Saat itu sama sekali tak terasa sang waktu telah berlalu sekitar dua puluh menitan, sampai bel sekolah berbunyi dua kali menandakan jam istirahat telah usai. Bel itu juga mengakhiri nyanyian kami, kami berempat pun kembali ke kursi masing-masing bersamaan dengan para murid lain yang berdatangan masuk ke ruang kelas. Tak lama setelah itu Pak Budi berjalan masuk sambil membawa buku pelajaran Biologi.
Kemudian Pak Budi duduk di kursi guru dan melempar pelan bukunya ke atas meja.
"Oke, selamat pagi anak-anak!" sapa Pak Budi.
"Siang Pak!" sanggah semua murid.
"Oke! selamat siang!" balas Pak Budi.
"Sesuai janji saya Minggu kemarin, hari ini kita akan mereview ulang materi-materi yang sudah kita pelajari dari semester!" ucap Pak Budi.
"Baik Pak!" jawab sebagian besar murid dengan nada mengeluh, sementara yang lainnya, termasuk aku, hanya bisu sambil mengeluarkan buku pelajaran Biologi.
Selanjutnya kami semua mereview materi pelajaran Biologi yang sudah kami pelajari selama satu semester sambil menahan ngantuk dan perasaan was-was karena takut ditunjuk oleh Pak Budi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dia lontarkan, untung saja saat itu aku tidak menjadi salah satu korbannya. Sampai tak terasa bel istirahat kedua berbunyi dan mengakhiri kegelisahan serta kepanikan kami. Saat istirahat kedua, aku kembali menghabiskan waktu dengan berkumpul serta bernyanyi dengan Aldo, Rian, dan Laras, namun kali ini aku yang memainkan gitarnya.
Saat sore hari, tepatnya di parkiran motor saat bersiap untuk pulang, aku kembali dihampiri oleh Laras dan kembali diajak nongkrong bareng dengan mereka bertiga. Karena aku mulai merasa senang serta nyaman berada di antara mereka, akhirnya tanpa memikirkan tangki bensin yang telah menipis, aku langsung menerima ajakan itu.
"Toh gak ada ruginya kan? bagus juga kalau akhirnya bisa akrab dan berteman dengan mereka!" pikirku pada saat itu.
Aku ikuti kedua motor mereka dari belakang. Awalnya kukira tempat yang akan kami datangi adalah salah satu dari rumah mereka, sebuah warung sederhana, atau restauran fast food, namun ternyata mereka memberhentikan motor mereka di parkiran, di depan sebuah bangunan yang terlihat dari luar seperti cafe yang cukup berkelas bagiku.
Aku parkiran motor lalu mengikuti mereka yang sudah masuk ke cafe terlebih dahulu. Begitu sudah berada di dalam, kami segera mengambil tempat duduk di sebuah meja dengan dua pasang kursi kosong yang saling berhadapan. Aku duduk bersebelahan dengan Laras serta berhadap-hadapan dengan Rian.
Sesaat setelah kumenaruh kunci motor di dalam tas, meja kami langsung dihampiri oleh seorang pelayan wanita. Tanpa membuka pamflet itu yang berada diatas meja, mereka langsung menyebutkan pesanan mereka masing-masing, Aldo dan Rian memesan dua gelas Ice Lemon Tea, sementara Laras memesan Iced Red Velvet Latte. Awalnya kukira mereka sudah sering kesitu sampai hapal dengan menu-menunya, bahkan pelayan tadi memanggil Laras dengan sebutan mbak Laras.
Setelah mencatat pesanan mereka bertiga, lalu dia mulai beralih bertanya kepadaku, "oke, kalau mas yang di samping Mbak Laras mau pesan apa?".
"Hemmm, saya gak pesen apa apa Mbak!" jawabku
"Kenapa?" tanya Laras
"Gua gak bawa duit sama sekali Ras!" bisiku kepada Laras
Mendengar bisikanku, Laras seketika tertawa lebar, "hahahaha, gak usah khawatir kalau soal itu, cafe ini punya bokap gua! jadi lu gak usah bayar! tenang aja!"
Walaupun sempat merasa tidak enakan karena hubungan kami yang tidak terlalu dekat, bahkan baru pertama kali saling mengobrol pada jam istirahat pagi harinya, akhirnya kuterima tawaran dari Laras dan memesan segelas Iced Lemon Tea sama seperti Aldo dan Rian. Pelayan tadi pun mencatat pesananku kemudian langsung pergi meninggalkan kami dengan senyuman.
Setelah pelayan itu meninggalkan kami, Laras mulai membuka percakapan dengan keluhannya tentang guru Matematika pengganti kami.
"Tadi pagi si jenggot gak jelas banget dah! dateng-dateng nanyain PR, pake ngetes udah ngerjain atau belum segala lagi!" keluh Laras.
"Tau tuh! mana cuma ngasih soal habis itu langsung cabut lagi! enak banget hidupnya!" timpal Aldo.
"Emang gak jelas tuh orang!" tambah Rian.
Aku yang sebenarnya tidak terlalu setuju dengan sikap mereka yang mengeluh dan menjelek-jelekan Pak Yatno itu, namun karena tidak mau menyinggung mereka apalagi sampai menimbulkan masalah di cafe Laras, aku hanya membisu tanpa mengeluarkan sepatah katapun sambil mengangguk berpura-pura setuju dengan mereka.
"Udah muka serem banget kaya setan!" ejek Aldo.
"Emang lu pernah liat setan Do?" tanya Laras.
"Belum sih, tapi....." jawab Aldo
"Masa sih Do? emangnya lu belum pernah ngaca?" sosor Rian sambil tersenyum kecil.
"Ngaca? tadi pagi gua ngaca! emang apa hubungannya sama set... Woy!" ucap Aldo dengan sedikit membentak setelah dia nampak menyadari maksud dari perkataan Rian.
Guyonan mereka berdua serta tingkah Aldo yang telat mikir, membuat aku, Laras, serta Rian tertawa terpingkal-pingkal. Belum habis tertawa, kini giliranku yang dilempar pertanyaan oleh Laras.
"Kalo lu gimana Di? pernah liat setan?" tanya Laras.
"Gua? sama, gua juga belom pernah liat!" jawabku.
"Kalo hantu?" tanya kembali Laras dengan tatapan mata yang terlihat serius.
"Kalo hantu sih, pernah!" jawabku dengan sedikit merasa ragu.
"Yang bener lu? kaya apa muka hantunya?" tanya Laras dengan wajah yang terlihat lebih antusias dari sebelumnya.
Setelah mendengar pertanyaan itu, aku menjadi sangat ragu, awalnya aku sangat ingin jawab dengan sejujur-jujurnya hantu-hantu yang kulihat beberapa hari sebelumnya, tapi entah kenapa tiba-tiba firasat mengatakan untuk tidak memberitahukannya.
"Mukanya ya... kaya hantu, nyeremin!" jawabku.
Mendengar jawaban seperti itu, wajah Laras yang awalnya nampak sangat antusias, berubah menjadi cemberut dan terlihat kecewa.
"Oh, gitu! hmmm, gua ke toilet dulu ya guys!" pamit Laras.
"Yo!" balas Aldo dan Rian dengan serentak.
Kemudian Laras meninggalkan kami bertiga, tanpa kehadiran Laras di tengah-tengah kami, rasanya aku merasa sangat canggung serta malu untuk menyambung percakapan dengan Aldo dan Rian. Hasilnya aku hanya bisa diam membisu sambil mataku yang melirik ke segala sudut ruangan cafe itu, sampai akhirnya setelah beberapa menit Laras kembali dan tak lama setelahnya datang pula seorang pelayan pria yang membawa pesanan kami.
"Wah udah dateng! pas banget nih, udah haus banget gua!" sambut Aldo.
"Silahkan! selamat dinikmati!" ucap pelayan itu yang kemudian kembali pergi meninggalkan kami berempat.
Kemudian mereka bertiga langsung menyeruput sedikit minuman mereka bertiga masing-masing, yang kemudian disusul olehku. Entah kenapa saat menyeruput minuman teh itu rasanya enak sekali, beda dari es teh yang pernah kurasakan selama ini, akhirnya langsung saja kutenggak minuman itu sampai habis tak tersisa satu tetespun.
"Ahhhhh..." desahku sambil menaruh gelas yang sudah kosong itu ke atas meja.
Setelah kembali tersadar dari kenikmatan minuman itu, aku baru sadar kalau sedari tadi diperhatikan oleh mereka bertiga dengan wajah yang seperti menahan tawa.
"Oke, kita sambung lagi yang tadi!" celetuk Laras memecah keheningan sesaat itu.
"Oke! siap juragan! Hikkk!" jawabku disertai dengan cegukan-cegukan kecil
"Ja.. gi...na Di? muk.... tu tadi?" tanya Laras dengan terbata-bata.
"Ha?" balasku sambil menyodorkan telinga kanan kepadanya.
"Diman...a mu... batu tadi?" teriak Laras di telingaku
"mungut batu? siapa yang mungut batu?" jawabku.
Entah mengapa sesaat setelah itu kepalaku tiba-tiba mulai terasa sangat pusing, pandangan dan suara-suara di sekitar juga menjadi samar, tubuh juga terasa begitu berat, lalu secara perlahan semuanya menjadi gelap gulita serta sunyi senyap. Dan yang kuingat terakhir kali sebelum pandangan menjadi gelap gulita, aku sempat melihat mereka bertiga melambai-lambaikan tangan mereka tepat di depan mataku
Berikan saya kritik!
Berikan saya saran!
Berikan saya vote!
Add novel ini ke library anda!
Thanks you, karena sudah mau mampir!