webnovel

The Truth Is Revealed During This

Rava mengidap suatu penyakit yang membuat dirinya hancur? Suatu ketika dia mempunyai rencana untuk membalaskan dendam nya tersebut kepada seseorang yg telah membuat kehidupannya hancur dan mematahkan masa depannya. Saat iya pergi menjauh dari orang" yang sangat dia sayangi, dia bertemu seorang wanita bernama Ananda. Setiap saat tingkah yang Rava lakukan selalu membuat dirinya resah dan penasaran. setelah mereka berdua saling bertemu dan tinggal bersebelahan, Ananda menyadari jika ada yg tidak beres dengan Rava. Apa kah Ananda bisa membantunya? Apa kah Rava dapat membalaskan dendamnya? Baca yuk kelanjutan cerita ini....

Siti_Jenab_6193 · Otras
Sin suficientes valoraciones
11 Chs

Mysterious (Part 1)

"Aneh banget," kata Ananda dengan mata menerawang. Yona menatap Ananda , lalu beralih pada whiteboard. Mereka sedang berada di kelas, menunggu dosen datang.

"Apanya?" tanya Yona, setelah tak menemukan kejanggalan pada whiteboard yang sejak tadi dipandang Ananda .

"Si alien itu" kata Ananda lagi yang membuat Yona tiba-tiba bersemangat.

"Oh, Rava? Emang nya kenapa? Dia nggak ngapa-ngapain Kamu kan?" seru Yona, dan berhasil membuat Ananda mendelik. Ananda lalu menghela napas lelah.

"Kadang-kadang dia baik. Kadang-kadang dia judes. Semalam malah ngamuk," cerita Ananda lagi membuat Yona mengernyit.

"Ngamuk kenapa?" tanyanya. Ananda mengkat bahu.

"Nggak tau, Aku juga nggak ngerti. Padahal Aku cuma bawain dia makanan kayak sebelum-sebelumnya. Aku pikir Aku punya salah, tapi setelah dipikir-pikir lagi, kayaknya nggak.." lanjut Ananda lagi, lalu mendesah. "Hmm.. Emang bener-bener makhluk aneh."

"Ananda ," kata Yona membuat Ananda menoleh. "Kamu nggak naksir dia, kan?"

Ananda tidak langsung menjawab. Dia menatap Yona sebentar, dan Yona balas menatapnya penuh arti.

"Yona, kayaknya salah, deh, Aku curhat sama kamu " kata Ananda akhirnya membuat Yona cemberut.

"Naksir juga nggak apa-apa. Aku ikhlas, kok." Jawaban Yona sukses membuat Ananda mengernyit.

"Kenapa juga harus nggak ikhlas?" tanya Ananda dan Yona pun tertawa.

*

Rava menatap bangunan di depannya. Fakultas Hukum Universitas Yogyakarta. Mungkin orang yang dicarinya ada di sini. Setelah kejadian semalam, Rava kembali bersemangat untuk menemukan orang itu, menyelesaikan masalahnya, dan kembali ke Jakarta. Rava tak mau lagi berlama-lama di sini.

Rava mengorek sakunya, mengeluarkan ponsel yang selama beberapa hari terakhir dimatikan, dan mengaktifkannya. Seketika, beberapa pesan masuk ke dalam inbox-nya. Kebanyakan dari Mamanya, dan satu pesan dari seseorang yang membuat Rava tertegun. Tanpa membacanya, Rava mencatat nomor Gilang di kertas, mencabut SIM card dari ponselnya, dan kemudian membuangnya ke selokan.

Rava berjalan mencari orang yang menjual kartu perdana, setelah mendapatkannya, dia langsung menelepon Gilang.

"Gilang? Ini Aku, Rava. Aku di depan Fakultas Hukum Univesitas Yogyakarta. Kalo bisa, Aku pengen ketemu," kata Rava, lalu dia mengangguk. "Oke, Aku tunggu."

Dia memutus sambungan telepon dan duduk di halte bus. Dia mulai memasang headphone-nya dan mendengarkan Baby It's You milik June.

Tak berapa lama, sebuah mobil Jazz hitam berhenti di depan Rava. Si pengendara mobil itu membuka kaca mobilnya sedikit, lalu mengangguk pada Rava.

"Oi, Rava," kata Gilang membuat Rava bangkit. "Ayo."

Rava memakai ranselnya dan duduk di samping Gilang yang menyetir. Tanpa basa-basi Gilang segera tancap gas.

"Jadi, apa kabar Rava?" tanya Gilang sambil mengembuskan asap rokoknya.

"Gitu aja," jawab Rava pendek sambil memainkan kotak rokoknya.

Mereka sedang berada di kafetaria Universitas Yogyakarta. Karena belum saatnya makan siang, kafetaria itu tampak sepi.

"Belum ketemu juga?" tanya Gilang lagi. Rava menggeleng. Gilang mendesah sambil mematikan rokok di asbak. "kamu masih dendam sama dia, Rava? Ini sudah tiga tahun loh."

Rava mendengus. "Gimana Aku nggak dendam, lang? Dia udah ngehancurin hidup Aku dan ngehancurin segala nya."

"Rava, kalo kamu masih mikirin kejadian itu, kamu nggak bakal maju. Lupain aja kenapa? Lagian kamu nggak kenapa-napa, kan?" kata Gilang membuat Rava menatapnya tajam.

"Kamu nggak tau apa-apa, Lang," katanya dingin.

"Kalo gitu, kasih tau Aku. Kamu nggak bisa berharap Aku mau bantu Kamu, kalo Kamu nggak ngasih tau Aku apa masalahnya," ucap Gilang lagi. Rava menatap Gilang ragu.

Kafetaria makin ramai saat Rava akhirnya mau memberitahu Gilang tentang apa yang terjadi padanya tiga tahun terakhir.

"Serius Rava?" tanya Gilang, wajahnya menegang. Rava mengangguk dengan wajah datar.

"Sekarang, mau ngomong apa kamu tentang lupain aja?" cetus Rava dingin. "Aku harus cari dia sampai dapat. Setelah itu, Aku nggak peduli apa yang bakal terjadi sama Aku. Toh, Aku juga udah nggak punya alasan buat hidup."

Gilang menatap Rava yang sekarang menyalakan rokoknya.

"Stop dulu ngerokoknya," pinta Gilang sambil mengambil rokok dari mulut Rava. Rava bengong lalu tertawa terbahak-bahak.

"kau kedengaran kayak Mama ku," kata Rava setelah sembuh dari gelinya.

Gilang tidak tertawa, dia hanya menatap temannya itu, tak tahu apa yang harus dilakukan atau dikatakannya saat ini.

"Jangan kau juga, Lang," sambung Rava membuat Gilang mengernyit. "Jangan sampai kau juga kasihan sama Aku. Aku muak dikasihani."

Gilang mengangguk kecil. "Sorry. Aku bakal bantu kamu semampu Aku, tapi Aku nggak janji bisa ketemu sama kamu karena Aku juga ada kerjaan."

"Nggak apa-apa. Aku lega udah ngomong sama kamu. Seenggaknya, kamu orang paling kalem setelah tau Aku kenapa," kata Rava sambil tertawa miris.

Gilang balas tersenyum sedikit, lalu menatap Rava yang kembali menyalakan rokok. Tak pernah disangkanya kalau teman masa SMA-nya ini akan menjadi orang seperti ini.

*

Ananda memasukkan motornya ke dalam garasi kos, ia naik tangga dengan langkah gontai. Setelah tadi kuliah seharian penuh, tubuhnya seakan baru ditimpa raksasa. Diam-diam, dia mengutuk kehidupan perkuliahannya yang semakin berat.

Ananda sedang memijat lehernya yang pegal saat dia melihat Rava keluar dari kamar mandi. Sesaat, mereka saling tatap, tetapi akhirnya Rava membuang muka dan berjalan cuek ke kamarnya.

"Dasar alien!" ujar Ananda membuat Rava menoleh.

"Hah?" tanya Rava

"Dasar alien, sebentar-sebentar baik, sebentar-sebentar judes. Nggak konsisten," kata Ananda lagi. Rava menatap Ananda yang cemberut.

"Terserahlah," komentarnya pendek, lalu masuk ke dalam kamar.

"Hiiiiihhhh!" seru Ananda gemas sambil melemparkan sendalnya ke pintu kamar Rava. "Orang aneeeehhh dasaaaarrrrr!"

Sambil tersengal, Ananda masuk ke dalam kamarnya dan melemparkan tasnya sembarangan. Ananda mendelik ke dinding yang menempel dengan kamar Rava. Tiba-tiba, kata-kata Yona tadi pagi terngiang di telinga Ananda .

"AAAAARGH! Emangnya siapa yang suka sama orang aneh kayak Kamu huhh!" teriak Ananda lagi, sambil melemparkan boneka-boneka chappy-nya ke dinding itu.

Ravao mengernyit saat mendengar suara-suara ribut dari kamar sebelah.

"Berisik!" sahutnya sambil memukul dinding di sebelahnya. Dia sedang berkonsentrasi pada layar handycam di depannya.

Rava memutar kembali kaset berisi rekaman saat kelasnya sedang bersiap-siap mengadakan pentas seni. Sekilas, dia menangkap sosok Gilang yang sedang memotong karton. Itu membuatnya teringat pada pertemuannya dengan Sai tadi siang.

Rava merasa bebannya sedikit terangkat setelah berterus terang pada Gilang. Setidaknya, sekarang Gilang mau besungguh-sungguh membantunya menemukan orang itu, dan tidak menjauhinya seperti semua orang.

Mendadak, sosok orang yang selama ini sedang dicari Rava muncul di layar handycam, tertawa-tawa sambil mengacung-acungkan sapu, seolah tak ada yang terjadi. Memang, saat itu semuanya belum terjadi. Rava ingin kembali ke masa-masa itu, masa-masa saat semuanya masih baik-baik saja.

Namun, sudah tak mungkin. Tak ada gunanya mengharapkan sesuatu yang mustahil. Rava menatap layar handycam. Tangannya terkepal keras sampai bergetar.

Dia harus menemukan orang itu. Harus.

Ananda menatap kosong langit biru di atasnya. Tangannya memegang baju-baju yang baru diangkatnya dari jemuran. Semalam, Ananda tidak bisa tidur ataupun meneruskan tulisannya. Otaknya tiba-tiba macet karena terhalang sosok Rava.

"Kenapa dia harus kos di sini, sih?" gumam Ananda sebal sambil meneruskan mengambil beberapa baju yang masih tergantung.

Setelah selesai, Ananda bergerak menuruni tangga. Tempat jemuran berada di lantai tiga, yang tidak jadi dibangun karena kurang dana. Sekarang, lantai itu hanya berupa lahan kosong beratapkan langit yang sering digunakan Ananda sebagai tempat mencari inspirasi.

Ananda berjalan dengan baju menutupi pandangannya. Dia tak sadar kalau ada yang terjatuh dari pegangannya.

"34 A," kata seseorang membuat Ananda menoleh.

"Hah?" tanya Ananda bingung.

Rava sedang duduk di depan pintu kamarnya sambil menggunting kuku.

"Itu," kata Rava sambil mengedikkan kepalanya ke sesuatu di lantai. Ananda semakin menatapnya bingung, namun kemudian mengikuti arah pandangan Rava dan mendapati sesuatu berwarna pink di lantai. Seketika, mata Ananda membesar.

"Aaaaahhh!" seru Ananda panik saat menyadari kalau benda pink itu adalah bra-nya. Dia cepat-cepat memungutnya sambil mendelik ganas ke arah Rava, yang dengan cueknya kembali menggunting kukunya. Setelah lama mendapat tatapan ganas dari Ananda , Rava mendongak.

"Apa?" tanyanya pada Ananda yang matanya masih memicing curiga.

"Ini udah kedua kalinya," ujar Ananda lambat-lambat. "Kamu ngeliat benda-benda pribadi Aku."

Rava bengong dengan tampang sedikit mencemooh, tapi beberapa detik kemudian dia kembali menggunting kukunya. "Kayak Aku mau aja," komentarnya pendek membuat Ananda melotot.

"Sempet-sempetnya liat ukurannya lagi!" sahut Ananda panas.

"Nggak sengaja," jawab Rava tak peduli pada kekesalan Ananda .

"Cabul," umpat Ananda dendam.

"Hah?" Rava tak terima. Ananda menatap Rava ganas, lalu Rava cepat-cepat masuk ke kamarnya. Namun, sebelum sempat masuk, Rava berkata lagi, "Emangnya nggak kebesaran ya, 34 A?"

Ananda menatap Rava tak percaya, sementara Rava pura-pura tak melihatnya.

"Dasar cabuuuuuuulll!" jerit Ananda , lalu ia segera masuk ke kamar dan membanting pintunya.

Rava terkekeh sendiri. Namun, tiba-tiba dia menyadari kalau lagi-lagi dia telah melakukan hal yang tidak semestinya.

*

"Ananda , Rava ke mana?" tanya Alena saat makan malam.

"Tau," kata Ananda . Dia masih sebal karena kejadian tadi siang.

"Makanannya dianterin lagi sana, siapa tau dia lapar," kata Alena lagi. Wisnu mengangguk-angguk setuju.

"Tante, kalo dia emang laper, dia pasti akan ke sini," jawab Ananda , malas mengantarkan makanan lagi.

"Kemarin dia kenapa, ya?" tanya Alvin.

"Mungkin ada masalah," kata Alena. "Atau nggak enak badan. Makanya, sana kamu antarkan lagi."

Ananda menatap Tante nya penuh harap supaya tidak jadi mengantarkan, tetapi Alena malah menyiapkan makanan untuk Rava. Ananda tertunduk lemas, akhirnya dengan terpaksa dia menyanggupinya.

Ananda berjalan ragu ke kamar Rava. Lampunya menyala, berarti cowok itu ada di kamar. Tadinya, Ananda bermaksud untuk menaruh makanan itu begitu saja di depan pintu, tetapi tidak jadi setelah melihat seekor kucing sudah stand by di sebelahnya.

"Jangan harap," kata Ananda kejam pada kucing itu, yang segera mengeong marah dan pergi. Ananda menghela napas, dan akhirnya menendang pintu kamar Rava karena tangannya penuh.

"Rava," panggil Ananda , tetapi tak ada jawaban. Mungkin Rava sedang tidur. Baru saja Ananda akan membawa makanan itu kembali, dia mendengar suara pintu tingkap atas terbuka. Ananda mengernyit, lalu berjalan ke arah tangga menuju lantai tiga. Pintunya terbuka dan menutup karena tertiup angin. Ananda segera naik dan mendapati Rava sedang berbaring di lantai, menatap langit yang bertaburan bintang.

"Ngapain kamu di sini?" tanya Ananda heran.

Rava menoleh sebentar, lalu kembali menatap langit.

"Nggak ngapa-ngapain," kata Rava, yang segera duduk. "Udah Aku bilang, kan, nggak usah bawain Aku apa-apa lagi."

"Eh, bukannya mau Aku, ya, nganterin makan kamu, kayak raja aja," kata Ananda panas. "Tapi kalo emang kamu nggak mau, balikin aja sendiri ke Tante Alena."

Ananda meletakkan nampan di depan Rava. Rava menatap nampan itu. Kali ini, nampan itu berisi satu magkuk kecil nasi, semangkuk sup ikan, dan segelas es jeruk. Rava menelan ludahnya, teramat sangat ingin mencicipi semua itu, tetapi itu berarti dia akan menerima kebaikan lagi.

Ananda menatap bingung Rava yang tampaknya sedang berpikir keras.

"Apa susahnya, sih, tinggal makan ini? Serius amat mikirnya," kata Ananda membuat Rava tersadar.

"Nanti Aku balikin sendiri," ujar Rava akhirnya. Sebisa mungkin dia menatap ke arah lain, menghindari makanan di depannya.

Ananda mengernyit, menggelengkan kepalanya, dan akhirnya mengangkat bahu.

"Udah aneh, cabul, banyak mikir lagi. Kamu pikir gimana Kamu bisa menjalani hidup?" kata Ananda sok bijak, lalu meninggalkan Rava yang menatapnya sebal.

Setelah Ananda menghilang, Rava kembali menatap nampan itu. Rava tak boleh mengulangi hal yang sama. Jadi saat seekor kucing datang dan memakan isi mangkuk itu, Rava tak begitu keberatan.