suka di sekolah. Alex kadang-kadang masih suka curi-curi pandang atau deketin gue, dan yang makin absurd, semenjak lu pergi, Jordan jadi kayak ngawasin gue setiap saat, tuh cowo malah sampe nemenin gue cari kayu bakar waktu fieldtrip" Tukas gadis itu seraya mengadu dan berkeluh kesah dengan pria yang ada di sebrang sambungan telfone itu

Lelaki itu mendengus "Awas aja si Alex, gue buat dia babak belur pas gue ketemu" Runtuknya "Tapi si Jordan gak kurang ajarkan sama lu?" Tanya pria itu lagi seakan memaklumi Jordan tetapi tetap mencurigai pria itu

Teresa menggeleng lagi dan tentu saja Roy tidak melihatnya lagi "Ga, biasa aja" "Gue sebel sama diri gue kalo bilang lu mirip sama Jordan, tapi Jordan beneran mirip sama lu kalo diperhatiin lagi, mukanya, sifatnya, versi lu tapi kalo lu jadi murid teladan" Tukas gadis itu dengan cengengesan

"Enak aja, sama sekali gak mirip gue sama dia, bagusan gue kemana-mana" Tukas Roy di sambungan itu

Teresa ikut tertawa dengan perkataan Roy, gadis itu mengakuinya, meskipun Jordan mirip dengan Roy, tapi pria itu bukan Roy dan Roy adalah satu-satunya di dunia

"Ter" Tukas pria itu

"Hmm" Saut Teresa

"Happy Birthday ya" Tukas pria itu

Teresa terdiam, dia melupakan hari ini, gadis itu melupakan tanggal lahirnya sendiri, terlalu banyak kejadian yang hampir tidak masuk akal terjadi di hidupnya, dendamnya membawa petaka untuk setiap orang, Roy kecelakaan dan berada jauh darinya, dan sekarang Teresa menemukan dirinya telah menikah dengan Bintang dengan berbagai macam kejadian yang melatar belakangi pernikahan mendadak itu, dan apakah Teresa bahagia? Gadis itu menanyakan dirinya sendiri dan mengembangkan seulas senyum getir, bahagia yang dipaksakan

"Thanks" Saut gadis itu kemudian "Kapan lu pulang?" Gadis itu menyuarakan apa yang telah berada di fikirannya sejak keberangkatan pria itu untuk pengobatannya

Ada jeda senyap sebelum pria itu berkata-kata lagi "Lu udah jalan balik ya?" Pria itu malah balik bertanya

"Kenapa" Respon gadis itu

"Ada barang gue yang ketinggalan di kolong meja gue di sekolah" Tukas pria itu "Lu bisa tolong ambilin ga? Itu penting Ter" Lelaki itu berhara Teresa dapat membantunya

Gadis itu tidak berfikir panjang dan langsung mengiyakan permintaan lelaki itu "Oke, nanti gue hubungin lagi kalo udah di sekolah" Tukas Teresa

"Ya" Saut pria itu dan sambungan telefone mereka terputus

"Pak puter balik pak, ke sekolah lagi" Tukas gadis itu pada sopirnya

"Tapi Pak Bintang pesen untuk langsung pulang neng" Tukasnya

"Saya mau nolongin temen saya pak, gapapalah telat setengah jam pulangnya" Tukas gadis itu yang dituruti sang sopir

Mereka belum begitu jauh dari sekolah dan bapak sopir itu seperti sangat mengerti Teresa, ia melajukan mobilnya dengan kecepatan ekstra

Gadis itu langsung melompat turun dari mobilnya ketika tiba di sekolahnya, sudah lumayan sepi, dengan cepat gadis itu menyusuri lorong dan mengabaikan semua orang yang menatapnya dan dengan segera menuju kelas Roy. Beberapa anak kelas tiga masih tinggal di kelas untuk menyelesaikan apapun itu urusan mereka dan sebagian besarnya ada di auditorium untuk mendapatkan pelajaran tambahan dan sebagainya, gadis itu masuk begitu saja ke kelas itu, semua orang mengetahui Roy dan semua orang juga mengetahui hubungan bocah biang kerok itu dengan Teresa, gadis mungil yang juga selalu membuat onar, beberapa mata menatap Teresa dan beberapa kakak kelas yang sedang bersolek menyindirnya, namun Teresa sama sekali tidak perduli

Gadis itu mendekat ke deretan bangku paling belakang di pojok kanan yang sudah berbulan-bulan kosong, gadis itu menundukan kepalanya dan menoleh ke dalam loker itu dan menemukan sebuah kotak kecil terbungkus kertas kado dan di saat yang bersamaan, sebuah nomer asing menelfonnya

"Hallo" Tukas gadis itu

"Udah di sekolah?" Tanya suara disebrang sana

"Udah, gue udah di kelas lu, kotak kecil pake bungkus kado bukan yang lu maksud?" Tanya gadis itu, satu tangannya memegang ponsel dan satunya lagi memegang kotak itusejajar dengan matanya dan memerhatikannya

"Ya" Saut Roy di sambungan telefon

"Trus gue apain nih?" Tanya Teresa lagi sambil berjalan keluar kelas membawa kotak itu

"Buat lu" Tukas pria itu lagi "Selamat ulang tahun ya Teresa Adiwijaya"

Teresa menghentikan langkahnya, gadis itu seakan beku untuk sesaat. Pria itu, Roy Fahry yang dianggap sebagai cowo paling seenaknya satu sekolah, di tengah kondisi sakitnya, lelaki itu menyiapkan hadiah untuk Teresa, gadis itu bahkan melupakan hari ulang tahunnya, tapi lelaki yang sedang berada jauh dari dirinya itu mengingatnya dan dengan kebetulan gadis entah mengapa gadis itu tanpa sengaja mendial nomer pria itu, gadis itu menitikan air mata, takdir mempermainkannya

"Mak..asih" Tukas gadis itu terbata-bata

"Sorry ya gue gak ada di deket lu di hari ulang tahun lu. Jadi lu harus ambil sendiri deh kado ulang tahunnya" Tukas lelaki itu dengna sebuah tawa ringan

"Jahat" Tukas gadis itu

Lelaki itu mungkin tesengtak mendengar satu kata barusan yang terucap dari bibirnya Teresa

"Kenapa? Lu marah karena hadiah gue?" Tukas pria itu setelah jeda di antara percakapan mereka

"Lu jahat ninggalin gue lama-lama" Tukas gadis itu dengan air mata yang tidak bisa ia kendalikan

"Maafin gue" Tukas suara di sebrang sana dengan penyesalan

Gadis itu tidak menjawab dan berusaha keras menghapus air matanya "Gapapa, tapi lu janji sama gue, lu harus sembuh" Imbuhnya

"Iya gue janji" Tukas Roy di sebrang sambungan sana "Lu orang pertama yang gue kasih tau kalo gue udah balik nanti"

Teresa mengangguk dan seketika perempuan itu terlonjak ketika seseorang menepuk bahunya

Ponselnya jatuh namun masih bisa tertahan oleh kedua lengannya dan tombol merah mengakhiri panggilan tidak sengaja tertekan oleh gadis itu ketika berusaha menangkap ponselnya

"BANGSAT" Gadis itu murka dan menoleh pada siapapun yang menepuk punggungnya, gadis itu tidak segan-segan menerkamnya

"Eh santai-santai, gue kira lu udah balik" Tukas orang itu sambil telapak tangannya membuka dan mendorong-dorong udara dan berjalan mundur dan kemudian berlari melarikan diri dari Teresa

"Anjrit lu JORDAN" Tukas gadis itu berteriak di akhir dan begitu saja berlari mengejar lelaki itu

Teresa menyandarkan dirinya yang kelelahan sambil mengatur nafas di mobil, gadis itu sudah puas memukuli Jordan dan membuat lelaki itu meminta ampun padanya, gadis itu baru berhenti ketika Bintang menelfonnya berkali-kali untuk memastikan keadaan gadis itu baik-baik saja dan kemudian menyuruh gadis itu untuk segera pulang, dan di sinilah dia, duduk terkapar berburu oksigen dengan mobil yang melaju kencang

Teresa kembali memendangi kotak kecil yang ada di gengamannya, kotak kecil yang terbungkus rapi dengan kerta gliter merah jambu dengan pita, di kepala Teresa terlintas wajah Roy yang sedang tersenyum "Manis banget si lu" Tukas gadis itu begitu saja membayangkan Roy

"Apa neng?" Tanya pak sopir yang hampir mengerem mendadak

Teresa gelagapan tersadar dari lamunanya "Eh engga pak, saya makan permen" Tukas gadis itu kemudian berakting seperti sedang mengemut permen di dalam mulutnya

Setelah menempuh perjalanan yang sangat lama menurut Teresa, akhirnya mereka tiba di kawasan rumah Bintang. Teresa menghembuskan nafas, sepi, rumah itu luas pekarangannya, halamannya, tamannya, area parkir, kolam renang, dan bangunan rumah itu sendiri, tapi sepi, para pekerja merapikan semuanya sehingga selalu tampak bagus, tapi tidak lebih, hanya itu kehidupan pekerjaan yang ada di rumah itu

Teresa menghembuskan nafasnya ketika mobil berhenti di depan pintu utama, gadis itu mengucapkan terima kasih pada sopirnya dan berjalan malas memasuki rumah itu, Bintang memang tidka melarangnya untuk jalan-jalan, bermain, atau sekedar mencari udara sepulang sekolah, namun lelaki itu selalu meminta laporan darinya atau jika Teresa menolak, sopirnya akan diwawancarai langsung oleh Bintang, atau jika tidak, lelaki itu sama saja seperti ayahnya, memakai segala macam bentuk koneksi untuk memata-matai Teresa. Bintang baik, tampan dan ia memiliki segalanya tapi mungkin tidak termasuk jika masalah kesehatan, Teresa sedang berada di dekatnya, kadang Teresa merasa senasib dan mengerti Bintang juga dimengerti oleh Bintang, tapi tetap saja, Bintang bukan Roy

Gadis itu menggelengkan kepalanya kuat-kuat ketika lagi-lagi tanpa sadar, ia memabandingkan Bintang dengan Roy

Gadis itu membuka pintu dan berjalan menyusuri lorong dengan malas, Teresa kembali menghembuskan nafasnya, lorong itu gelap, lorong itu tidak biasanya gelap, 'Mungkin aja lampunya rusak' Fikir gadis itu tidak ambil pusing, gadis itu kembali melangkah menuju lift dan menekan angka 4, dan lift itu tidak berfungsi, gadis itu kembali menghembuskan nafas 'Mungkin bukan lampunya yang rusak, tapi listriknya yang mati' Batin gadis itu berputar arah menaiki tangga

Teresa mulai mengutuk rumah Bintang dan lelaki itu karena telah memerikannya kamar di lantai 4 yang baru ia rasakan dampaknya sekarang ketika semua listri mati dan kehidupan kembali berjalan manual seperti jaman purba. Gadis itu bertanya-tanya, kenapa rumah sebesar dan sebagus ini tidak memiliki diesel, jenset atau apapun itulah yang dapat digunakan untuk mensiasati mati lampu? Dan gadis itu kembali bersumpah serapah dalam hatinya

Ketika hendak tiba di ujung tangga, ia menyadari Bintang berdiri satu langkah di depannya, lelaki itu mengenakan kemeja putih dengan celana bahan coklat tanpa jas dan dasi, pria itu berdiri menatapnya, sadar dengan tatapan Bintang, Teresa menengok ke belakangnya beranggapan mungkin saja ada orang lain yang ditatap Bintang dan bukan dirinya, tidak ada, gadis itu sendirian di tangga menuju lantai dua itu

Dengan ragu gadis itu terus melangkah maju dan mendekat ke arah Bintang, Teresa berhenti di ujung tangga, satu langkah di depan Bintang, Bintang menatap Teresa denga senyuman dan gadis itu balas tersenyum tidak tau apa yang terjadi

Bintang melangkah mendekat pada Teresa, mengkis satu langkah yang menjadi satu-satunya jarak diantara mereka, matanya tetap menatap Teresa dan bibirnya masih tersenyum, membuat gadis itu semakin kaku dan bingung tentang apa yang terjadi

Gadis itu baru saja membuka bibirnya untuk berbicara sebelum kemudian lelaki itu begitu saja menciumnya, lelaki itu menciumnya!

Teresa diam saja, gadis itu beku dan kaku, itu ciuman pertamanya dan gadis itu sama sekali tidak tau apa yang harus ia lakukan, fikirannya terus berjalan tapi buntu di mana-mana, matanya terbuka sempurna saat Bintang mulai memanggutnya, gadis itu tersentak saat seketika semua lampu kembali menyala, itu menjadi kesempatannya mendorong Bintang menjauh darinya

Mendadak suasana menjadi ramai dan semua orang seketika ada di sana, Bintang tersenyum padanya dengan semakin sumringah dan merangkul Teresa dengan salah satu lengannya di pinggang gadis itu

"Happy Birthday sayang" Bisik lelaki itu di telinga Teresa

Teresa hanya memasang senyum kaku masih memahami apa yang terjadi, sebelum semua orang mulai berbicara seakan bersamaan

"Selama ulang tahun Teresa"

"Happy Birthday"

"Selamat sayang"

"Selamat Tesa"

Dan Teresa hanya mengangguk dan tertawa dibuat-buat

Semua orang ada di sana, Evan, Talita, Hani, Ibu Farida, sopirnya, bahkan Kaisar juga ada di sini, semua orang yang Teresa kenal ada di sana mereka membawa balon dan ada kue besar bertingkat-tingkat, berbagai makanan ada di meja panjang dengan dekorasi indah, disudut lainnya juga bersusun kotak-kotak dan hadiah berbagai bentuk entah dari siapa, tapi entah mengapa Teresa hanya tersenyum tidak sebahagia saat ia menerima telfone dari Roy dan mendapat sebuah kotak kecil hadiah dari lelaki itu yang ia ambil sendiri dari loker meja pria itu

Teresa mulai berbaur dengan yang lainnya, banyak yang memberinya selamat dan memeluk Teresa, hanya Bintang selalu berada di samping Teresa dan seakan tidak membiarkan semua orang memeluk istrinya, pesta berlangsung dengan ramai dan meriah ketika seorang penyanyi yang telah dikontrak oleh Bintang mulai bernyanyi dan semua orang ikut karaoke dadakan

Bintang menarik Teresa menuju balkone dengan pemandangan halaman belakang, hari sudah senja dan langit menjadi jingga saat gadis itu menyaksikan rangkaian kembang api yang bermekaran dilangit menuliskan inisial namanya, gadis itu tersenyum "Lu siapin semua ini om?" Tanya gadis itu menatap Bintang yang ada di sampingnya, satu tangan lelaki itu masih merangkulnya di pinggang

Lelaki itu mengangguk "Kamu mau apa untuk kado ulang tahun kamu?" Tanya lelaki itu menatap wajah Teresa

Gadis itu menggeleng "Gak, gue gak mau apa-apa, gue udah punya segalanya" Tukas gadis itu tidak bermaksud sombong

Bintang tertawa ringan "ini memang ulang tahun kamu, tapi boleh gak saya minta sesuatu sama kamu?" Tanya lelaki itu

"Apa?" Tanya gadis itu

"Jangan panggil saya om dan jangan pakai gue lu" Tukas lelaki itu dan Teresa kembali tersenyum

"Gak janji" Tukas gadis itu

Bintang menghembuskan nafasnya dan menunduk sesaat

Teresa memegang dagu pria itu dan kembali mengangkatnya "Makasih mas" Tukas gadis itu

Bintang hanya tersenyum sambil kembali melihat kembang api dan merangkul Teresa lebih dekat ke arahnya "Saya sudah daftarkan pernikahan kita ke catatan sipil, kita sudah resmi menikah di negara ini" Tukas lelaki itu

Teresa hanya diam tidak tau apa yang bergejolak di hatinya, gadis itu ingin menolak