webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
16 Chs

Srikandi Majapahit

Hari berikutnya, Andin tampak sibuk mengumpulkan berbagai macam tumbuhan. Ibu Jane memberi dua lembar daftar jenis tumbuhan yang harus dibawa contohnya.

Labotarium Ibu Jane berada di lantai dua. Aku pernah mengunjungi sekali. Luar biasa lengkap. Itu akan menjadi surga buat Andin, si ilmuwan tomboi.

Aku sedikit lega, Andin akan sedikit sibuk dan tidak akan merepotkan nantinya. Tapi harapanku sirna. Baru saja aku menyelesaikan patroli pagi, Mas Pur memintaku untuk menemani Andin mengambil contoh tumbuhan di daerah dekat pantai.

Dengan enggan aku mengiyakan. Dari TK hingga kuliah aku bersama dengan Andin, kenapa kini harus terlibat satu pekerjaan dengannya? Keluhku dalam hati.

"Astaga, Bi. Ada monyet!" pekiknya takjub dalam perjalanan menuju pantai. Aku hanya mengiyakan dengan anggukan kepala. Mulutnya tidak berhenti mengoceh seperti anak kecil yang baru bisa bicara.

"Astaga, Din. Loe nggak capek ngoceh mulu?" protesku padanya. Andin terdiam dan menunjukkan wajah terluka. Bukan raut kesal ataupun jengkel seperti biasa.

"Loe, kenapa? Mendadak sariawan?" candaku mencoba mengusir mendung di wajahnya.

Andin tetap terdiam, bahkan hingga kami kembali ke rumah.

Siang itu selepas makan siang, Mas Pur mengajakku mengunjungi area Alas Purwo di tengah. Aku ingin menghindari Andin yang mendadak membisu dan langsung mengiyakan ajakannya.

Aku membaca dalam peta, di tengah Alas Purwo ada sebuah Pura Hindu yang sangat megah, Giri Selaka. Dengan penuh antusias aku meminta ijin untuk bertugas disana. Mas Pur tertawa dan tidak menjawab.

Begitu tiba, Mas Pur menjelaskan situs kawitan yang menurut cerita sebagai tempat pemujaan Mpu Baradah, sosok yang menurut legenda mampu membelah Sungai Brantas dengan kesaktiannya dan sosok yang berhasil mengalahkan wanita kejam Calon Arang (wanita yang berilmu sihir).

Suasana yang dingin dan tenang terasa menyelimuti wilayah itu. Mas Pur menghubungi Lido dan petugas lainnya untuk koordinasi menjemputku sesudah pukul empat sore. Aku pun ditinggal sendiri.

"Sebelum plesir ke Pura, cek situs ya, Bi," pesan Mas Pur dan berlalu.

Kuperiksa sudut demi sudut situs kawitan sambil memastikan tidak ada kerusakan.

Aku lupa mengunjungi pura, karena terlalu asyik meneliti bentuk dan rupa bangunan yang ternyata menyimpan jenis lumut yang kuperkirakan usianya sama dengan situs tersebut. Tidak terasa pengunjung mulai berkurang dan waktu menunjukkan pukul empat lebih.

Hingga pukul 4:30 belum ada satu pun yang menjemputku. Aku mencoba menelepon Lido dan Mas Pur, tapi ponsel kefuanya tidak aktif.

Perasaanku mulai gelisah.

Aku berjalan keluar dari situs dan menyusuri arah pulang. Entah kenapa, perasaanku seperti ada yang mengikuti dari belakang.

Kupercepat langkahku. Baru sekitar seratus meter, seekor kijang cantik berwarna keemasan berdiri di tengah jalan.

Memastikan hewan itu tidak liar atau akan menyerang, aku berjalan pelan-pelan melewati.

Baru setengah meter berlalu, kijang itu bersuara,

"Ing du gerde, it zutir du," (jangan kau lari, ini takdirmu). Aku gemetar, bulir keringat dingin muncul di pelipisku. Kijang itu bersuara!

Kupikir hanya kebetulan aku bisa mengerti bahasa tumbuhan dan hantu wanita itu karena Bea. Tapi saat ini, bahkan tanpa siapa pun disini, aku mengerti bahasanya.

Apakah aku ini?

Panik menyerang, sekuat tenaga mencoba bertahan kesadaranku. Tapi pandangan gelap menutup semuanya.

POV Author

Bea mengajari kelinci itu melompat lebih jauh, desiran angin dan gemerisik ranting menghentikan gadis itu.

"Ibu datang," bisik Bea lirih.

Sebuah pohon tua kering besar menyembul dari balik semak di pinggir sungai.

"Aku selalu datang," suaranya lembut dan dalam. Pohon itu duduk di sebelah Bea.

"Kemampuan dia semakin bertambah. Tapi kenapa dia tidak menyadari itu?" gadis berambut ikal kemerahan itu berbaring di tepian sungai memandang langit.

"Bisakah aku mengganti pilihanku?" Bea menatap burung yang hinggap di ranting pohon tua itu.

Pohon itu terkekeh.

"Ini bukan hanya kamu dan Balu saja yang memilih. Tapi segenap penghuni Alas Purwo,"

"Tapi untuk apa? Aku tidak butuh pendamping, Ibu. Dia ketakutan. Menolak takdirnya. Mungkin aku dan Balu salah," Bea sungguh tidak memahami. Pohon tua itu pun mulai terdengar was-was.

"Akan ada pemberontakan kecil dari daerah utara. Kamu butuh pendamping untuk menghadapi ini. Yang kedua, jika engkau dipilih karena bumi Alas Purwo menerima kembar darahmu (ari-ari), dia terpilih karena darah yang mengalir di dalam tubuhnya adalah darah Prajurit Blambangan yang membunuh pimpinan pasukan VOC, Van Schaar. Seorang pendekar sejati. Dia bukan hanya pendampingmu, dia akan jadi pelindungmu hingga kau selalu aman. Kau harus hidup, karena kau jantung hutan ini." pohon tua itu mengambil setetes air dan di teteskan ke dahi Bea.

Bea tersenyum. Pohon tua itu memejamkan mata dengan

"Manusia merusak dan serakah. Dari pertama kali bertunas, hingga sekarang tidak terhitung lagi usiaku, manusia tidak pernah berhenti."

"Beata, utara terusik dan dinodai. Pergilah kesana. Redam semuanya," bisik Pohon Tua itu dengan nada prihatin.

Bea terbangun. Rambut ikal panjangnya berkibar menari dengan angin.

"Aku pamit, Ibu." Bea mengelus Argon, dipeluk lehernya dan melompat ke atas tubuh macan tutul yang begitu setia kepadanya.

Argon melesat bak anak panah menuju utara, teluk Banyubiru

Sesuatu yang basah menyentuh wajahku. Kepalaku terasa sakit. Pandanganku sedikit buram. Mataku mengerjap mencoba melihat jelas sekeliling.

Seekor kijang berbaring di sampingku. Aku sontak bangun dan beringsut mundur. Tanganku meraba, aspal, sial, rupanya aku jatuh pingsan di atas aspal.

Kijang berwarna keemasan itu masih memandangku. Rupanya yang kurasakan basah tadi adalah jilatan kijang itu. Kuusap wajahku dengan gugup.

"We-weis du hireka?" (Ke-kenapa kamu disini?) tanyaku gagap. Duh, kenapa bahasa aneh lagi yang kuucapkan. Kijang cantik itu mengerjapkan mata indahnya dan bangun.

"Mirte, ing aftoski," (manusia, jangan takut) suaranya begitu indah dan merdu. Dengan nanar kupandang sekeliling, mulai agak gelap.

"Duize kier heminski," (aku mau pulang) seruku putus asa. Ingin menangis, tapi harga diri sebagai laki-laki menahanku.

"Bing du," (ikuti aku) kijang emas itu berjalan dengan anggun, aku bangkit dan mengikutinya dengan setengah hati.

Kucoba menjaga jarak. Kami berjalan beriringan. Dari jauh kulihat kilauan cahaya mobil, harapanku bangkit kembali.

Pak Hartono dan Mas Pur datang dengan mobil jeep. Ingin marah dan memaki mereka berdua yang terlambat menjemputku, tapi urung saat Mas Pur melompat dan bersimpuh hormat kepada kijang emas di depanku.

"Terima kasih, Srikandi Majapahit!" seru Mas Pur, disusul Pak Hartono yang ikut bersimpuh.

Kijang emas membalas menundukkan kepalanya.

"Tunjukkan takdirnya, utara akan konflik. Balu membutuhkan dia," usai berkata, kijang emas itu meloncat dan berlari ke arah hutan.

Mas Pur dan Pak Hartono terlihat gemetar. Keduanya bangun dengan tertatih. Wajah keduanya pucat. Pak Hartono mendekat dan merengkuh pundakku,

"Aku tau yang kau rasakan sekarang," bisik Pak Hartono masih gemetar.

Malam mulai merangkak, kami pulang dengan menyimpan pikiran kami masing-masing.

♧♧♧

Bersambung ...

Semakin mencekam dan terkuak. Bian sebagai apa dan siapa.

Lanjutkan?