webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
16 Chs

The Punisher  

Bea masih terpaku di pinggir hutan. Aku berusaha untuk segera bergegas dari tempat ini.

"Kita ketemu papamu, tanah ini mungkin sudah dijual dan akan dibangun hotel."

Desakku melompat dan menepuk Balu dengan tidak sabar. Bea terkejut dan baru tersadar, tapi dengan sigap segera menyusulku. Kami memacu tunggangan masing-masing menuju rumah.

Begitu sampai, depan rumah Pak Hartono terlihat lima mobil terparkir. Termasuk salah satu di antaranya mobil polisi. Aku dan Bea setengah berlari ingin mengetahui apa yang terjadi.

Lido dan Andin duduk di kursi taman, tampak resah dan cemas. Begitu melihat kami, mereka berdiri.

"Syukurlah kalian pulang," Andin bernapas lega.

"Gawat Bi, aparat desa, polisi sama investor yang mau beli tanah lagi ribut," adu Lido dengan suara pelan dan melirik takut-takut ke atas teras.

"Maksudmu?" tanyaku.

"Mereka minta Pak Hartono bantu untuk meloloskan tanah yang sedang mereka garap di utara," jelas Andin.

"Itu tanah negara, mana bisa papa punya otoritas seperti itu," sahut Bea, tanpa menunggu lagi, dia berjalan menuju ke atas.

"Susul, Bi. Loe kan pawangnya, ntar dia ngamuk lagi." Andin mendorongku untuk mengikuti Bea.

Aku menggamit tangan Lido dan berjalan menuju ke rumah panggung. Betul dugaan Andin, Bea sedang bersitegang dengan investor yang tampak menganggap remeh dia.

"Kalo memang baru berniat, kenapa lokasi sudah diratakan? Surat ijin mendirikan bangunan mana? Surat pembelian dulu deh, dan pak Lurah, kenapa hal kayak gini bisa lolos dari pengamatan anda?" Bea tidak bisa menahan emosinya.

"Kamu anak kecil dari tadi bicara, mewakili apa? Penjaga ranger yang kamu bilang tadi? Hahaha, lucu mau maen ranger-rangeran bukan sekarang, Dek. Dinas perhutanan sudah acc kok," sahutnya sombong. Ibu Jane tersulut emosinya.

"Tarik kembali ucapanmu! Kalo dinas perhutanan sudah acc, kenapa kamu minta suami saya menanda tangani surat rekomendasi pengolahan lahan? Dan apa alasannya di bukumu itu? Untuk pengembang biakan mutiara? Penyu? Bullshit!" Ibu Jane menunjukkan sikap dan membungkam lelaki perlente yang notabene investor. Sebelum investor membuka mulutnya, Pak Lurah menyambar.

"Begini, Pak dan Ibu. Saya aparat desa dan kepolisian bertujuan hanya mengawal, minta maaf karena saya sudah dapat perintah dari pak Camat minggu lalu untuk memberikan akses bagi mereka, ya apa daya saya," jelas pak Lurah.

"Berhubung Pak Hartono pagi tadi mengirim petugas, maka kewajiban kami untuk memberikan informasi," lanjutnya.

"Lancang sekali, Pak. Masuk ke wilayah yang menjadi tanggung jawab saya, tanpa pemberitahuan. Ketauan, baru lapor," Pak Hartono walaupun tenang terdengar tajam ucapannya. Pak Lurah terdiam.

"Begini, tolong hentikan pembangunan itu sampe jelas semuanya, surat-surat yang saya minta segera dilengkapi. Karena dengan pembangunan proyek tersebut, saya harus mengevakuasi beberapa satwa, menyelamatkan beberapa tumbuhan dan pohon yang dalam reservasi kami. Jadi kembali besok saja," perintah Pak Hartono sambil menepiskan tangan seperti mengusir.

Investor yang jauh lebih tua tidak menerima,

"Nggak bisa berhenti, Pak. Kami akan rugi!" serunya lantang.

"Harus, Pak. Petugas saya nanti dibantu polisi akan menyegel semua mesin," jawab Papa Bea, tenang tapi tidak tergoyahkan.

"Saya nggak akan mundur! Silahkan bapak menghalangi, saya tidak akan berhenti!" Kedua investor itu segera bangkit menyambar bukunya dan berjalan keluar dengan tergesa-gesa.

Bea tidak menyia-nyiakan kesempatan, diterjangnya kedua laki-laki itu dan dengan kedua tangannya, kerah leher mereka diangkat.

"Bea!!!" teriak Ibu Jane dan Pak Hartono serentak.

Tubuh dua lelaki dewasa itu terangkat sekitar sepuluh senti dari lantai. Muka Bea tampak lain, matanya merah membara dan jemari tangannya memanjang. Oh Tuhan! Giginya berubah runcing dan tajam.

"Kubilang hentikan!!" Bea menggeram bengis.

"Aa-a-a-am-pu-pun...," pekik keduanya berteriak ketakutan.

"Ang-ang-ang..kat tangan!" seru polisi tergagap-gagap bingung dan ketakutan mengacungkan senjatanya.

"Lepa-paskan, le-lepaskan sekarang!" perintahnya, walaupun terdengar gemetar tapi dia melakukan tugasnya dengan tepat dan sigap.

Bea melempar keduanya dengan mudah ke halaman, dan mereka lari terbirit-birit sambil mengucapkan nama Allah.

Semua yang hadir mematung, antara takut bergerak dan shocked. Bea, mendengus kesal seperti hewan liar dan melesat keluar pergi.

Aku jatuh terduduk. Bukan karena mentalku lemah, tapi sosok lain Bea yang baru kuketahui mampu melunturkan anggapanku tentang gadis ini.

Dia tidak lemah, dia bukan anak-anak, dan dia bukan sepenuhnya manusia. Beata Rusli adalah Sang Monster Penjaga!

Ibu Jane menenggak habis wine di gelas.

Rumah kembali sepi. Andin menyelesaikan laporan terakhirnya hari itu dan menutup laptopnya. Semua diam, tidak ingin bicara. Lido berpura-pura membaca majalah. Pak Hartono duduk di kursi sambil memejamkan mata. Rokoknya dibiarkan terbakar di asbak.

Tiba-tiba terlintas pikiran kenapa tidak kususul Bea? Bisakah aku memanggil Balu? Selama ini Bealah yang mengundang mereka. Mungkinkah dengan siulanku, Balu akan datang?

Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.

"Aku susul Bea," kataku sambil melangkah turun dari teras.

"Nyusul kemana?" tanya Andin,

"Loe kan nggak tau cara manggil monster banteng itu," kata Lido.

"Gue coba," sahutku.

Aku berlari ke tepi hutan, mereka memandangku dari teras rumah penuh harap, terutama Ibu Jane dan Pak Hartono.

Aku berdehem mempersiapkan siulanku.

'Ssuuuuit suiit'

Nyaring dan melengking.

Menunggu.

Tidak derap kaki hewan. Sepi.

Kembali bersiul,

'Ssuuuuit suiiiiiiiit'

Kali ini lebih panjang.

Menunggu lagi.

Tidak juga datang tanda-tanda.

Aku mulai putus asa. Aku menatap kebawah, bahkan saking semangatnya tidak sempat memakai sandal. Antara putus asa karena gelar Quentivaku tidak ada gunanya dan kaki tidak bersandal, aku ingin berteriak.

"Sial!!!" akhirnya makian itu keluar. Aku menoleh ke teras, mereka memandangku dengan penuh kasihan. Aku jongkok menyentuh rumput yang sepertinya tergilas tapak Argon tadi,

"Foteska, du meibiens," (hutan bantulah aku) bisikku lunglai. Berdiri, dan aku membalikkan badan melangkah kembali memutuskan untuk mengambil motor.

Baru empat langkah, gemuruh derap terdengar makin lama makin dekat. Derapan itu kukenal! Saat kuputar badanku, Balu muncul dengan gagah dan tanduknya mencuat tinggi.

Luapan gembira membuncah di dadaku, segera berlari melompat ke atas, kupacu Balu menyusul Bea yang entah berada di mana.

POV Andin

Sepeninggal Bian menyusul Bea, aku menyimpan rasa lega juga khawatir. Tugas yang diemban Bian bukan tanggung jawab yang mudah.

Instingku mengatakan ada puncak dari kekisruhan di Alas Purwo yang mungkin akan memakan korban.

Entah siapa dan bagaimana, tapi akan ada konsekuensinya. Karena manusia yang telah lancang mengusik daerah tertua di pulau Jawa ini, lupa akan aturan berlaku yang harusnya di patuhi turun temurun untuk menjaga keseimbangan alam.

Biantara, sahabat kecilku yang dari dulu pendiam dan kurang percaya diri.

Padahal otaknya pintar dan cerdas. Penampilannya juga sangat mendukung, tapi over protektif dari ibunya, Tante Ira, membuat Bian menjadi pribadi yang cenderung mencari jalan aman.

Bagiku Bian adalah seorang saudara yang selalu ingin kulindungi. Bahkan aku rela tidak naik kelas dan menjatuhkan semua nilaiku untuk bisa sekelas dengannya.

Sejak Bian berusia delapan tahun, orangtuanya tidak rukun. Pernikahan beda agama yang ternyata memicu ketidak harmonisan mereka.

Om Wisnu meninggal dalam kecelakaan setelah pertengkaran mulut dengan Tante Ira. Rumah kami yang bersebelahan, menjadikan kami saksi atas semua yang terjadi. Bian kehilangan ayahnya diusia 14 tahun.

Tante Ira, seperti biasa, selalu ingin mengontrol semuanya. Dia menghipnoterapi Bian bertahun-tahun untuk melupakan semua memori, tragedi dan kemampuan istimewanya.

Bian menjadi lupa akan masa lalunya yang paling penting. Aku tidak membenci Tante Ira, tapi aku mendukung sikap dan tindakan dia terhadap Bian. Itu mengambil hak hidup seorang manusia.

Sadis dan ambisius.

Aku ingat ucapan dan pesan Mama, bahwa Bian adalah seseorang yang ditakdirkan untuk mencegah daerah timur dari bencana alam. Itulah kenapa aku ingin selalu berada dekat dengannya. Aku ingin melindunginya juga!

♧♧♧

Bersambung ...