webnovel

The Envoy of Darkness For The New Beginning

Empat pahlawan yang tadinya adalah teman Arzlan, sekarang harus melawannya. Arzlan memiliki kekuatan yang mengerikan hingga dia layak disandingkan sebagai saingan Raja Iblis. Dua konflik yang sedang terjadi yaitu pihak kerajaan yang begitu sadis memperlakukan ras lain, serta pergerakan pasukan iblis yang akan menghancurkan seluruh negeri. Di sana Arzlan menjadi penengah, bukan sebagai seorang pahlawan naif, namun sebagai seorang makhluk yang akan memberikan penghakiman bagi dunia yang sudah melampaui batas. Seluruh makhluk menjadi takut saat mendengar namanya, namun beberapa makhluk menganggap dirinya sebagai penyelamat. Semua itu tidak berarti, bagi Arzlan. Dia siap untuk menjadi makhluk lebih kejam daripada iblis, atau menjadi makhluk penyelamat. Tujuannya hanya satu keadilan akan ditegakkan demi menuju dunia tanpa penindasan.

Reluctant_Guardian · Fantasía
Sin suficientes valoraciones
398 Chs

Waktunya Membalas Dendam Yang Membara

"Kau seperti malaikat yang diutus oleh tuhan untuk memberikan diriku keselamatan!"

"Aku bukanlah, seorang penyelamat atau malaikat, aku hanya seorang makhluk yang akan memberikan semua harapan yang berdasarkan kebencian sejati yang bersarang di dalam hatimu."

Suasana menjadi hening, Sakamoto terpaku menatap satu mata orang berjubah itu. Sorotan mata kuat, hingga mampu menggetarkan hati Sakamoto.

"Jika aku menerima tawaranmu itu, apa yang harus aku berikan?" Sakamoto tidak memiliki apa-apa, dia hanya manusia yang tidak berguna.

"Aku akan mengambil semuanya! Dari dirimu!"

Mata Sakamoto langsung melotot.

"Harta, kehidupan, bahkan kebencian dari dalam dirimu akan aku ambil. Sebagai gantinya, kau akan mendapatkan kekuatan untuk membalas semua hal yang telah dilakukan oleh orang-orang yang kau benci. Sakit bukan? Aku bisa melihat jelas kebencian yang kuat dari dalam hatimu. Kebencian yang mampu menghancurkan segalanya, dengan kekuatan sebesar itu kau akan bisa membalas perbuatan mereka."

Suasana menjadi hening kembali. Tangan Sakamoto mengepal dengan kuat.

"Aku bisa membalas perbuatan mereka!"

"Ya, itu terserah dirimu. Mau menerima tawaran ini atau tidak. Hidup di dunia yang penuh kepalsuan serta kepiluan, bukanlah hal yang diinginkan oleh jiwamu. Aku bisa mendengar teriakan jiwamu yang selalu mencari kebebasan, mungkin ini adalah satu cara untuk melepaskan belenggu yang mengikat kebebasanmu."

Orang itu terus menghasut Sakamoto untuk menerima tawarannya, setiap kata manis terlontar dengan begitu rapi hingga mengguncang jiwa Sakamoto.

"Apakah memang benar harus seperti ini?" Perasaan Sakamoto seperti tidak ingin dirinya menerima tawaran itu, namun bayangan pilu itu terus tergambar di matanya.

"Sudah kau jangan lawan, saat ini kau hanya perlu menerima tawaran ini, dengan begitu kau bisa bebas dari dunia yang kejam ini."

"Bebas dari dunia yang kejam!" Mata Sakamoto meruncing, bola matanya menjadi sangat serius. "Baiklah!" Tangan kanan Sakamoto angkat. "Jikalau aku bisa melihat mereka merasakan penderitaan yang aku rasakan, maka aku tidak peduli jika itu memang harus ditukar dengan nyawaku!" Lalu tangan itu dia cengkeram layaknya sebuah jebakan maut.

"Hehehe!" Orang berjubah itu tertawa kecil. "Bagus, jikalau kau memang ingin menerimanya. Sekarang kau sentuh bola kristal ini, setelah kau menyentuhnya kau tidak akan ingat apa-apa, sampai nanti waktunya tiba!"

Tanpa banyak pikir Sakamoto segera menyentuh bola kristal itu. Lalu tubuh Sakamoto seperti dilempar dari lantai 10 sebuah gedung, jantungnya berdetak dengan cepat hingga dia tidak sadarkan diri.

***

Setelah mengingat semua itu, Sakamoto meneguk air ludahnya.

"Begitu rupanya!" Alis meruncing tajam. "Lalu apa yang harus aku lakukan?" Tekadnya sudah bulan, hari itu dia putuskan untuk menyelesaikan apa yang selalu saja membuat dirinya merasa sedih dan menghapus lingkaran takdir yang begitu menyedihkan.

"Hehehehehe… kau tidak perlu melakukan apa-apa. Yang harus kau lakukan, biarkan kebencian itu menyebar."

Suara bisikan halus masuk begitu lembut ke dalam otak Sakamoto, perlahan cahaya kesadaran mulai menghilang. Tatapan matanya berubah menjadi merah, bagaikan seekor monster buas yang siap untuk menerkam mangsanya.

"Biarkan kebencian itu, menyebar," ucap Sakamoto setelah itu senyuman menyeringai terukir dari wajahnya.

"Tap!"

Seluruh mata langsung tertuju ke arah suara langkah kaki, yang di sana sudah ada seorang anak laki-laki berdiri.

"Sakamoto? Ada apa?" tanya guru dengan nada ramah.

Tidak ada jawaban dari Sakamoto, hanya kepala yang menunduk. Lalu perlahan bahunya bergerak ke atas dan ke bawah.

"Heahahahaha!"

Sakamoto di depan semua orang tertawa lepas, orang-orang menjadi terdiam. Mereka tidak percaya kalau anak cupu seperti Sakamoto akan tertawa seperti orang gila yang kehilangan obat penenang.

"Oi apa yang ka…!"

"Crash!"

Salah satu murid mencoba untuk menegur Sakamoto, yang sikapnya terasa sudah tidak pantas, tapi sebelum murid itu menyelesaikan kalimat, ucapannya terpotong oleh pena yang menusuk lehernya.

"Heaaaha!"

Suara teriakan histeris langsung terdengar dari suara murid lainnya, terutama anak perempuan yang begitu melengking, ketika darah mengucur deras di lantai.

"Sakamoto!"

"Diam!"

Bahkan guru yang hendak membentak Sakamoto, langsung terdiam saat mendengar ucapan Sakamoto yang tidak lagi terdengar seperti manusia sewajarnya.

"Tap! Tap!"

Sakamoto mulai menghampiri anak laki-laki yang selama ini selalu memberikan dirinya pengalaman pahit selama sekolah. Senyuman lebar, mengiringi langkah kakinya.

"Sakamoto!"

Suasana menjadi semakin ricuh setelah, seorang guru tiba-tiba masuk ke dalam ruangan saat mendengar suara ribut dari kelas.

Sakamoto menoleh ke arah belakang, di depan pintu sudah berdiri seorang guru yang sebelumnya memberikan ocehan yang sengaja merendahkan mentalnya.

"Kau!" Sakamoto menunjuk wajah guru itu dengan tatapan marah. "Akan aku bunuh kau sekarang juga!"

Sakamoto bergegas untuk mendekati guru itu, ketika melewati satu meja dia melihat satu pulpen. Dengan cepat Sakamoto mengambilnya, dan kembali dia lempar pulpen tersebut.

"Crash!"

Pulpen itu dalam hitungan detik sudah menancap di kening Akechi. Lalu dia tumbang bagaikan pohon.

"Heahahahaha!"

Di tengah tawa menyeramkan yang dilakukan Sakamoto, satu pisau tiba-tiba menusuk belakang tubuhnya. Sakamoto segera menoleh ke arah belakang ternyata itu adalah anak yang paling dia benci.

"Kau!" Sakamoto mengambil pisau yang menusuk tubuhnya. "Kau pikir dengan pisau seperti ini, sudah bisa menghentikan diriku?" Senyuman lebar yang begitu mengerikan sangat jelas terukir.

Anak itu mundur ketakutan. Di saat yang sama, Sakamoto mulai berjalan mendekat ke arahnya.

"Akan aku buat kau mendapatkan semua hal yang telah kau lakukan kepadaku!"

"Arrgh!"

Sakamoto lalu mencekik leher anak itu hingga tinggi. Anak tersebut sangat tersiksa, mulut yang menganga dengan mata melotot sebagai bentuk rasa sakit yang sedang dialaminya.

"Hehehe… bagaimana apakah kau merasakan apa yang aku rasakan selama ini?"

Semakin kuat cengkeraman tangan Sakamoto hingga menghimpit pernapasan dari anak laki-laki itu. Melihat wajahnya yang menderita, begitu menyenangkan bagi Sakamoto.

"Wajahmu itu selalu ingin aku lihat. Selama ini kau saja yang selalu melihat wajah menyedihkan diriku. Bagaimana rasanya?"

"S-Sakit!" Anak laki-laki itu menjawab di tengah rasa sakit yang dideritanya.

"Heahaha… benar sekali, itulah rasa yang selalu kau berikan kepadaku! Sakit…." Setelah merasa cukup Sakamoto mengangkat pisau di tangan kanannya.

Seluruh orang menjadi tegang, mereka tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Sakamoto dengan pisau itu.

"Crash!"

Tentu saja, Sakamoto menggunakannya untuk menusuk tubuh anak yang masih tercekik oleh tangan kirinya.

"Arrgh!"

Darah menciprat keluar, hingga membasahi wajah Sakamoto. "Heahaha bagaimana rasanya! Sakit bukan!" Beberapa tusukan Sakamoto lakukan. Robekan kulit bagaikan irama musik yang menyejukkan hatinya. Anak yang merasakan tusukan itu, tidak bisa melakukan apa-apa, bahkan untuk berteriak saja, suaranya tertahan oleh tangan yang masih mencekik lehernya.

Semuanya usai, saat anak laki-laki itu kehilangan napasnya. Sakamoto lalu melepaskan cengkeraman tangannya.

__To Be Continued__