Untuk pertama kalinya dalam perjalanan cinta kami, caila cinta preeet... Maksudnya untuk pertama kalinya selama kami pacaran baru kali ini kami jalan berdua ke Los Angeles, eits bukan Los Angeles yang di benua sebelah ya, tapi itu nama pasar serba ada di Provinsi gue, lebih tepatnya gue yang ngasih namanya pasar Los Angeles karena apa? Karena pasar ini di sebut pasar Los jadi sekalian aja gue tambahin Angeles nya biar lebih keren.
Gue tepuk keras bahu Bang Sul membuat manusia yang berada di depan gue ini sedikit terperanjat.
"Lewat situ Bang," kata gue setengah berteriak.
"Iya tahu - tahu, sabar ngapa, ini motor bukan sepeda yang bisa seenak udelnya mutar entar yang ada kita di tilang lagi."
Gue sedikit mendengus, biasanya juga gue lewat sono kagak ada apa-apa tuh, mana ada polisi mau berdiri di jalan nan sepi kayak gitu yang cuma dilewati beberapa delman yang nyaris punah. Jadi mau ditilang sopo? polisi tidur?
Alhasil kami harus berputar arah yang memakan cukup waktu, gimana enggak wong macet.
Cuaca cukup terik padahal jam sudah menunjukkan lewat pukul tiga. Hari ini rencananya kami mau mencari baju batik buat kondangan malam besok, maklum katanya di undangan di sebutkan dress code nya yaitu 'batik', jailah mau kondangan aja ribet amat.
Suasananya cukup ramai sampai-sampai mau cari tempat parkir aja susah banget.
"Rame amat," celetuk bang Sul yang sudah berdiri gagah sembari mencoba menggapai tangan gue, gue tahu modusnya dia tu mau pegangan tangan ama gue.
"Mohon maaf itu tangan bisa dikondisikan tidak?" tanya gue dengan muka yang gue buat segarang mungkin.
Bang Sul ketawa garing dan malah mengeratkan genggaman tangannya, "Entar kamu ilang, susah carinya," katanya dengan nada mengejek. ampun tong lu kata gue anak kecil.
"Karena tak akan ada yang seperti Kamu," tambahnya lagi, cuih gombalanmu bang, preeet, kebal mode on.
Gue sedikit mendengus tapi tetap membiarkan dia menggandeng tangan gue. Jujur ya seumur hidup, gue gak pernah pegangan tangan sama cowok begini, baru selama pacaran sama dia aja nih, kecuali salaman. Kalau salaman sama cowok sih sering.
"Di mana ya toko yang jual baju batik?" Bang Sul menoleh ke arah gue membuat gue hampir menganga syok. Lah, gila kami sudah berjalan cukup jauh dari tempat parkir motor, gue kira dia tahu tempat jualannya di mana?
Gue mengangkat bahu menatapnya malas, lu kata gue tahu bang? Ke mari aja jarang.
"Di situ kali ya?" Tangan bang Sul menunjuk ke arah sebuah toko dengan beraneka ragam manekin di depannya
memamerkan baju gamis. Kening gue berkerut ni orang mau beli baju batik atau mau beli daster? masa iya dia ke kondangan pake daster, gak kebayang gue.
"Hayo ngebayangin apa?" kata bang Sul sembari tangannya menarik pipi kiri gue.
"Sakit," Gue menepuk tangannya, yang ditepuk malah cekikikan, hadeh.
Setelah kami muter-muter gaje selama lebih dari setengah jam jadilah di sini kami,di toko yang menjual berbagai macam jenis jilbab, capek ey di ajak muter tapi tujuannya masih abu-abu. Gegara bang Sul ini yang memegang teguh pepatah 'malu bertanya, jalan-jalan' dari tadi gue suruh tanya orang dianya kagak mau, pas giliran gue mau nanya dia kagak boleh, aneh memang ni orang.
Mata gue liar melihat sekeliling memperhatikan berbagai macam model jilbab, beneran dah gue suka banget berada di tengah-tengah banyak benda dari kain baik jilbab apalagi pakaian, jiwa wanita gue seakan terpanggil.
Gue memilih beberapa jilbab kan lumayan beli banyak harga grosir dibayarin pula, maunya, semoga aja ni orang yang dari tadi ngekorin gue mau peka buat bayarin belanjaan gue.
Criiing, sreeectt...
Tess... Tess...
Lay...lay... Lay...lay...lay...lay..
Panggil aku si jablay.
Sontak kami menoleh ke arah kiri ke arah suara, seorang pengamen memulai aksinya memutar lagu kemudian menyanyikannya dengan benda kotak yang gue gak tahu apa namanya, mirip kayak tipe gitu kayaknya.
Bang Sul pindah ke sisi kanan gue, "Udah selesai milihnya?"
"Hhmm?" gue bergumam kecil, kami belum sampai sepuluh menit di sini dan gue kasih galau mau beli warna apa aja.
"Kalau udah pilihnya, yuk lanjut cari tokonya," katanya, gue manyun.
"Bentar masih mau milih."
"Yang Kamu pegang bagus kok." Bang Sul menunjuk jilbab segiempat berwarna maroon yang sedang otak gue pertimbangkan buat di beli.
Lay lay lay lay lay
Panggil aku si jablay
Abang jarang pulang aku jarang di goyang
Suara lagu sang pengamen semakin dekat dan entah kenapa bang Sul terlihat makin gusar, celingukan dan seperti ingin melarikan diri.
"Sehat bang?" tanya gue bingung melihatnya yang semakin menggeser badannya menjauh dari gue, lah kenapa lagi ni orang.
Lay lay lay lay lay
Panggil aku si jablay
Abang jarang pulang aku jarang di goyang
Lah piye tu orang dari tadi nyanyi liriknya itu mulu. Gue menoleh ke arah pengamen yang sudah hampir mendekat ke arah kami.
"Dek belinya di tempat lain aja yuk." Bang Sul menarik sedikit lengan gue.
"Hey Bang godaan Dinda dong," ucap pengamen itu tiba-tiba bergelayutan di tangan seorang pria. Entah mengapa bang Sul terlihat tegang, wajahnya menunjukkan kalau dia sedang takut akan sesuatu dan otak gue seolah mulai mengerti ada apa gerangan dengan manusia satu ini.
Senyum terbit di bibir gue, dan gue tahu sumber ketakutannya di mana.
"Mbak gak nyanyi sampe sini?" tangan gue melambai ke arah pengamen itu membuat bang Sul mendelik menatap gue garang.
"Dek," desisnya menatap gue horor nan nanar.
Orang yang gue panggil mbak tadi mendekat ke arah kami.
"Mau rikues lagu apose?" tanyanya begitu tubuhnya sudah berada tepat di depan kami.
"Tanyain orang ini aja Mbak, Dia yang pengen denger," jawab gue mengacuhkan tatapan menusuk nan horor dan remasan di lengan gue, bahkan matanya membulat, melotot mendengar ucapan gue.
"Kamu ngerjain Abang ya?" bisik bang Sul yang gue yakini sedang mengeram menahan emosi atau rasa takut lebih tepatnya.Gue mengedikkan bahu pura-pura polos.
"Yey, Mas ganteng mau Dinda nyanyiin lagu apose?" tanyanya dengan muka genit, tak sampai tangan sang pengamen menyentuh lengan bang Sul, yang empunya sudah putar badan dan setengah berlari meninggalkan kami dan demi kerang ajaibnya spongebob gue dah ngakak duluan.
Mbak atau lebih tepatnya mas pengamen itu cemberut menggerakkan bibirnya tak beraturan.
"Sorry ya Mbak, pacar Saya kayakny lagi kebelet, mangkanya kabur," ucap gue gak enak.
"Gak papose udah biasa," katanya kemudian mulai menghidupkan alat bebentuk kotak yang gue yakini sebagai tipe tersebut dan mulai menyanyikan lagu jablay , lagi.
Setelah selesai mendengarkan konser sang mbak mas pengamen dan membeli jilbab pilihan gue, mulailah gue dongakkan kepala ke kiri dan kanan mencari manusia yang tega-teganya ninggalin gue, eh tapi tegaan gue apa dia ya?
"Di manose?" tanya gue begitu mengangkat panggilan dari manusia yang sekarang kayaknya lagi ngumpet entah di mana.
"Di parkiran, ingatkan tempat parkirnya?"
Gue menghembuskan napas pelan ni orang tega amat bukannya nunggu di mana gitu malah ninggalin gue, mana penyakit buta arah gue cukup akut lagi.
"Enggak, jemput."
"Kamu di mana?"
"Gak tahu," ucap gue dengan suara dibuat-buat seolah mau nangis, yang ada gue malah mau ngakak ngingat kejadian tadi.
Diam beberapa saat sebelum ia membuka suara lagi.
"Share lokasi ya, Abang ke sana."
Tak berapa lama bang Sul muncul sambil celingukan dan gue yakini sedang nyari gue pastinya.
"Bang." Gue melambaikan tangan dan dengan langkah ringan sembari tersenyum bang Sul mendekat ke arah gue namun langkahnya melambat saat ia melihat seseorang yang berada di dekat gue. Bisa gue lihat tatapan ragunya.
Bang Sul mengetik sesuatu di atas layar hpnya tak lama hp gue bergetar menampakkan chat dari bang Sul.
Bang sul : Itu kumbang tanah ngapain di situ?
Gue : Siapose?
Bang Sul : Jangan mulai deh.
Gue : Apa sih Bang? Di mana you?
Bang Sul : Di hati Mu.
Gue : Cius Bang.
Bang Sul : Singkirin dulu itu Kumbang badak, baru Abang mau ke situ.
Gue : Kenapa sih Bang? Apa yang salah cobek? Ciptaan Tuhan.
Bang Sul : Geli ih. Mana ada ciptaam Tuhan begitu, buatan sendiri itu.
Gue : Emang dia kelitikin Abang? Iya deh. Cepet sini, jemput.
Bang Sul : Kamu aja yang ke sini.
Gue : Oh No.
Bang Sul : Dek pulang yuk Sayang.
Gue : Mangkanya sini.
Bang Sul : Kamu aja yang ke sini.
Sebenarnya gue mau lama-lama nyiksa bang Sul tapi kalau dipikir kasian juga dia dari kantor langsung jemput gue buat beli baju eh malah gue kerjain.
Setelah berpamitan dengan mbak mas Dinda gue berjalan menuju bang Sul yang sedang berdiri sok ganteng yang sayangnya di tempat yang salah, lah iya ngapain coba dia nunggu gue di depan emperan orang jualan daleman cewek.
"Mesum," sindir gue.
Dahi bang Sul mengerut.
"Ngapain nunggunya di sini? Gak takut di katain mesum?"
Belum sempat bang Sul menjawab seorang ibu-ibu yang gue yakini sebagai pemilik emperan mengintrupsi.
"Dalemannya Mbak, Mas, ada kutang, kolor semua ukuran ada," katanya nyeblak dan bisa gue lihat muka cengonya bang Sul. Dosa gak sih kalau gue mau ngetawain dia lagi?
Gue menggeleng, "Nggak Bu."
Setelah itu kami berjalan menuju parkiran dengan bang Sul yang terus menghela napas, meratapi nasib kali ya?
"Apes banget dah," gerutu bang Sul.
"Sabar Bang," kata gue sembari mengelus punggungnya. Bang Sul mendelik.
"Ngerjainnya keterlaluan iikh," katanya menggerakkan tubuhnya seolah jijik dengan sesuatu.
"Aku gak ngerjain Abang. Kapan?" Gue menahan tawa saat melihat wajahnya yang semakin di tekuk.
"Ngapain Kamu manggil manusia dengan jenis kelamin tak terdefinisi tadi? Mana kayaknya akrab gitu lagi?"
"Namanya Dinda, katanya tadi dia titip salam buat Abang."
Lagi-lagi bang Sul menggerakkan badannya seolah-olah geli dengan sesuatu.
"Kok ada ya manusia begitu, badan berotot, betis bulunya lebat pake rok pendek." Gue nyaris ngakak melihat gerutuan bang Sul, muka nya itu loh seolah olah berkata 'tertawakan aku'.
Kalau diingat ingat iya juga sih, sudahlah badannya kekar, pake kebaya putih dengan rok batik di atas lutut, dandannya menor pake sanggul pula, mana suaranya cempreng lagi, astagfirullah tobat iah jangan ngeghibahin orang.
Bang Sul menyodorkan helm ke arah gue begitu kami sampai di parkiran, eh ini kagak jadikah beli baju?