webnovel

To Be Young and Broke

Teresa seorang gadis berusia 18 tahun berusaha membalaskan dendamnya pada seseorang yang amat menyayangi dirinya, ayahnya. Tetapi jalannya tidak mulus, diantara dendam dan ayahnya, Teresa dihadapi oleh seorang teman, sahabat dan mungkin cinta pertamanya, di sisi lain kehidupan bersama Bintang seorang duda berusia 17 tahun lebih tua dari dirinya dengan kondisi sekarat menjanjikan pembalasan dendam yang lebih mudah dan cepat untuk dipilihnya. Apa yang akan terjadi diantara mereka? Pertarungan antara cinta dan dendam, masa muda dan kematangan, kemapanan dan kehancuran.

StrawMarsm · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
26 Chs

1| To Be Young and Broke

Dunia ini memang tak pernah adil sejak awalnya, tapi tergantung setiap orang untuk memikirkannya, mengeluh, mengumpat padanya, membuatnya lebih baik atau bersikap masa bodo dan bersenang-senang di dalamnya. Uang, masa muda dan waktu adalah hal yang terutama yang dapat membeli kebahagiaan, tapi kebahagiaan sediri adalah sebuah sosok yang kerap kali jual mahal dan sulit digapai untuk waktu yang lama, sesuatu yang banyak dipertanyakan dan disesalkan, sesuatu yang abstrak dan nyata di saat bersamaan yang tidak membutuhkan petuah atau kitab untuk hadir dan dirasakan. Sesuatu yang muncul dan pergi begitu saja, susuatu yang tidak dapat selalu dicapai dengan cara yang sama.

Kebahagian adalah sesuatu yang berbeda untuk setiap orang dan golongan, para orang tua berfikir bahwa kebahagian adalah jika mereka melihat anak mereka sukses dan menjalani hidup seperti boneka puppet atau boneka tali yang bisa diatur setiap saat. Bagi seorang remaja umumnya kebahagian adalah sebuah kebebasan, bebas dalam semua artian tanpa tali kekang dan semua moral yang mengikat. Bagi orang yang kasmaran, kebahagian mereka adalah kebahagian orang lain yang mereka sukai. Itulah kebahagian ideal yang umum digaungkan, tapi apakah benar itu kebahagiaan? Bukan hasrat sosial?

Dipojokan taman belakang sekolah, dua orang remaja berseragam asik memadu kasih dan mengecap satu sama lain, mereka adalah Teresa dan Roy

Teresa adalah putri sulung seorang pengusaha ternama. Wajahnya cantik, memiliki banyak uang dan masa muda yang menakjubkan dengan kesehatan yang dapat dikatakan maksimal. Sebaliknya, Roy adalah seorang anak bungsu dari keluarga pas-pasan jika kata miskin terlalu kasar. Wajahnya tampan, sehat dan muda. Tapi tidak memiliki uang dan kuasa.

Teresa menatap wajah Roy dengan senyumannya yang manis tapi dipenuhi misteri "Roy, kita nikah yu" Tukas wanita itu

Roy terkekeh menjauhkan wajahnya dari Teresa dan menyalakan sebatang rokok "Gila kali lu ya, masa cewe ngelamar gue duluan" Tukas Roy ditengah-tengah hembusan asap rokoknya

Teresa ikut tertawa kecut "Gue fikir kita udah gak hidup di dark age deh, cewe udah lama tuh gak jadi gender ke dua, kita setara. Gue bebas ngelamar siapa aja" Tukas Teresa sembari mengambil sebatang rokok dari saku kemeja seragam Roy

Roy menyandarkan tubuhnya ke dinding di belakangnya, menikmati sesapan rokoknya, membiarkan asap itu berkelana di paru-parunya dan mempersingkat usianya "Trus setelah kawin sama gue lu mau apa? Melarat bareng sama gue?"

Teresa kembali menyeringai dan ikut bersandar pada lengan Roy "Duit bukan masalah buat gue. Lu bisa kerja atau lu bisa hidup gue yang biayain"

Roy memejamkan matanya dan menghembuskan nafas jengah "Lu kira orang tua lu bakal ngebiarin anaknya melarat kawin sama gue? Lu punya segalanya Ter, ngapain sih lu ngejebak diri lu sama gue? Gue kayaknya gak pernah melet lu deh. Lagian meskipun gender udah setara, gengsi cowo tuh lebih tinggi dari harga dirinya, gak mau gue hidup di bawah ketek lu"

Kepulan asap mengembus di udara, membuat pandangan mereka buram seperti masa depan. "Ini hidup gue kali, gak ada hubungannya sama restu nyokap bokap. Yang kawin kan gue"

Roy menoleh menatap Teresa "Sinting lu ya, lu emang kaya, tapi lu gak bisa kurang ajar. Tanpa mereka lu gak ada, tanpa duit mereka lu mungkin hidup melarat kayak gue"

Teresa menghembuskan asap di mulutnya ke wajah Roy "Emang lu pikir kita lagi ngapain? Emang selama ini kita anak baik-baik? Sejak kapan juga lu berubah jadi manusia suci plus munafik? Gue juga gak minta buat dilahirin, mereka gak minta persetujuan gue, tiba-tiba gue udah hidup belangsak aja kayak gini" Teresa kembali menyesap rokoknya "Oh, jadi karena melarat sekarang lu jadi menjunjung tinggi moral?"

Roy menjauhkan tubuhnya dari Teresa "Jing bangsat lu ya, gue emang melarat tapi gue gak kurang ngajar"

Teresa tertawa meremehkan "Lu belum sadar aja"

Roy membuang putung rokoknya "Lu yang belum sadar, lu punya segalanya, lu cuma lagi drama aja sok-sokan nyalahin nyokap bokap lu, sok ngerebel. Lu tuh udah lahir pake mahkota, masalah waktu aja lu bakal sadar dan menjelma jadi manusia kayak ortu lu yang lu benci"

Teresa mejauhkan tubuhnya dari Roy dan menatap laki-laki itu tajam "Trus lu mau nyalahi keadaan? Lu mau ngerek kenapa gue kaya dan lu melarat dan lu serta gengsi lu yang selangit itu bakal lu jadiin alesan seumur hidup lu buat ngebatasin diri lu dari dunia? Trus lu mau diem aja dipojokan ngerokok sambil maksain pikiran sempit lu adalah opini terbenar di dunia?"

Roy menatap tajam Teresa "Lu butuh kaca"

Teresa membalas tatapan Roy "Gue ngaca dari lu. tolol"

Teresa tidak berniat untuk mengikuti pelajaran setelah untuk kesekian kalinya, Roy menolak ajakannya untuk menikah, lagi pula, meskipun mungkin Roy menerima ajakannya, Teresa akan tetap tidak berniat pada pelajaran. Kelas itu seperti biasa, sepi karena seorang guru wanita paruh baya sedang menjelaskan 'apapun itu' di depan kelas, sebagian murid memerinya hormat dengan mendengarkan, sisanya mengembara di alam mimpi atau sibuk dengan fikirannya sendiri seperti yang sedang diakukan oleh Teresa.

Teresa memandang langit biru yang berawan dari balik jendela di kelasnya, iya tidak sedang memikirkan apapun, dia hanya sedang sibuk melamun, getaran ponsel di kolong mejanya membuatnya sedikit tersentak, 'Papa' satu kata itu berkedap-kedip di layar ponselnya

Teresa mengangkat tanganya tinggi-tinggi

Sejenak wanita paruh baya di depan kelasnya berhenti berbicara "Ya Teresa, ada yang ingin kamu tanyakan?"

Semua mata tertuju pada Teresa, sebagian dengan tatapan penasaran, dan sisanya dengan tatapan heran

"Toilet bu" Tukas Teresa tanpa dosa

Sejenak sang guru agak terkesima dan semua pandangan yang tertuju pada Teresa kembali menghadap depan dengan dengusan yang tidak disembunyikan

Sang guru mengagguk dan kembali meneruskan ceramahnya

Teresa berjalan menyusuri lorong dan menuruni anak tangga, pada anak tangga ke 5, dia berhenti dan duduk di sana

"Halo" Tukasnya datar

"Resa, kamu dimana?" Tukas suara di sebrang sambungan telfone

"Sekolahlah" Sautnya sambil memutarkan bola matanya jengah

"Kamu gak lagi boloskan?"

Teresa mendengus "Kalaupun aku bolos, emang kenapa?" Tukasnya jengah

Terdengar dengusan pula di sebrang sana "Satu jam lagi kamu udah harus ada di rumah"

Teresa berdecak "Apaansi. Dari sini ke rumah aja sejam lebih. Lagian aku mau nokrong dulu" "Udah ah gak usah telfone-telfone lagi"

Sebelum sambungan diputus oleh Teresa, suara teriakan yang memekakan telingan memaksa Teresa untuk mendengarka "PULANG SATU JAM LAGI! ATAU TERAKHIR KALI KESEMPATAN KAMU KETEMU SAYA MUNGKIN DIPEMAKAMAN SAYA!" Lalu sambungan terputus

"Apaansi" Gumam Teresa pada dirinya sendiri sembari memandang layar ponselnya, Teresa kembali ke kelas dengan berat hati, dia berjalan menuju kelasnya, namun pandangannya tertuju pada ponselnya, dia menabrak seseorang di depannya dan ponselnya terpental dari tangannya

"Bangsat!" Desisnya sambil melihat pemandangan ponselnya yang tergeletak tidak jauh dari tempat sampah, tanpa menghiraukan siapapun yang ditabraknya, Teresa segera bergegas memungut kembali ponselnya, dia menekan semua tombol dan layar sentuhnya, ponsel itu tidak dapat menyala dan retak pada layar ponsel itu juga terlihat parah

Kesal dengan rangkaian kejadian yang terjadi padanya, Teresa melenggang pergi dengan langkah yang disentakan tanpa menoleh pada siapapun yang ditabraknya, baru selangkah kakinya berjalan, langkah Teresa berhenti karena cekalan di tangannya

Teresa mendengus "Udah sana pergi, gua gak butuh tanggung jawab lu, tapi gue juga gak sudi minta maaf" Tukasnya tanpa melihat siapa orang yang menabraknya

Pria itu mendengus masih memegang lengan Teresa "Lu mau kemana Ter?"

Teresa mendongakan wajahnya menatap pria itu "Kelas" Tukas Teresa sambil berusaha menghentakan pegangan Roy di lengannya "Lepasin"

Roy tidak menghiraukan Teresa yang berusaha melepaskan cengkraman tangannya pada lengan Teresa "Gue denger telfone lu sama Om Evan"

Teresa melotot "Dasar tukang nguping"

Roy menghebuskan nafas "Lu mau gue anterin balik?" Tukasnya sambil melepakan tangannya pada lengan Teresa

Teresa mengernyit "Pake sepeda? Lu langsung anterin gue ke makam bokap aja sekalin, gak usah ke rumah!" Teresa mendengus "Gue ngebut pake motor aja, dari sini ke rumah gue udah se-jam lebih, apalagi pake sepeda, lu gowes sekuat tenaga pun gak guna" Seloroh Teresa sambil berkacak pinggang

Roy menaikan sebelah alisnya "Pake motor"

Teresa masih mendengus untuk beberapa detik sebelum ia menyadari ucapan Roy "Hah" hanya itu yang yang keluar sebagai responnya

Roy menarik senyuman di bibirnya "Gue part-time selama ini, dan ditambah kerja di 'sana-sini' gue udah bisa beli motor"

Teresa masih setengah percaya mendengar kata-kata Roy "5 menit lagi, tunggu gue di gang belakang" Tukasnya

Saat Teresa kembali ke kelas, tiada guru yang mengajar di depan, memang jeda pergantian mata pelajaran, Teresa tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, dengan mudahnya ia kabur dari kelas, dengan cepat Teresa sudah bergegas dan berdiri di gang belakang sekolah, tempat dimana pedagang kantin memakai akses itu untuk keluar masuk lingkungan sekolah, Teresa hanya harus mengeluarkan sedikit uang untuk menyogok Bang Setia, penjaga pintu itu untuk keluar masuk area sekolah kapanpun ia suka.

Teresa berdiri di ujung gang dengan gusar selama semenit sebelum sebuah motor menghampirinya "Sorry telat dikit, tadi gue setengah mati kabur pelajaran Pak Darso" Tukas Roy dari balik helmnya dengan kaca yang dibuka

Teresa memindai Roy dan motornya bergantian "Lu gak mungkin beli motor ini kan?" Tukas Teresa tidak percaya

Roy hanya menyeringai "Naek buruan" Tukasnya sambil memberika helm pada Teresa

Dengan ragu Teresa mengambil helm yang diserahkan Roy padanya dan menaiki motor itu

"Pegangan" Tukas Roy

Teresa melingkarkan tangannya di pinggang Roy "Lu kerja apaan sampe bisa beli motor kayak gini?" Tukasnya sebelum motor melaju

"Adadeh" Tukas Roy dengan seringai di wajahnya dan membawa laju motornya dengan kencang

Tidak ada percakapan antara Roy dan Teresa selama di perjalanan, Roy membawa motornya dengan sangat kencang, tidak membuka kesempatan untuk mereka berbicara. Kurang dari 30 menit, mereka telah sampai di rumah Teresa

Teresa turun dengan hati-hati dari motor Roy sembari membuka helm-nya dan mengembalikannya pada Roy

"Ter" Tukas Roy melihat Teresa yang hendak memasuki pagar rumahnya, Teresa mengurungkan niatnya dan berbalik kembali menatap Roy "Setelah gue lulus, gue gak ambil kuliah. Gue udah ada kerjaan dan uangnya lumayan. Gue rasa gue bisa ngehidupin lu. Tapi, lu harus nunggu setaun lagi sampe lu lulus" Tukar Roy dengan agak canggung dan mengalihkan matanya menuju stang motornya

Teresa menyeringai, ia melangkah kan kakinya mendekati Roy dan melepaskan helm pria itu, Teresa mengecup pipi Roy "Lu yakin gak mau secepatnya? Nanti gue keburu diambil orang gimana?"

Roy mendengus mengalihkan pandangannya dari Teresa, tak kuasa membendung senyumannya "Setaun gak lama. Bukannya lu ya yang harusnya khawatir, gue bisa aja berpaling" Tukas Roy sembari masih menyembunyikan senyum

Teresa menyeringai "Yaudah, tunggu gue setaun lagi setelah lu lulus" Kemudian melangkah memasuki pagar rumahnya, Teresa berbalik sekilas "Thanks ya" Tukasnya kemudian melanjutkan langkanya menuju pintu utama

Seperti biasanya, hanya seorang pembantu yang menyambutnya setiap ia kembali ke rumah itu

"Non, pulang lebih awal" Tukasnya tapi tidak dengan nada keheranan "bapak sudah ada di atas, memang menunggu non" "Non, mau makan apa?" Tanya Bi Yun, wanita paruh baya yang sudah lama bekerja pada keluara Teresa

Teresa memaksakan seulas senyum "Gak usah bi, aku gak laper. Udah makan tadi"

Bi Yun hanya mengangguk dan membiarkan Teresa menaiki anak tangga menuju kamarnya

Sebelum menuju ke kamarnya, Teresa mendapati ayahnya dan ibu tirinya sedang berdebat di ruang duduk yang bersebrangan dengan kamarnya, Teresa awalnya tidak memperdulikan dan hendak melangkah memasuki kamarnya, tapi..

"Mas, kamu yakin mau bilang itu ke Resa?" Tukas Talita

"Aku gak punya pilihan Tal" Tukas Evan

"Kamu kan bisa langsung bilang ke Mas Arahap kalo Resa gak mau" Argumen Talita

Evan mengembuskan nafas berat "Besok Mas Arahap mau kesini, dia mau ketemu langsung sama Resa, kalo aku gak bilang sama Resa sekarang, aku gak tau bakal sekacau apa besok"

Talita juga ikut menghela nafas panjang "Tapi kamu juga gak setujukan kalo Resa dijodohin sama Bintang?"

"Yaiyalah, aku gak mau Resa nikah muda, aku mau dia nikmatin hidupnya, aku mau dia kejar semua mimpi-mimpinya dulu" Seru Evan

"Terus kenapa kamu setuju sama perjodohan ini?" Tanya Talita tak habis fikir

Evan kembali menghembuskan nafas beratnya "Karena kamu tau kan, hutang budi aku sama Mas Arahap sebesar apa? Dia baik sekali sama keluarga ku,dia sudah seperti ayah aku sendiri. Aku gak bisa nolak, Om Arahap sudah hampir menyerah dengan kondisi Bintang dan di sisi lain, aku juga kasihan sama Bintang, dia dari kecilpun memang sudah sakit-sakitan. Tapi aku juga gak rela membiarkan putriku menderita dengan Bintang" Tukas Evan dengan serak

Talita mengelus lengan Evan

"Tapi aku yakin, Resa akan menolak tawaran ini, dia selalu menentang perkataanku, dia juga akan menentang perjodohan ini" Tukas Evan meyakinkan dirinya sendiri "Aku bahkan ngga yakin Resa akan pulang jam 4"

"Mas, kamu baru telfone dia sekitar jam 3 tadi mas, masih ada sepuluh menit lagi sebelum jam 4, Resa pasti dengerin kamu mas" Hibur Talita

"Tapi mas, gimana sama Mas Arahap?" Tanya Talita gelisah

Segurat senyum menyambangi wajah Evan "Dia gak akan marah, dia juga gak berharap banyak kalo Resa bakal terima perjodohan ini"

Teresa menguping percakapan antara ayah dan ibu tirinya sedari tadi, merasa sudah tidak ada percakapan lagi antara ayah dan ibu tirinya, Teresa melenggang melewati kedua orang tuanya belaga ia tidak mengetahui apapun tentang percakapan antara ayah dan ibu tirinya

"Resa" Panggil Evan yang melihat putri sulungnya melangkah begitu saja memasuki kamarnya tanpa memperdulukan ia dan istrinya

Teresa yang sudah hendak membuka pintu kamarnya mengurungkan niatnya, dengan ekspresi jengah ia menoleh pada ayahnya

"Apa" Tukasnya dengan nada kesal

Evan menarik nafas mencoba menetralisasi amaranya karena sikap kurang ajar putri sulungnya

"Duduk" Tukas Evan sambil mengarahkan pandangannya pada sofa kosong di hadapannya

Dengan decakan terpaksa, Teresa menuruti perkataan ayahnya

"Papa harus kembali ke kantor satu jam lagi, mungkin baru pulang lewat dari tengah malam, sudah tidak ada waktu lagi mangkanya papa maksa kamu untuk bicara hari ini" Tukas Evan mebuka percakapan "Besok Kakek Arahap akan datang ke sini"

Teresa medengarkan tanpa minat dengan pandangan tertuju pada lampu gantung besar yang menyala kuning tanpa mengiraukan wajah ayahnya

Evan kembali menghembuskan nafas berat "Kakek Arahap mau menjodohkan kamu dengan Bintang" Tukas Evan pada akhirnya

Teresa memalingkan wajahnya pada Evan, tiada raut terkejut di sana "Papa setuju?" Tanyanya

Evan mengangguk dengan lemah dengan tatapan tertuju pada karpet bulu di bawah kakinya "Kamu pasti mau tolakkan?"

Teresa bangkit berdiri dan menggeleng "Resa terima" Tukas Teresa dengan amat sangat santai

Teresa beranjak menuju kamarnya tanpa perduli dengan ekspresi terkejut kedua orangtuanya

Sejujurnya Teresa tidak perduli dengan siapa ia akan menikah , ia hanya ingin membuat ayahnya kecewa. Teresa tau, ayahnya telah mempersiapka segala yang terbaik untuk dirinya dan masa depannya, ayahnya adalah ayah yang baik. Dulu. Sebelum semunya berubah dan yang tersisa hanya kebencian pada diri Teresa untuk ayahnya, sehingga, membuat ayahnya kecewa dan menderita adalah tujuan dari hidupnya sekarang ini

Teresa sedang menenggelamkan dirinya pada lamunan singkat sebelum ketukan tidak sabar pada daun pintu kamarnya, mengantarkannya kembali pada kenyataan

"RESA" Tukas suara di balik daun pintu kamarnya

Teresa membuka pintu itu dengan ekspresi kesal dan mendapati ayahnya berdiri di depan pintu dengan wajah merah dan mata berkaca-kaca, sedangkan Talita memegangi memeluk suaminya dari belakang, seolah-olah menahan suaminya

"Teresa, sayang, kamu gak serius kan terima perjodohannya?" Tukas Evan selambut lelatu "Nak, kamu tau kan kalau Bintang itu sakit, kamu pernah ketemu sama diakan waktu kamu kecil, kamu gak sukakan sama dia waktu itu?"

Teresa menyeringai "Aku emang gak suka sama semua orang waktu itu" Teresa maju selangkah, wajahnya dengan wajah ayahnya hanya berjarak satu jengkal, pandangan mereka bertemu, Teresa menatap tajam pada mata ayahnya "Pernah papa liat aku gak serius sama omongan aku?"

Air mata menetes dari mata ayanhya, Teresa mundur selangkah dan menutup pintu kamarnya tepat di depan wajah ayahnya

Evan jatuh ke lantai dengan setelah pintu tertutup

"Mas kamu.. kamu.." Talita tidak mampu menyelesaikan kalimatnya, dia juga ikut menangis

"Aku gak tau apa yang sudah kaku lakukan pada putri ku, aku tau dia akan menderita jika bersama Bintang, dan aku yang menawarkan penderitaan itu, harusnya dia menolak, kenapa dia terima? KENAPA DIA TERIMA?" Raung Evan

Talita memeluk Evan dalam rengkuhannya "Mas, masih ada kesempatan untuk Teresa bahagia bersama Bintang mas" Tukas Talita berusaha menghibur Evan

Evan membenamkan kepalangan pada tengkuk istrinya "Kamu tau kan Tal, Bintang kena Kanker Hati, dia udah lemah dari dia bayi, aku gak mau Teresa ketemu Bintang cuma untuk sesaat dan Teresa bakal menderita dan tertekan sesudahnya dalam waktu yang lama"

Talita ikut menangis sambil menciumi puncak kepala suaminya

Malam itu adalah malam yang panjang untuk Teresa dan orang tuanya, ayahnya pulang jam 3 pagi dengan keadaan mabuk dan Teresa sangat yakin, Talita tidak tidur semalaman untuk mengurus suaminya

Ruang makan sepi, hanya Teresa yang menatap makanan di hadapannya tanpa minat, tidak ada yang bersemangat hari itu, semua pekerja lembur kerena onar yang dibuat ayahnya saat mabuk, Teresa fikir, semua orang tau perkara apa yang membuat tuan mereka berakhir dengan keadaan demikian. Satu-satunya orang yang masih ceria dengan senyum mengembang adalah Hani, Hani tidak tau apa yang terjadi kemarin dan jam 3 pagi tadi, ia masih tertidur pada dua rangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan itu. Hani adalah adik tiri Teresa hasil pernikahan ayahnya dengan Talita.

Melihat Hani tersenyum kepadanya dan menjulurkan garpu dengan sosil di ujungnya untuk Teresa, Teresa mamaksakan seulas senyum pada bibirnya dan melahap sosis itu. Teresa tidak pernah menyukai pernikahan ayahnya dengan Talita, tapi Hani, tidak ada hubungannya dengan rasa tidak sukanya dengan Talita maupun rasa bencinya pada ayahnya, Hani tidak tau menahu tentang itu. Teresa menyayangi Hani sama seperti ia menyayangi Kaisar, kadang ia merasa Hani adalah Kaisar, Teresa kadang malah tidak dapat membedakan, mana yang berusaha ia gantikan

Melihat Hani asik menikmati sarapannya dan kembali mengacungkan garpunya dengan potongan sosis lainnya pada Teresa, tanpa sadar Teresa tersenyum, senyum yang tidak dipaksakan, ia kembali malahap sosis itu dan begantian menyuapi Hani dengan roti selai di hadapannya

Evan masih tertidur hingga satu jam sebelum kunjungan Arahap ke rumahnya, sementara Talita, ia sama sekali tidak tertidur karena menjaga suaminya yang mabuk dan terus muntah-muntah, Talita hendak mengambil secangkir kopi untuk dirinya sendiri saat mendapati Teresa dan Hani sedang tertawa dan menyuapi makanan untuk satu sama lain, Talita mengurungkan niatnya untuk secangkir kopi. Dia telah mendapatkan asupan kafeinnya dengan melihat kedua putrinya tertawa bahagia

Talita menyayangi Teresa, Kaisar maupun Hani dengan segenap jiwa dan raganya, Talita tau jika Teresa sebenanya adalah anak yang baik, dia sangat menyangai Hani, bahkan senyuman pertama yang Talita lihat dari Teresa adalah saat Teresa melihat Hani yang baru lahir untuk pertama kalinya

Teresa hanya belum cukup dewasa untuk memafkan, untuk menerima kenyataan atau bahkan mendengar kebenaran.

Melihat momen bahagia di hadapannya, Talita tidak ingin merusaknya, Talita tanpa sadar men-dial sebuah nomer pada ponselnya, Kaisar

"Halo, nak, Kamu sudah sarapan?" Tukas Talita pada seseorang di sebrang sambungan itu

Semua anggota keluarga yang ada di rumah itu menyambut kedatangan Arahap, Hani langsung berlari memeluk Arahap saat lelaki itu memasuki halaman rumah, Teresa menyambut dengan senyum yang dipaksakan dan Evan masih setengah pengar memaksakan diri untuk terlihat tidak mabuk

Selama setengah jam, baik Evan maupun Arahap berbincang bertukar kabar dan bebasa-basi mengenai berbagai hal sebelum Arahap mengutarakan maksud dirinya yang sesungguhnya untuk berkunjung ke rumah Evan

Evan berdeham dan terlihat kikuk "Maaf mas, tapi Resa meno.."

Belum sempat Evan menhabiskan kalimatnya "Aku setuju Kek" Tukas Teresa memotong kalimat Evan

To Be Continue 17-06-20

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

StrawMarsmcreators' thoughts