webnovel

56

Jalannya masih sama, hanya kini beraspal.

Masihkah ia tinggal di sini?

Aku menumpang Shalat Dzuhur di masjid Daarut Tauhid, lalu berjalan-jalan berkeliling. Dari Facebook aku mendapati Rita telah menikah dengan seorang petugas keamanan bioskop. Mereka dikaruniai satu orang anak.

Kuparkir mobilku di jalan tempat rumahnya berada. Cukup lama aku diam di dalam mobil, bahkan aku sempat shalat Ashar di masjid Daarut Tauhid.

Baru sekitar satu jam setelah Ashar, aku melihatnya. Ternyata dia memang masih tinggal di rumah orangtuanya, pasti bersama suaminya.

Rita keluar dari rumah mungil tersebut. Ia menggandeng seorang bocah, usianya mungkin sekitar lima tahun. Rita nampak lebih tua daripada terakhir kali aku bertemu dengannya di kehidupan pertamaku. Tapi...ia juga nampak lebih bahagia. Ia bercengkerama dengan anak yang kupikir pasti anaknya.

Tertawa lepas.

Aku merasa begitu sedih dan bersalah. Semua perlakuanku selama lebih dari sepuluh tahun usia pernikahan kami.

Ketidakpedulianku akan dirinya, juga Narendra dan Maisha. Kepergianku di akhir pekan hanya untuk mengejar karier membuatku hampir kehilangan masa kecil Narendra dan Maisha.

Hal terakhir yang kuingat adalah punggung Rita saat menghadap bak cuci piring dapur. Saat itu hingga kini pun aku masih tidak tahu apakah ia menitikkan air matanya.

Jika kuingat, Rita tidak pernah menitikkan air matanya di depanku. Tidak, aku tidak melihatnya. Tapi aku yakin, di belakangku ia pasti sering menangis. Aku sadar perbuatanku sangat keterlaluan.

Ya Tuhan, ampunilah aku. Ampuni aku atas dosaku kepada istriku.

Apakah pengulangan kehidupanku ini adalah hukuman atas itu semua?

Tapi kenapa aku begitu menikmatinya?

Kini apa yang harus kulakukan kepada Rita?

Kehidupannya sangat jauh di bawah standar kehidupan kami dulu. Aku telah meninggalkannya untuk kembali ke masa kecil dan memulai semua kejayaanku sekarang.

Aku memang jauh lebih mencintai Starla. Sama sekali tidak kuragukan.

Tapi semua yang terjadi pada Rita membuatku berpikir bahwa ini semua tanggung jawabku. Aku telah meninggalkan Rita dan membuatnya berada dalam kehidupannya saat ini. Kehidupan yang kupikir ekonominya begitu susah.

Bagaimanapun aku ingin memperbaikinya.

Bisakah aku menemuinya?

Bisakah, hanya untuk melihat apakah aku bisa membantunya atau apa pun?

Tapi yang jelas, yang pertama kali aku inginkan adalah meminta maaf kepadanya.

Hal yang sama sekali tidak pernah kulakukan sebelumnya. Biarpun mungkin dia tidak akan mengerti apa yang kukatakan nanti. Seharusnya tidak masalah, minimal niatku baik, pikirku.

Aku keluar dari mobil dan menghampirinya.

"Rita?"

Ia menoleh.

"Ya?"

"Masih ingat? Ferre, SMA 6,"

"Maaf, SMA 6?"

"Iya, IPA 3,"

"Maaf, kayaknya kita nggak pernah ketemu,"

"Lho, masak nggak ingat saya? Kelas kita kan sebelahan. Waaah sombong niiih,"

"Hmmm, kayaknya enggak deh. Saya nggak pernah lihat Mas, ketemu juga baru sekarang,"

Aku terpana.

Sial!

Bagaimana aku bisa begitu bodoh???

Di kehidupanku yang sekarang, aku tidak pernah sekolah di SMA 6!!!

Sekarang ia pasti menganggapku orang asing yang gila.

"Maaf Mas, sebenarnya ada apa ya Mas?" Rita mulai nampak curiga.

"Uhm, saya..."

"Mas, maaf, Mas sudah jelas berbohong soal SMA 6. Saya rasa Mas punya niat yang kurang baik. Tolong segera tinggalkan tempat ini, sebelum saya teriak!"

Aku terdiam, Rita ternyata bisa segalak ini.

"Oke, oke. Maaf mengganggu. Sepertinya saya salah orang,"

Aku buru-buru pergi, daripada ia berteriak dan aku dikeroyok orang.

Segera kumasuki mobil, dan merenung sejenak. Untungnya Rita tidak lagi melihat bahwa aku masuk ke mobilku, sehingga aku bisa lebih lama berdiam.

"Tok...tok...tok..."

Aku terlonjak dari jok mobilku.

Seseorang mengetuk kaca mobil.

Kuperhatikan dengan seksama.

Kayla...?

Kubuka kacaku.

"Hai, lama juga nggak ketemu ya? Apa kabar?" sapanya.

"Baik," jawabku sambil berusaha menguasai diri.

"Kok bisa ya kita ketemu di sini?" tanyanya.

"Aku baru mau nanyain hal yang sama. Lagipula, aku kan di mobil, kok kamu bisa tahu kalau ini aku?"

"Oh nggak, aku tadi lihat kamu sejak habis diusir perempuan tadi." Kayla tersenyum.

"Oh..."

"Kamu ngapain gangguin istri orang?"

"Apa? Aku nggak..."

"Ha-ha-ha, ya...ya, aku cuma becanda. Aku yakin kamu salah dan ngira dia orang lain yang kamu kenal. Biasa kan kejadian gitu."

"Ya, aku emang salah orang."

"Tapi, kamu sampai markir mobil di sini. Tandanya kamu memang sejak awal punya niat ke sini kan?"

"Kayla, maksud kamu apa?"

"Bukan apa-apa, karena bagiku kamu nggak kayak yang salah orang. Lebih ke...apa ya? Menemui teman lama." Kayla seperti menekankan dengan berat ke bagian "Menemui teman lama".

Lagi-lagi, ucapannya membuatku tercekat.

"Sudah dulu ya, aku jalan dulu." Seperti biasa, Kayla berlalu begitu saja.

Tinggal aku termenung sendirian dalam mobil. Aku enggan memandangi bayanganku di cermin, karena pasti wajahku nampak pucat. Kuperhatikan kembali rumah Rita.

Tak lama, seorang lelaki yang kukenali dari foto-foto Rita di Facebook datang. Suaminya, si petugas keamanan. Rita menyambut lelaki itu, mencium tangannya, lalu memandang lelaki itu dengan berbinar. Walaupun lelaki itu sama sekali tidak mengendarai apa pun, juga nampak berpeluh.

Binar di mata Rita itu, dulu adalah milikku.

Pantaskah itu disebut dengan "dulu"?

Sementara kenyataannya belum pernah terjadi, setidaknya di siklus kedua ini?

Ternyata Rita bukan perempuan materialistis. Kepadaku yang insinyur perusahaan multinasional, maupun kepada seorang petugas keamanan, senyum dan binarnya tetap sama, begitu juga pengabdiannya sebagai istri.

Tak kusadari mataku telah basah.

Kunyalakan mesin mobilku, dan segera kupacu meninggalkan Gegerkalong. Aku bersumpah tak akan kembali ke sana.