Langit semakin gelap, hujan semakin deras dan suara guntur mulai bersahut-sahutan, Teresa sangat kelelahan tapi ia tidak dapat terlelap, gadis itu juga sama sekali belum makan apapun sejak dalam perjalanan kemarin, gadis itu melewatkan sarapannya tadi pagi, hanya sebatang rokok dan dua teguk bir yang mengisi paru-paru dan perut gadis situ. Gadis itu menggigil, ia tidak bisa mengontrol tubuhnya
"Ter" Tukas Jordan samar-samar mengguncangkan tubuh Teresa
Gadis itu tidak bereaksi, matanya membelalak dan seluruh tubuhnya bergetar
"TERESA" Teriak pria itu
Sedikit kesadaran Teresa kembali pada gadis itu "Ding...in" Satu kata yang terbata-bata dari bibir gadis itu
Kali itu Teresa seperti diserang kantuk dadakan, gadis itu nyaris memejamkanmatanya sebelum seseorang mengguncang-guncangkan tubuhnya dan menahannya dalam keadaan setengah sadar
"TER, JANGAN TIDUR GUE MOHON" Tukas suara itu
Jordan berteriak-teriak pada gadis itu, berusaha agar gadis itu tetap tersadar, lelaki itu memeluk tubuh Teresa, berusaha menyalurkan kehangatan pada dirinya untuk gadis yang sedang menggigil itu
Gadis itu meracau tidak karuan, bibirnya membiru dan wajahnya luar biasa pucat. Ini adalah kondisi paling menegangkan untuk Jordan, pria itu membungkus Teresa dengan kaos hitamnya, sebelum melapisi gadis itu dengan jaket bahannya dan jaket jeansnya. Pria itu hanya mengenakan celana jeans robeknya sambil memeluk Teresa dan berteriak sekuat tenaga untuk meminta pertolongan diselingi teriakan untuk membuat gadis mungil dalam dekapannya itu tetap membuka matanya
Teresa berjalan di sebuah padang rumput yang perlahan berubah menjadi padang pasir yang tandus, sangat panas dan terik, gadis itu sendirian dan kebingungan. Kemudian sebuah suara memanggilnya, suara yang sangat ia kenal dan setengah mati ingin ia lupakan, suara yang membawa mimpi buruk selama belasan tahun hidupnya
"Mama" Kata itu begitu saja keluar dari bibirnya ketika sesosok wanita yang sangat ia rindukan muncul di depannya, hanya berjarak selangkah darinya. Wanita itu sama sekali tidak berubah dari apa yang diingatnya belasan tahun yang lalu. Wanita itu menggunakan kemeja khaki dengan celana jeans hitam, rambutnya bergelombang hitam dan tergerai beberapa kali tertiup angin
Teresa membeku di tempatnya, hanya selangkah untuk meraih wanita dihadapannya, tapi gadis itu tidak tau apa yang ingin ia lakukan terhadap wanita itu, ia ingin menghempaskan tubuhnya dan memeluk wanita itu tetapi sebagian alam bawah sadarnya seperti memaku kakinya untuk diam di tempat
"Teresa" Tukas wanita itu diam di tempatnya memerhatikan anak gadisnya yang sudah tidak lagi balita "Kamu sudah besar nak, cantik sekali"
Teresa hanya diam, gadis itu diliputi banyak perasaan yang ia sendiri tidak bisa ungkapkan
Wanita di hadapannya menunduk "Maafin mama ya nak, mama buat semuanya jadi rumit buat kalian semua" Tukas wanita itu meneteskan air mata "Mama sudah mendapat balasan mama di sini" Kata-kata itu menggantung
"Mama" Teresa saat itu seperti burung beo yang hanya bisa mengucapkan satu patah kata
Wanita itu menatap Teresa dengan bergelinang air mata "Nak, mama ingin sekali memeluk kamu, tapi mama merasa tidak pantas untuk itu" Wanita itu menyeka air matanya "Nak, tolong jangan hukum mama lebih jauh lagi, tolong kamu jangan sakiti papa kamu lebih jauh lagi, itu bukan salahnya Teresa, itu semua salah mama"
Teresa tidak mengerti apa yang wanita itu ucapkan, kepala dan dadanya dipenuhi banyak hal yang menyesakan untuknya, gadis itu ingin bicara tapi seluruh kata-katanya tertahan di tenggorokan, gadis itu ingin menangis tapi tidak ada air mata yang keluar
"Teresa sayang" Tukas wanita itu lagi "Maafin mama sayang, mama ingin lihat kamu bahagia"
Kemudian wanita itu menghilang, padang pasir itu berubah menjadi padang rumput lagi, Teresa tersesat, seluruh kontrol tubuhnya seakan kembali padanya, gadis situ menangis dan berteriak
"Teresa" "Teresa" Tukas suara-suara
Gadis itu tersadar dan memeluk seseorang yang berada di dekatnya, nafasnya terengah-engah dan seluruh wajahnya berkeringat "Tolong gue takut" Racau gadis itu
Tubuh itu memeluknya erat dan menenangkan gadis itu "Tenang sayang, ada saya di sini" Tukas suara itu
Teresa begitu saja mendorong sosok itu "Om Bintang?" Gadis itu tersentak
Pria itu jelas khawatir dan kembali mendekap gadis mungil itu kembali dalam pelukannya "Iya, saya di sini" Tukasnya "Saya gak akan pernah izinin kamu ikut field trip lagi" Sambung pria itu bersungguh-sungguh
"Gimana om bisa sampe di sini?" Gadis itu bertanya dalam pelukan Bintang
"Kamu tau, saya hampir gila tidak bisa menelfone kamu, saya hubungi semua orang yang ikut dalam fieldtrip ini dan kabar yang saya dapatkan adalah kamu tidak sadarkan diri" Lelaki itu menatap Teresa setelah melepaskan dekapannya "Hari ini juga kita pulang"
Gadis itu menatap dengan penuh tanda tanya, tapi ada satu pertanyaan yang tidak dapat ia tahan untuk ucapkan "Om udah minum obat? Om gak sakitkan?" Gadis itu bertanya dengan tatapan polosnya
Pria itu kembali memeluk gadis mungil itu, membayangkan suatu hal buruk dapat terjadi kapan saja pada sosok dalam dekapannya, membuat pria itu nyaris gila "Saya baik-baik saja Teresa, saya minum semua obatnya"
Siang itu Bintang menyeret Teresa untuk keluar dari tendanya setelah mencekoki gadis itu dengan berbagai macam kanan, semua kejadian sehari itu terjadi begitu cepat bagi Teresa, gadis itu tidak mengetahui yang mana yang mimpi dan yang mana yang nyata, semuanya campur aduk. Seseorang merapikan seluruh barang Teresa dan membawanya bersamanya sementara beberapa langkah dari kawasan perkemahan sebuah helicopter putih menunggu mereka
Teresa menghentikan langkahnya dan menatap Bintang penuh pertanyaan "Kita pulang pakai?"
Bintang memberikan senyumannya "Itu" Saut lelaki itu mengarahkan padangannya pada helicopter yang mencolok itu
"Om pake mobil aja" Tukas gadis itu membujuk lelaki di sampingnya
"Teresa, perjalanan darat dari tempat ini ke rumah kita bisa seharian" Sautnya
"Yaudah, om naik helicopter, gue pake mobil" Tukas gadis itu bernegosiasi
Lelaki itu memasang wajah dinginnya "Saya akan pulang dengan kamu. Kita pakai helicopter tidak ada jalan lain, saya tidak mau dibantah" Lelaki itu mendikte Teresa
Gadis itu menghembuskan nafas lelah, ia tidak ingin bertengkar sekarang yang nantinya akan menjadi tontonan semua orang dan membuat kehidupan sekolahnya menjadi bertambah menyebalkan. Gadis itu memutarkan padangannya, banyak teman-temannya yang menonton mereka dan ikut menyesal dengan kejadian yang menimpa Teresa, guru-guru berlomba-lomba minta maaf bukan pada Teresa tetapi pada Bintang, Teresa tidak begitu perduli. Gadis itu mencari keberadaan Jordan tapi ia tidak bisa menemukannya, sementara Alex, lelaki itu bersandar di salah satu pohon yang agak jauh dari kerumunan itu dan menyesap rokoknya
Teresa diam saja memandang pemandangan langit biru di sampingnya, Bintang di sampingnya juga tidak berusaha mengatakan apapun, suara baling-balingnya cukup kencang, mereka semua memakai headset dan tak satupun mencoba berkata-kata
Perjalanan itu memakan waktu sekitar setengah jam sebelum kendaraan itu perlahan mendarat. Untuk 3 menit sebelum Teresa menyadari keberadaannya dan pintu di sampingnya terbuka, Teresa sangat terkejut betapa cepatnya benda itu melaju, gadis itu mulai berfikir jika ia mulai bermimpi lagi. Bintang keluar terlebih dahulu dan menuntun Teresa kemudian untuk keluar, gadis itu menuruti tuntunan Bintang dan gadis itu mendapati dia berada di landasan pacu lainnya, gadis itu sadar, helicopter itu mendarat hanya untuk mengantarkannya pada penerbangan selanjutnya
Gadis itu mengikuti langkah Bintang yang menarik sebelah tangannya menaiki sebuah tangga sebuah jet putih. Teresa duduk di samping Bintang membiarkan dua tempat duduk lainnya yang menghadap mereka kosong, gadis itu duduk di dekat jendela dan membiarkan jendela itu terbuka, pesawat itu tidak membutuhkan waktu lama untuk lepas landas setelah Teresa dan Bintang berada di dalamnya, seseorang membawakan mereka dua baki makanan yang sama sekali tidak Teresa toleh dan satu buket champagne yang sangat menarik minat Teresa tapi tidak diberikan oleh Bintang
"Cukup dengan rokok, saya tidak bisa mentolelir bentuk kecanduan lainnya" Tukas lelaki itu menjauhkan buket champagne dari jangkauan Teresa
Gadis itu memasang wajah pasrah "Kenapa? Gue bahkan belum coba" Tukasnya
Bintang memanggil seseorang untuk menyingkirkan buket champagne itu dari hadapan mereka "Lebih baik kamu gak usah coba-coba" Sambung lelaki itu
Teresa menyeringai malas sambil bersandar pada jendela "Semakin lu larang, semakin gue penasaran mau coba tau"
Bintang membalas tatapan Teresa dengan senyuman di wajahnya, sebelah tangan lelaki itu mengelus-elus puncak kepala Teresa "Semakin kamu mau coba-coba, semakin saya larang kamu" Tukasnya
"Dasar diktator" Tukas gadis itu mengalihkan padangannya ke jendela menatap langit yang mulai jingga berada di hadapannya
"Saya akan selalu mendikte kamu jika menyangkut dengan kesehatan kamu" Tukas lelaki itu
Teresa sontak menoleh dan menaikan sebelah alisnya, gadis itu terkekeh
"Kenapa?" Bintang bertanya dengan dahi yang berkerut pada Teresa
"Lucu aja" Saut gadis itu masih asik terkekeh
"Kenapa?" Kerutan di dahi Bintang semakin dalam
"Lu peduli sama kesehatan gue tapi masa bodo sama kesehatan lu" Tukas gadis itu langsung pada intinya
Bintang menyeringai getir, untuk sesaat lelaki itu terdiam dan menatap Teresa dengan penuh perhatian
Gantian gadis itu yang bertanya-tanya "Kenapa? Gue salah ngomong ya?"
Bintang menggeleng dan seulas senyum kembali mencul di wajahnya "Ngga, kamu bener. Mulai sekarang saya akan jaga kondisi kesehatan saya sendiri dan kamu harus siap-siap untuk saya dikte seumur hidup saya" Tukas lelaki itu
Kerutan di dahi Teresa semakin dalam "Kenapa lu harus dikte hidup gue? Gue bisa jalanin hidup sendiri"
Lelaki itu menyeringai dan mengalihkan padangannya dari Teresa "Iya, kamu bisa menjalani hidup kamu sendiri dalam hal impian masa depan kamu, saya membebaskan kamu untuk meraih cita-cita kamu, untuk menjadi apapun yang kamu mau. Tapi, kalau untuk masalah minuman, gaya hidup remaja dan sebagainya, kamu berada penuh di bawah pengawasan saya, saya akan mendikte kamu untuk itu"
"Gue mau jadi astronot, gue mau ke bulan biar bisa bebas dari pengawasan lu" Tukas gadis itu asal hanya untuk menggoda Bintang
"Saya dukung kamu" Tukas lelaki itu di luar dugaan Teresa
Gadis itu kembali menoleh pada Bintang "Gue di bulan bisa bebas loh, lu gak bisa dikte gue" Gadis itu menegaskan
Bintang mengangguk "Tapi kamu harus janji sama saya, kamu akan kembali pulang" "Bulan itu cuma ada satu Teresa, setidaknya saya tau kamu ada di sana, namun, ada banyak sekali Bintang di luar sana dan kamu harus kembali pada satu bintang, yaitu saya" Tukas lelaki itu membuat Teresa tidak dapat menyembunyikan senyum gelinya
"Gue gak akan lupa sama lu kok om, meskipun gue ada di bulan, dan ada miliaran bintang di sana lu tetep Bintang paling terang yang pernah gue liat" Tukas gadis itu dihadiahi sebuah senyuman dari Bintang
"Sejak kapan kamu pintar berkata-kata manis?" Tanya Bintang masih dengan senyumnya
"Sejak gue mulai belajar dari lu tentang teori perbintangan" Saut gadis itu
Gadis itu kembali menatap ke jendela yang terbuka, ingatannya melayang pada mimpi aneh tentang ibunya. Selama belasan tahun ibunya pergi meninggalkan sejumlah trauma dan penderitaan bagi Teresa, tidak sekalipun wanita itu muncul dalam mimpi gadis itu
"Teresa kamu harus makan" Tukas Bintang mengintrupsi lamunan Teresa
"Gak laper om" Tukas gadis itu menanggapi sekenanya
Kebetulan yang sangat pas, perut gadis itu menyuarakan pendapatnya sendiri tanpa diwakili oleh bibir Teresa
Bintang memasang senyum meledek meski tidak dilihat oleh Teresa "Bibir kamu memang gak laper, tapi perut kamu bilang lain" Tukas lelaki itu sambil menyodorkan satu gulungan garpu penuh pasta
Gadis itu melahapnya dengan malas "Gue mimpi mama om" Tukasnya disela kunyahannya
"Mba Talita?" Tanya lelaki itu sambil menggulung satu garpu lagi pasta untuk Teresa
Teresa menggeleng "Nyokap asli gue"
"Mungkin kamu kangen berat sama dia sampe kebawa mimpi" Tukas Bintang kembali menyuapi Teresa segulungan garpu penuh pasta
Gadis itu kembali menerima suapan itu dan kembali menggeleng "Gak, mungkin belasan tahun yang lalu iya, dan dia gak pernah sekalipun muncul di mimpi gue, sekarang gue sama sekali gak mikirin dia dan dia muncul" Tukas gadis itu dengan dahi berkerut dan sebuah emosi yang tidak dapat disembunyikan
Bintang membersihkan sudut bibir Teresa dengan ibu jarinya "Mungkin kamu sudah mulai melupakan ibu kandung kamu Ter, sehingga dia muncul lagi di mimpi kamu" "Memang apa yang dia katakan?"
Gadis itu menggeleng lagi dengan ragu "Ngga tau lupa, gak jelas" Bohong gadis itu "Lu sampe tempat kemah gue kapan om?" Tanya gadis itu mengalihkan pembicaraan
Lelaki itu kembali menyuapi Teresa dengan segulungan pasta yang ditolak oleh gadis itu, dan kemudian menggentinya dengan segelas air "Pagi tadi saya dapat kabar tentang kamu dan pagi itu juga dengan pesawat ini saya terbang ke landasan pacu tadi untuk ke tempat kamu menggunakan helicopter"
"Kenapa gak langsung pake jet ini aja om?" Tanya gadis itu menyuarakan apa yang ada di kepalanya
"Masalah radar dan sebagainya, lebih mudah untuk menggapai tempat kemah kamu dengan helicopter" Saut Bintang
"Lu khawatir sama gue ya om?" Tanya gadis itu lagi dengan senyum jenaka
"Saya hampir gila Teresa" Saut Bintang sambil membuang tatapannya dan meneguk segelas air dengan rakus "Gimana kamu bisa berakhir seperti itu?" Tanya lelaki itu kembali menoleh pada Teresa
Gadis itu menarik nafas panjang "Kecelakaan" Sautnya pendek
"Saya tau, bagaimana bisa?" Bintang terus menekannya
"Gue masuk ke hutan dan tada, gue kecelakaan" Tukas gadis itu berkilah
Bintang menatap gadis mungil itu tepat di matanya dan memaksa gadis itu untuk balik menatapnya "Teresa, beri tau saya" Tukasnya pelan namun tajam
Gadis itu akhirnya menghembuskan nafas dalam "Gue tolongin Jordan yang jatuh ke jurang"
Mata Bintang melebar "Siapa Jordan?"
"Temen gue" Saut gadis itu
"Kenapa kamu bisa berdua sama dia ke hutan? Dia temennya si bengal itu juga?" Cecar Bintang
"Karena dia mau bantuin gue, bukan dia Ketos, bukan temennya Roy. Temennya Roy di sekolah cuma gue doang" Saut gadis itu menanggapi "Gimana kondisi Roy?" Gadis itu balik bertanya pada Bintang ketika ia sadar tentang Roy
Lelaki itu menoleh ke arah lain "Dia baik" Sautnya singkat
"Maksud lu? Kapan dia balik?" Cecar Teresa
Bintang mengalihkan pandangannya dari Teresa, jelas sekali lelaki itu tidak suka dengan topik bahasan ini "Oprasinya berjalan lancar, tubuhnya menerima dengan baik semua perawatan yang diberikan"
Teresa menatap Bintang menuntut penjelasan lebih jauh
Lelaki itu tetap diam dengan wajah tidak bersahabat
Gadis itu tetap menuntut keterangannya "Om" Tukasnya menegaskan
Bintang tak menjawab
"Kapan Roy pulang?" Ulang gadis itu
"SAYA TIDAK TAU" Bentak lelaki itu
Teresa diam, dirinya terkejut dengan respon Bintang
Lelaki itu terlihat bersalah, dia membuang nafas dan bangkit dari tempat duduknya entah kemana
Gadis itu membuang pandangannya kembali ke langit jingga di sampingnya, tangan gadis itu mengepal, ia kesal. Gadis itu meringis, tangannya terasa perih, begitu saja ia melihat telapak tangannya yang terkepal, banyak sekali goresan di sana dan satu buat sayatan yang lumayan panjang pada masing-masing telapak tangannya, gadis itu bergumam "Jadi kejadian gue sama Jordan itu bukan mimpi" Gadis itu menyadari kenyataan yang benar-benar dihadapinya, ia teringat dengan kesepakatan konyolnya dengan Alex yang membuatnya berakhir jatuh ke jurang untuk menolong Jordan
Ingatan gadis itu kembali berputar di sekitar perkemahan dan jurang, ia mengingat sekaleng bir dan dua batang rokok yang membawanya ke dalam percakapan dalam dan putus asa bersama Jordan bersandar pada sebuah batu di bawah pohon menatap langit senja yang gerimis, dan sampai di situ, gadis itu tidak mengingat lagi apa yang terjadi, ia ingat merasakan dingin yang amat sangat dan kemudian ingatannya terputus di situ, 'Bagaimana cara mereka keluar dari jurang itu? Kapan ia keluar dari jurang itu?' Pertnyaan itu berputar-putar di kepala Teresa sejenak menyingkirkan rasa kesalnya akibat Bintang yang tiba-tiba membentaknya
Beberapa saat berlalu dan Bintang belum juga kembali, awalnya gadis itu mensyukuri kepergian lelaki itu kala fikirannya masih tidak terima dengan perlakuan yang diberikan lelaki itu kepadanya, namus setelah beberapa saat dan fikirannya dapat digunakan dengan lebih dingin, mungkin saja lelaki itu kelelahan akibat Teresa yang membuatnya harus menempuh penerbangan bersambung yang amat melelahkan bulak-balik, ditambah kondisi lelaki itu yang masih dalam perawatan dokter juga mungkin pekerjaan yang menumpuk di kantor menjadi satu dan membuat lelaki itu tegang dan Teresa yang banyak bertanya padanya membuat dirinya mungkin menjadi sasaran bentakan yang paling ideal
Gadis itu mencari-cari keberadaan Bintang, gadis itu menoleh ke samping mendapati dan agak mencondongkan kepalanya ke belakang untuk menemuna lelaki itu sedang duduk di kursi lainnya dengan segelas minuman bewarna coklat bening tiga per empat penuh
Gadis itu tidak berfikir lagi dan langsung mendekati pria itu, pandagan mereka bertemu dan lelaki itu hanya diam saja dengan wajah masih kesal dan tidak mengatakan apapun
"Om" Tukas gadis itu
Lelaki itu masih menatap gadis itu yang kemudian duduk di hadapannya tanpa berkata apapun
"Sorry ya, gue buat lu susah hari ini" Tukas gadis itu dengan sebuah senyum penyesalan
Wajah kesal pada lelaki itu pudar, ia menggoyangkan minuman pada gelasnya masih tidak berkata-kata
"Gue ngeselin ya? Sorry ya" Tukas gadis itu lagi "Minuman apa itu om?" Tanya gadis itu
Bintang menghentikan gerakan gelas di tangannya dengan segera memanggil seseorang untuk menyingkirkan gelas itu darinya "Bukan apa-apa" Tukas Bintang
Teresa menghentikan langkah orang yang hendak membawa pergi minuman itu, dengan begitu saja gadis itu mengambil alih gelas itu dan meneguknya tanpa berfikir, gadis itu nyaris muntah pada tiga teguk pertama tapi gadis itu juga tetap memaksakan untuk meminum minuman itu hingga tandas
Rasa pahit seperti membakar mulut dan tenggorokan gadis itu, seluruh tubuhnya seketika panas, wajahnya memerah dan tiba-tiba kepalanya berdenyut, gadis itu setengah mati menahan agar tidak muntah
Wanita awal 30 yang membawa gelas itu sebelumnya terbelalak menyaksikan apa yang dilakukan gadis muda di hadapannya itu, wajahnya terlihat serba salah dan bersalah, Bintang yang menyaksikan semua itu melonjak ke arah Teresa mencoba merebut minuman gadis itu dan menghentikan gadis itu dengan sia-sia
Lelaki itu berteriak pada wanita yang sedang berdiri kebingungan itu untuk mengambilkan segelas air dan membuatkannya air jahe atau lemon hangat untuk Teresa
"Om ini apa?" Tukas gadis itu seperti meracau
Bintang sudah di hadapan gadis itu dan memegangi bahunya "Wiski" Tukas lelaki itu setengah membentak "Apa sih yang kamu pikirin untuk langsung nenggak minuman itu?" Tukas Bintang dengan nada kesal
Untuk beberapa saat Teresa hanya diam tidak mengerti dengan apa yang sedang terjadi pada tubuhnya, matanya tidak fokus dan seluruh tubuhnya terasa panas dari dalam
Kemudian gadis itu tertawa-tawa teler "Gue tau itu alkohol, cuma gak tau apa namanya" Gadis itu tiba-tiba saja memeluk Bintang "Gue mau jauhin minuman itu dari lu" Gadis itu memegangi perut Bintang setelah melepas pelukannya "Di sini om, hati lu sakit, alkohol bukan obat yang bagus, gue bantu sembuhin hati lu" Tukas gadis itu lagi kemudian kembali memeluk Bintang "Kenapa lu minum alkohol om?" Gadis itu balik bertanya sambil mendongak untuk menatap wajah Bintang yang terlihat buram di matanya
Lelaki itu menarik nafas "Hari saya tidak begitu baik" Sautnya "Dan sekarang kamu mabuk" Sambungnya
Teresa kembali tertawa "Gue nyusahin lu ya?" Tanya gadis itu tidak menghentikan tawa ironinya
Begitu saja Bintang membungkuk untuk memeluk Teresa kemudian mengangkat gadis itu dalam gendongannya "Kamu tidak menyusahkan saya, kamu membuat saya khawatir dan berfikir irasional" Tukas lelaki itu membawa Teresa bada sebuah kabin di pesawat itu dan membaringkan gadis mungil itu di tempat tidur
Lelaki itu mengusap kepala gadis itu, gadis itu kembali menyeringai dan menahan salah satu tangan lelaki itu "Lu tau kan gue gak bisa tidur di kasur" Tukanya dengan wajah yang memerah hingga ke telinga
Lelaki itu membaringkan tubuhnya di samping Teresa, mengelus kepala gadis itu "Saya di samping kamu, tidak apa-apa, pejamkan mata kamu"