Semenjak teror pembunuhan itu meraja lela ke seluruh kompleks. Deon semakin tidak teratur. Ia bahkan tak bisa sekolah dengan baik.
Disini Deon sekarang, di sebuah ruangan yang selalu ditakuti oleh para siswa sekolah. Ruangan Bimbingan Konseling. Yap! Orang-orang yang masuk ke dalam ruangan ini pasti memiliki masalah di sekolah. Atau, dia memiliki prestasi yang menggemparkan sekolah. Positif dan negatifnya sih, begitu.
"Silahkan duduk, Deon!" tutur guru BK yang hari ini akan membimbing Deon. Dia bernama Andi.
"Terima kasih, pak!" jawab Deon lantas dia merebahkan pantatnya di kursi yang telah disediakan itu.
"Baik, saya mau bertanya beberapa minggu terakhir ini kamu memiliki jadwal absen alpa yang banyak. Bukankah kamu adalah anak berprestasi dari kelas A? Lantas, kenapa kamu sering tidak masuk sekolah? Apakah ada sesuatu yang mengganggumu?" tanya Pak Andi to the point.
Deon menghela napasnya kasar. Bagaimana dia mengutarakan ini? Apakah akan baik-baik saja jika teror itu malah menyebar ke seluruh bagian kota? Tapi, Deon tak mau sampai kedua orang tuanya tahu masalah ini dan mengkhawatirkannya.
"Sebenarnya, adik saya beberapa hari ini tidak masuk sekolah. Dia sedang mengalami trauma, dan hanya saya yang bisa dia andalkan," jawab Deon pelan.
"Trauma? Apa yang terjadi kepada adikmu? Dan kemana orang tuamu?" tanya Pak Andi kebingungan.
"Orang tua saya sudah lama pergi ke kota. Mereka banyak melakukan penelitian untuk mengkaji ilmu sains. Saya dititipkan agar bisa menjaga adik saya sampai mereka pulang," tutur Deon.
"Kenapa kamu tidak membicarakan hal ini pada orang tuamu? Karena jika tidak, kamu akan semakin banyak memenuhi buku catatan BK. Belum, kamu juga ketinggalan banyak pelajaran berharga di sekolah untuk masa depanmu," jelas Pak Andi.
"Saya mengerti, pak. Tapi, saya tidak mau mereka malah memarahi saya karena masalah ini," jelas Deon.
"Mereka tidak akan marah. Justru, orang tua harusnya ada saat anaknya dalam posisi seperti ini. Coba katakan pada saya, apa yang membuat adikmu trauma sebegitu parahnya?" sahut pak Andi kembali.
Deon menatap netra pak Andi lekat-lekat. Haruskah ia mengatakannya? Apakah semua ini akan baik-baik saja jika Deon mengungkapkan yang sebenarnya pada pak Andi? Tapi, dia tak bisa seperti ini terus. Dia mesti keluar dari komplek mengerikan itu.
"Sejujurnya..." ucapan Deon menggantung.
Ia merasa berat untuk mengatakan hal yang sesungguhnya terjadi dan menimpa mereka berdua. Mereka dalam bahaya besar dan ini bukanlah hal yang sepele untuk dibiarkan begitu saja. Bahkan, polisi pun tak bisa menghandle keamanan desa ini.
"Sejujurnya.. Di kompleks kami sedang terjadi banyak korban pembunuhan berantai. Dan.. Adik saya trauma karena hal ini," cicit Deon.
Pak Andi seketika membelalakkan matanya kembali. Bagaimana bisa pembunuhan berantai seperti ini tidak disiarkan dalam berita?
"Bagaimana mungkin?! Sudah berapa banyak korban yang berjatuhan? Dan bagaimana bisa mereka tidak menyiarkan berita tentang pembunuhan berantai ini? Ini berbahaya untuk kelangsungan hidup warga sekitar!" tukas Pak Andi kesal.
"Saya tidak tahu, pak. Ini benar-benar aneh. Semalam saya juga berjaga, berkeliling di kompleks kami tapi saya tidak menemukan apapun. Dan tadi pagi, kami menemukan jasad tetangga kami meninggal dengan hanya menyisakan kepalanya," jawab Deon lemas.
Pak Andi benar-benar tak percaya dengan ini. Bagaimana bisa korban pembunuhan berantai ini tidak diungkap di televisi?
- The Silent in Midnight -
Seorang pria dengan setelan baju hitam berjalan dengan angkuh. Di saku celananya tersimpan pistol untuk berjaga-jaga. Tubuhnya tegap dan tinggi. Meski menggunakan masker, wajahnya nampak tampan dari arah luar pun.
"Maaf pak, anda tidak bisa masuk ke dalam sini jika tidak ada janji dengan bapak kepala," ujar seorang penjaga ruangan gedung tersebut.
"Saya hanya sebentar, bisakah saya menemuinya? Ini penting," jawab pria itu.
"Tapi, pak.. Kami tidak bisa melanggar aturan yang sudah berlaku. Mohon maaf, pak!" pinta penjaga tersebut.
Dari dalam, seorang kepala pengurus gedung pertelevisian itu melihat pintu ruangannya yang terbuat dari kaca tebal yang lumayan tembus pandang.
Ia memperhatikan dari dalam keributan tersebut. Namun, pria yang mengenakan baju setelan hitam itu tampak memaksa. Ia pun sudah tak sabar dan sekaligus penasaran kenapa manusia itu sangat kekeuh ingin menemuinya.
CEKLEK!
Kepala gedung tersebut membuka pintu ruangannya. Seketika keributan itu berhenti sejenak, semua menatap ke arahnya sekarang.
"Ada apa ini? Kenapa anda datang kemari untuk mencari masalah?" tanya bapak Kepala tersebut.
"Saya hanya ingin menemui anda sebentar. Ini tentang kejaminan perusahaan ini juga," jawab pria tersebut santai.
Mencium bau-bau uang, ia tampak menyukai ucapan si pria bersetelan hitam itu. Ada yang menarik jika itu bergantung dengan uang.
"Baik, silahkan masuk!" jawab bapak Kepala itu nampak ramah. Tidak sedingin saat tadi pria itu belum menjelaskan maksud dan tujuannya.
Pria itu masuk ke dalam ruangan yang sangat nyaman bagi seorang bapak Kepala perusahaan ini.
"Berapa banyak anda habiskan untuk ruangan senyaman ini?" tanya pria itu menerka-nerka.
"Entahlah, saya tidak pernah memikirkan keluaran uang selagi itu untuk perusahaan," jawab bapak Kepala tersebut.
Pria itu hanya mengangguk-angguk. Lantas, tak lama ia mengeluarkan kartu namanya dari saku celananya.
"Ini kartu nama saya," ujar pria itu seraya menyodorkan kartu namanya pada si bapak Kepala perusahaan tersebut.
"Tapi... Apa tujuan anda kemari?" tanya Bapak Kepala tersebut.
"Jelas. Saya akan mengajak anda berkompensasi. Saya adalah seorang..." mereka lantas melakukan perbincangan yang sangat serius.
Wajah sang bapak kepala tersebut pun tampak sangat takut dan kebingungan. Namun, ini berhubungan dengan uang? Bagaimana bisa ia menolaknya bukan?
"Saya hanya meminta anda tidak menyiarkannya. Bukankah itu gampang? Anda cukup tutup mulut, dan semuanya beres," jelas pria tersebut.
"Tapi.. Saya takut ditangkap polisi jika ini terjadi kebocoran," sahut bapak kepala tersebut.
"Bukankah resikonya semua orang akan mendapatkan apa yang saya katakan tadi? Semuanya akan selesai jika ada uang, bukan?" ucap pria itu enteng.
Sang Bapak Kepala perusahaan tersebut nampak ragu. Apa ia akan menerima uang ini? Tapi, ini menyangkut keselamatan banyak orang.
"Jika tidak mau, ya tidak apa. Saya hanya meminta anda menutup semua siaran televisi soal masalah itu, gampang dan uang yang anda butuhkan akan langsung masuk ke rekening anda," ucap pria tersebut tetap merayu bapak kepala perusahaan tersebut tergiur rayuannya.
"Baiklah. Saya akan membantu anda," putusnya pada akhirnya.
Kemudian, pria tersebut tersenyum dibalik maskernya. Bukankah semua orang akan dihargai jika ada uang? Ah, begini ya rasanya menjadi manusia yang sesungguhnya dan semua orang tunduk kepadanya. Benar-benar menakjubkan sekali!