webnovel

59

"Adam!" panggilku.

"Ya, Ayah?" jawab bocah yang kupanggil.

"Lihat berita terbaru!" kutunjukkan iPad yang kupegang padanya.

"Wow!" serunya.

"Nggak nyangka, kan?"

"Sekarang gimana, Ayah? Barcelona bisa jauh ketinggalan dari Madrid kalau seperti ini,"

"Sejak Katalonia memisahkan diri, mereka memang limbung. El Classico sudah menjadi masa lalu,"

"Iya ya? Gimana El Classico itu dulu, Ayah?"

"Itu adalah suatu masa ketika Real Madrid dan Barcelona ada di satu liga, Liga Spanyol. Kalau mereka ketemu, semua mata di Spanyol menuju pertandingan itu,"

"Apakah masa-masa itu akan kembali?"

"Mungkin, kita lihat saja,"

Mungkin.

Kata itu sekarang sudah mulai akrab di lidahku. Setelah tiga puluh tahun aku selalu mengetahui semuanya dengan pasti, kata itu sangat jarang sekali kuucapkan. Kini aku kembali merasakan bagaimana seseorang yang tidak memiliki pengetahuan akan masa depan. Seseorang yang bergantung pada semua hal yang mungkin.

Pada sebuah kemungkinan.

Tahun-tahun telah berlalu setelah Starla melahirkan Adam. Sementara Starla Corporation telah menggenggam semua bursa saham di seluruh dunia, kegiatanku hanya mengendalikan bisnis di bumi ini sambil bermain dengan Adam.

Aku tidak ingin Adam tenggelam dalam gawai-gawai. Setiap pagi kuajak ia bermain sepakbola, sebelum kami memulai homeschooling. Kulindungi Adam dari berita-berita konflik perang dunia maupun media sosial. Kujauhkan Adam dari televisi, baik kabel maupun internet.

Ironis mengingat hampir seluruh stasiun televisi di muka bumi ini mayoritas sahamnya adalah milikku. Aku hanya ingin Adam tumbuh dengan mengenal dunianya, layaknya manusia.

Pengalaman masa kecil yang kuulang kembali, kurasakan begitu indah untuk kuterapkan pada Adam. Sore hari, kuajak Adam kembali ke taman. Taman yang kubeli sendiri dan kuizinkan anak-anak dari mana pun untuk menggunakannya sebagai sarana bermain.

Adam mengajak mereka bermain sepakbola, dan ia selalu menjadi yang paling akhir bermain. Anak-anak lain tidak bisa mengimbangi staminanya. Tapi mereka juga tidak ingin kalah dari Adam.

Sesekali Starla pulang cepat dari kantornya, bergabung denganku menyaksikan Adam mencetak gol demi gol.

Adam mewarisi bakatku sebagai penyerang murni. Maka ia selalu mendominasi permainan, hingga matahari terbenam dan semua anak pulang.

Aku ingin menghadirkan kembali era 90-an di sini.

"Jadi, kamu ingin Adam terus kita didik dengan homeschooling?" tanya Starla pada suatu kesempatan makan malam.

"Ya, Star. Menurutku ini yang paling baik. Kamu tahu sebabnya, dunia luar sana nggak baik untuknya. Senggaknya sampai dia cukup dewasa untuk memilah mana yang baik dan buruk,"

"Sampai kapan, Re?"

"Sampai SMA, aku bisa mengajarinya,"

"Aku nggak ragukan itu, cuma gimana dengan pergaulannya? Kamu dan aku bisa gini juga karena gaul dengan orang-orang kan?"

"Percayalah, kita udah bikin komunitas. Gaul nggak harus di sekolah formal kan? Kita bisa gathering dengan sesama penggiat homeschooling."

"Nanti, kamu pengen dia masuk ITB juga? Kayak kita?"

"Di lubuk hatiku sih iya, tapi semua terserah dia,"

"Kita sama-sama sayang dia. Kuharap semua yang terjadi adalah yang terbaik. Kuharap juga semua yang kita terapkan ke dia sudah kita perhitungkan matang-matang,"

"Kamu nggak perlu khawatir, Semua kujamin,"

"Iya, aku percaya. Kita lihat perkembangannya, ya,"

Terkadang kami juga membawa Adam berjalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Seperti yang kulakukan di akhir pekan ini. Kami membawa Adam menonton film keluarga di sebuah bioskop. Film produksi Marvel yang sebagian sahamnya juga kumiliki.

Setelahnya kami makan siang di foodcourt.

Sebelum pulang, aku pergi ke toilet terlebih dahulu. Starla dan Adam menungguku di depan foodcourt.

Saat aku kembali, kulihat seseorang sedang berbicara dengan Starla. Ekspresi Starla nampak keheranan. Aku melangkah cepat ke arah mereka.

Orang tersebut menoleh sambil menjauh. Seolah ia sudah tahu bahwa aku akan datang. Sayangnya aku tidak sempat melihat wajahnya karena tertutup oleh topi. Hanya bisa kulihat bahwa ia mengenakan kaus biru dan jeans.

"Hei!" seruku.

Langkah orang itu semakin cepat. Aku mencapai tempat Starla dan Adam.

"Siapa dia?"

"Nggak tahu, tapi aneh, dia bilang hal-hal yang nggak biasa."

Aku melihat orang itu semakin jauh dan mulai melangkah ke eskalator.

"Kalian tunggu di sini dan jangan ke mana-mana ya."

"Re..."

"Aku segera kembali."

Segera kupacu langkahku ke arah eskalator.

"HEI! TUNGGU!!!"

Orang tadi sudah turun dengan eskalator. Tetap kucoba mengejarnya. Ketika kucapai eskalator, ia sudah berada di ujung bawah dan mulai berjalan jauh. Sementara kerumunan orang di eskalator sangat banyak. Aku tidak bisa menembusnya. Kulihat ada eskalator lain di ujung kanan. Aku berlari ke arahnya, tanpa melihat kanan-kiri.

Akibatnya aku menabrak seseorang, hingga bawaannya jatuh berantakan.

Aku tersentak panik.

"Ah...maaf, maafkan saya!" kataku sambil berjongkok merapikan bawaan orang yang kutabrak.

"Hei...Ferre?" kata orang yang kutabrak tadi.

Kudongakkan kepalaku, dan kulihat wajah yang kukenal. Seorang perempuan, dengan wajah Kaukasian dan rambut pendek blonde pixie-nya.

"Miss Arlington?" kataku.

Ia tersenyum.

"Ah, maaf, maafkan saya," kataku sambil membereskan barangnya.

"Tidak apa-apa, Ferre. Sedang buru-buru, ya?"

Aku segera teringat orang yang kukejar tadi. Tapi saat kulihat ke lantai bawah, orang tersebut sudah menghilang.

Sialan, batinku.

"Ferre, buru-buru ya?" tanya Rachel Arlington.

"Ah, tidak. Hmmm, ternyata Anda ada di Indonesia."

"Untuk urusan bisnis saya berdinas di sini beberapa pekan."

"Oh, begitu. Ah ya, mari saya kenalkan kepada keluarga saya."

Aku membawa Rachel Arlington kepada Starla dan Adam.

"Ini Starla, istri saya, dan ini Adam anak kami. Starla, Miss Arlington. Miss Arlington, Starla."

Starla tersenyum dan mereka berjabat tangan.

"Rachel saja. Sepertinya Anda lupa panggilan saya, Ferre." Kata Rachel tersenyum.

"Ah ya, maaf Rachel."

Kuceritakan kepada Starla bagaimana aku mengenal Rachel. Starla menyambut Rachel dan berbincang. Tapi tak lama kemudian ia berhenti berbicara dan seperti teringat sesuatu.

"Re, aku baru ingat."

"Ya?"

"Orang aneh yang tadi itu."

"Hah? Kenapa dengan dia?"

"Dia bilang sesuatu yang aneh."

"Apa??? Apa yang dia bilang???"

"Dia bilang ke aku untuk segera meninggalkan tempat ini."

"Dia bilang begitu?"

"Ya, atau kita semua akan celaka."

Aku terdiam. Pikiranku berputar-putar.

"Kayaknya cuma orang iseng, ya?" kata Starla.

Ia pun menceritakan tentang orang aneh tadi kepada Rachel.

"Star, ayo ke luar,"

"Apa?"

"Segera tinggalkan tempat ini."

"Maksudmu, kita turuti kata orang itu?"

"Begitulah. Rachel, sebaiknya kau ikut kami ke luar."

"Oh, ada apa memangnya?"

"Hmm, nanti saja penjelasannya. Ayo, Star."

Kami segera pergi ke luar, kuusahakan secepat mungkin. Sebenarnya ada pikiran dalam benakku, tentang bagaimana jika ini jebakan. Orang itu memancingku ke luar, untuk mengincarku dengan sesuatu di luar. Tapi kutepis bayangan tersebut. Saat ini aku hanya bisa pasrah.

Kami sampai ke luar dalam waktu kurang dari sepuluh menit. Mataku waspada mengawasi sekitar, mengantisipasi kecurigaanku tadi.

Syukurlah sejauh ini tidak ada yang tampak mencurigakan di sekitar kami berada.

Semoga memang tidak.

"Re, sebenarnya ada apa?" tanya Starla.

"Ya, Ferre. Apa maksudmu membawa kami keluar?"

Belum sempat kujawab, tiba-tiba terdengar suara teriakan. Aku sendiri merasakannya, dan mengetahui mengapa mereka berteriak. Tanah di bawah kakiku bergetar hebat. Teriakan massal, dari sejumlah orang, disebabkan oleh guncangan di bawah kakiku.

Sebuah gempa bumi.

Dan teriakan-teriakan tersebut semakin keras, semakin kencang. Orang-orang panik berhamburan ke luar pusat perbelanjaan. Dari dalam bisa kulihat beberapa lantai runtuh.

Gedung-gedung di sekitarnya pun mulai bergoyang. Sebagian di antaranya juga mulai rubuh. Jalanan pun retak, dan tanah di bawahku masih bergetar hebat.

Orang-orang berlarian menyelamatkan diri. Mobil-mobil bertabrakan, sebagian oleng dan menabrak objek-objek di sekitarnya. Kepanikan luar biasa melanda ibu kota.

Sambil kubawa Starla, Adam, dan Rachel ke tempat yang lebih aman, kupandangi lantai demi lantai yang mulai berjatuhan saling menimbun. Pikiranku terpenjara pada orang misterius tadi.

Tidak salah lagi, ia pasti seorang Replayer.