***
30 Menit Kemudian di Ruang Istirahat....
Tok, tok, tok
Gray dan Eni saling bertatapan.
"Biar aku saja yang membukanya. Kau jaga permaisuri saja," ujar Gray lalu berjalan menuju pintu.
Klek, krieet...
"Nyonya? Ada apa?"
"Putriku ada di sini, kan?"
Gray mengangguk. "Ada, Nyonya. Permaisuri sedang beristirahat. Silakan masuk."
"Kalian sudah memanggil putriku sebagai permaisuri ya. Hah... sebentar lagi aku juga akan memanggilnya Yang Mulia. Jarak yang sangat jauh di antara ibu dan anak," keluh Carelia.
Padahal sebelum pernikahan berlangsung, dia tidak terlalu terlihat khawatir dengan putrinya. Tapi, siapa sangka? Ternyata Carelia bisa memasang wajah mengeluh seperti itu.
"Oh, ada Eni juga," ujar Carelia saat memasuki ruangan istirahat.
"Permaisuri tertidur di sofa, Nyonya."
Mata Carelia beralih pada sofa di tengah ruangan. Benar saja, di sana ada Arunika yang tertidur pulas dengan gaun cokelat putih yang sedikit berantakan.
"Aku tidak tahu apa yang dilakukannya semalam sampai tertidur pulas begitu," heran Carelia sambil berjalan mendekati putrinya. "Bukannya dia tidur cepat? Kenapa wajahnya kelelahan begini?"
"Sepertinya lelah karena persiapan pernikahan yang terlalu cepat, Nyonya," sahut Eni dengan suara kecil.
Carelia duduk di pinggir sofa, menatap wajah putrinya yang kelelahan.
"Sepertinya begitu...."
Carelia terus menatap putrinya dalam diam. Ada rasa sayang dan khawatir yang menguar dari wajahnya. Dia sangat menyayangi putri satu-satunya dan tentu khawatir dengan kehidupan putrinya nanti di istana. Karena dia tahu betul bagaimana kerasnya kehidupan di istana.
Namun, sebagai seorang ibu, dia tidak bisa melarang putrinya untuk menikah dengan pria yang dicintai. Dia juga ingin putrinya bertanggung jawab ketika sudah menetapkan hatinya. Jika pilihan putrinya adalah Gasendra, Putra Mahkota Mahaphraya, maka Arunika harus tahu betul tanggung jawab dan bebannya sebagai permaisuri.
"Ummm...." Arunika mengerang. Perlahan dia membuka mata karena merasa ditatap terus menerus. Dia menemukan sang ibu yang mengelus dahinya. "Ibu? Ada apa?" Arunika bersiap mengambil posisi duduk.
"Ah..." Tangannya dijauhkan dari dahi Arunika. "Ibu ke sini karena paman dan bibimu sudah datang. Mereka ingin bertemu denganmu. Tapi, jika kau terlalu lelah, Ibu bisa bilang pada mereka untuk menginap di sini agar besok bisa bertemu denganmu."
"Tidak perlu, Bu. Aku akan menemuinya sekarang. Aku sudah lama tidak bertemu dengan paman dan bibi. Mereka kan sudah jauh-jauh datang ke sini." Arunika berdiri dan membenarkan gaunnya, dibantu oleh Gray dan Eni.
Arunika tersenyum. "Terima kasih. Kalian boleh beristirahat di sini. Aku tahu kalian lelah."
"Mana boleh begitu, Yang Mulia," tolak Gray.
"Boleh. Kalian kan terus berdiri ketika aku tidur. Masa aku harus menyuruh kalian untuk duduk terlebih dahulu, sih?"
"Loh, kan memang sudah seharusnya seperti itu," sahut Eni.
"Betul, Yang Mulia. Status anda tidak seperti dulu, tapi sudah menjadi permaisuri negeri ini. Jiwa dan raga kami milik anda seutuhnya, Yang Mulia."
Arunika membuka bibirnya terkejut. "Wah... padahal aku belum dibawa ke istana, tapi sudah diperlakukan begini."
"Harus seperti itu, Yang Mulia!" seru Eni dengan tatapan yakin.
Arunika menatap keduanya dengan lamat-lamat. Sementara Carelia tertawa kecil melihatnya. Dia menghampiri sang putri dan merangkul pundaknya.
"Apa yang dilakukan mereka tidak salah, Putriku.... Setelah kau meninggalkan rumah ini, aku dan Yasawirya juga akan memanggilmu Yang Mulia."
"Hah... aku tidak menyangka akan mendapat panggilan yang terasa jauh dari keluargaku sendiri."
Wajah Arunika sedikit murung. Namun, dia kembali ceria saat mengingat ucapan Gasendra kala itu.
"Ah, aku ingat! Kata Yang Mulia... aku boleh mengizinkan kalian untuk memanggil namaku saja."
"Yang Mulia...!"
"Kau akan menyulitkan kami, Arunika...."
"Anda tidak boleh menyalahgunakan aturan seperti itu. Kami tidak boleh dibiasakan begitu, Yang Mulia...."
"Ya sudah, ya sudah.... Panggil aku dengan gelar hormat itu. Tapi, suatu saat aku akan meminta kalian untuk memanggil namaku sekali-kali agar aku tak lupa jika punya nama."
Tiga wanita itu tersenyum. Mereka mengangguk setuju.
"Ibu, jadi pergi, kan?"
"Tentu saja. Ayo kita pergi menemui keluarga Ibu."
"Aku tak sabar bertemu dengan Keluarga Ibu dari Caledonia."
Gray dan Eni ikut berjalan di belakang mereka.
"Kalian mau ke mana?" tanya Arunika.
"Ikut bersama anda, Yang Mulia."
"Istirahat!"
"Tidak, Yang Mulia. Kami akan ikut bersama anda kembali ke aula perjamuan."
"Terserah kalian saja deh," ujar Arunika pasrah.
"Ha... kini namaku hanya bisa dipanggil oleh Yang Mulia saja," gumam Arunika di perjalanan.
***
Selepas bertemu paman dan bibi dari Ibu dan mengenalkan mereka pada Gasendra. Kini saatnya Keluarga Arya mengantar kepergian raja untuk kembali ke istana.
"Anda benar-benar mau kembali ke istana sekarang, Yang Mulia?" tanya Gasendra di pekarangan Rumah Arya menuju kereta kuda.
"Ya, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Apalagi menyerahkan semua tugas negara pada Putri Agni."
"Padahal saya berharap bisa menjamu anda lebih lama lagi," sahut Yasawirya.
"Itu bisa dilakukan kapan saja. Kita kan sudah menjadi besan. Dalam waktu dekat, aku akan mengirim surat undangan pada kalian untuk datang ke istana. Kalian tidak perlu khawatir."
"Suatu kehormatan bagi keluarga saya untuk mendapatkan undangan tersebut, Yang Mulia."
Mereka sampai di depan kereta kuda. Jahankara menatap menantunya.
"Ke mari, Putriku." Arunika menghampiri dengan jantung berdegup.
Jahankara menyentuh kepala Arunika. "Semoga kau bahagia dengan pernikahan ini. Aku akan menunggumu di istana. Datanglah ke sana dengan selamat."
"Baik, Yang Mulia."
"...Aku ingin mendengarmu memanggilku Ayah."
"Ap--fhh!" Mulut Yasawirya dibekap oleh istrinya saat dia ingin memprotes.
"Jangan bertindak sembrono, Yasawirya," ujar Carelia geram.
"...Baik, Ayah."
"Kau memang lebih baik daripada putraku," puji Jahankara sambil mengelus puncak kepala Arunika.
"Putra yang mana?" sahut Gasendra acuh tak acuh. Namun, sebelah alisnya meninggi.
"Memangnya yang mana lagi? Aku hanya punya satu. Tapi, dia tidak ada baik-baiknya padaku."
"Memangnya anda sudah berlaku baik?"
".... Aku pergi dulu." Jahankara menaiki kereta kudanya.
"Hati-hati, Yang Mulia. Semoga anda selalu diberikan berkah dan kasih sayang oleh Para Dewa dan Dewi."
"Semoga kalian juga selalu diberkati. Ayo, jalan!"
Kereta kuda dan pasukan kstaria itu meninggalkan pekarangan Rumah Arya.
"Semoga selamat sampai tujuan."
Arunika tersenyum kecil saat mendengar gumaman suaminya. Setidaknya kini dia tahu jika Gasendra masih menyayangi ayahnya walaupun tidak ditunjukkan langsung di depan orangnya.
'Yah... lagipula dia kembali dengan teleportasi. Jadi, dia akan aman-aman saja. Untuk apa aku khawatir begini?' batin Gasendra.
"Yang Mulia." Panggilan itu membuat Gasendra menghentikan pemikirannya dan menoleh ke sumber suara.
"Huh, Balges Ivan. Kau tidak ikut kembali ke istana?"
"Tugas saya menjaga Yang Mulia di manapun anda berada."
Gasendra terkekeh. "Padahal kau ketua pasukan kstaria, tapi ucapanmu seperti pengasuhku saja."
"Tanpa saya sadari, semua tugas yang berhubungan dengan Yang Mulia sudah saya kerjakan semua."
"Wah, Tuan Balges itu seorang pekerja keras ya!" sahut Carelia saat mendengarnya.
"Karena terlalu pekerja keras, dia belum mendapatkan jodohnya sampai sekarang. Padahal dia lebih tua dari saya," kata Gasendra sambil tertawa.
"Bagaimana saya bisa mencari pasangan jika setiap hari saya berada di sisi Yang Mulia?"
"Jadi, sekarang kau menyalahkanku karena pekerjaan yang kuberikan?"
"Entahlah. Memangnya saya mengatakan itu, ya?"
"Kau masih sama menyebalkannya, Balges."
"Dan anda masih sama jahatnya, Yang Mulia."
"Oh, ayolah...."
———
Note : Aku ganti panggilan Arunika ke Carelia. Tadinya kan Mama, di chapter ini aku ganti jadi Ibu.