webnovel

The wound in my heart

Nayla seorang ibu rumah tangga mempunyai anak tiga. Sering mendapat perlakuan kasar dari Beni suaminya. Keluarga Nayla pun tak pernah di hargainya. Hingga suatu hari Ibu Nayla jatuh sakit terserang strok, sikap kasar suaminya semakin menjadi-jadi bahkan sanggup mengusir Ibu dan adiknya dari rumah yang mereka tempati. Tiga tahun kemudian Ibu Nayla meninggal dunia. Sungguh hancur hatinya menghadapi kenyataan ini. Akan tetapi sikap suaminya tidak berubah, bahkan tega berselingkuh dengan mantan pacarnya dulu. Akibat luka hati yang begitu dalam, Nayla pun pergi meninggalkan Beni, dengan membawa ketiga anaknya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Ikuti terus ya pembaca setia, hanya di aplikasi WebNovel. Ikuti juga ceritaku yang lainnya, 1. Choise Lover 2. It's my dream

Novita_Adha · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
268 Chs

Rani mencari perhatian

Bab 10.

Derrt ... derrtt ... derrtt

Terdengar hape bergetar di saku celana Bang Beni. Ia merogoh ke saku, lalu melihat ke layar telfon. Aku masih menatapnya dengan wajah yang kesal. Dengan ragu ia mengangkat telfon itu.

"Siapa ... Rani?" tebakku.

"Ii-iyaa," jawab Bang Ben sedikit gugup.

"Angkat aja, langsung speker kan! Aku mau tau, ada perlu apa dia menelfonmu," sungutku.

"Iya, Ran. Ada apa?"

"Lagi di mana, Ben?"

"Aku lagi di depan toilet nih, bersama Nayla dan anak-anak."

Tuutt ... tuutt ... tuutt

Terdengar suara terputus dari sebrang telfon. Hmm ... heran deh, si Rani itu pergi dengan keluarganya, tetapi kok suamiku juga yang di telfon nya, pikirku. Aku dan Sinta langsung masuk ke dalam toilet, sedangkan si kecil ku titip dulu dengan ayahnya. Setelah selesai buang air, kami mendengar suara cekikikan dari dalam toilet dan suara air mengalir dari kran.

Aku dan Sinta penasaran dengan suara itu. Sepertinya dari toilet sebelah ini. Gegas kami keluar, lalu melihat ke sebelah, pintu toilet terbuka, tetapi tak ada siapapun. Hiii ... aku bergidik, merinding bulu kuduk. Teringat ini masih jam tiga pagi. Tetapi suara itu sangat jelas terdengar di telinga kami berdua. Harum bunga seketika menyeruak di hembus angin malam. Kami celingukan mencari Bang Ben, ke mana perginya ya. Sinta mencolek lenganku.

"Bu, itu Ayah. Sedang berbicara dengan tante Rani!" 

"Hmm ... yuk ke sana," ajakku.

Ku lihat si kecil duduk di sebelah mereka. Sangkin asiik nya, mereka tak menyadari kedatangan kami. Aku jalan pelan, sambil mendengarkan percakapan mereka.

"Asiik ya, suasana di daerah sini. Suka gak?" tanya Rani ke Bang Ben.

"Hmm ... iya," jawabnya.

Tak sengaja Bang Ben menoleh ke belakang, ia pun gugup dan salah tingkah. Melihat aku sudah ada di belakangnya. Ku gendong si bungsu yang sedang duduk di antara mereka. Lalu Sinta menggandeng tangan Raka. Kami pun gegas meninggalkan mereka, tanpa berbicara apa pun.

"Nay ... Nayla, tunggu dong!" Bang Ben berlari kecil mengejar kami.

"Aku kok di tinggal sih," protesnya sambil memegang lenganku.

"Hmm ..." Aku bergumam.

Ku lirik dari kejauhan, si Rani berjalan sendirian menuju ke arah mobil yang terparkir. Aku tersenyum puas di kegelapan.

 "Ayah ...! Tadi di toilet, kami dengar perempuan cekikikan. Suaranya dari toilet sebelah," ucap si sulung.

"Begitu di lihat tak ada siapa pun. Hiiii ...," sambung ku sambil bergidik.

"Lagi pula di suruh tunggu di depan toilet, malah pergi," sungutku kesal.

"Tadi Nina rewel pas lihat ke arah toilet sebelah, maka nya aku cari tempat duduk di sekitar sini. Tak lama Rani datang dan ikut duduk," ucap Bang Ben sambil menatapku.

"Terus tadi hendak ngapain dia nelfon, Abang?" 

"Oh ... mereka mau bilang, kita cari hotel yang dekat sini aja. Karena tempatnya asik," jelasnya padaku.

"Ya, sudah ... kasihan anak-anak kelelahan." kami pun bergabung bersama keluarga Rani.

Untungnya masih ada tiga kamar yang tersisa di hotel. Mengingat ini hari libur, banyak tamu dari luar kota yang datang berlibur di kawasan ini. Lumayan juga harga sewa kamar, saat musim libur begini. Tapi tak apalah sesekali bawa keluarga, sekalian nikmati hidup juga, Kalau nyari duit terus, sampai kapan pun tak ada sudah nya, pikirku.

Kami dapat kamar paling ujung di lobi hotel, mau bagaimana lagi. Semua sudah terisi penuh. Yang penting nyaman bisa beristirahat, untuk dua malam ini. Nina sudah terlelap di gendonganku. Sedangkan Sinta dan Raka mengekor di belakang ayahnya. Lalu Bang Ben membawa masuk, semua tas ke dalam kamar.

"Wihhh ... kamarnya sejuk Bu, dingin seperti di dalam kulkas," celoteh Raka.

"Iss ... apaan sih, tandanya kamar ini ada ac nya," ucap si sulung ke adiknya. 

"Ya, sudah ... cuci muka dan kakinya, habis itu tidur, masih dini hari," ucapku ke mereka.

Bang Ben terlihat menyusun tas, dan barang bawaan yang lain. Kamar ini terdiri dari dua tempat tidur yang berukuran besar. Anak-anak tidur bertiga. Sedang kan aku dan Bang Ben di tempat tidur sebelahnya. Anak-anak sudah naik ke tempat tidur, tak lama mereka pun terlelap. Aku matikan lampu utama, lalu menghidupkan lampu tidur. Selesai berganti pakaian, ku lirik hape, menunjukkan pukul setengah empat pagi. Udara terasa dingin menusuk tubuh, aku lalu menyelimuti anak-anak yang sudah tertidur lelap.

******

 Terdengar dengkuran halus dari nafas Bang Ben, ternyata ia sudah lebih dulu tertidur. Perlahan aku menarik selimut, lalu naik ke atas ranjang. Udara semakin dingin, ku balut selimut ke tubuh ini dan ku turunkan suhu ac kamar. Sambil memejamkan mata, aku melafalkan doa. Baru saja terbuai mimpi, terasa ada yang menyentuh bagian sensitif ku.

"Nay ... dingiiinn," terdengar suara desahan di telingaku.

"Hmm ...'' dengan berat ku buka mata ini. Bang Ben sedang menyusup ke dalam selimut, dan mulai menindihku.

"Ada anak-anak, Bang," bisikku.

"Tak apa, mereka sudah tidur nyenyak," ucapnya lirih.

Efek udara dingin di luar sana, hasrat ingin bercinta pun tak terbendung. Aku sangat menikmati sentuhannya, nafas semakin memburu, seirama dengan gerakan tubuh. Di awali gerakan lambat, lalu semakin lama semakin cepat, jeritanku tertahan.

Akhirnya kami pun mencapai puncak kenikmatan, aku tersenyum puas. Bang Ben mencium lembut bibir ini, sambil terkulai lemas di samping ku. Kami beranjak dari tempat tidur, kemudian langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Ku lirik hape di samping tempat tidur, hmm ... baru setengah jam aku tertidur.

Emang dasar Bang Ben, gak di rumah, gak di hotel sama saja. Gairah untuk bercintanya tak bisa tertahankan. Aku mengambil selimut, yang jatuh di bawah ranjang, lalu memakainya kembali. Tak lama Bang Ben pun menyusul di sebelahku.

"Nay ... entar bangun tidur, kita lanjutkan lagi ya," ucapnya lirih.

"Hmm ..." tidur! Jangan gituan mulu,"

Sahutku yang hampir terlelap.

******

  Silau matahari masuk dari celah lubang angin. Membuatku terlonjat dari tempat tidur. Ku raih hape dan melihat jam, sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.

Ya Allah ... salat Subuh sudah terlewat

kan. Efek kelelahan dan udara dingin di sini, tak terasa hari sudah terang. Gegas ku menuju kamar mandi, untuk membersihkan diri. Setelah selesai mandi, aku menyiapkan sarapan. Ku keluarkan magic com dan panci listrik, dari dalam tas. Lalu memasak nasi dan menghangatkan bekal makanan yang ku masak semalam sore.

"Bu ... sudah pagi ya?" si bungsu Nina turun dari ranjang, lalu memeluk ku dari belakang.

"Ehhh ... adek manis sudah bangun. Sana, cuci muka dulu ya, Sayang!"

Tak lama kakak dan abangnya pun bergantian masuk, ke kamar mandi menyusul adiknya. Selesai dari toilet, si bungsu lalu mendekati ku sambil bertanya.

"Bu ... apa namanya, tempat membasuh muka yang ada kacanya itu?"

"Ohh, itu namanya westafel, Sayang."

"Terus ada air mancur, sama tempat tidurnya juga di kamar mandi itu, ya Bu," celotehnya lagi.

"Haa ... haa, itu shower. Gunanya untuk membasuh tubuh, setelah memakai sabun atau sampo."

"Nah, yang satu lagi untuk tempat berendam, menggunakan air hangat, biar adek, mandinya gak kedinginan," jelas ku panjang lebar.

"Yuk ... sarapan anak-anak!" ajakku.

"Ayah gak ikut makan ya, Bu?" tanya Sinta.

"Oh, ayah sedang mandi, kita duluan aja. Entar selesai mandi Ayah nyusul," sahutku.

"Bu ... selesai sarapan, boleh berenang di kolam itu ya?" pinta Raka, sambil menunjuk kolam renang di samping kamar hotel.

"Boleh, tapi sarapannya harus di habiskan dulu, biar gak masuk angin."

"Asiiiiiik ..." Anak-anak besorak kegirangan.

Tak lama Bang Ben keluar dari kamar mandi, dengan membawa handuk basah. Ia lalu mengeringkan rambutnya dengan handuk tersebut.

"Ihhh ... Ayah, kok mandi sih. Kan kita mau berenang dulu, habis itu baru mandi," protes Raka ke ayahnya.

"Oh- iya, Ayah lupa," canda Bang Ben sambil melirik ke arahku.

"Hmm ... entar sore, giliran Ayah dan Ibu yang berenang, sekarang jatah kalian," ucap Bang Ben sambil menggendong Nina. 

Selesai sarapan, anak-anak berlarian menuju kolam renang. Mereka berenang di kolam yang dangkal. Aku menyuruh Sinta untuk menjaga adiknya. Setelah membersihkan sisa sarapan tadi, aku dan Bang Ben, menyusul anak-anak. Kami duduk di pinggiran kolam. Tak lupa ku foto dan video kan mereka, terlihat wajah si kecil kesenangan bermain air. Karena jarang liburan, aku memanfaatkan suasana ini untuk siaran langsung di medsos.

"Nay ... udah sarapan ya?" tanya Ibunya Rani. Terlihat Rani menyusul di belakang nya.

"Oh, udah Bu, tadi sarapan di kamar," sahutku.

"Kenapa kalian gak ikut berenang," tanyanya lagi.

"Hmm ... kami baru saja selesai mandi Bu," sela Bang Ben.

"Oh-iya, iya. Kelihatan kok, rambut kalian masih basah," ucap si ibu sambil tersenyum.

Rani yang sedari tadi berdiri di samping ibunya, hanya terlihat cemberut. Aku tersenyum puas, emang enak jadi jomblo, batinku. Mereka kembali duduk di pondok terapung itu. Sedangkan Rani berdiri tak jauh dari tempat kami berenang. Ia mengeluarkan hapenya lalu berfoto selfi mengambil latar belakang danau yang biru. Sepertinya ia memancing perhatian kami, dengan pura-pura tersandung. Bang Ben melirik ragu ke arahku, lalu mengalihkan perhatian ke anak-anak lagi.

Bersambung ....