webnovel

26

Pengganti Bu Neneng di caturwulan kedua, Bu Mujiwati, dulu adalah mimpi buruk bagi kami. Tidak hanya bagiku, tapi bagi semua murid laki-laki. Entah kenapa ia seperti memiliki dendam kepada setiap pria. Tidak adanya guru pria di sekolahku (kecuali guru olahraga) membuatku tidak bisa menilai apakah ia juga bersikap kejam dan ketus kepada pria dewasa.

Setahuku ia sudah menikah dan memiliki anak yang juga bersekolah di sekolahku. Berdasarkan informasi yang kudapat jauh setelah aku lulus sekolah, saat mengajar kami Bu Mujiwati baru saja bercerai dari suaminya. Ternyata perceraian juga sudah marak di awal masa 90-an. Padahal ekonomi saat ini masih sangat stabil, negeri ini juga dapat dikatakan makmur.

Mujiwati sangat menganakemaskan murid-murid perempuan. Dulu maupun sekarang, ia tidak pernah memarahi para siswi. Nike, Selfi, Sinta, Retno, dan lainnya sering kali bergurau saat Mujiwati menerangkan di depan kelas. Mujiwati tidak pernah satu kali pun memarahi mereka. Bahkan ia ikut tertawa bersama mereka.

Berbeda dengan kami, para siswa, yang selalu menjadi sasarannya. Di kelasku terdapat dua orang bernama Alex. Alexander dan Alex. Yang terakhir sering dijuluki Alex Bola karena keahliannya bermain sepakbola adalah yang paling hebat di kelas kami. Aku dan Alex Bola duduk di satu meja pada masa ini. Kami sering menjadi sasaran kemarahan Mujiwati.

Padahal kami hanya tersenyum-senyum melihat sepatu seorang teman yang talinya terlepas. Tapi Mujiwati segera menoleh dan memukul meja kami dengan penggaris kayu yang besar. Penggaris kayu yang digunakan para guru untuk menggambar di papan tulis.

Bahkan saat ini, ketika aku memiliki nilai terbaik setiap kali ulangan, Mujiwati tetap bersikap ketus dan menegurku serta teman-teman lain setiap kali kami bertemu. Padahal terkadang aku bermain saat waktu istirahat. Dari situ aku menyimpulkan bahwa sikapnya kepada kami adalah murni masalah pribadi. Bukan akademik, aku pastikan itu.

Aku sangat yakin.

Entah bagaimana dahulu aku bisa melewati semuanya. Aku yang saat ini jelas tidak mempedulikannya. Bagiku semua terkait Mujiwati terlalu remeh untuk menjadi beban pikiran. Terlalu kecil.

Tapi aku tergoda untuk bisa menyelesaikan urusanku dengannya.

Kebetulan aku kembali memenangkan lomba cerita pendek nasional. Namaku dipampang dan nama sekolahku juga disebut. Ini memang lomba cerita pendek tingkat nasional di level sekolah dasar. Sementara cerpen yang kusertakan adalah saduran dari karya A.A. Milne. Sudah tentu aku yang menjadi juara.

Dalam wawancara kemenanganku, aku sengaja menyebut nama Mujiwati.

"Semua ini tidak akan bisa saya raih tanpa motivasi dari guru sekaligus wali kelas saya, Ibu Mujiwati. Beliau adalah inspirasi saya, dan pemberi arahan saya,"

Pernyataanku dimuat di majalah, dan kubawa ke sekolah. Teman-teman tertawa membacanya.

"Serius kamu?" kata Alex.

"Gila, mau-maunya!" timpal Alex Bola.

Aku tertawa.

"Nanti kalian pasti ngerti," kataku.

Mereka berpandangan.

"Ngerti gimana?" timpal Irfan.

"Nanti aja, kalian pasti bakal berterima kasih sama saya,"

"Ah, mana ada. Nggak ada hubungannya!" Gacok tertawa.

Rendy dan yang lainnya juga tertawa-tawa. Mereka pasti tidak mengerti maksudku. Dasar bocah. Tanpa kami sadari Mujiwati telah masuk ke kelas.

"Ada apa ini kalian malah main-main??? Masuk!!!" bentaknya.

Semua bubar, kecuali aku.

Mujiwati memandangiku yang tidak beranjak ke tempat duduk seperti yang lain. Sorot matanya tajam, namun tetap kutantang. Kusorongkan majalah yang sejak tadi kami baca ke arahnya.

"Apa-apaan juga kamu ini??? Ke sekolah kok bawa majalah, sini Ibu sita!!!" ia hendak merebut majalahku, tapi berhasil kuhindari.

"Sebentar Bu, saya mohon Ibu baca dulu," kuulurkan kembali majalah di tanganku.

Ia tertegun, dan mengikuti apa yang kukatakan.

"Saya menang lomba cerpen nasional, dan di sini saya mengungkapkan rasa terima kasih saya kepada Ibu yang menginspirasi saya," tunjukku.

Mujiwati menerima majalah yang kembali kusodorkan padanya, dan membacanya. Sekitar lima belas menit lamanya ia membaca sambil berdiri di pintu kelas. Kuperhatikan ekspresi wajahnya, tampak melunak.

Lalu ia tampak menyadari bahwa aku sedang memperhatikannya.

"Hhhh..." ia melengos dan mengembalikan majalahku, dan memulai pelajaran.

Esoknya ia tidak datang ke sekolah.

Jika terjadi hal seperti ini, maka seharian itu kami seperti libur karena wali kelas adalah satu-satunya guru kami. Tanpa dirinya, sama sekali tidak ada pelajaran. Begitupun esok harinya, Mujiwati masih belum tampak. Pada hari ketiga kubawa piagam penghargaanku ke sekolah, namun ia juga belum datang.

Kuputuskan untuk mendatangi ke rumahnya.

"Ya?" kata seseorang membukakan pintu yang kuketuk.

"Maaf, saya bermaksud menemui Bu Mujiwati. Saya muridnya,"

"Oh ya, silakan," aku dipersilakan masuk tanpa sedikit pun kecurigaan.

Siapa juga yang akan mencurigai bocah kelas tiga SD?

Aku duduk di ruang tamu, cukup lama, sekitar setengah jam baru ia muncul.

Mujiwati mengenakan kaus oblong dan celana panjang.

"Ferre," katanya menegurku.

"Apa kabar, Bu? Lama tidak berjumpa,"

"Baru tiga hari, Ferre," ia tersenyum simpul.

"Ibu sakit?"

"Enggak, hanya kurang enak badan,"

"Oh..." aku manggut-manggut.

"Ada apa kamu kemari?"

"Ini, Bu," aku membuka tas bergambar Saint Seiya milikku dan mengeluarkan piagamku, dan menyerahkan padanya.

"Apa ini?"

"Piagam saya yang kemarin, saya ingin persembahkan untuk Ibu,"

"Ferre...kenapa?"

"Seperti saya katakan, Ibu yang menginspirasi saya,"

"Bukan, maksud Ibu, selama ini Ibu tidak pernah berlaku baik padamu. Ibu juga nggak yakin sudah menjadi inspirasi kamu. Lalu kenapa, Ferre? Kenapa kamu lakukan ini?"

Aku tidak langsung menjawabnya. Kututup tasku dan berdiri, beranjak pulang. Di pintu keluar, baru kujawab pertanyaannya.

"Hidup kita menjadi susah... salah satunya karena kita tidak mudah memaafkan," kataku lirih.

Mujiwati terpana, aku pulang.

Esoknya ia kembali mengajar, dan sikapnya kepada kami berubah sembilan puluh derajat. Ia memperlakukan kami dengan manis, meskipun tetap menghukum anak-anak yang bersalah. Tapi tidak ada lagi anak emas. Tidak ada lagi diskriminasi. Semua itu sudah berlalu.