webnovel

Tiba-tiba ke Dunia Lain (Indonesia)

Penerus Black Steel (Baja Hitam) termuda, Kitarou dan Destruction Witch (Putri Penyihir Kehancuran), Elizabeth Lou Felix IV. Mereka adalah musuh rival bebuyutan di antara kedua wilayah yang saling bertikai di medan peperangan. Hingga suatu hari kejadian misterius tiba-tiba menimpa mereka ketika dalam pertarungan hebat antara Black Steel dan Destruction Witch. Mereka tiba-tiba di panggil oleh seseorang ke Dunia Lain (isekai) di sana mereka harus bertahan hidup dan bersekutu untuk mencari cara agar bisa kembali kedunia asal mereka yang masih bertikai. Namun, hal tersebut tidak membuat perseteruan di antara mereka berakhir sampai di situ. Akankah mereka berhasil kembali ke dunia asal mereka? dan perseteruan di antara mereka berakhir? 100% Karya asli penulis Indonesia, berbentuk "Light Novel" sangat bagus untuk dibaca bagi semua audiens.

AuthorFantasy · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
20 Chs

Chapter 06 - Perjalanan hidup di Dunia Lain.

Jilid 1 ¦ Chapter 06 - Perjalanan hidup di Dunia Lain.

Satu jam telah berlalu begitu cepat. Cahaya mentari mulai memancarkan sinar Ultraviolet atau UV yang indah dan menghangatkan badan di ujung timur sana. Mendominasi sekitar 95% sinar UV yang masuk menembus keseluruhan atmosfer dari dunia ini.

Itu adalah matahari pagi yang familiar sangat cerah.

Setelah menyelesaikan pertarunganku dengan musuh terberat Imperial, Putri Penyihir Kehancuran, yaitu Elizabeth Lou Felix IV. 

Pada akhirnya, pertarungan antara dia dan aku berakhir tidak menentu. Kadang-kadang aku merasa tidak enak, tetapi ketika dia berada di atas ring, dia tidak bisa mengatakan 'oh, aku merasa buruk, bisakah kita berhenti?', bahkan raut wajahnya menunjukkan keterpurukan.

Banyak sekali cerita mengenai dirinya, namun satu hal ini yang membuktikan dirinya tetap rendah hati dan percaya bahwa segala sesuatu pasti bisa dilewati, sekalipun ada beberapa orang yang membenci maupun ketakutan padanya. Namun, selagi dia bisa menunjukkan yang sebenarnya bahwa dirimu bisa, buktikanlah dan kejutkanlah mereka dengan membuat mereka kagum padamu.

Aku berusaha mengosongkan pikiranku. Berdiri dengan cepat dari rerumputan, dan menghirup udara segar serta bersih dalam-dalam.

Di hadapanku, terdapat seorang gadis yang menawan duduk sambil menopang tubuhnya dengan kedua tangan di belakang bertumpu pada tanah.

"Ayo berdirilah, biar kubantu," kataku sambil mengulurkan tangan ke arahnya.

"... Hn," suara kecil itu membisik, wajah merahnya mengangguk meraih tanganku. 

Tinggi ideal tubuhnya mungkin hampir sama dengaku sekitar 175 cm itu seluruhnya dilapisi dengan otot kecil dan sedikit lemak, dan dengan kepalanya itu dia terlihat memiliki bentuk wajah yang oval, namun dagunya melantik kedepan. Sehingga tidak terlihat sepenuhnya oval, melainkan setengahnya lonjong.

Di wajah kecilnya, yang bercahaya dengan rambut lurus yang berwarna seperti Violet terdapat dua mata yang berwarna keunguan yang bersinar-sinar.  Tubuh langsingnya yang terawat dengan sebuah seragam tempur yang berwarna merah dan putih, dan ada sebuah rapier yang berwarna perak di dalah sarung pedangnya.

Tangannya bergemetar. Pada ujung-ujung tangan dan kaki, tampak lebih pucat dan kebiruan.

"Ada apa dengan tanganmu yang bergetar?"

"... Jangan khawatirkan aku. Ini hanya risiko kelelahan akibat terlalu banyak membagikan kekuatan Astral. Teknik pemanggilan juga membutuhkan banyak energi sihir sehingga itu bisa terjadi." 

Untuk senyuman, mulut bisa berbohong tetapi mata tidak bisa. Senyum yang tulus melebar hingga mata dan mengerutkan kulit sekitar mata sehingga sudut matanya keriput.

Meski begitu, dia memiliki wajah menarik yang terlihat seperti anak kecil ketika dia tersenyum. Dia berumur dibawahku 17 tahun, setahun lebih muda.

Aku tidak peduli dengan senyumannya, yang membuatku khawatir adalah kondisinya yang tidak stabil. Bukan kesegaran alam yang dia rasakan, melainkan keringat dingin yang membasahi tubuh.

"Meskipun kau berkata seperti itu, aku tidak tega membiarkan dan hanya melihat orang sakit sedang berada di sekitarku. Namun, setelah dia benar-benar sehat, aku akan langsung meninggalkannya secara diam-diam."

Aku berusaha membantunya untuk berjalan, dengan meletakkan tangan kirinya merangkul di bahuku. Sepertinya aku berhasil dengan menjadi penopang tubuhnya di saat berjalan.

"Aku tidak tahu, kamu ini terlalu baik atau terlalu kejam. Tapi kedengarannya itu tidak terlalu baik?! ..." dia terdiam, lalu tertunduk, tetapi kali ini bukan senyuman yang terlihat, melainkan raut wajah yang pahit. Tapi itu juga dengan senyuman yang dipaksakan sehingga itu terlihat agak asam.

"... sejujurnya, aku takut. Aku mengira kamu benar-benar akan menikam leherku dengan pedang itu." Dia bergumam seolah itu yang membuat keterpurukannya dari tadi. 

"..." aku terbelalak melemparkan tatapan ke wajahnya, selama beberapa saat kemudian entah bagaimana aku berhasil membuka mulutku.

"... Ya-yah, walau kau bilang begitu, itu malah sesuatu yang kedengarannya lebih jauh tidak terlalu baik."

Intonasi Ku sedikit lebih berat daripada biasanya, tapi nampaknya dia tidak terlalu peduli dengan itu dan hanya terbahak.

"... Bhg—hahaa!" Mulutnya terbuka lebar, dengan rias wajah yang menawan.

Tak lama kemudian dia mencoba berjalan sendiri melewati depanku. Terlihat begitu tenang daripada sebelumnya. Namun, sampai sekarang aku masih tidak mempercayai itu. Lalu muncullah pertanyaan: "apa kau bisa berjalan sendiri?"

"Ya, sekarang aku sudah merasa lebih baik. Selain itu, kita harus cepat meninggalkan tempat ini, sebelum orang lain melihatnya," katanya membalikkan badan serta pandangan ke arahku. 

"Kau benar. Ayo kembali ke tempatnya Zain-san."

Tanah yang mengembang, berantakan, dan berubah menjadi rawa, meninggalkan sebuah tanda terjadinya sebuah pertarungan di sana. Dengan gerak cepat (tidak berlari) kami meninggalkan jejak dari tempat penuh dengan bekas pertarungan magis itu.

※※※

Beberapa menit kemudian, kami telah tiba di tempat peristirahatan sebelumnya. 

Dari jarak sedekat dan sejauh ini (100 meter), aku bisa melihat mereka bertiga sedang mengobrol bersama dan saling bertatap muka. Aku melihat Zain-san tertunduk dengan alisnya yang menurun. 

Lalu.

"Maaf, membuat kalian cemas." Kataku lumrah menuju perkumpulan mereka.

"— Ah?! Itu mereka!" Klein-san terkejut saat melihat kami, alisnya terangkat membuka matanya lebar-lebar. "Kitarou, Elizabeth. Kalian dari mana saja — apa terjadi sesuatu pada kalian?" Lanjut Zain-san khawatir.

Aku tidak mengenal situasi apa ini. Tapi, ini mungkin berhubungan dengan hilangnya kami secara tiba-tiba.

"Kami baik-baik saja." Ucapku datar dengan raut wajah sedikit bingung.

"Ah? Syukurlah..." alisnya yang terangkat kini menurun, di saat yang bersamaan matanya tertutup lega. 

"Kami mengira kalau kalian telah diculik oleh monster. Karena satu jam sebelumnya, kami mendadak terbangun ketika merasakan bumi bergetar seperti sedang terjadi gempa. Terlebih di saat kami semua terbangun, kalian sudah tidak ada di sini. Biasanya, itu adalah ulahnya monster yang mengamuk." 

Dengan intonasi kuat, seolah mengatakan itu adalah kebenaran. Namun, bagi kami itu adalah kesalahpahaman yang tidak bisa di sadari.

Kami tidak bisa mengatakan: 'itu adalah ulahnya kami.' Mereka pasti akan menanyakan mengapa dan dimana. Aku merasa tidak enak jika mengatakan itu adalah salah dan merupakan kesalahan kami karena membuat kalian cemas.

Aku menghela napasku dan menggigit bibirku.

Aku bisa mengerti semuanya dengan jelas tentang apa yang telah terjadi melalui pandangannya yang terlihat cemas mengelus dagunya.

Dia—orang yang ceria dan mudah akrab dengan orang lain, atau mungkin dia sangat memperhatikan teman-temannya dan orang lain. Dia pasti berpikir positif tentang keadaan kami yang sekarang. 

Orang yang aku bicarakan itu adalah Zain-san.

"... Ah, um ... kalian tenang saja, kami berdua baik-baik saja."

Aku tidak bisa mengangguk sepenuhnya. Masih banyak pertanyaan yang baru saja masuk kedalam pikiranku. Membuat diriku semakin penasaran sehingga menanyakannya langsung.

"Kau bilang ... monster bisa menculik? Apa itu benar, Zain-san?"

Berhenti mengelus dagunya, dan mengecakkan kedua tangannya di pinggang. Sudut matanya menyerong ke arah kiri atas, seperti terlihat mengingat-ingat sesuatu. Zain-san membuka mulutnya berbicara.

"Ya ... itu benar," diam dan terjeda sejenak. Wajahnya tidak menunjukkan keceriaan, melainkan wajah yang muram. Sorot sudut matanya beralih ke kanan bawah.

"—ah! Lupakan tentang monster. Bagaimana kalau kita melanjutkan perjalanan sekarang." Lanjut Zain-san, memindahkan pandangannya ke lain. Lebih tepatnya memandang menuju arah timur.

Entah kenapa, Zain-san seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak bisa dibicarakan kepada orang lain. 

Sumire berkata; semua orang pasti mempunyai hal yang tidak dibicarakan ke orang lain. Itu berarti ini mengarah pada monolog kompleks seseorang. 

Setelah aku mengingatnya, itu membuatku sadar. Mungkin, hal yang sama sebelumnya juga terjadi padaku dan Elizabeth. Kemarin malam, ketika kami ditanya oleh Klein-san tentang darimana asal kami. Itu bukan kesalahan Klein-san yang tiba-tiba menanyakannya, tujuan sebenarnya adalah baik. Hanya saja, kami tidak tahu memulainya dari mana, karena singkat ceritanya itu sangatlah rumit.

"... Ok." Aku mengangguk, berjalan mundur, dan mengatakannya dengan tenggorokan kering.

"Baiklah, ayo mari kubantu dari di sini. Jika Zain-san membutuhkan bantuan, katakan saja padaku. Ini sebagai tanda terima kasih kami, karena Zain-san telah banyak membantu kami."

Zain-san mengangkat keningnya yang tersenyum lebar, dan memandang lurus ke arah kami.

"Kalau begitu, kalian cukup membantu untuk memasukkan barang-barang ke dalam pedati."

Pedati adalah gerobak kereta, sebuah kendaraan atau alat yang memiliki dua atau empat buah roda yang digunakan sebagai sarana transportasi. Gerobak dapat ditarik oleh hewan seperti kuda, sapi, kambing, zebu atau dapat pula ditarik oleh manusia. Kereta (Inggris: wagon) adalah sejenis gerobak dengan empat buah roda untuk transportasi yang lebih berat ditarik oleh sedikitnya dua kuda.

Namun, di dunia ini pedati hanya menggunakan seekor kuda saja.

"Baik," secara bersamaan kami berdua mengangguk paham. Dan segera melakukan tugas kami.

Di sana terdapat beberapa kotak berbentuk sebuah kotak peti. Aku pun mengangkat kotak peti tersebut, rasanya sedikit berat daripada mengangkat batu. 

Ku letakkan itu secara perlahan di dalam gerobak pedati. Dan kembali mengambil beberapa barang tersisa.

Elizabeth terlihat membereskan tikar, tempat tidur kami kemarin malam. Klein-san sedang memeriksa keseluruhan pedati apakah ada kerusakan atau semacamnya. Zain-san juga terlihat sedang sibuk memberi makan kudanya berwarna cokelat sawo. Sedangkan, hanya Sumire yang tengah bermain sendiri dengan tongkat pendeknya. Karena dia tidak memiliki tugas yang cocok untuk gadis seukuran tubuhnya.

"Baiklah, semuanya sudah selesai. Kita akan melanjutkan perjalanannya menuju kota Anastasia," ucap Zain-san, melompat ke punggung kuda.

Pedati ini cukup mampu menampung hingga 4 orang, satu orang di depan mengendarai kuda dan empat sisanya adalah sebagai penumpang. Pedati memiliki ukuran cukup panjang kelihatannya kecil, pedati ini menyediakan kursi sama yang saling berhadapan khusus diperuntukan 2 orang setiap kursinya. Terlebih, bisa membawa beberapa barang seperti kotak peti dan beberapa barang lainnya.

Sekilas berpikir yang memicu pertanyaan; apakah hanya seekor kuda cukup membawa kami tiba ke kota. Itu menurutku adalah kapasitas kemampuan yang dimiliki kuda.

Jika jarak tempuhnya itu 10 kilometer. Ketika Daya kuda melebihi batas kemampuan, kuda memerlukan waktu untuk beristirahat serta mengisi beberapa energinya. Karena kuda juga termasuk makhluk hidup; Hewan. Wajar saja, dengan hanya seekor kuda saja kapasitasnya pasti memiliki batasan.

Kami berempat, telah memasuki gerobak kereta. Seperti yang kukatakan, pedati ini mampu menampung hingga 4 orang sebagai penumpang. Kudanya mulai bergerak, di ikuti pedati yang bergoyang-goyang mengikutinya. 

"Kota Anastasia itu kota yang seperti apa?" Tanyaku sebagai pembuka pembicaraan.

"Kota penuh para petualang, juga merupakan kota perbatasan timur Nelka, yaitu hutan Mitologi. Di kota itu, kami telah menyewa tempat untuk tinggal di sana. Kotanya tidak terlalu luas, seperti kota Blasius. Namun, itu satu-satunya tempat yang aman untuk dijadikan tempat tinggal dan menjadi seorang petualang untuk mencari pendapatan," Klein-san menjawabku dengan respon yang cepat. Namun. "Selain itu, di perbatasan timur Nelka. Aku hanya mendengar ini dari beberapa orang. Bahwa akhir-akhir ini, Hutan Nelka dihuni oleh makhluk mitologi, namanya kalau tidak salah—" bicaranya terputus ketika Zain-san memberitahu sesuatu.

"Hecantoncheires." Kata Zain-san sambil mengendarai kuda dengan pandangan lurus kedepan.

"Nama yang sulit. Makhluk seperti apa itu? Dan kenapa Hutan itu dinamakan Hutan Mitologi?" 

"Selain dinamakan Hecatoncheires, makhluk itu juga disebut sebagai Photobucket Hecantoncheires berarti makhluk 'seratus tangan'. Wujud mereka besar sekali. Mereka Photobucket Hecantoncheires yang mempunyai 50 kepala dan seratus tangan yang mempunyai kekuatan hebat. Mereka bisa melemparkan batu-batu yang sangat besar 100 kali lebih banyak daripada lawannya. Mempunyai kemampuan lemparan yang sangat akurat. Dia dapat dengan mudahnya menghabisi pasukan Korps sembilan Ksatria Magus, menggunakan serpihan batu besar. Salah satu dari mereka Briareus menjadi penjaga hutan Nelka. Makanya dari itu, hutan Nelka berubah menjadi hutan Mitologi."

"Bahkan kekuatan sihirku, tidak dapat mempengaruhinya." Suara gadis lembut dan kecil itu muncul. Setelah kulayangkan pandangan, ternyata dia Sumire.

Saking kecil tubuhnya, aku bahkan sampai tidak menyadari keberadaannya.

Mendengar dia berkata 'Sihir' kurasa itu merupakan kata yang tak asing lagi kudengar. Jika itu merupakan jenis sihir Astral, mungkin aku dapat mencegahnya dengan kedua pedang suci ini. Kurasa begitu.

"Kekuatan yang melebihi manusia biasa, ya?" 

"... Ya, itu benar. Sayang sekali, satu-satunya jalan menuju kota Ana adalah Hutan Mitologi itu. Kita harus berhati-hati sebelum melewatinya, atau mungkin..." bicaranya Klein-san terjeda. Lalu. "...mungkin kita semua akan mati." 

Mataku tercengang menunduk kebawah. Sebelum berbicara, aku sempat menelan air liur berjalan mulus melalui kerongkongan dan masuk ke dalam perutku sendiri. Kata-katanya sangat datar! Seolah itu ancaman besar.

"... Makhluk yang mengerikan." 

Aku bergumam, seolah tidak sepenuhnya percaya. Namun pendapatku tentang monster itu sepertinya dari awal memang telah ku percaya, kalau adanya beberapa makhluk aneh yang belum aku ketahui di dalam dunia ini. 

Ketika aku melayangkan pandangan ke arah gadis yang duduk di sebelahku. Aku melihat posisi duduknya yang lurus tegak. Dia hanya diam berekspresi datar dan memandang lurus ke arah Sumire, namun sorot matanya tidak menunjukkan bahwa dia sedang melihat Sumire. Melainkan dinding kayu pedati yang di tatapnya kosong, seakan-akan situasinya sangat tenang. 

"Hei, kenapa kau hanya diam dan merasa seolah biasa-biasa saja!?" Aku melihatnya terjelengar, mataku menyipit dengan alis yang terturun.

Ketika aku mengatakan itu padanya, ekspresinya sama sekali tidak berubah. 

"Ya ... benar juga. Jika makhluk itu muncul, tinggal di bunuh saja," kata gadis itu lumrah, tidak lain adalah Elizabeth. 

"—" seketika suasana menjadi lenyap. Perkataan Elizabeth barusan, membuat Klein-san dan Sumire tergemap.

Selama ini, dia tidak pernah sesekali membuka mulutnya berbicara menangkap pembicaraan Klein-san dan Zain-san sebelumnya. Dia hanya mendengarkan dan melihat. Setelah ku berpikir seperti itu tentangnya, bahwa menganggap situasi ini terlalu tenang, tapi pendapatku beda. Dia adalah penyimak yang hebat, karena mampu menyimak informasi dengan cepat dan sempurna. Dia memiliki kebiasaan mempelajari informasi berdasarkan apa alasan di balik informasi tersebut.

Benar-benar gadis yang dingin seusianya.

"Bersiagalah. Sebentar lagi, kita akan sampai di hutan Nelka." Kata Zain-san serius dengan intonasi yang tegas dan kuat.

Pada saat itu aku menunduk di dalam pedati, untuk melihat jalan lurus yang ada di depan. Aku melihat dari kejauhan pohon-pohon Nelka-nya yang menjulang setinggi seratus kaki. Terlihat seperti sebuah hutan abu tanpa dedaunan hijau di pohonnya membentang luas secara horizontal dari selatan menuju utara. 

"Jadi, itukah hutan Mitologi." 

 "Itu benar. Dulunya hutan itu sangatlah subur, dan hijau layaknya hutan belantara. Tapi sekarang, hutan itu menjadi kelabu akibat tanah yang membeludak tidak subur—" 

-lagi. Tapi, Klein-san tidak mempunyai kesempatan untuk menyelesaikan perkataannya.

"Lompat!"

Teriak Zain-san dari depan.

Ketika mendengar Zain-san berteriak. Dengan cepat, aku melemparkan pandangan melihat ke arah depan. 

Namun, seketika pandanganku tidak tertuju pada hutannya, melainkan sesuatu benda padat yang melayang di udara dengan kecepatan tinggi. Aku mulai merasakan perasaan tidak nyaman. 

"Tunggu! Apa!?" Sumire tiba-tiba panik dan terkejut.

"Pegang erat-erat, aku." Elizabeth melompat keluar dari kursi tempat ia duduk dengan Sumire di lengannya.

Dari kursi penumpang yang tepat, Klein-san bergegas keluar, mencengkeram sebuah pedang di tangannya. Begitu aku mengkonfirmasi bahwa teman-temanku di dalamnya berhasil berhasil lolos, keluar dari kursi sebelah kiri.  Pada saat berikutnya, pedati itu hancur lebur dalam sekejap dihantam sebuah batu besar api merah terang lempengan baja tebal dan semuanya.

Aku berputar-putar di udara, menggambar dua pedang dari sabuk punggungku, dan berlutut di tanah. Elizabeth dan Sumire mendarat di belakangku.

"Tidak mungkin … baru saja kita membahasnya." Sumire mengatakan itu dengan dahi yang mengerut ke bawah dan mata dipaksakan terbuka, sedikit menggigit di bibir bawahnya.

"... Kita tidak bisa membuang waktu. Kita juga akan menghadapi serangan mendadak berikutnya. Jika itu terjadi, kita mungkin tidak dapat menangkis serang itu." Zain-san mengatakan itu dengan tegas.

Saat Klein-san mendarat, ia mengeluarkan pedang dari sarungnya di pinggang belakang. Di belakangnya, sesuatu berdesir dari atas kepalanya.

"Klein, kembali!"

Itu terjadi dalam sekejap: Dari belakangnya, batu merah raksasa mengejutkan Klein-san, tetapi Elizabeth menjentikkan jarinya tertuju pada batu itu. Lalu, lebih cepat 0,2 detik muncul akar es dari bawah tanah, menyebar membungkus batu merah itu dengan es. Penyangga esnya menahan batu itu tepat di atas kepala Klein-san.

Udara, rerumputan, tanah, semua yang ada di dalam visinya diselimuti oleh kabut putih. Seolah-olah itu telah jatuh dalam kesurupan. Dalam sekejap, dunia yang mereka lihat terbungkus oleh es biru yang dingin dan berkilauan.

"... A—" mulutnya tak bisa bicara, ketika melihat kekuatan Astral yang sebenarnya.

Berlanjut...

Note; selalu berikan dukungan pada Authornya, dengan cara memberikan «vote» kalian. Agar si Author lebih bersemangat dalam melanjutkan ceritanya!