webnovel

The Guardian of Alas Purwo

Ramalan apakah yang membuat pemuda bernama Bian harus mendampingi Beata sebagai Quentiva? Beata Rusli, seorang gadis remaja yang memiliki kemampuan berbicara dan mengendalikan satwa Alas Purwo. Tapi bukan hanya itu, Beata juga menjadi pelindung pulau Jawa dari ancaman kerusakan alam dan gempa! Mampukah Beata Rusli menghentikan Pulau Jawa untuk tidak terbelah menjadi dua? Apa arti dari Quentiva? Temukan jawabannya dalam kisahku. Sebuah bahasa alam yang author ciptakan, Sien Lingurna, khusus untuk cerita fantasy ini.

TR_Sue · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
16 Chs

Should I Choose?

Aku dan Lido terbangun saat pintu di gedor dengan sangat keras. Lido membuka mata dengan malas. Gerutuannya mulai meluncur dari bibirnya.

Sial jam lima pagi?

Tok tok tok

"Bentar!" sahutku malas sambil menyeret kaki.

"Bangun, Bi!" Andin menerobos masuk begitu kunci terbuka. Dijewernya kuping Lido supaya bangun.

"Aaaauw, kejem banget loe nenek kuntiiii," teriak Lido meradang. Aku geleng-geleng kepala. Harusnya sudah kuduga, si cewek jadi-jadian yang gedor kayak ibu kos nagih uang sewa.

"Eeeh... jangan molor lagiiii!" teriaknya sewot.

"Liat tuh di luar!" Tangan Andin menarik tanganku ke jendela.

Aku mencium bau Balu dan kawanannya. Busyet, kekuatan super apalagi nih yang aku punya? Sampai penciumanku bisa tahu apa saja yang ada di luar?

"Kenapa Balu dateng? Siapa yang bawa mereka?"

"Kok Loe tau, kan belum liat?" tanya Andin heran dan tangannya mendorong jendela kamarku.

Kawanan banteng, burung merak dan hewan mamalia lainnya memenuhi halaman Ibu Jane.

"Bian, turun! Ada tamu buatmu!" seru Ibu Jane, mukanya sumringah melihat hewan dalam berbagai jenis dengan jarak dekat.

Tanpa cuci muka, aku turun ke bawah. Balu mendengus pelan. Dia berjalan mendekatiku dan kami saling mendekatkan kepala.

Balu melenguh pelan. Bagi manusia yang hadir saat itu, itu hanya lenguhan biasa seekor banteng. Tapi bagiku itu sebuah keluhan menyayat hati.

"Utara tidak aman, tolong, hidup rakyatku terancam," bisik Balu memandangku lekat-lekat.

Ini pertama kali bagiku. Mereka mencari perlindungan kepadaku karena Bea pergi.

"Jika mereka mencari tempat suaka katakan pada mereka untuk tinggal di samping rumah. Halaman yang luas itu harusnya cukup untuk menampung mereka!" seru Pak Hartono yang sepertinya memahami tujuan mereka. Beliau bergegas ke samping sambil menelepon stafnya untuk segera datang.

"Dometri falozu et yui." (kalian tinggal disini) Aku berjalan mengarahkan mereka untuk berpindah ke samping.

Mas Pur dan Mas Rudi tiba lima belas menit kemudian.

"Pagi, Mas," sapa Lido dan mengikuti mereka berdua.

"Pagi! Rud, Lido kalian segera menutup jalan ke Sadengan. Hari ini tutup taman nasional untuk umum. Bian, bisa arahin mereka ke savana? Di sana lebih luas dan nyaman untuk mereka!"

Mas Pur mengarahkan semua untuk segera bertindak. Selang beberapa menit, lima petugas lainnya datang dan segera menerima komando dari Mas Pur dan Pak Hartono.

"Periksa daerah selatan dan timur! Jika hewan-hewan mulai resah begini, yang lain juga akan berimbas sama!" seru Pak Hartono sambil melompat ke atas Jeep diikuti Mas Pur.

Pagi itu semua sibuk. Aku mengarahkan mereka menuju ke savana di Sadengan. Kedua staf lainnya mengikutiku dan mengamankan jalan.

Bea, di mana kamu?

Pekerjaan pagi itu cukup melelahkan.

Aku mengusap peluh di keningku. Lido menghempaskan diri di sebelahku dan berbaring di rumput. Kami memandang savana yang membentang bagai permadani hijau.

"Nggak nyangka hidup Loe jadi begini asyiknya," gumam Lido sambil memejamkan mata,

"Gue dari dulu ngimpi hidup dalam dunia heroik kayak, Loe. Biarpun cuman jadi tukang mandiin kuda, eh .. banteng maksudnya," senyum Lido melebar.

Aku tertawa kecil walau batinku masih bingung.

"Bian!" Andin tiba dengan Ibu Jane dan Bea!

Aku langsung bangun dan ingin memeluk dia. Eh ... perasaan apa ini?

"Maaf, kabur kelamaan." Bea meletakkan telapak tangannya di dadaku. Dadaku berdebar hebat. Tangannya hangat dan menenangkan. Aku berusaha menahan debaran perasaan.

Aku menepuk tangannya lembut dan tersenyum.

"Lain kali kalo kabur bawa Hp ya? Biar bisa di telpon," gurauku menutupi gejolak hatiku. Bea tersenyum lebar, rambut ikalnya meliuk tertiup angin.

"Kamu bisa mencariku dengan bantuan ibu Siti," sahutnya sambil berjalan ke pagar memandang ke savana, memastikan semua aman.

"Ibu Siti siapa?" tanyaku bloon. Salah satu temankah atau peri atau penduduk desa?

"Tanah yang kita pijak, itulah Ibu Siti. Dewi Bumi. Dia wajib membantumu. Perintah darimu tidak akan bisa ditolaknya. Bahkan, aku pun tidak punya otorisasi itu," Bea menoleh ke arahku dan tertawa melihatku bingung.

"Merin nggak kasih tau kamu?" tanyanya mengernyit karena kebingunganku masih terlihat. Duh, wajahnya adalah kesempurnaan sang dewi, mata birunya dalam tak terselami.

"Kasih tau, tapi nggak jelasin detail kalo namanya Ibu Siti," kelitku.

"Berharap namanya agak keren gitu? Sandra atau Jenifer gitu ya," sindir Andin sambil menyenggolku.

"Mungkin Lido juga ok namanya," timpal Lido senang bisa ikutan meledek. Kami semua tertawa.

Lega rasanya melihat dia kembali. Betulkah aku bisa menjadi pelindungnya?

Tubuhnya mungil dan hanya setinggi pundakku. Tapi aku yakin, jika dia mau, aku bisa dibantingnya hanya dengan jari kelingking saja.

Bea, oh Bea ...!

Andin baru selesai menurunkan beberapa belanjaannya. Aku muncul dari rumah sebelah dan menawarkan bantuan.

"Gue nggak tau harus ambil sikap apa. Tapi pembicaraan kira kemaren malem, gue harap Loe berani untuk obrolin sama penunggu hutan atau apalah itu namanya ...," ucap Andin sambil menepis tangannya di udara.

"Merin, maksudmu?"

"Mungkin, nggak hapal namanya," jawab Andin tak acuh.

"Gimana cara ngomongnya? Nggak nyampe di otakku buat dateng terus ngajak bahas sama makhluk yang notabene mirip pohon," tolakku dengan terus terang.

"Nggak ada usaha banget sih!" gerutu nenek lampir mulai kesal. Aku tidak ingin menanggapi, aku tinggalkan dia sambil membawa kantung belanjaan ke dalam.

Entah cuman perasaanku aja atau memang betul. Sekilas kulihat Bea mengintip dari balik jendela kamarnya di atas. Aku memilih mengacuhkan dan tidak ambil pusing. Ucapan Andin membuatku berpikir tentang memutuskan karena keinginanku, bukan karena takdir!