Dini hari setelah menonton tinju yang diadakan Bang Ole, Aslan kembali ke sasana milik Bang John. Sepanjang perjalanan dengan motor trail yang ia kendarai, Aslan merenungi keputusannya untuk membuat perjanjian dengan Bang Ole.
Ia mulai memikirkan apakah keputusan yang ia buat ini sudah benar, ataukah ini hanya akan menambah panjang catatan kesialannya.
"Ya, paling ngga gue bisa bantuin Bang John sama Ucok," batin Aslan.
Begitu ia tiba di depan sasana Bang John, Aslan berdiri cukup lama memandangi papan nama sasana tersebut yang sudah miring ke salah satu sisinya. Ia menghela napas panjang dan berjalan masuk ke dalam sasana.
"Baru pulang, Lan?" tanya Bang John ketika Aslan melangkahkan kakinya ke dalam sasana.
Aslan terkesiap. Ia tidak menyangka bahwa Bang John masih berada di dalam sasana. "Loh, Abang masih disini?"
Bang mengangguk. "Abis benerin loker."
"Oh," gumam Aslan. Ia kemudian duduk di sebelah Bang John.
Keduanya duduk terdiam dan hanya sesekali saling lirik. Bang John bangkit berdiri dan menepuk bahu Aslan. "Gue balik dulu, deh. Udah malem. Lu juga harus istirahat, kan."
Aslan menganggukkan kepalanya. Bang John tersenyum simpul pada Aslan lalu berjalan pergi meninggalkannya.
"Hati-hati, Bang," seru Aslan.
Bang John menoleh dan kembali tersenyum pada Aslan. Ia kemudian melangkah keluar dari sasananya.
Aslan mendesah pelan ketika Bang John akhirnya pergi meninggalkan sasana. Ia membuka jaket jeansnya dan berjalan ke arah lokernya untuk mengambil perlengkapan mandinya. Setelah itu, ia melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam sasana untuk membersihkan dirinya.
-----
Setelah menghabiskan jam makan siangnya bersama dengan Ayah tirinya, Leon kembali ke kantor dengan wajah yang sedikit muram. Nadia yang kebetulan melihat kedatangan Leon terheran-heran melihat wajahnya dan memilih untuk menyusul masuk ke dalam ruangan Leon.
"What's wrong?" tanya Nadia begitu ia masuk ke dalam ruangan Leon.
Leon menoleh dan segera menatap Nadia. "Menurut lu, mana yang harus gue percaya. Nyokap gue atau Bokap tiri gue?"
Nadia langsung mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan Leon. "Maksudnya?"
"Ngga ada maksud apa-apa. Mana yang harus gue percaya di antara dua orang itu?"
Nadia mengangkat bahunya. "I don't know. Lu sendiri lebih percaya siapa?"
"Kenapa lu malah balik nanya?" sahut Leon kesal.
Nadia tersenyum dan berjalan menghampiri Leon yang sedang duduk di kursinya. Ia kemudian bersandar pada meja kerja Leon sembari menyilangkan kedua tangan di depan dadanya dan menatap Leon dalam-dalam. "Lu masih punya hati, kan?"
"Mungkin," jawab Leon sekenanya.
"Menurut hati lu yang mungkin masih ada itu, kira-kira siapa yang harus lu percaya?" Nadia kembali bertanya pada Leon.
"I don't know," sahut Leon pelan.
"Makanya lu nanya ke gue siapa di antara Nyokap dan Bokap lu yang bisa dipercaya?"
Leon mengangguk. "Karena gue bingung."
"Well, gue cuma bisa bilang, percaya aja sama intuisi lu. Selama ini lu selalu bergantung sama intuisi lu sendiri, kan?"
Leon terdiam setelah mendengar ucapan Nadia. "Begitu, ya?"
Nadia segera mengangguk. "Kalo lu bingung, percaya aja sama diri lu sendiri."
Leon mengangguk seraya tersenyum pada Nadia. "Thanks buat kata-kata mutiaranya."
Nadia memutar bola matanya. Tentu saja, seorang Leon tidak akan berterima kasih padanya tanpa mengeluarkan sindiran khasnya. "You're welcome. Setelah ini, gaji gue naik, kan? Kan, gue udah ngasih lu kata-kata mutiara."
Leon mengangguk. "Pasti gue naikin gaji lu. Tapi, di dalam mimpi."
Nadia tersenyum kecut pada Leon. Sementara Leon tersenyum lebar padanya.
"Senyum lu ngeselin," ujar Nadia.
"Tapi, senyum ini bisa meluluhkan cewek-cewek di 1Oak," sahut Leon.
"Ya, itu karena mereka semua mabok," timpal Nadia.
"Masa lu ngga tergoda sama senyum gue?" tanya Leon sambil menatap tajam ke arah Nadia.
Nadia menggeleng cepat. "Gue terlalu kenal sama lu. Sampai-sampai gue ngga tergoda sama senyuman lu." Ia menjulurkan lidahnya untuk meledek Leon. "Dah, gue mau balik kerja lagi."
Leon berdecak pelan ketika Nadia beranjak dari meja kerjanya. "Kerja yang bener kalo mau naik gaji," seru Leon.
Nadia tidak menghiraukan ucapan Leon dan malah melambaikan tangan padanya. Ketika hendak menutup pintu ruang kerja Leon, Nadia mengacungkan jari tengahnya pada Leon.
Mata Leon membulat melihat Nadia mengacungkan jari tengah ke arahnya. Ia mengambil kertas tidak terpakai yang ada di dekatnya lalu meremasnya hingga membentuk bulatan dan melemparkannya ke arah Nadia.
Nadia menjulurkan lidahnya dan dengan cepat menutup pintu ruangan Leon. Kertas yang dilemparkan oleh Leon akhirnya membentur pintu ruangannya.
"Dasar," gumam Leon sembari tertawa pelan. Ia menarik napas panjang dan kembali berkutat dengan pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum ia berangkat ke Jakarta.
-----
Aslan berbaring di sofa usang yang sudah menjadi tempat tidurnya beberapa hari ini. Wajahnya menengadah menatap langit-langit sasana milik Bang John. Dalam benaknya ia membayangkan pertemuan pertamanya dengan Bang John.
Ia ingat pertama kalinya ia datang ke sasana tersebut setelah mengikuti Bang John. Pada saat itu, ia mengikuti Bang John karena merasa kagum dengan Bang John yang sudah menyelamatkannya ketika ia dirundung oleh kakak kelasnya.
Baru kali itu ada orang yang membelanya. Siapa sangka hari dimana Bang John menyelamatkannya adalah hari ketika Bang John harus menelan kekalahan dalam audisi Petinju untuk mengikuti ajang Asean Games.
Setelah hari itu, Aslan kerap datang ke sasana meskipun Bang John pun kerap kali mengusirnya. Melihat kegigihan Aslan yang terus datang meski sudah diusir membuat Bang John tersentuh. Pada kunjungan Aslan yang entah ke berapa kalinya, Bang John tiba-tiba mengajak Aslan untuk ikut berlatih.
Hari-hari berikutnya, Aslan mulai berlatih tinju bersama Bang John. Ia mengajari Aslan semua teknik tinju yang ia miliki. Bang John begitu terkesan dengan kemampuan Aslan dalam menyerap semua teknik yang ia ajarkan.
"Inget, kalo mau berantem, ajak lawan lu masuk ke ring. Di ring, lu bisa berantem pakai aturan. Bukan sekedar adu jotos tanpa aturan." Itulah kata-kata yang sering diucapkan Bang John pada Aslan setelah mereka selesai berlatih.
Dan Aslan selalu menuruti kata-kata Bang John. Meskipun ia sudah menguasai teknik bertinju, ia selalu menahannya ketika sedang menghadapi perundung di sekolahnya karena ia mengingat ucapan Bang John.
Namun pada suatu hari, Aslan datang ke sasana dalam keadaan terengah-engah dengan mata yang berkaca-kaca.
Bang John keheranan melihat sikap Aslan yang tidak biasa. "Lu kenapa, Lan?"
"Maaf, Bang," jawab Aslan.
Bang John semakin keheranan. "Maaf kenapa?"
"Gue ngga sanggup nahan lagi, Bang. Tadi gue kelepasan dan mukulin kakak kelas gue," terang Aslan.
Bang John menghela napas panjang mendengar pengakuan Aslan. Ia mendekati Aslan dan memeluknya. Ia tahu Aslan sudah berusaha sekuat tenaga untuk menahan diri. Ketika akhirnya ia lepas kendali, itu pasti karena apa yang diterimanya sudah di luar batas.
*****
Don't forget to follow my Instagram Account pearl_amethys
and my Spotify Account pearlamethys untuk playlist yang berisi musik yang saya putar selama menulis cerita ini.
Karya asli hanya tersedia di platform Webnovel.
Hello pembaca sekalian, Terima Kasih sudah membaca karya kedua saya, hope you guys enjoy it..
Jangan lupa masukkan ke collection kalian untuk update chapter berikutnya. Sekali lagi Terima Kasih atas dukungan kalian.. ^^