webnovel

TIGA CINCIN PERKAWINAN

Nattaya dan Mugayo adalah sepasang suami istri yg menikah tanpa proses pacaran. Keduanya menikah karena masing2 mengalami kegagalan dalam menjalin hubungan dengan pasangannya masing2. Trauma cinta membuat mereka mengikuti saja alur perjodohan di tempat mereka bekerja. Hingga akhirnya, tak sampai genap dua bulan, mereka naik pelaminan. Ide perjodohan bermula dari Ardhena, teman dekat Nattaya. Setelah melewati tiga tahun pernikahan, Nattaya dan Mugayo belum juga dikaruniai anak. Namun pernikahan masih bertahan harmonis karena Mugayo adalah tipe suami setia dan penuh romantika. Nattaya lambat laun mencintai suaminya. Hingga di suatu malam yang hening, Mugayo terjatuh dari kamar mandi dan mengalami stroke. Nattaya terpukul dengan kondisi Mugayo. Tapi tak lantas menyurutkan cinta dan semangatnya untuk memperjuangkan kesembuhan Mugayo. Hingga akhirnya di titik lelah, Nattaya bertemu dengan dr. Brindan Hudais, Sp.N, ahli syaraf d sebuah RS ternama di Jakarta. Brindan Hudais tak lain adalah mantan kekasih Nattaya. Pertemuan demi pertemuan, membuat bibit cinta Brindan bersemi kembali. Ada keinginan Brindan juga untuk membayar kesalahan masa lalu. Ia berusaha kuat agar bibit yg sama tumbuh pula di hati Nattaya. Butuh waktu lama bagi Brindan untuk menaklukkan kesetiaan Nattaya pada Mugayo. Di tahun kedua sakitnya Mugayo,. Nattaya tak mampu lagi membendung keinginan Brindan untuk menjalin tali asmara. Apalagi Brindan sangat telaten membantu penyembuhan Mugayo. Ada rasa khawatir Nattaya, jika ia mengacuhkan Brindan, suaminya tak kan dtangani lagi oleh Brindan. Terlebih Biaya pengobatan Mugayo tidaklah sedikit. Nattaya tak sanggup jika hanya menanggung sendiri. Harta benda terjual sudah. Nattaya tinggal di rumahnya yang kecil dan hidup dalam kesederhanaan. Cinta terlarang pun terjadi. Bahkan tanpa sungkan Brindan mengajak Nattaya untuk menikah. Perdebatan tak terelakkan hingga Nattaya akhirnya bersedia mengikuti kemauan Brindan yang nekat akan bunuh diri jika kemauannya tidak dituruti. Selepas itu, keduanya pun menikah siri. Ada janji Brindan, bahwa jika Mugayo sembuh dan kembali bisa memberikan nafkah lahir batin kepada Nattaya, ia akan mentalak Nattaya. Ia pun menyanggupi permintaan Nattaya untuk tidak melakukan hubungan suami istri. Kemudian rahasia pernikahan terbongkar ketika terjadi kecelakaan. Kecurigaan Mugayo yang selama ini terpendam akhirnya terbukti. Bagaimanakah ujung dari novel ini? Kita ikuti bab demi bab Novel "Tiga Cincin Perkawinan" Karya Isnu Fadhilah Arohmi,...

Ifadh4numi · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
12 Chs

Akhirnya sah!

Tak terasa kedekatan Mugayo dan Nattaya sudah berlangsung hampir dua bulan lamanya. Ketika berusaha menjauh atau menghindar, Nattaya selalu saja mendapat desakan dari Ardhena yang sudah tak takut dengan amarah Nattaya. Tekad bulatnya harus secepat mungkin mengunci hubungan Nattaya dan Mugayo agar tidak ada celah pengganggu datang. Kesempatan emas tidak akan datang dua kali. Kalaupun datang, mungkin entah kapan.

"Saya sudah terserah kamu saja. Suruh ke kanan ya ke kanan. Ke kiri ya ke kiri." Mugayo tengah berada di percakapan serius dengan Ardhena selepas jam kerja. Nattaya tak dilibatkan karena dia sedang menemani beberapa klien. Dan kesempatan ini tidak ingin disia siakan oleh Ardhena untuk mendongkrak keberanian Mugayo.

"Kalau begitu, Pak Mugayo harus maju dan maju. Jangan menunggu kumbang lain melirik sekuntum bunga yang terbalut keindahan alami. Nattaya itu cantik, cerdas, emosinya terkontrol, dan memiliki postur yang ideal. Sempurna kan?"

"Ya. Sempurna. Setuju." sambut Mugayo tak menampik. Ia menunggu Ardhena bicara apalagi.

"Tapi jangan sekali sekali kesempurnaan yang sudah terlihat, kemudian ditutup dengan slogan bibit, bebet dan bobot. Kalau Pak Mugayo dan keluarga memegang prinsip 3B itu, saya sarankan mundur."

"Oke."

"Oke apa?! Mundur? Apa maju?"

"Keluarga saya moderat. Bukan menilai seseorang dari keturunannya. Memang Nattaya bibitnya tidak jelas. Tapi dia berbebet dan berbobot. Banyak juga yang bibitnya jelas tapi tidak punya bebet dan bobot." Terang Mugayo mengalir.

"Memang bebet dan bobot itu apa maknanya?" pancing Nattaya.

"Lebih kepada materi dan prestise mungkin. Tapi bukan berarti saya materialistis, lho. Saya Alhamdulillah mapan dan berpendidikan. Paling tidak ada keseimbangan."

"Minimal kalau diajak kondangan, ada kebanggaan untuk menggandeng mesra tangannya. Nattaya itu kalau sudah pakai gaun pesta, auranya maksimal." Semangat Ardhena yang disambut senyum lebar Mugayo.

"Jadi kesimpulannya, kapan?" lanjut Ardhena

"Kapan apa?"

"Lamaran."

"Memang harus secepat itu?!" bingung Mugayo.

"Iya harus secepatnya. Kalau lama lama nanti arah hati bisa berubah."

"Nattaya pasti menerima? Ada jaminan saya tidak mengalami kegagalan untuk ke enam kalinya? Trauma saya bisa enggak sembuh sembuh."

"Berani enggak?" tantang Ardhena tak menghiraukan kekhawatiran Mugayo.

"Kenapa takut?" jawab Mugayo pada akhirnya.

"Kita buktikan! Seminggu atau dua minggu?!" lanjut Ardhena lagi tak memberi ruang untuk Mugayo berpikir lama.

"Seminggu."

"Tos dulu, Brother!" sambut Ardhena bahagia dengan keputusan Mugayo sambil mengangkat tangannya yang disambut oleh tangan Mugayo sebagai bentuk kesepakatan tidak tertulis. Rencana empat mata ini harus dimatangkan dengan kelanjutan yang pasti.

"Pokoknya saya akan semaksimal mungkin membantu proses lamaran Pak Mugayo dan mengawal sampai ke pelaminan."

" Bismillah." Tutup Mugayo memendam harap harap cemas. Secara logika ia sebenarnya menolak hubungan singkatnya dengan Nattaya harus masuk jalur cepat. Namun sudah terlanjur menerima tantangan, pantang baginya untuk mundur.

'Ada apa?' Nattaya membalas chat Mugayo di sela pekerjaannya.

'Saya boleh datang ke rumah bawa orangtua?'

Sejenak Nattaya terdiam membaca chat Mugayo. Lalu balasnya, 'Ada apa bawa orangtua segala? Bagaimana kalau mereka tanya keberadaan orang tua saya?'

'Kamu sedang sibuk enggak? Saya mau ngobrol biar enak'

Chat Mugayo tak langsung dibalas oleh Nattaya karena wanita cantik itu lebih memilih untuk melanjutkan pekerjaannya mengirim berkas berkas penting ke beberapa bagian di kantor melalui email. Belum lagi mengecek secara manual berkas berkas yang sudah menumpuk di meja Ardhena. Hari ini tugas Nattaya bertambah karena harus mengambil alih beberapa pekerjaan Ardhena yang izin tidak masuk kerja karena ada keperluan keluarga. Di sela kesibukannya, gawai Nattaya berdering. Nomer Mugayo yang muncul.

"Mas, saya sedang sibuk. Bisa nanti di lanjut obrolannya?" Ada nada permohonan di suara Nattaya.

"Justru saya mau menawarkan bantuan supaya pekerjaan kamu cepat selesai."

"Memang Mas sudah selesai rapatnya?"

"Sudah. Apa yang perlu dibantu?"

"Yakin mau mengerjakan tugas bawahan?"

"Jangan merendah begitu, dong. Saya serius menawarkan bantuan. Tolong suruh saya masuk! "

"Memang Mas dimana?"

"Depan pintu ruangan kamu."

Pandangan Nattaya langsung menuju pintu dan dengan suara lembut mempersilakan Mugayo masuk. "Silakan masuk Pak Mugayo yang terhormat. Pintunya enggak dikunci, kok."

Sejurus kemudian, terbukalah pintu. Mugayo hadir dengan senyuman manis.

"Terimakasih Bu Nattaya yang tersayang."

"Ssst! Cepat tutup pintunya! Nanti ada yang dengar, bisa tersebar gosip." seru Nattaya tersipu.

Mugayo tertawa dan langsung bertanya keberadaan Ardhena begitu melihat mejanya kosong. "Kemana?"

"Sedang izin, Mas."

"Sakit?"

"Keperluan keluarga."

"Oh, syukurkah. Mana yang harus saya bantu? Kasih tahu saja."

Setelah meyakinkan sekali lagi kesungguhan Mugayo yang hendak berhadapan dengan tumpukan berkas, Nattaya akhirnya memberitahu apa saja yang harus dikerjakan.

"Mau dipesankan kopi. Mas?"

"Tidak usah. Terimakasih. Kita selesaikan pekerjaan lalu makan siang di luar."

"Di kantin saja, Mas." pinta Nattaya. "Cuacanya panas sekali hari ini."

"Padahal saya mau ajak ke sebuah restoran yang agak jauh dari kantor kita. Kata teman, tempatnya bagus dan menunya juga enak."

"Kapan kapan saja, Mas." Tolak Nattaya lagi. Pekerjaan yang banyak membuat moodnya enggan untuk jauh jauh dari kantor.

"Baiklah kalau begitu." Mugayo akhirnya mengalah dan mulai konsentrasi mengerjakan tugas barunya. Sudah lama ia melewati masa masa bergelut dengan tumpukan berkas yang harus diteliti satu demi satu agar tidak ada kekeliruan. Suasana hening pun menyelimuti di ruangan kantor ber AC dengan ukuran 3x3 meter. Susunan file tertata rapi di lemari. Ada satu set sofa sudut dengan vas berbunga mawar merah di meja. Sesekali terdengar suara kertas yang dibuka lembar demi lembar oleh Nattaya dan Mugayo.

"Oh, iya. Supaya tidak tegang. Bagaimana kalau sambil ngobrol? Bahas yang tadi di WA?" Mugayo memecah keheningan.

"Jadi kesimpulannya mau bantuin apa gangguin?" pertanyaan Nattaya membuat nyali Mugayo menciut. Dia lalu mengangguk angguk dan kembali menekuni berkas satu demi satu. Rasanya jika bukan karena ada yang ingin diperjuangkan, Mugayo lebih memilih tidak berada di ruangan Nattaya dengan setumpuk pekerjaan baru.

"Pusing ya, Mas? Sini saya lanjutkan." Nattaya yang tiba tiba sudah berada d samping Mugayo, tentulah membuat pria itu terkaget. Suara tawa Nattaya pun pecah melihat reaksi Mugayo. " Serius banget seperti sedang ujian. " canda Nattaya kemudian.

"Saya pikir bidadari darimana sudah ada di sebelah saya." sambung Mugayo membalas canda Nattaya.

"Bidadari dari sumur." timpal Nattaya cepat.

"Mana ada bidadari dari sumur. Oh, ya! Memang kamu sudah selesai?"

"Sudah, dong. Mas duduk saja dulu di sofa. Ini pekerjaan staf. Bos tinggal duduk manis tanda tangan."

"Ah, kamu bisa saja. Tapi memang ada benarnya juga. Saya dari tadi baru buka satu berkas."

"Jadi misi bantuannya gagal, dong. Saya akhirnya harus lembur juga meskipun dibantu kepala bagian keuangan."

"Maaf, ya? Saya pikir mudah. Ternyata lebih mudah angkat barbel." Mugayo merasa bersalah dan membiarkan Nattaya melanjutkan pekerjaannya. Duduk di sofa sambil memandangi Nattaya bukanlah pekerjaan sia sia baginya. Mungkin akan banyak rencana baik bermunculan.

"Kamu benar akan lembur? Tidak bisa besok di lanjutkan?" perhatian Mugayo muncul mengamati tumpukan berkas di meja.

"Map yang kuning harus selesai hari ini, Mas. Kalau yang biru masih bisa besok. Coba lihat, dari tumpukan berkas ini, banyak warna biru apa kuning?" Nattaya tenang menghadapi kebingungan Mugayo.

"Serius warna map mempengaruhi?"

"Serius. Mas baru tahu?"

"Iya, baru tahu hari ini."

"Nanti ketika sudah melalui proses pengecekan, warna kuning ini akan diganti warna hijau. Coba cek warna map di ruangan Mas, hijau semua."

"Wah! Saya ternyata tidak peka ya. Nanti deh saya cek kalau sudah di ruangan. Sekarang saya temani kamu dulu menyelesaikan berkas kuning. Lembur pun saya siap menemani."

"Tapi kalau saya tiduran sebentar di sofa, keluar dulu ya? Jangan ditemani."

"Mau sekarang? Saya keluar kalau begitu."

"Jangan lekas tersinggung dong, Mas. Saya kan bilang nanti. Mungkin habis sholat dzuhur saya rebahan sebentar."

"Makan siangnya kapan?"

"Mas sudah lapar?" Nattaya melihat arlojinya. Sudah pukul 11.30WIB. Waktunya istirahat.

"Kamu juga harus makan, Nat. Pekerjaan banyak butuh energi."

"Iya sebentar satu berkas lagi."

Selesai membereskan satu berkas yang sedang diceknya, Nattaya bergegas beres beres. Mengganti sepatunya dengan sendal dan menghampiri Mugayo yang sudah bersiap membukakan pintu. Mereka berjalan menyusuri lantai 1 menuju kantin.

"Kamu kapan balas WA saya?" di sela perjalanan pendek, Mugayo mengingatkan sesuatu yang terlupakan oleh Nattaya. Dia tidak sabar menunggu jawaban Nattaya

"Yang mana?"

"Yang orangtuaku mau ke rumah."

"Apa tidak terlalu cepat, Mas?"

"Cepat atau lambat hanya soal waktu. Yang penting kesiapan."

"Mas sudah siap gagal untuk ke enam kalinya?"

Mugayo tidak terima dengan pertanyaan Nattaya yang seolah menolaknya secara halus. Emosinya sedikit tersulut. Ia lalu menarik tangan Nattaya dan membawanya ke sudut ruangan di bawah tangga.

"Kenapa kamu bicara seperti itu? Saya yakin dengan segala keyakinan penuh atas hubungan kita. Tapi kamu ragu dengan segala keraguanmu. Mau menyamakan aku dengan keluarga mantanmu?"

"Sabar, Mas! Kenapa jadi emosi?" Nattaya ketakutan melihat kemarahan Mugayo yang tiba tiba. Mugayo pun langsung tersadar dan segera minta maaf lalu bersimpuh di hadapan Nattaya.

"Tolong jangan tolak aku, Nat! Aku butuh pendamping hidup. Kamu mau membiarkan aku menua dalam kesendirian?"

"Bangun, Mas! Apa kata orang melihat Mas seperti ini?"

"Aku akan tetap bersimpuh sampai ada jawaban dari kamu."

"Kamu mau jawaban apa?"

"Iya atau tidak menerima lamaranku?"

"Harus sekarang?! Apa orangtua Mas sudah tahu saya hanya anak panti yang tidak jelas asal usulnya?"

"Kenapa pertanyaan itu masih diulang ulang? Apa yang harus aku lakukan supaya kamu percaya?"

Nattaya yang risih melihat sikap Mugayo tak tahu harus menjawab apa. Ia seperti sedang berada di alam mimpi harus menerima lamaran seorang pria dalam keadaan terdesak.

"Nat, boleh atau tidak aku ke rumah dengan orangtuaku?"

"Boleh. Mas."

"Jangan ditolak ya?"

"Iyya, Mas." Gugup Nattaya masih belum hilang, Mugayo sudah memeluknya erat. Berteriak dan meronta melepaskan pelukan Mugayo sepertinya bukan jalan keluar bagi Nattayai selain membiarkan pria itu meluapkan kegembiraan dengan caranya.

"Terimakasih, Nat. Maaf aku sudah lancang memelukmu. Semoga ini bukan pelukan terakhir."

Mata Mugayo berkaca kaca sambil melepaskan pelukannya. Nattaya tak tega melihat pria yang baik hati itu menahan kebahagiaannya. Ia lalu membuka kedua tangannya dan memeluk Mugayo.

Di hari Jumat, tepat pukul 09.00 pagi. Akad nikah Nattaya dan Mugayo terlaksana dengan baik Dalam satu tarikan nafas, Mugayo berhasil mengucapkan ijab kabul di hadapan wali hakim dengan disaksikan beberapa undangan. Dari sekian banyak undangan yang hadir, Ardhena adalah salah satu yang sangat terharu di balik kebahagiaannya menyaksikan Nattaya telah dipersunting oleh Mugayo.

"Selamat ya? Bahagia selamanya." Ucap Ardhena memeluk erat sahabatnya.

"Aku enggak mimpi kan?" bisik Nattaya

"Enggak, dong. Coba tepuk tepuk pipi aku." Ardhena mengangkat tangan Nattaya untuk ditempelkan ke pipinya. Lalu Ardhena menepuk balik pipi Nattaya. Kehebohan kecil mereka mengundang keingitahuan Mugayo yang berada tidak jauh dari mereka.

"Kalian ngapain?"

"Rahasia dong, Pak." Ardhena coba mengalihkan keingintahuan Mugayo. "Selamat ya. Semoga pernikahan kalian sakinah mawadah warahmah."

"Aamiin. Terimakasih sudah jadi tim sukses perjodohan kami."

Ucapan Mugayo membuat Ardhena terharu dan ingin memeluk Mugayo sesaat sambil berucap pelan :"Titip Nattaya. Bahagiakan dia."

"Oke, Siap!"

Kedua pengantin baru kemudian berkeliling menyalami para undangan yang hadir. Suasana suka cita pagi ini akan berlanjut acara resepsi di sebuah hotel pada hari sabtu.