webnovel

TIKAM SAMURAI

An appreciation to Mr. Makmur Hendrik.... ---000----- “kau tak akan selamat Saburo. Aku bersumpah akan menuntut balas dari akhirat. Kau akan mati dibunuh oleh Samuraimu sendiri. Akan kau rasakan bagaimana senjatamu menikam dirimu. Kau akan ditikam oleh Samurai yang kau bawa dari negerimu. Ingat itu baik-baik. Aku bersumpah…..” Tikam Samurai bercerita tentang kisah hidup seorang anak muda yang berasal dari desa Situjuh Ladang Laweh, yang terletak di kaki Gunung Sago, Sumatra Barat. Tragedi bermula dengan penyerbuan sepasukan kecil tentara Jepang di sekitar tahun1942 ke desanya. Kebengisan tentara Jepang mengakibatkan ayahnya tewas di tangan Saburo Matsuyama, seorang perwira lapangan dan ibu dan kakak perempuannya ikut menerima dampak buruk dari perlakuan prajurit Jepang. Si Bungsu nama anak muda itu, satu-satunya yang selamat di keluarganya. Samurai yang ditinggalkan oleh Saburo menjadi sarana latihan untuk mulai meretas jalan menuju Jepang untuk menuntut balas. Ia akhirnya menciptakan jurus Samurai yang khas yang dapat memenangkan pertarungan demi pertarungan melawan para penjahat bahkan prajurit Jepang sendiri. Beberapa prajurit Jepang melakukan harakiri untuk mengakui kekalahannya menghadapi si Bungsu. Berbagai peristiwa unik dengan latar sejarah akhirnya mengiringi perjalanan si Bungsu menuju Jepang. Berkenalan dengan anggota pasukan khusus Inggris Green Barret dan bertarung dengan Yakuza. Dia akhirnya berhasil menemukan pembunuh keluarganya, Saburo Matsuyama, musuh besarnya di Kyoto, dan mengantarkan Saburo untuk memilih harakiri setelah dikalahkan dalam pertarungan Samurai sejati oleh si Bungsu.

BIAAN · Acción
Sin suficientes valoraciones
266 Chs

Engkau berada di atas ranjau…

Sekitar sepuluh menit mengendap-ngendap dari pohon ke pohon, dari balik batu yang satu ke batu yang lain, akhirnya dia menemukan tempat asal suara yang tadi dia dengar. Ada api unggun kecil di balik dua batu besar, tak jauh dari sebuah bukit yang menjulang terjal.

Di sekitar api unggun itu hanya ada dua tentara sedang bersandar ke batu, dengan bedil di tangan, sedang ngobrol perlahan. Si Bungsu memperhatikan dengan seksama tempat kedua orang itu berbaring. Dia harus berusaha agar sekitar seratusan tentara Vietnam di tempat penyekapan tawanan Amerika ini tak mengetahui kehadirannya, sebelum dia berhasil membebaskan Roxy.

Tugas pertamanya sekarang tentu saja harus mencari di mana goa tempat penyekapan itu. Pasti di bukit yang dijaga ini, tapi di mana?Dia menatap bukit tersebut. Kegelapan malam yang kental menyebabkan dia hanya melihat sosok bukit cadas tinggi menjulang, Tak melihat pepohonan apalagi goa di tebing bukit batu terjal tersebut. Saat dia kembali memperhatikan kedua tentara di dekat api unggun itu, terdengar suara tawa renyah mendekat.

Kedua tentara di dekat api unggun itu berdiri. Hanya beberapa saat kemudian, kedua wanita Eropah yang tadi datang menjadi pemuas nafsu perwira di salah satu barak, yang diintip sesaat oleh si Bungsu dan Han Doi, kelihatan muncul. Sebagaimana saat si Bungsu melihat kedua wanita itu ketika muncul dari daerah perbukitan ke areal terbuka di depan barak, yaitu diiringi dua tentara Vietnam, kini juga begitu.

Kedua wanita itu muncul di dekat api unggun juga dengan dua tentara yang tadi mengantar mereka ke barak tersebut. Si Bungsu melihat hal yang hampir membuat dia muntah didekat api unggun yang hanya sekitar sepuluh depa dari tempat dia bersembunyi.

Begitu kedua wanita itu muncul dekat perapian, begitu kedua tentara yang menunggu itu tegak. Seperti sudah ada kesepakatan sebelumnya, kedua wanita itu segera saja menyerahkan diri mereka ke dalam pelukan kedua tentara yang menanti. Dan mereka merebahkan diri dan bergumul di dekat api unggun, sementara dua tentara yang tadi mengantar kedua wanita itu duduk menatap perbuatan kedua temannya.

Hanya dalam waktu sekejap, pakaian keempat manusia yang bergumul itu sudah tercampak kemana-mana. Si Bungsu menyandarkan diri, membelakangi keempat manusia yang sudah tak lagi mengenal batas-batas adab itu.

Cukup lama dia duduk bersandar, ketika dia dengar suara cekikikan, dan menoleh ke arah api unggun. Nauzubillah, dia lihat dua tentara yang tadi hanya menonton, kini mendapat giliran.

Jika mau, ini adalah kesempatan yang amat baik bagi si Bungsu untuk menghabisi ke empat tentara tersebut. Namun dia harus berfikiran taktis. Tugas utamanya bukan untuk membunuhi tentara Vietnam, melainkan untuk membebaskan Roxy.

Akan jauh lebih baik andainya dia bisa membawa wanita itu tanpa harus berperang. Karenanya, dia terpaksa menanti ke empat tentara Vietnam di dekat api unggun itu menyelesaikan permainan setan mereka bersama kedua wanita tersebut.

Sialnya, permainan itu tak segera bisa mereka akhiri. Usai tentara yang dua, yang dua pertama terjun lagi. Usai mereka, yang mengantar wanita itu menggantikan. Laknatnya, kedua wanita itu kelihatan melayani mereka dengan suka cita.

Si Bungsu menyumpah panjang pendek. Ketika perbuatan yang beronde-ronde itu usai. Kedua wanita tersebut ternyata tak segera kembali ke goa dimana mereka disekap. Mereka terkapar di dekat api unggun, dalam keadaan tak berkain secabik pun, di antara ke empat tubuh tentara Vietnam. Setelah terdengar lolong panjang anjing hutan, salah seorang dari tentara itu bangkit. Memakai celana dan baju, kemudian membangunkan kawannya, lalu membangunkan pula kedua wanita tersebut.

Orang-orang yang dibangunkan itu segera memakai pakaiannya masing-masing. Lalu mereka mulai bergerak arah ke bukit terjal tak jauh dari tempat mereka berada.

Si Bungsu menyelinap dengan cepat di dalam belantara tersebut, menyusul langkah ke empat orang yang menuju ke bukit itu. Ketika hampir sampai ke kaki bukit batu terjal itu, inderanya yang amat tajam mengisyaratkan bahaya yang mengancam.

Dia yakin pada cerita Thi-thi bahwa jalan ke tempat penyekapan tentara Amerika ini dipenuhi ranjau. Keempat orang yang dibuntutinya itu lenyap ke balik dua batu besar di kaki bukit. Dalam waktu singkat dia tiba di sana, dan masih sempat melihat cahaya senter dari salah seorang tentara Vietnam yang akan masuk ke sebuah goa.

Goa itu benar-benar tersembunyi di balik pepohonan dan ada batu besar di depannya. Jika tidak pernah menempuh jalan tersebut, kendati berdiri semeter di depannya, orang pasti takkan tahu bahwa itu adalah mulut sebuah goa. Si Bungsu menyelinap masuk, dan tetap menjaga jarak dengan ke empat orang itu agar kehadirannya tak diketahui. Goa itu ternyata memiliki terowongan bercabang-cabang.

Si Bungsu menggeleng. Kendati sudah berada di dalam, sungguh tak mudah bagi orang untuk mencari mana jalan yang harus ditempuh di antara sekian cabang terowongan itu.

Bahagian dasar terowongan utama yang sedang dia lewati sekarang adalah lantai goa yang tidak rata. Selain batu-batu besar bersumburan, terowongan ini juga memiliki celah-celah yang dalam. Jika tak hati-hati orang bisa terperosok. Setelah melewati empat cabang terowongan, ke empat orang di depan sana dia lihat masuk ke terowongan sebelah kanan.

Ketika dia sampai ke terowongan itu, dia hampir kehilangan jejak. Hanya lima meter ke dalam terowongan itu ternyata bercabang tiga. Ada yang lurus, ada yang ke kiri dan ada yang ke kanan.

Hanya dengan mengandalkan pendengarannya yang tajam dia bisa mengetahui bahwa keempat orang itu menempuh jalan yang ke kiri. Terowongan itu ternyata merupakan sebuah anak tangga berkelok-kelok dan mendaki amat terjal ke atas. Dia memperkirakan sudah mendaki sekitar dua puluh meter, ketika tiba-tiba dia sampai ke sebuah terowongan yang lebih besar dan mendatar.

Di terowongan yang agak besar dan datar ini ada penerangan berupa damar atau mungkin juga karet, yang diikatkan di ujung kayu, kemudian dibakar. Ada sekitar lima damar yang ditancapkan dalam jarak beberapa meter di sepanjang terowongan itu. Tiba-tiba dia mendengar pintu besi berdenyit dibuka, kemudian ditutupkan. Lalu suara rantai bergerincing, lalu suara anak kunci dikatupkan. Kemudian suara langkah mendekat.

Si Bungsu segera menyeberangi terowongan datar itu, dan mencari tempat bersembunyi. Sesaat dia menyelinapkan diri ke salah satu ceruk di dinding terowongan itu, dia melihat kedua tentara Vietnam tersebut muncul. Mereka menempuh terowongan kecil dari mana mereka tadi masuk. Dia masih menanti beberapa saat, untuk kemudian dengan hati-hati melangkah ke luar.

Dia berdiri di terowongan yang diterangi lampu damar tersebut, menatap sepanjang lorong. Ada beberapa terowongan ke kiri dan ke kanan. Dia yakin, terowongan itu adalah terowongan buntu, yang dipakai sebagai tempat menyekap tawanan. Dari denyit pintu besar dan gemercing rantai, dia yakin pula, tiap terowongan tempat penyekapan ditutup dengan pintu besi.

Udara di dalam terowongan ini terasa dingin. Dia menoleh ke belakang. Hanya ada jarak sekitar tiga meter menjelang dinding batu tebal. Dia tak tahu, yang mana dinding yang menghadap ke arah barak-barak tentara Vietnam di bawah sana.

Dengan sikap penuh waspada, si Bungsu mulai melangkah mendekati salah satu terowongan yang berfungsi sebagai kamar penyekapan.

Di depan sebuah terowongan dia menghentikan langkah. Dia melihat pintu jeruji besi sebesar-besar ibu jari kaki, kemudian lilitan rantai yang juga besarnya sebesar itu dengan kunci gembok besar. Dia tak bisa melihat apa yang ada di balik pintu jeruji besi itu. Keadaan demikian gelap. Dia melangkah ke arah sebuah damar yang ditancapkan di dinding.

Sesaat sebelum tangannya mencabut damar itu, firasatnya mengatakan ada yang tak beres

dengan tangkai damar tersebut. Dia mengurungkan niatnya mengambil damar itu.

Kemudian menatap dengan teliti lobang dinding tempat damar itu di tancapkan disana.

Tapi, kenapa firasatnya mengatakan bahwa dia berada dimulut bahaya?Dia melihat ke bawah. Hanya lantai batu dengan sedikit pasir. Juga tak ada yang…!.

Diperhatikannya dengan seksama bahagian lantai yang dia pijak. Hatinya tercekat. Dia berusaha agar pijakannya di lantai tidak bergeser. Pasir halus di lantai goa ini membuat dia amat curiga.

Dia segera ingat, keempat orang yang tadi dia buntuti tetap mengambil jalan di bahagian tengah terowongan. Tak seorangpun yang berjalan di bahagian pinggir. Malah dia melihat, mereka berjalan satu-satu. Si Bungsu yakin sudah, dia telah menginjak sebuah perangkap yang mematikan.

"Engkau berada di atas ranjau…" tiba-tiba dia dikejutkan oleh suara seorang perempuan dalam bahasa Inggeris, dari arah terowongan yang baru saja dia lihat.

Dia menoleh, namun tetap tak melihat orang yang bicara. Kamar tempat penyekapan itu tak ada penerangan sama sekali. Kemudian terdengar suara gemercing rantai. Lalu suara langkah yang diseret di lantai batu. Bulu tengkuk si Bungsu merinding. Para tawanan ini rupanya tidak hanya disekap di tempat yang amat tersembunyi, tapi juga dirantai di dalam tempat penyekapannya.

Jarak dari tempat dia tegak ke pintu jerajak di depannya, di seberang lain dari tempat dia tegak, sekitar tiga meter. Sesaat kemudian dia melihat bahagian demi bahagian anggota tubuh perempuan yang bicara itu tersembul di antara jeruji besi dan tersorot cahaya damar.

Yang pertama kelihatan adalah kedua tangannya yang berantai di pergelangan, berpegangan pada jeruji besi. Kemudian kedua kakinya, yang juga dirantai di bahagian pergelangan. Lalu wajahnya menyembul sedikit di antara jerajak pintu besi tersebut.

"Engkau tidak orang Vietnam bukan?" tanya perempuan itu perlahan.

Si Bungsu menggeleng. Kemudian perlahan dia duduk. Saat itu dia mendengar suara gemercing rantai hampir dari seluruh pintu-pintu. Kemudian wajah-wajah kuyu muncul dari dalam kegelapan. Hampir seluruh manusia di terowongan itu rupanya tak tidur. Begitu mereka mendengar percakapan yang agak aneh, yaitu suara si perempuan yang mengingatkan si Bungsu akan ranjau tadi, semuanya pada bangkit, dan berjalan ke pintu. Mereka ingin tahu, siapa yang datang.

"Engkau tidak orang Vietnam bukan?" kembali perempuan itu bertanya.

Si Bungsu menggeleng sembari membuka jam tangannya. Kemudian menekan tombol. Kawat baja halus yang panjangnya semeter itu menyembul keluar dari samping jam tangannya. Dia lalu mencabut empat buah samurai kecil yang tersisip di tangannya. Belasan tawanan yang kini tegak di depan jeruji pintu masing-masing, menatap dengan diam ke arah orang asing di tengah terowongan itu. Mereka tahu, lelaki asing itu berada di atas bom yang siap melumatkan tubuhnya begitu dia mengangkat kaki.

Si Bungsu menyumpahi kebodohannya, kenapa tidak bisa menangkap keanehan tempat tentara Amerika ini disekap. Seharusnya dia tahu, tentulah ada yang tak beres jika tempat penyekapan ini tak ada pengawalnya seorang pun.

Kini, kesadarannya sudah terlambat. Dia harus mampu menyelamatkan diri dari ranjau darat yang kini dia injak. Ke empat samurai kecil itu dia tancapkan ke lantai batu. Karena mata samurai kecil itu terbuat dari baja yang amat tajam, ditambah lantai batu ini tidak begitu keras karena pengaruh udara lembab, maka dengan mudah samurai itu dia tancapkan hingga ke batas gagangnya.

Usai menancapkan keempat samurai kecil itu, dia mengambil sebuah samurai lagi. Perlahan dia mengikis pasir halus di sekitar sepatunya. Hanya beberapa saat, ujung samurainya membentur benda keras. Dia bersihkan terus, dan dia segera menemukan tutup ranjau berupa plat bundar, kira-kira sebesar asbak di bawah kaki kanannya. Dia menarik nafas. Perlahan dia mengikatkan ujung kawat baja dari jam tangannya ke salah satu gagang samurai yang di depan.

Selesai mengikat di samurai yang di depan, bahagian lainnya dari kawat halus itu dia lewatkan di bawah pantatnya. Tanpa mengangkat kaki, dia memutar duduk, menghadap ke belakang. Dia ikatkan lagi kawat baja itu ke gagang samurai yang satu lagi. Lalu hal yang sama dia lakukan ke samurai di kiri dan di kanan dengan cara menyilang. Kini di bawah kakinya ada silangan kawat baja. Dia kembali menguatkan tancapan samurai-samurai kecil itu di lantai.