webnovel

The wound in my heart

Nayla seorang ibu rumah tangga mempunyai anak tiga. Sering mendapat perlakuan kasar dari Beni suaminya. Keluarga Nayla pun tak pernah di hargainya. Hingga suatu hari Ibu Nayla jatuh sakit terserang strok, sikap kasar suaminya semakin menjadi-jadi bahkan sanggup mengusir Ibu dan adiknya dari rumah yang mereka tempati. Tiga tahun kemudian Ibu Nayla meninggal dunia. Sungguh hancur hatinya menghadapi kenyataan ini. Akan tetapi sikap suaminya tidak berubah, bahkan tega berselingkuh dengan mantan pacarnya dulu. Akibat luka hati yang begitu dalam, Nayla pun pergi meninggalkan Beni, dengan membawa ketiga anaknya. Bagaimanakah kisah selanjutnya? Ikuti terus ya pembaca setia, hanya di aplikasi WebNovel. Ikuti juga ceritaku yang lainnya, 1. Choise Lover 2. It's my dream

Novita_Adha · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
268 Chs

Rahasia yang terungkap

Bab 12

  Setelah selesai berbelanja, perut pun terasa lapar. Ku ajak Bang Ben mencari makanan atau camilan. Tetapi ia ragu kalau makan di daerah sini. Karena daerahnya berbeda keyakinan dengan kami. Sementara anak-anak inginnya jajan es krim. Makan di resto hotel saja, saran keluarga Rani. Jadi anak-anak, aku bawa ke swalayan untuk beli roti biskuit dan es krim. Tak lama kami pun bersiap untuk pulang ke hotel. 

Hari mulai sore, pengemudi kapal bot sudah menunggu dengan harap cemas. Kelihatan dari wajah nya, ia terus memandang ke arah danau. Bang Ben mendekati pengemudi bot yang kami tumpangi tadi.

"Ada apa Pak?" tanya nya.

"Eh-ini, air danau mulai pasang, Bang," sahut si Bapak.

"Yuk ... kalian dan keluarga yang lain, harus segera pulang! Karena angin semakin kencang. Kita akan melawan arus danau, nanti akan ada sedikit guncangan, saat di atas kapal bot," jelasnya.

"Sebentar ya Pak, saya panggil dulu keluarga yang lain." 

Bang Ben pun menjelaskan apa yang di ceritakan si bapak tadi, dengan keluarga Rani. Tak lama kami pun sudah naik ke atas kapal bot. Aku melafal kan doa dalam hati. Semoga saja, kami sampai dengan selamat ke sebrang danau itu. Bang Ben meletakkan Raka di pangkuannya. Karena Raka mulai mengantuk. Sedang kan aku dan Sinta memeluk si bungsu Nina. Rasa kantuk seketika hilang, saat melihat kapal bot yang di tumpangi Rani mendadak berhenti di tengah danau. Pengemudi bot kami, mendekati mereka.

"Ada apa, kok berhenti," tanya si pengemudi dengan temannya.

"Ini, baling-baling kapal tersangkut sampah plastik," jelasnya.

Kapal bot sedikit oleng, karena pengemudinya turun ke danau. Dengan memakai pelampung, ia menarik sampah yang tersangkut.

"Sebaiknya semua penumpang di pakaikan pelampung," ucapnya ke pengemudi yang lain.

******

 Kami dan keluarga Rani, langsung di beri kan baju pelampung lalu memakainya dengan benar. Hati ku semakin gelisah, rasa takut mulai merayap. Bagaimana kalau datang ombak besar, mana mungkin kami sanggup bertahan di kapal yang kecil ini. Duh ... aku mulai ketakutan, Bang Ben lalu menggenggam tanganku. Ia tau kecemasan sedang melanda di diriku.

Anak-anak mulai mengantuk, karena kecapekan berjalan. Kapal bot mulai bergoyang semakin lama makin kuat, karena bot kami sedang memacu kecepatannya. Langit pun semakin menghitam, suara petir mulai sering terdengar. Sinta merapatkan tubuhnya ke dekatku. Wajahnya mulai pucat dan cemas. Ayahnya coba menenangkan kami.

"Ber doa lah! Gak usah takut, jangan mikir yang aneh-aneh," ucapnya.

"Lima belas menit lagi, kita sampai di sebrang kok." Ia tahu, kalau aku dan Sinta ketakutan. Karena tangan ini sedingin es.

Ada yang aneh menurutku, kenapa kapal bot yang di tumpangi Rani  dengan kedua adiknya saja, yang mengalami kendala. Yang kedua ini, cukup membuat hati bergidik ngeri, tiba-tiba mesin kapal nya mati sendiri. Kami melihat dari kejauhan dengan hati yang cemas. Sekitar lima menit mereka terombang-ambing di atas kapal. Begitu kapal kami mendekat, baru lah mesin nya hidup kembali. Kami pun menarik nafas lega. Ku lihat wajah Rani dan kedua adiknya masih pucat. 

Tak lama terdengar suara petir bersahutan. Awan kelihatan bergerak cepat, langit mulai membentuk awan hitam. Tampaknya akan segera turun hujan. Dari jauh sudah kelihatan bangunan hotel tempat kami menginap.

Akhirnya, kapal bot pun merapat di pinggiran danau. Alhamdulillah ... setelah membayar sewanya, kami pun turun dan mengucapkan terima kasih ke pengemudinya.

Keluarga Rani langsung masuk ke kamar hotel, mereka tampaknya sedikit shock gara-gara kejadian tadi. Aku berucap syukur dalam hati, kami semua bisa selamat, sampai kembali ke sini.

"Aku jera deh, naik kapal bot itu," ucapku ke Bang Ben.

"Hee ... hee, serasa ikut uji nyali, iya kan Nay," sahut Bang Ben.

"Iya lah, seperti bisa saja abang menyelamatkan kami semua, kalau kapal nya nyemplung ke danau," jawabku sewot.

"Jangan cemberut gitu ah. Entar malam gak abang kasi jatah, di sini dingin loh," ledeknya. 

"Hmm ... mulai lagi otak mes** nya. Dasar laki-laki." Untungnya Sinta sudah jalan lebih dulu ke kamar.

******

 Selesai salat Magrib, ada ketukan dari luar pintu. Terdengar suara Mamanya Rani memanggil namaku. Aku pun segera membukakan pintu.

"Nay ... kami hendak makan malam di resto hotel. Kalian mau ikutan, gak?" tanyanya.

"Tunggu sebentar ya Bu, Nay tanya ke Bang Ben dulu," sahutku.

Bang Ben menganggukkan kepala, kami pun segera turun ke resto hotel, untuk makan bersama. Selama makan, tak banyak yang kami bahas. Biasanya abangnya Rani itu, paling banyak bicaranya. Kali ini, kok tumben diam saja. Apa sudah lelah, atau ada hal lain. Menurutku ia dan istrinya tak ada romantis nya. Memang mereka menikah, karena di jodohkan, jadinya seperti itu.

Kami membayar masing-masing makanan yang di makan. Jelaslah keluarga Rani membayar lebih mahal, karena mereka itu, dua keluarga. Prinsip aku tak apalah membayar mahal, uang bisa di cari. Kalau kebersamaan dan kebahagiaan untuk keluarga tak akan bisa di beli. Lagi pula mereka berani mengajak liburan ke tempat ini, berarti punya banyak uang kan. Kami hanya menjawab tantangan mereka saja. Kebetulan lagi ada rezeki, makanya Bang Ben berani mengajakku liburan ke sini. Padahal aku tak berharap sama sekali, tak menyangka bisa juga sampai di daerah danau yang indah ini.

Selesai makan malam, kami pun kembali ke kamar hotel. Aku hendak membereskan semua barang bawaan, karena besok kita akan pulang ke rumah. Anak-anak kelihatannya mulai mengantuk. Mereka lebih memilih naik ke tempat tidur, dari pada menonton tivi. Bang Ben melangkah keluar, katanya sih ingin bertemu abangnya Rani.

Akhirnya selesai juga beberes. Semua barang, sudah masuk ke dalam tas. Tinggal beberapa baju saja yang ku sedia kan di atas meja, untuk di pakai besok. Setelah melaksanakan salat Isya, aku rebahan di atas ranjang, sambil meluruskan pinggang. Tak lama Bang Ben, masuk ke kamar. Ia terburu-buru mengambil hape, seperti ada yang menelfonnya.

"Ada apa, Bang?" tanyaku.

"Oh-ini, ada yang miscall," jawabnya.

"Nay ... Abang tidur agak lama ya," mau mancing di pondok terapung dengan abangnya Rani," jelasnya.

"Tumben, tadi waktu makan, gak ada cerita deh. Mereka aja lebih banyak diam," selidikku.

"Hmm ... iya, Abang keluar dulu. Kunci aja pintu nya!"

******

  Rasa kantuk ku tak tertahan lagi, pintu kamar sengaja aku kunci. Karena Bang Ben masih di luar. Takut nanti ada tamu yang nyasar masuk ke kamar kami. Hitungan menit, aku pun langsung terlelap. Entah berapa lama tertidur, aku pun tersentak. Ku raih hape untuk melihat jam. Bang Ben kok belum masuk kamar ya. Gegas aku turun dari ranjang, lalu membuka pintu. Ku intip sekitar kamar sudah sepi.

Setelah merapikan baju sekenanya, aku pun keluar. Penasaran juga, apa bener, sudah larut malam begini, ada orang mancing di pondok terapung itu. Aku pun berjalan keluar, melewati lobi hotel. Lalu berbelok ke arah pondok itu, dari jauh tampak pondok itu sepi-sepi saja. Tak ada satu pun orang yang duduk di sana. Tiba-tiba perasaanku tak enak. Aku kembali lagi ke arah kamar tempat kami menginap. 

Sekarang aku sudah berada di depan kamar abangnya Rani. Ku tempelkan telinga ke pintu kamarnya. Tak ada terdengar suara apapun dari dalam sini. Sepertinya mereka sudah tidur. Aku menuju pintu kamarnya Rani, sayup terdengar alunan musik dan suara orang sedang berbicara. Seperti nya itu suara Bang Ben. Sedang apa mereka di dalam. Lagi pula di kamar ini ada adiknya Rani juga. Aku semakin penasaran. Ketika membuka pintu, eeeh ternyata di kunci. Langsung saja ku ketuk pintunya.

Tak lama terdengar langkah kaki menuju pintu. Ternyata Bang Ben yang membuka pintu. Ia tampak kaget melihat aku di depan pintu.

"Eh-oh, Nayla ... kirain Mamanya Rani yang ketuk pintu," ucapnya gugup.

"Mancing nya di sini, ya?" tanyaku sambil menerobos masuk ke kamar itu.

Ku lihat Rani berada di atas tempat tidur. Sedang bermesraan dengan Bang Ben. Ia duduk di sebelahnya di batasi meja kecil. Rani melirik sekilas ke arahku, kemudian kembali memainkan hapenya. Sedangkan adik wanitanya sudah tertidur dengan memakai selimut tebal. Di atas meja, terlihat ada dua minuman kaleng yang mengandung alkohol. Sumpah ... Ingin rasanya ku maki mereka berdua. Sambil menahan amarah, aku keluar dan membanting pintu kamarnya.

Aku langsung berlari ke kamar, lalu mengunci pintu. Terdengar suara langkah kaki menyusul dan berjalan mendekati kamarku. Di luar pintu, Bang Ben terus memanggil namaku. Menimbulkan suara gaduh, karena ini sudah tengah malam. Tak lama datang dua orang security hotel menanyakan apa yang terjadi.

Bang Ben gelagapan menjawabnya. Kelihatan sekali bahwa ia sedang berbuat salah. Andai aku tak keluar mencarinya, entah apa yang akan di lakukan mereka di kondisi hujan begini. Aku takut membayangkan apa yang terjadi di antara mereka. Tuhan langsung menunjukan padaku, apa sebenarnya niat mereka. Aku yang sudah terlelap, tiba-tiba terjaga dari tidur dan langsung melihat mereka sedang bermesraan di dalam kamar.

Mereka memanfaat situasi adiknya yang sudah terlelap. Bisa saja mereka berbuat dan melakukan hal yang di luar batas. Aku tak habis pikir melihat sikap mereka berdua. Di mana akal sehatnya, yang satu janda, dan satunya lagi suami orang. Suara Bang Ben masih terus terdengar di luar kamar, sambil memanggil namaku.

"Nay ... buka pintunya! Aku bisa jelaskan semuanya." 

"Ini tak seperti yang kamu lihat," ucapnya lagi.

Ia terus mengetuk pintu, tetapi  aku tetap tak membukakannya. Berkali-berkali Bang Ben mohon untuk di buka kan. Aku tak peduli, hingga suara ketukannya menghilang. Terdengar suara berisik dari luar pintu. Seperti orang bercakap-cakap.

Tak lama pintu di ketuk kembali, Aku tetap tidak bergeming sedikit pun. Biar mereka yang di luar itu malu sekalian. Kali ini terdengar suara Mamanya Rani yang memanggilku. Beliau mengetuk pintu berulang kali, sepertinya ingin berbicara, menjelaskan sesuatu hal padaku.

Bersambung ....