webnovel

38

Tanggalnya tepat, tapi waktunya mundur hingga satu tahun.

Beberapa nama yang dicurigai terlibat dalam pembajakan pesawat adalah Habib Al Mansour, Luthfy Hamzah, Utsman Abdul Karim, Tarmidzi, Iqbal Anwar, dan sejumlah lainnya.

Siapa mereka?

Aku tidak pernah mendengar namanya dalam sejarah.

Tidak satu kali pun.

Aku tidak mengerti apa yang terjadi, tidakkah aku berhasil menangkap semua jaringan teroris?

Atau memang ada jaringan yang lebih besar lagi?

Apakah WTC hanya sebagian kecil?

Satu-satunya yang bisa kusimpulkan adalah ada skenario raksasa di balik semua ini. Bahkan orang yang menjelajah waktu sekalipun tidak bisa mengubahnya, paling hebat hanya menundanya.

Tidak perlu kuprediksikan tentang apa yang akan terjadi. Tentu saja Afganistan akan diserang, lalu disusul oleh Irak. Hanya soal waktu. Peta politik keamanan dunia akan berjalan sebagaimana yang seharusnya terjadi.

Aku tidak bisa mengubahnya lagi.

Sore harinya aku mengendarai sepeda motorku membelah kota, hingga mencapai pegunungan. Dari sana kulihat pemandangan kota Seattle diselimuti gelap malam dan cahaya-cahaya lampu yang berpendar.

Yang kurasakan adalah suara dunia seolah mengejekku.

Bahwa aku tidak bisa mengubah semuanya. Tidak semua yang kuinginkan bisa tercapai. 9/11 tetap terjadi, apa pun yang kulakukan.

Dua belas tahun terakhir aku telah merasa seperti Tuhan. Berbuat seenak diriku, mengendalikan orang lain, bahkan merasa mulai menguasai dunia.

Ternyata masih ada hal yang berada di luar kekuasaanku.

Aku bisa mencegah 9/11 lagi, berapa kalipun bisa kulakukan. Tapi aku yakin itu akan tetap terjadi. Pelakunya akan terus berganti, siapa pun dia.

George Bush pasti akan segera mengambil tindakan. Tidak diragukan, Afganistan dan Irak tetap akan diinvasi. Pergolakan politik Timur Tengah akan terjadi. Cerita lama akan kembali berulang.

Semuanya tidak bisa kucegah, apa pun yang kuusahakan.

Maka setelah berdiskusi dengan Papa dan Mama, kami memutuskan untuk meninggalkan Amerika. Terlalu berbahaya jika kami tinggal di sini pada kondisi yang tidak kondusif. Warga Amerika Muslim saja mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan, apalagi kami yang hanya pendatang.

Tapi kami tidak pulang begitu saja. Ada tanggung jawab moral yang kurasakan, terutama dengan jati diri kami sebagai Muslim. Aku telah berada di negara ini selama lebih dari empat tahun. Selama waktu tersebut, kami menjalani kehidupan sebagai Muslim dengan normal.

Amerika adalah negeri yang menghargai kebebasan, terutama kebebasan beragama. Kami dengan bebas melaksanakan ibadah sesuai dengan kepercayaan kami. Hanya saja umat Islam di Amerika masih terkotak-kotak. Mereka yang berasal dari keturunan Arab hanya berkumpul dengan sesama keturunan Arab. Begitupun Pakistan, Yaman, dan lainnya.

Usai tragedi 11 September, semua seolah memiliki kesamaan. Yaitu kesamaan nasib. Umat Islam memang tidak mengalami kekerasan seperti yang terjadi pada holocaust. Tapi kehidupan kami sungguh berubah.

Perempuan-perempuan Muslim yang mengenakan hijab mulai dipandangi dengan kecurigaan apabila berada di tempat umum. Kenyamanan kami dalam bermasyarakat sedikit-banyak tergerus.

Tiba-tiba Muslim Amerika menemukan diri mereka menjadi target penegakan hukum di negaranya sendiri. Tidak sedikit imigran Muslim yang telah lama memperoleh kewarganegaraan atau minimal green card justru mengalami penahanan atas kecurigaan pemalsuan visa. Penahanan-penahanan ini dilakukan dengan alasan "pencegahan awal atas kemungkinan kejahatan".

Lebih jauh lagi, penahanan ini dilakukan tanpa pengadilan dan bahkan keluarga yang bersangkutan pun tidak dikabari. Para "tahanan" ini tidak jarang mengalami kekerasan verbal maupun fisik. Proses ini berlangsung cukup lama, walaupun mereka yang ditahan tidak pernah terbukti sebagai imigran ilegal, apalagi terkait dengan terorisme.

Agen-agen federal memperlebar tindakan terhadap Muslim dengan menyelidiki sekolah-sekolah bahkan rumah-rumah milik warga Muslim, hanya dengan berdasarkan "kecurigaan". Sebagian dari para agen ini bahkan memerintahkan pendaftaran sidik jari untuk warga-warga Muslim.

Pemerintah Amerika Serikat secara rutin menggelar jumpa pers untuk membahas tentang kewaspadaan akan bahaya terorisme. Penyelidikan-penyelidikan yang mereka lakukan selalu berakhir pada kasus-kasus pelanggaran imigrasi. Tapi beberapa pihak masih mengaitkan pelanggaran-pelanggaran imigrasi yang ditemukan tersebut dengan terorisme.

Kami, para Muslim yang tinggal di Amerika, menyadari bahwa kami adalah target kecurigaan. Suasana ketakutan dan permusuhan terhadap Islam membuat kami mengalami banyak serangan yang bersifat main hakim sendiri maupun ujaran kebencian.

Seorang pebisnis berkulit gelap yang mengenakan sorban bahkan mengalami penembakan oleh seorang warga Amerika yang mengklaim dirinya "patriot". Padahal pebisnis bersorban tersebut bukan seorang Muslim. Beberapa kasus lain bahkan mencapai pembunuhan terhadap beberapa warga Muslim.

Nabi Muhammad dinyatakan sebagai "teroris" pada sebuah acara televisi CBS, 60 minutes. Pada saat-saat seperti ini kami hanya bisa pasrah kepada Allah. Bahkan menurutku ini adalah saat yang paling baik untuk menjadi Muslim di Amerika.

Kuputuskan untuk memainkan peran lebih. Sebagian keuntungan dari perusahaanku kugunakan untuk merenovasi semua masjid di Amerika Serikat.

Kupilih Ahmad, seorang Muslim Amerika keturunan Yaman untuk menjadi pimpinan proyek.

Pada awalnya hanya kurenovasi beberapa masjid di Seattle. Kubuat mereka menjadi lebih luas, dan kubangun beberapa bangunan baru di sekitarnya.

Bangunan-bangunan tersebut minimal kubagi jumlahnya agar masing-masing berfungsi untuk dua hal.

Yang pertama adalah menjadi unit usaha, seperti mini market atau jenis usaha lainnya, sehingga masjid bisa membuka lapangan pekerjaan.

Yang kedua, sebagian bangunan lain menjadi rumah untuk para tunawisma. Para tunawisma tinggal di rumah yang berada di bawah pengelolaan masjid untuk kemudian mereka mendapat pelatihan keterampilan kerja atau usaha. Mereka dibimbing dan dibiayai untuk memperoleh kursus-kursus keahlian agar bisa memiliki pekerjaan yang layak atau bahkan membuka usaha jasa sendiri.

Selama memperoleh pelatihan hingga membuka usaha ataupun pekerjaan sehingga mereka bisa memiliki tempat tinggal yang layak, mereka diizinkan tinggal di dalam rumah yang dikelola oleh masjid-masjid.

Pada tahap awal kukucurkan seratus juta dolar Amerika untuk merenovasi lima masjid sesuai yang kurencanakan. Tahap ini menghabiskan waktu enam bulan. Enam bulan berikutnya, sepuluh masjid lain mendapatkan gilirannya. Dalam waktu dua tahun, sekitar seratus masjid telah direnovasi dan berjalan sesuai dengan rencanaku.

Ribuan tunawisma Amerika memperoleh tempat tinggal sementara. Masjid-masjid tersebut juga membuka lapangan-lapangan pekerjaan bagi para pengangguran melalui usaha-usaha yang kubangun di dalamnya.

Ketika sistem di masjid-masjid tersebut sudah masif dan mampu mengelola perputaran uang untuk menjalankan usaha sambil membiayai pelatihan para tunawisma, itulah saatnya aku memutuskan bahwa sudah layak bagiku untuk pergi. Perluasan program "Mosque Center" akan kukendalikan dari tanah air.

Aku pun pulang ke Indonesia pada tahun 2004, untuk seseorang yang menjadi tujuan hidupku. Kupikir Muslim di Amerika akan baik-baik saja tanpa diriku. Mereka telah kutinggalkan dengan bekal yang cukup untuk membangun negaranya. Tinggal kuharap mereka bisa mengembangkannya lebih jauh.