webnovel

18

Anak-anak yang berada di mobil jemputan sekolah bercengkerama sambil menyanyikan lagu-lagu anak-anak yang baru terbit.

Sebagian menyanyikannya sambil makan Chiki, ada juga yang sambil makan permen Sugus. Aku jadi ingat bahwa di masa ini aku lebih suka makan Anak Mas.

Pak Toto sang supir yang gemar mencari perhatian, nampak sedang kambuh keinginannya untuk diperhatikan. Ia mulai menyanyikan lagu ciptaannya sendiri yang diberinya judul "Lemper Setan".

Bila perutku lapar, hatiku galau

Minta saja ketan

Berikan irisan ayam

Jadi lemper setan...

Ia menyanyikannya keras-keras dan setengah memaksa agar anak-anak di mobil jemputannya ikut bernyayi. Seperti halnya di kehidupan pertamaku, ia juga menjanjikan besok akan memberi setiap anak sebuah kaset lagu lemper setan. Aku juga tahu bahwa hingga akhir masa sekolah kami di sini, janji itu tidak pernah ia penuhi.

"Mana kaset lemper setan?" kata salah seorang anak, keesokan harinya.

"Iya nih, katanya kemarin mau dikasih," timpal anak lain.

Pak Toto hanya terus mengemudi sambil bersiul-siul. Ia pasti pura-pura tidak mendengar.

Pikiranku sendiri tidak terlalu memperhatikan mereka. Aku malah teringat akan pembicaraanku dengan Papa semalam suntuk.

Papa pasti tidak percaya dengan apa yang kulakukan saat memberikan rancangan gambar teknik sebuah pesawat terbang karyaku.

Sebuah pesawat terbang berkapasitas lima puluh penumpang, yang menggunakan teknologi fly by wire, yaitu teknologi yang memungkinkan seluruh gerakan pesawat ini dikendalikan melalui komputer, yang pasti belum pernah dikenal di dunia saat ini. Pesawat dengan dua mesin dan akan menjadi fenomena dunia.

"Ferre, bagaimana kamu bisa....???"

"Saya senang membaca, Papa,"

"Tapi, semua teknologi jet dan komputerisasi, lalu teknologi aeronautika ini....????"

"Percayalah Papa, ini bukan sekadar bualan anak kecil," aku tersenyum.

Papa, aku ini insinyur aeronautika. Desain dan teknologi pesawat ini menjadi makananku selama lebih dari lima tahun. Pesawat yang pada tahun 2020 sudah terongok di bengkel perusahaanku karena dimatikan usai krisis Indonesia 1998.

Pesawat yang seharusnya menjadi fenomena dunia karena pada tahun 1995, saat pesawat ini terbang untuk pertama kalinya, belum ada satu pun pesawat lain di dunia yang bisa secanggih dirinya. Seharusnya ia menjadi penguasa industri pesawat di dunia.

Seharusnya...

Pada akhirnya pesawat tersebut hanya menjadi besi tua yang teronggok di tempat parkir pesawat Bandara Husein Bandung. Untuk membangunnya lagi tidaklah mudah. Dana yang dibutuhkan mencapai trilyunan rupiah. Karena itulah ia diparkir, dan mati.

Tapi desain dan teknologinya kuhapal penuh. Karena pesawat ini dan sejumlah pesawat lainnya menjadi model referensiku dalam merancang pesawat berikutnya dalam pekerjaanku di kehidupan sebelum ini.

Aku sudah lama tahu bahwa bagaimanapun perjalanan hidupku pasti sudah berbeda dari sebelumnya. Sejak kali pertama (atau kedua) aku terbangun di ranjang Mamaku. Tapi aku masih melihat semuanya seperti sebuah film yang diulang kembali. Memoriku masih menangkap ingatan aktivitas orang-orang di sekitarku, sama persis dengan pertama kali aku mengalami masa ini.

Dan pesawat terbang buatanku akan menjadi awal dari kejayaan di kehidupanku kali ini.

Setiap hari, aku dan Papa mengevaluasi rencana bisnis terkait rancangan pesawat yang kubuat. Kuyakinkan Papa akan potensi pesawat ini.

"Di Indonesia, pesawat ini akan mampu menghubungkan pulau-pulau."

"Berarti konsumennya adalah maskapai-maskapai dalam negeri?"

"Tidak terbatas pada itu. Tapi negara-negara Asia dan Afrika pasti akan membelinya. Juga negara Amerika Selatan."

"Bagaimana kau bisa dapat ide seperti ini?"

"Aku membaca, Pa."

Papa memang sering melihatku membaca koran dan buku-buku. Diskusi kami pun berlanjut dan berjalan setiap malam. Bahkan hari libur pun kami habiskan untuk berdiskusi. Kulihat Papa dan Mama sepertinya sudah terbiasa dengan keanehanku.

Terkadang kami merasa kelelahan sehingga beberapa kali kami manfaatkan hari libur untuk berjalan-jalan. Setiap kali berjalan-jalan di hari libur bersama Papa dan Mama, aku selalu memperhatikan perkembangan yang terjadi di masa kini. Bagaimana budaya yang terus berubah seiring berjalannya waktu dan invasi media barat ke negeri ini.

Salah satunya adalah Serial 21 Jump Street yang telah mulai membawa perubahan pada gaya rambut pemuda di tahun ini. Johny Depp sang pemeran utamanya membawa era baru di pergaulan pemuda, sehingga para remaja pun mengikuti gayanya, tidak terkecuali artis terkenal bernama Bucek yang menambahkan kata "Depp" sebagai nama belakangnya.

Selain itu, model rambut cepak tidak lagi identik dengan tahanan penjara karena mulai dipopulerkan Iwa K. Artis seperti Adjie Massaid pun mengenakan model rambut ini.

Sementara di kalangan artis perempuan, Bella Esperance meniru habis-habisan gaya Madonna dengan rambut panjangnya, yang otomatis diikuti para sebagian gadis di masa ini. Sebagian lagi mengikuti model rambut pendek Demi Moore yang ditampilkannya di film Ghost.

Beberapa kali Papa dan Mama mengajakku ikut ke supermarket Borobudur yang letaknya cukup jauh dari rumah, sekitar dua kilometer, serta mengingat minimarket belum ada di tahun ini. Produk-produk perawatan rambut seperti Brisk dan Dimension masih memenuhi rak supermarket.

Hal yang sangat kutakutkan adalah perjalanan hidupku akan sama saja dengan siklus kehidupanku yang pertama. Tidak, itu tidak boleh terjadi. Sejak awal aku meyakininya, itu tidak akan terjadi.

"Ferre! Coba dua tambah lima berapa??" suara bu Yuyu menyentakku.

"Tujuh, Bu,"

"Bagus, dari tadi Ibu lihat kamu melamun nggak memperhatikan," katanya sambil meneruskan pelajaran.

Beberapa anak nampak cekikikan. Aku terlalu terhanyut dengan lamunanku, sampai lupa bahwa saat ini sedang berada di sekolah. Di sekitarku duduk teman-teman lamaku. Mereka yang di masa ini masih meremehkanku,

Enam tahun dari sekarang, pada tahun terakhir kami di sekolah dasar, barulah semua anak di kelas menyeganiku. Memang baru di tahun terakhir itu aku berhasil menjadi bintang kelas. Mereka yang selama lima tahun melakukan bullying kepadaku, berbalik meminta diajari semua pelajaran.

Kejadian dengan Dimas membuat semuanya berubah di sekolah. Rendy, Sinta, Irfan, dan teman-teman lain yang dulu memandangku sebelah mata, kini tidak berani macam-macam padaku. Mereka seolah memandangku sebagai dewa. Termasuk Rendy yang merupakan anak paling cerdik dalam mengakali temannya.

Aku bersumpah kali ini mereka akan bersujud kepadaku sejak sekarang.

"Rendy! Gacok!" seruku saat pulang sekolah.

Dua orang berbadan paling besar di kelasku itu menoleh.

"Apa?" kata Gacok.

Aku pun mendekati mereka perlahan, sambil berkacak pinggang.

"Kalian berdua ini, kayaknya terlalu lemah," kataku.

Mereka saling berpandangan.

"Kalian... nggak pantas disebut anak laki-laki," lanjutku sambil terus mendekat.

Mereka menatapku, dari sorot matanya kulihat mereka agak ketakutan. Kadang aku lupa bahwa mereka juga kini telah berbeda. Mereka telah menyaksikan kejadianku dengan Dimas. Jadi, pasti mereka tidak memandangku seremeh di kehidupanku sebelumnya.

"Gacok, badanmu saja yang gede, padahal kamu nggak bisa apa-apa,"

"Apaan sih?" jawab Gacok.

Kupicingkan mataku.

"Kalian berdua, pantasnya main boneka," baik, itu serangan terakhir.

Rendy yang sejak tadi mukanya merah padam, maju dan bersiap menghajarku. Gacok kurang punya nyali untuk itu. Rendy mengarahkan tinjunya ke wajahku.

Hei, hei, aku ini sabuk hitam Karate, kawan. Pukulan seperti itu dengan mudah kutepis, dan kudaratkan pukulan tepat di rusuknya. Rendy tersungkur dan menangis saat itu juga.

Gacok maju dengan tubuh besarnya, ia berusaha menerjangku. Terlalu mudah, kudaratkan tendangan ke ulu hatinya. Ia tumbang menyusul Rendy.

Semua anak memperhatikan, terutama anak-anak perempuan yang berdecak kagum. Yang terpenting bagiku adalah mereka menjadi saksi bahwa aku adalah pihak yang diserang.

Kuacungkan tinju ke udara, lalu pergi.