webnovel

13

Lebih dari satu tahun telah berlalu sejak aku mengulangi kehidupanku. Kusadari karena cerita hidupku telah berulang, maka masa hidupku yang dulu kini kuanggap sebagai siklus kehidupanku yang pertama.

Aku telah mengakhiri sekolah Taman Kanak-kanak dengan beberapa kali memenangkan lomba. Lomba menyanyi, lomba menggambar (yang didominasi gambar dua gunung dan sawah pedesaan khas karya anak-anak pada masa ini), bahkan lomba lari.

Semuanya membuatku semakin populer.

Berbagai macam piala memenuhi lemari rumahku. Papa sampai harus membeli lemari baru, hal yang di kehidupanku sebelumnya baru akan dia lakukan tiga tahun dari sekarang.

Bingkai-bingkai menghiasi rumah, dengan gambar diriku yang memegang berbagai macam piala tersebut. Teman-teman jadi sering main ke rumahku, selain di sekolah mereka juga mengerubungiku. Terutama teman-teman perempuan.

Sementara jika tiba hari libur, Papa dan Mama sangat suka pergi ke Gramedia. Berkali-kali kami mengunjungi Gramedia Jalan Merdeka menggunakan mobil Papa. Aku tidak pernah bosan menghirup aroma mobil ini. Tempatku diantar sekolah hingga tumbuh besar.

Setiap berjalan-jalan, aku selalu minta duduk di bangku depan. Mobil Suzuki Papa sudah memiliki radio. Frekuensi yang diputar biasanya Dahlia atau Radio Republik Indonesia.

Aku serasa mendengarkan saluran khusus nostalgia. Begitulah yang kualami setiap kali kami pergi ke Gramedia. Kami menyusuri jalan-jalan kota Bandung yang masih sepi. Tidak ada kemacetan yang menyita energi maupun menimbulkan kelelahan psikis. Angkutan kota pun jumlahnya masih terbatas.

Pepohonan rindang menghiasi pinggir-pinggir jalan. Pepohonan yang memiliki banyak cabang, sangat rindang. Setiap senja, ia akan memendarkan cahaya matahari. Trotoar pun masih kosong, belum dihiasi oleh pedagang kaki lima, atau lebih dari itu, digusur untuk perluasan jalan. Waktu tempuh dari rumah kami ke Gramedia Merdeka hanyalah kurang dari setengah jam.

Kutemukan novel-novel Lupus serta Alfred Hitchcock, dan sejumlah judul menarik lainnya di sana. Masalahnya adalah aku tidak punya uang. Selain itu, aku harus mengikuti Papa dan Mama ke mana pun mereka berjalan.

Senang sekali rasanya melihat orang-orang di sini berjalan sambil mengobrol satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang berjalan sambil matanya tertumbuk kepada ponsel pintar masing-masing. Aku sendiri juga mulai terbiasa tidak membawa telepon seluler, karena di hari-hari awalku pada siklus kehidupan yang kedua ini, aku sering merasa aneh ketika tanganku tidak menggenggam ponsel. Selain itu, aku mulai terbiasa tidak menggenggam uang banyak. Padahal di siklus kehidupanku yang pertama, uang seolah tak terbatas di tanganku.

Gadis-gadis berambut kuncir kuda banyak kutemui di mall, begitu pun dengan jepit rambut model kupu-kupu. Para pria masih dengan bebasnya merokok di mall. Kebanyakan dari pria-pria itu bermodel rambut a la vokalis Duran-Duran, tatanan rambut yang menitikberatkan pada bagian tengah hingga depan (jambul), dan kemudian akan diadaptasi oleh tokoh Lupus.

Aku yakin potongan rambut yang biasa disebut "Mullet" ini tidak mudah dipertahankan, terutama bagian jambulnya, mengingat kondisi cuaca Indonesia yang berangin. Mereka yang memiliki cukup modal akan mengantisipasinya dengan hairspray sementara bagi yang berkondisi sebaliknya tentu memerlukan kreatifitas lebih dari orang lain, diantaranya menggunakan odol agar jambul yang sudah dibentuknya tidak jatuh lemas.

Kafe dan restoran masih sangat sedikit. Banyak anak muda nongkrong di pinggir jalan sambil menyanyikan lagu Tommy Page, atau mencoba melakukan breakdance.

Sebagian di antara mereka ada yang beraksi dengan menggunakan sepatu rodanya. Kebanyakan dari mereka menyewanya dari tempat bernama Nasa, yang sebenarnya adalah diskotik.

Para pemuda sebisa mungkin memainkan keahlian mereka dalam bersepaturoda, apa lagi tujuannya kalau bukan untuk meraih simpati para pemudi yang juga berada di sana?

Sementara untuk seusiaku, kebanggaan kami adalah mengenakan sepatu kets yang memiliki lampu di bagian belakangnya. Siapa pun yang mengenakan sepatu jenis itu ke sekolah akan disambut seperti dewa.

Maka di mall kutemui anak-anak merengek meminta orangtuanya membelikan sepatu bermerk Pro Att yang menjadi produsen sepatu berlampu.

Tidak semua kalangan bisa membeli merk Pro Att. Selang beberapa bulan dari sekarang, para produsen sepatu lain akan menangkap peluang pasar ini. Mereka pun membuat produk sejenis, sama-sama sepatu yang memiliki lampu yang akan menyala setiap kali penggunanya melangkah. Bedanya, harga sepatu mereka cukup jauh lebih murah daripada Pro Att.

Produsen-produsen baru ini seperti angin surga bagi para orang tua yang ingin membahagiakan anaknya. Seingatku merk selain Pro Att kemudian malah lebih mendominasi dibandingkan Pro Att sendiri. Maka di mall ini pun banyak anak-anak yang diantar orang tuanya untuk membeli sepatu berlampu, sepanjang jalan kami.

"Ferre nggak kepengen sepatu yang ada lampunya kayak gitu?" tanya Papa.

Aku menggeleng, tersenyum.

"Kita pergi ke Gramedia saja Pa, Ma," jawabku kemudian.

Mama dan Papa menatapku tersenyum kagum.

Di dalam Gramedia, tatapanku tertumbuk pada sebuah majalah Bobo yang berada di dekat kasir, saat Papa dan Mama hendak membayar. Kutarik tangan Mama dan memintanya membelikan majalah seharga seribu lima ratus rupiah itu.

Papa mengangguk menanggapi permintaanku. Mama pun mengambilkannya untukku.

Di rumah, kubuka majalah itu, langsung pada halaman yang dimaksud. Judul di sampulnya yang menarikku cukup jelas tergambar di halaman tengah. Semua, mengenai keterangannya.

LOMBA CERITA PENDEK (CERPEN) MAJALAH BOBO 1990

Sedikit-banyak aku ingat lomba ini, tapi bukan di tahun 1990. Seingatku mereka pernah mengadakan lomba serupa di tahun 1996, dan di lomba tahun itu, aku ingat cerpen apa yang menjadi pemenangnya.

Aku sangat mengingat jalan cerita cerpen yang menjadi juara satu, sebuah cerpen horor anak-anak. Sebuah cerpen tentang boneka hidup.

Lalu bagaimana jika aku mengikutsertakan cerpen itu di lomba tahun ini?

Bisakah aku menang?

Bukan bisa, tapi pasti!

Aku yakin itu.

Sekarang masalahnya jangan dulu bicara laptop, komputer sekalipun hanya dimiliki oleh orang-orang kaya. Tapi cerpen itu harus diketik.

Bagaimana caranya?

Rental komputer yang terletak beberapa blok dari rumahku baru akan dibuka sekitar lima tahun dari sekarang.

Aku berjalan gundah, mondar-mandir di dalam rumah setelah kami pulang. Entah berapa kali aku mondar-mandir, hingga aku masuk kamar kerja Papa. Di sana kutemukan benda yang seharusnya aku tidak pernah lupa, yaitu mesin tik Papa.

Aku langsung berlari menghampiri Papa yang sedang menonton televisi.

"Papa, boleh saya pinjam mesin tik Papa?" pintaku.

"Mesin tik?" Papa terdiam sejenak. "Emang kamu sudah bisa?"

"Bisa, Pa. Pinjam ya,"

Aku berlari ke kamar kerjanya, lalu mulai mengambil kertas di meja dan membuka mesin tik dari tasnya.

Kamar Papa masih dipenuhi kaset-kaset lagu The Beatles dan Queen. Aku yakin di tahun 2020 kaset-kaset itu masih ada. Kaset-kaset yang harus diputar menggunakan pensil kayu jika pitanya kusut. Di masaku pada tahun 2020, mungkin sudah jarang orang yang mengetahui hubungan pensil kayu dengan kaset.

Semua begitu mudah diunduh melalui format MP3 dan MP4, serta cukup lagu yang diinginkan saja yang diunduh. Tidak perlu satu album.

Pada masa ini, kita harus memutar ulang kasetnya jika ingin mendengarkan kembali lagu yang kita suka.

Pertama-tama pensilnya harus diruncingkan terlebih dahulu menggunakan serutan. Lalu setelahnya barulah pensil yang sudah runcing itu bisa digunakan untuk meluruskan kembali pita-pita kaset yang kusut, melalui lubang-lubang yang berada di badan kaset.

Di kamar Papa ini tidak ada kertas HVS yang kutemukan. Hanya kertas buram. Tapi itu tidak masalah. Kuketik kata demi kata, kalimat demi kalimat. Yang penting aku ingat plot dan klimaks yang membuat cerita ini menjadi juara.

Mereka pikir aku tidak tahu, Papa dan Mama mengintipku dari balik pintu. Aku tidak peduli, ini semua demi uang.

Lima lembar telah kuhabiskan, cerita pendek untuk lomba telah kutuntaskan. Aku tahu di kantor Mama ada sebuah cabang kantor pos. Seingatku memang Mama belum pernah memberitahuku tentang kantor pos itu di tahun ini. Bisa kusimpulkan keheranannya saat kuminta mengirimkan naskah ini lewat kantor pos di kantornya adalah karena hal itu.

Dua bulan lamanya aku menunggu hingga tanggal terbit majalah Bobo di hari Kamis yang kucatat. Aku meminta Papa dan Mama untuk membelikanku majalah itu sepulang kantor.

"Pengumuman pemenangnya hari ini, Ma," kataku.

"Ya, sayang. Nanti Mama belikan ya,"

Tak sabar rasanya menanti sore hari.

Ketika saatnya tiba, Papa Mama memasukkan Suzuki tua mereka ke garasi yang sama sekali belum ada atapnya. Suzuki yang akan mereka ganti tahun depan.

Mama turun, lalu memeluk dan menciumku.

"Sayang, lihat nih!" ia menggendongku dengan sebelah tangannya.

Aku tak tahu bahwa dulu ia sekuat ini. Tapi yang kulihat adalah namaku tertera sebagai juara pertama!