Saat melihat sosok putih itu, keberanian, rasa percaya, serta jiwa ksatria dengan langkah kaki nan gagah berlari sebelumnya yang tersulut karena teriakkan histeris dari ibu, semuanya hilang berhenti seketika.
"Pergi!" ibu melempar sesuatu yang sedari tadi digenggamnya. Benda itu melayang-layang di udara lalu meluncur mulus, jatuh di tepi kasur. Sosok itu terus-menerus menatap ibu, seakan-akan sudah siap menerkamnya saat itu juga.
Kedua bola mataku bolak-balik bergonta-ganti fokus pandangannya ke ibu serta sosok itu seraya dengan pikiranku saat itu yang mulai dibanjiri pertanyaan-pertanyaan seperti, 'siapa itu?' 'apa itu ?' 'gimana ini?' 'gimana ini?'
Kemudian dengan punggung yang masih merapat ke dinding di belakangnya, wajah ibu menoleh menghadap ke arahku. Walaupun aku tak dapat melihat bagaimana raut wajahnya saat itu, tapi aku bisa tau kalau dia sedang sangat ketakutan akan sosok yang ada di depan kami dari suara nafasnya yang tersengal-sengal.
Melihat ibu yang seperti itu, membuat api keberanian serta semangatku yang sempat padam kembali berkobar. Kepala dan mataku mondar-mandir ke segala arah mencari senjata terbaik yang bisa kupakai untuk melawan sosok menakutkan itu.
Dari semua barang yang ditangkap mataku, pilihan pertamaku jatuh pada sebilah pisau daging yang tergeletak didekat wastafel. Saat berpaling dan hendak mulai berlari ke wastafel, Ibu tiba-tiba saja berteriak sangat kencang.
Aaaaa...
Teriakan itu dengan sekejap membuyarkan pikiran, mengacaukan nafas dan membuatku ingin segera menolong Ibu bagaimanapun caranya. Akhrinya membatalkan niat untuk mengambil pisau, dan langsung mengambil barang terdekat yang bisa diraih tanganku, yaitu kursi yang biasa kududuki saat makan bersama Ibu untuk dijadikan senjata melawan sosok itu.
Kucengkeram erat sandaran kursi itu lalu mengayunkannya sampai kebelakang punggung. Keringat tak berhenti mengalir deras dari kening serta mulut yang tak berhenti menghembuskan nafas mengiringi langkah kakiku mulai berlari mendekati pintu kamar Ibu.
Saat kaki melangkah melewati pintu terasa hembusan angin sangat kuat yang membuat seluruh badan mengigil, serta nafas menjadi sangat berat. Dengan segala tenaga yang ada, aku ayunkan kursi itu ke depan, melayang dan berputar tepat ke arah sosok yang sudah berdiri di hadapan Ibu yang mendorong - dorong dinding dengan punggungnya.
Kursi melayang dan berputar cepat tepat ke arahnya, dengannya aku sangat berharap bisa melumpuhkan atau paling tidak melukai sosok itu. Namun harapan itu sekejap sirna, keringat yang tadinya sudah tersapu oleh angin dingin kini kembali mengalir dari keningku ketika melihat kursi yang kulemparkan sekuat tenaga melayang menembus badan dari sosok itu lalu hancur menghantam dinding yang ada di sampingnya.
Disaat itulah aku sadar bahwa sosok itu bukanlah lawan yang bisa kuhadapi. Ditengah tubuh serta pikiranku yang diam mematung tiba-tiba tersentak sampai terjengkang kebelakang karena teriakan memekakkan telinga dari sosok itu.
Saat aku membuka mata dan hendak berdiri sosok perempuan yang sedari tadi menatap ibu itu sudah tidak ada. Hal yang bisa kulihat hanyalah bayangan tubuh ibu yang tengah duduk dengan kedua kakinya menjuntai kedepan. Aku langsung menghampiri dan duduk di depannya.
"Mak?"
Ibu tidak membalas sapaanku ataupun berbicara sedikitpun. Yang bisa kudengar darinya hanyalah suara napasnya yang terengah-engah serta gesekan rambutnya dengan dinding seirama dengan kepalanya yang berayun perlahan kekiri dan kekanan.
"Mak gak apa apa ?"
Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Ibu menganggukan kepalanya dua kali dengan sangat lemas, dia bahkan tidak bisa mengangkat tegak kembali kepalanya. Mendengar nafasnya yang terengah-engah membuatku langsung terpikir untuk mengambilkannya segelas air untuk dia minum.
Beranjak dari kasur dan perlahan menuju dapur. Ketika melangkah keluar dari kamar Ibu, aku merasakan udara yang begitu hangat menyelimuti sekujur wajah, tangan, dan kaki. Seluruh tubuh yang tadinya menggigil kedinginan kini perlahan menghangat, hal itu membuat perutku perlahan bereaksi hebat.
Bagaikan bisikan lembut seorang ibu di telinga sang bayi tercintanya, sebuah bunyi nyaring merdu terdengar selaras dengan angin hangat yang berhembus dari belakangku serta aroma sangat sedap tiba-tiba tercium yang melegakkan nafasku yang sedari tadi seakan tersumbat bongkahan es batu.
"Ahhhh"
Setelah merasakan aroma surga sesaat itu, aku teruskan langkah menuju dapur. Saat hendak mengambil gelas kaca besar di atas rak piring, kedua mata sempat teralihkan kepada pisau daging yang tergeletak di dekat wastafel yang tidak jadi kupakai tadi. Kuambil pisau itu meletakkannya ke dalam rak pisau seraya tangan yang lain mengambil gelas.
Sembari memegang sebuah gelas kaca di tangan, aku berjalan ke arah dispenser. Kuracik air normal dan air panas ke dalam gelas kaca tadi, sehingga jadilah segelas air hangat dengan suhu sempurna untuk menenangkan Ibu yang baru saja menghadapi suasana nan mencekam.
Dengan segelas air hangat di tangan, aku berjalan kembali ke kamar Ibu. Saat sampai disana, terlihat posisi duduk Ibu sudah berubah, kedua kaki yang tadinya menjuntai ke depan kini dia tekuk dengan kedua tangannya tersimpul rapih menopang kening Ibu di atasnya.
Saat mendekati Ibu, samar-samar terdengar hirupan napas kuat serta berair darinya. Saat itu aku langsung berpikir bahwa, selagi aku mengambilkan air untuknya, Ibu menahan semua tangis dan sedihnya dalam ringkuk.
Melihat dia bertingkah seperti itu membuat rasa iba serta kepedulian yang ada di dalam diriku semakin berontak ingin keluar dan mencurahkan semuanya untuk menenangkan Ibu. Perlahan kudekati Ibu, lalu menepuk-nepuk pelan lengan kirinya.
"Mak, ini diminum dulu airnya biar enakan!"
Ibu mengangkat kepala serta menunjukkan wajahnya yang dari tadi disembunyikan di antara badan dan kaki. Walaupun tidak dapat melihat wajahnya karena gelapnya kamar Ibu tanpa bohlam lampu yang menyala, tapi dengan suara yang masih tersedu-sedu aku yakin matanya akan terlihat mengkilap seperti gelas yang kupegang.
Masih dalam diam tanpa berucap sedikitpun, Ibu mengulurkan tangan kanannya meraih segelas air yang kupegang. Dengan segelas air di genggamannya, dia perlahan mendekatkan bibirnya pada tepi gelas, lalu mulai menyeruput airnya sedikit demi sedikit. Melihat ibu yang terlihat sedikit lebih tenang seperti itu, membuat bibirku melukiskan lengkungan senyum tipis di wajahku.
Di tengah-tengah seruputannya, tiba-tiba Ibu mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah sampingku. Saat menoleh ke arah yang ditunjuknya ternyata Ibu menunjuk ke arah tombol lampu, aku langsung paham kalau dia bermaksud menyuruhku untuk menyalakan bohlam lampu.
Akupun berdiri dari kasur dan dengan gagahnya berjalan perlahan ke tombol lampu yang tadi ditunjuk oleh Ibu. Disaat tepat berada di depan tombol lampu serta hendak menekannya, aku baru saja tersadar akan sesuatu janggal yang baru saja terjadi. Lalu bersamaan dengan terangnya kamar karena lampu yang baru saja kunyalakan, terdengar suara pecahan kaca dari arah belakang.
Praankk