webnovel

Wanita Bergaun Merah

(Ryandra Lim)

Sosok itu muncul kembali di dalam mimpiku. Sosok yang sampai membuatku mengingat jelas. Sosok wanita yang tidak begitu asing dimataku. Wajah pucat, bibir menghitam, begitu gelap dan kelopak mata yang menghitam, seperti orang yang kurang tidur.

Sosok wanita itu terus mematung tak bergerak di ujung lorong yang remang, dengan minimnya pencahayaan. Tapi aku masih bisa melihat jelas sosok wanita itu. Gaun yang dipakainya berwarna merah darah. Berbeda dengan wajah yang memucat, pergelangan tangan itu memerah, seperti dilumuri darah dan kuku-kuku yang sangat panjang sekali. Rambut hitam legam sosok wanita itu disanggul meninggi. Seandainya lebih baik lagi, sosok wanita itu akan sangat cantik sekali. Dan ada hewan melata melilit tubuh wanita itu. Ular kah?

Kakiku melangkah di sepanjang lorong-lorong yang tidak diriku ketahui, di mana aku sekarang? Tidak peduli jika sosok wanita itu berbahaya atau tidak, rasa penasaran yang begitu besar di dalam diriku. Sosok wanita di ujung sana menatapku begitu intens. Semakin jelas aku bisa melihat bola mata sosok wanita itu bercahaya hijau di balik redupnya cahaya.

Satu langkah, dua langkah. Diriku semakin dibuat penasaran dengan sosok wanita itu. Tiga langkah dan empat langkah terakhir, diriku semakin dekat dengan sosok wanita itu. Sosok wanita itu membuka mulutnya, mengeluarkan jeritan yang sangat nyaring sekali. Aku sepontan menutup kedua telingaku rapat-rapat. Suara jeritan itu begitu memekakan telingaku, membuat kepalaku sakit bukan kepalang. Tanpa disadari aku terjatuh ke lantai yang dingin. Hal terakhir yang aku ingat, guratan bibir memerah wanita itu yang membentuk sebuah senyuman dan lidah panjangnya yang menjuntai ke bawah.

***

Aku merasakan dinginnya lantai yang menusuk ke dalam kulitku, tersadar aku sudah tidak berada di lorong remang-remang. Pandanganku mulai membaik dan bisa berdiri kembali, meski kepalaku masih pusing. Aku menengok kesana-kemari. Mata hazelku mengamati ruangan ini.

Mungkinkah aku berada di sebuah gudang, yang entah letaknya berada di mana. Tumpukan kardus-kardus besar berjejer di pinggir. Suara tawa wanita terdengar ditelingaku. Ku palingkan kepalaku, mencari suara tawa wanita itu. Sosok wanita bergaun merah itu lagi, berjalan ke balik tumpukan kardus sambil melambaikan tangannya padaku, dengan senyuman yang begitu menakutkan. Aku mengikuti wanita bergaun merah itu, berjalan ke balik tumpukan kardus. Tidak ada siapa-siapa.

Kemanakah wanita bergaun merah itu pergi, tiba-tiba menghilang tanpa kejelasan. Aku membalikkan badan, terkejut dengan kemunculan wanita bergaun merah itu berdiri di dekatku, dekat sekali denganku. Aku bisa merasakan hawa dingin. Tangan kurus wanita itu terangkat, dengan kuku-kuku jari yang memanjang, menunjuk sesuatu di belakangku. Aku menoleh kembali ke arah yang ditunjuk wanita itu.

Yang aku lihat hanyalah sebuah kain putih yang menutupi sesuatu. Ku palingkan kembali, wanita bergaun merah itu menghilang. Kemana lagi wanita itu pergi. Merasakan rasa penasaran, antara wanita bergaun merah dan sesuatu di balik kain putih itu. Tanganku terangkat, menarik kain itu hingga terlepas.

Sebuah cermin besar terpampang di hadapanku. Aku bisa melihat pantulan diriku di cermin. Tapi, yang membuat mata hazelku membulat terkejut. Ada sosok yang tidak begitu asing, berdiri di belakangku. Berdiri begitu dekat denganku.

Sosok itu. Rambut hitam legam itu, pakaian merah yang dikenakan dan wajah yang tertutup dalam kegelapan. Aku merasakan sesuatu yang aneh, seperti mengenal sosok itu. Ku palingkan kepalaku ke belakang, tidak ada siapa-siapa. Ku palingkan kembali ke cermin, sosok itu masih ada di cermin dan ku palingkan kepalaku kembali, tetapi tidak ada siapa pun. Aku bingung, siapa sosok itu.

Masih penasaran. Ku palingkan kembali kepalaku ke belakang, sosok itu masih tidak ada dan kembali aku menatap cermin. Sosok itu juga tiba-tiba menghilang di cermin. Aku kembali memalingkan ke belakang. Tidak ada siapa-siapa. Saat aku akan melihat ke cermin. Sosok wanita bergaun merah berada tepat di depan mataku. Aku bisa melihat sorot mata hijau dan pekikan suara yang begitu nyaring sekali. Gendang telingaku hampir pecah, menutup kedua telingaku rapat-rapat. Teriakannya nyaring sekali, sampai-sampai membuat kepalaku pusing.

Teriakan nyaring tak hentinya seperti kaset rusak, yang begitu memekakkan telinga.

***

Aku terbangun dari mimpi aneh itu lagi. Keringat mengucur dibalik baju tidurku, sampai-sampai detak jantungku berdetak begitu cepat. Aku masih bisa merasakan, apa yang dilihat seperti nyata. Sosok wanita bergaun merah dan sosok lainnya yang diriku kenal. Tapi siapa? Itu yang menjadi pertanyaannya.

Aku berpaling ke sisi ranjang, melihat jam dinding menunjukkan pukul enam pagi. Kakiku melangkah keluar kamar, berjalan ke arah dapur. Mengisi penuh teko dan memasak air. Aktifitas pagi ku di apartemen, menyiapkan kebutuhanku sendiri. Diriku termenung seperti orang bodoh, dengan kepala yang masih berdenyut sakit. Dari pada menunggu air yang belum matang. Aku berjalan ke arah jendela, membuka jendela selebar mungkin. Mempersilahkan udara segar dan hembusan angin pagi menerpa wajahku.

Jam enam pagi, lingkungan di apartemen ramai lalu lalang orang-orang yang mulai beraktivitas. Melihat dari lantai teratas gedung apartemen. Kepadatan kota Jakarta yang sudah biasa aku lihat, bisingnya kendaraan yang ingin memulai awal pagi. Aku masih sibuk termenung, memikirkan kembali sosok wanita bergaun merah. Sosok yang selama ini selalu membayangiku. Ku ketuk kepalaku dengan tangan, mengenyahkan sakit kepala yang masih saja menyengat kepalaku.

Tersadar dari lamunan. Suara suitan uap teko yang telah mendidih. Aku kembali ke dapur, mematikan kompor dan menyeduh secangkir kopi hangat. Menyesapnya begitu nikmat dan mampu menenangkan diri. Acara sarapan pagi yang singkat. Aku segera memasukkan tugas-tugasku yang sudah aku kerjakan jauh-jauh hari. Merasa tidak ada yang tertinggal lagi. Aku segera mematikan lampu, tetapi tanpa aku sadar ada sosok di balik remang-remang lampu yang menyala, sebelum akhirnya aku menutup pintu apartemen.

Mengambil mobil yang aku taruh di basment. Aku masuk ke dalam dan menyalakan mobil. Mataku tiba-tiba menangkap sosok yang begitu mirip sekali denganku. Entah itu memang mirip denganku atau bukan. Sosok yang aku lihat dari spion mobil, sosok itu menundukkan kepalanya, bahkan wajahnya tidak terlihat karena terhalang rambut hitam legam. Ku palingkan kepalaku, menengok ke belakang. Tapi tidak ada siapa-siapa. Aku kembali melihat sosok itu masih ada dan terlihat di kaca spion mobil, sosok itu duduk di belakangku. Aku kembali menengok, tetap tidak ada siapa-siapa. Aku kembali ke depan lagi, melihat sosok itu sudah tidak ada dan terakhir kalinya aku menengok ke belakang. Memang tidak ada siapa-siapa.

Aku merasakan suara dengungan aneh di telingaku. Seperti sengatan listrik yang menyengat. Sampai-sampai aku menundukkan kepala. Deru napas yang kembali menggebu-gebu. Aku mencoba menghembuskan nafasku perlahan. Merasa sudah tidak ada suara dengungan.

"Ryandra Lim, ada apa denganmu hari ini?"

Pertanyaan itu yang terus aku tanyakan padariku sendiri. Keanehan yang aku alami sebenarnya bukan kali ini saja. Sedari aku kecil, aku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak biasa pada diriku. Tapi, aku selalu menolak keanehan yang aku miliki. Entah itu anugerah atau musibah, siapa yang tahu. Dan sesuatu yang disebut sebuah kekuatan, kekuatan yang tidak dimiliki orang biasa. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki kekuatan itu dan kekuatan itu sudah ada, bahkan sejarah mencatat ada dunia lain yang memilih bersembunyi.

***

Akademik Magis, salah satu akademik paling berbeda di Asia, tepatnya sebuah wilayah yang memiliki ribuan pulau dan satu pulau padat dengan populasi manusia, Jakarta. Tentu saja paling berbeda Akademik Magis ini, karena bukan sembarangan murid yang bisa masuk ke akademik ini. Melainkan mereka-mereka yang unik dan paling berbeda dari kebanyakan orang.

Aku salah satu murid yang memiliki keunikan itu dan aku belajar, berlatih di Akademik Magis, untuk meningkatkan kemampuan yang tidak dimiliki orang biasa. Sebut saja Spirit Magis. Orang yang memiliki kekuatan sihir. Letak Akademik Magis tersembunyi dari jangkauan Non Magis, menyebut orang-orang yang tidak memiliki kekuatan sihir. Aku mengendarai mobil, hingga keluar perbatasan. Lokasi Akademik itu memang tersembunyi, berada di lepas pantai.

Dua buah gerbang besar terbuka lebar, mempersilahkan aku masuk, seketika itu. Tidak ada satpam atau penjaga yang menjaga gerbang. Tidak aneh untuk aku, tetapi akan aneh untuk para Non Magis.

Saat mobilku masuk ke halaman, sebuah gedung besar, arsitektur yang tak kalah megah dan tentunya bersejarah. Hilir-mudik mahasiswa akademik yang keluar-masuk. Aku keluar dari dalam mobil, dengan membawa buku-buku yang lumayan tebal.

Seseorang menepuk bahuku pelan. Aku menoleh ke belakang, ingin melihat siapa yang menepuk bahuku.

"Ryan."

Seorang gadis cantik, berkulit putih dan tinggi hanya sebatas dadaku. Wajahnya imut dan penuh senyuman. Rambut bergelombang yang panjang di biarkan tergerai.

"Eriska, kamu sudah di sini lama?"

Eriska Rosse, dia adalah kekasihku.

"Baru lima menit aku sampai. Ada tugas dari Profesor Theo ya?"

"Ya. Untungnya aku sudah kerjakan semuanya, jadi ada waktu untuk ikut pelatihan."

Aku dan Eriska masuk ke dalam gedung, mengikuti mata pelajaran yang sebentar lagi akan dimulai.