Bukit-bukit, rumah-rumah, pepohonan, juga tiang listrik bergerak cepat melewati kaca jendela gerbong kereta jarak jauh yang tengah melaju. Pemandangan indah itu melenakan sepasang mata cantik berbingkai bulu mata yang tebal lentik bagai kipas penari China. Rambut sebahu berwarna cokelat dan agak bergelombang di bagian bawahnya menjadi bingkai sempurna bagi wajah cantik yang mampu membuat segala insan enggan berkedip.
Gadis itu memegangi sepasang sepatu balet merah muda pudar yang sudah lusuh. Nama gadis cantik itu adalah Emma Hilland, anak tertua dari keluarga Hilland yang memutuskan untuk terbang jauh dari sangkar emasnya. Alunan lagu jazz mengalun pada headset yang tercantel manis di telinganya. Ia larut dalam pikirannya sendiri. Dalam memori-memori ketika ia kecil hingga kejadian-kejadian pahit yang akhir-akhir ini terjadi, semua bercampur aduk bagai adonan yang siap diuleni. Terasa denyutan ngilu pada dadanya, ia sakit, hatinya sakit. Sakit yang sanggup membuatnya bisa menangis, namun harga dirinya terlalu tinggi untuk membiarkan hal itu terjadi.
Masinis menarik rem kereta ketika stasiun tujuan sudah hampir dekat. Perlahan, kereta melambat dan berhenti total di statiun Ren Otis, stasiun terbesar sekaligus menjadi stasiun utama di kota Handway. Emma menguncir rambutnya dengan gaya kuncir kuda dan mengenakan topi basebal untuk melindungi wajah putihnya dari terik sinar matahari. Ia meraih koper kulit besarnya dan menarik gagang koper itu hingga memanjang lalu menarik benda beroda empat itu. Sambil mengucapkan permisi, ia melangkah melewati penumpang lain yang sedang berberes untuk turun dari kereta.
Emma melangkah turun dan menyeret kopernya keluar dari stasiun lalu berdiri di pintu keluarnya yang megah. Ia tersenyum tipis, kota ini indah untuk sebuah kota yang tidak terlalu besar. Mungkin keputusannya untuk pindah ke kota Handway adalah jalan yang tepat. Trimakasih panah Dartboard game yang sebelumnya ia lempar asal pada peta yang ia tempel di papan dan panah itu mendarat di kota ini. Meski tidak sempat mencari banyak informasi mengenai kota ini, namun kota ini sangat layak ditinggali dan memiliki universitas yang cukup bagus juga.
Sebuah taxi biru berhenti di depan Emma setelah ia melambaikan tangannya pada pangkalan taxi di depan. Terlalu malas untuk berjalan kesana, lebih baik membayar lebih sedikit. Sepertinya supir taxi dapat melihat gaya-gaya masyakat kelas atas dari pakaian dan benda-benda yang melekat pada gadis itu.
"Selamat siang." Sapa pak supir begitu keluar dari pintu mobil dan langsung membantu Emma menyimpan kopernya ke dalam bagasi mobil.
"Kemana tujuan anda, nona?" Tanya pria itu dengan ramah.
Emma jadi terbawa suasana positif pria paruh baya tersebut "Aku ingin ke jalan Rose blok enam, pak." ia membaca dari ponsel.
"Baik." Jawab supir.
Sepanjang jalan, Emma memperhatikan keluar jendela untuk melihat-lihat bagaimana kondisi asli kota ini. Seperti yang ia harapkan, kota ini terlihat damai dan rapih. Ada pasar dan banyak mini market. Bisa dibilang kota ini juga cukup ramai dan aktif.
"Maaf, apakah anda pendatang?" Tanya pria itu menyadari sang penumpang nampak bersemangat melihat keluar jendela.
"Eh? Tidak, aku berlibur ke rumah temanku di sini. Tapi ini pertama kalinya aku datang ke kota ini." Jawab Emma bohong. Ia tidak pernah membiarkan orang asing tau dimana ia tinggal. Tinggal seorang diri di tempat asing? Ia adalah sasaran empuk para predator.
"Oh.. Pantas saja kau memandang ke jendela terus. Kota Handway sangat indah, masyarakat disini juga ramah-ramah dan makanannya enak. Semoga kau betah berlibur disini."
"Benarkah? bagus kalau begitu. Kebetulan aku suka jalan-jalan dan hobi ngemil." Tawa emma.
Supir itu turut tertawa girang "Kalau begitu, kota Handway sangat cocok untuk mu, nona!" katanya bagai seorang pemandu tour.
Mobil terus melaju hingga keluar dari keramaian kota menuju ke daerah kawasan perumahan. Sebelum masuk ke kawasan, suatu pemandangan menarik perhatian Emma. Mereka melewati sekelompok pria bertubuh tinggi yang tengah berkerumun. Pria-pria itu terlihat mengenakan sebuah jaket hitam seragam yang bergambar sebuah logo di bagian punggungnya.
"Dasar bocah tidak ada kerjaan! Selalu berkumpul disana!" Gumam pak supir dengan nada kesal.
Emma mengalihkan perhatiannya kembali pada pria itu "Siapa mereka? Apa sekelompok gengster?"
"Gengster? Aku tidak tau julukan apa yang tepat untuk orang-orang seperti mereka. Yang ku tau mereka adalah sekelompok bocah berandal yang tidak punya kerjaan selain berkelahi."
"Jadi.. Mereka bukan gengseter, kan?" Ulang Emma. Ia tidak mau terpuruk dalam hal yang jelas-jelas saat ini ia jauhi. Hidup normal, itulah tujuannya.
"Aku tidak menyebut mereka gengster, karna mereka memang bukan gengster. Hanya sekelompok anak remaja bodoh."
"Oh.. Jadi mereka anak remaja? Tadi aku tidak sempat melihat wajah mereka." Gadis itu bersandar lega. Ya.. Tidak mungkin anak remaja menjadi gengseter dan melakukan pekerjaan gengster.
Mereka pasti hanyalah remaja yang sok kuat dan suka berkelahi seperti anak balita. Hal yang wajar anak seumuran mereka berlomba-lomba unjuk gigi siapa yang paling kuat dan keren. Kehidupan klise kelompok remaja laki-laki.
"Kita sudah sampai, nona." Ujar pak supir menyadarkan Emma dari lamunan.
"Ah.. Baik. Trimakasih." Ia membuka pintu mobil dan keluar dari sana, sementara pak supir mengeluarkan barang-barangnya dari bagasi.
"Terimakasih, nona. Selamat bersenang-senang!" Ucap pak supir sebelum melaju pergi.
Emma tersenyum lebar sembari melambai kecil pada mobil biru yang semakin menjauh itu. Lalu ia membalikan tubuhnya menghadap sebuah pagar tinggi berwarna abu-abu yang terturup rapat.
"Oke! Jadi ini rumahku sekarang. Ku mohon bersikap baiklah padaku, oh rumah baru.."
Emma mengeluarkan sebuah kunci dengan gantungan boneka plastik berbentuk angsa putih cantik dari dalam tas selempang jingganya. Lalu dengan hati-hati ia membuka gerbang besar berdesain kaku itu dan dihadapkan pada sebuah taman kecil asri yang ada di balik sana. Kelihatan sekali bahwa taman itu baru saja dipernish ulang. Sebuah rumah dengan gaya vintage bertengger di sana. Emma tersenyum manis. Begitu manis hingga sepertinya bisa membuat seluruh bunga di taman itu bermekaran.
"Trimakasih Jonas! Kau memang yang terbaik!" Gumamnya.
Ia melangkah masuk ke dalam rumah dan mendapati betapa indah rumah tersebut. Rumah itu tidak besar dengan ukurannya yang sedang. Di dalam tidak terlalu banyak barang sehingga terasa luas dan sejuk. Semua furniturnya baru dan bertema minimalis dengan didominasi warna pastel. Ia benar-benar merasa rumah ini adalah cerminan dari dirinya yang sesungguhnya. Jika dibandingkan dengan rumahnya dulu, tempat ini bagaikan bumi dengan dataran planet Neptunus.
Tidak terasa, ini dalah hari pertama Emma di rumah barunya, kota barunya, dunia barunya. Hari sudah malam ketika ia akhirnya selesai membereskan semua barang-barangnya dan menyulap rumah itu menjadi lebih.. seperti 'dirinya yang sesungguhnya'. Emma mengambil ponsel dan memencet tombol nomor 5 untuk panggilan cepat. Tidak butuh waktu lama hingga telpon itu terjawab.
Emma tersenyum "Rasanya aku ingin memberikan setengah hak warisku padamu."
Pria di balik telpon tertawa "Aku tidak akan menolak. Bahkan rela membunuh untuk mendapatkannya. Tapi kau pasti menyesal nanti."
Gadis itu turut terbahak "Kau masih meremehkanku, ya? Asal kau tau, aku sudah 15 jam berkeliaran di entah berantah dan masih hidup bahkan sanggup tertawa."
"Kalau rumah Barbie itu bisa disebut sebagai entah berantah, bagaimana hutan Amazon ya?"
Lagi-lagi Emma terbahak. Jonas memang paling jago melucu. Perlahan tawanya mereda "Aku ingin mengucapkan terimakasih yang sebesarnya padamu, Jonas." nada bicaranya menjadi serius.
"Tidak perlu berterimakasih. Ini adalah bagian dari pekerjaanku. Jangan lupa, ayahmu telah membayarku sangat mahal."
"Terserah apa katamu.." Sahut Emma seperti biasa. Ia tau pria itu hanya bercanda. Candaan itu selalu ia lontarkan semenjak gadis itu masih kecil.
"Kau yakin bisa bertahan sendirian disana? Perlu ku kunjungi setidaknya seminggu sekali? Atau aku akan mengutus orang untuk membersihkan rumahmu." Tanya Jonas, berusaha menutupi kekhawatirannya dengan nada bercanda.
Emma menggeleng kuat " Tidak! Hey, jangan kau berani-beraninya melakukan hal itu. Aku sudah besumpah pada ayah. Dan yang terpenting aku sudah bersumpah pada diriku sendiri."
"Baik, jika memang begitu maumu nyonya muda. Lalu kapan kau mulai kuliah?" Tanya Jonas.
"Sepertinya lusa." Jawab Emma asal.
"Sepertinya?" Ulang Jonas dengan nada tinggi. "Haruskan aku mengeceknya untukmu, nyonya Emma?"
"Baiklah.. Baiklah.. Aku akan mengeceknya dan mengurusnya. Jangan berani mencampuri urusanku!" Oceh gadis itu.
"Aku berjanji asalkan kau lebih niat mengurus segala hal penting ini, Emma. Apakah ini yang disebut mandiri?"
Emma memutar bola matanya malas "Aku tau. Jadi berhentilah menghawatirkanku. Percayalah, aku bisa melakukannya. Aku itu sama seperti remaja lainnya. Hanya ayah yang membuatku terlihat berbeda. Karena itu, aku akan tunjukan pada kalian dan mencari jalanku sendiri."
Hening beberapa saat dari sebrang telpon "Baiklah. Aku menghargai keputusanmu dan tidak akan mencampuri kehidupan barumu lagi. Tapi ingat, jika kau membutuhkanku.."
"Tekan tombol 5!" Potong Emma membuat Jonas tertawa.
"Aku meninggalkan hadiah untukmu." Ujar pria itu.
"Hadiah? Hadiah apa?" Tanya Emma penasaran.
"Pergi ke dapur, ada pintu berwarna putih di samping kulkas."
Emma bangkit dari ranjangnya dan mengikuti dengan berjalan ke dapur mecari pintu yang dimaksud Jonas. Ia membuka pintu itu dan ada tangga menurun disana. Ternyata itu adalah basement.
"Ada basement?" Tanya Emma menyalakan saklar lampu di samping pintu bagian dalam.
"Ya, nyalakan lampunya dan turun ke bawah."
Gadis itu langsung turun karena memang sudah menyalakan lampunya. Basement itu cukup luas. Mungkin ada sebesar setengah rumahnya. Lantai basement dilapisi kayu dengan dinding berwarna abu terang dan Satu sisi tembok dipasang cermin dari ujung ke ujung. Itu hanyalah ruangan kosong yang luas. Belum berisikan apapun. Emma langsung berpikir ini adalah tempat yang cocok untuk berlatih balet.
"Wah!! Trimakasih Jonas! Aku akan puas berlatih balet disini!" Seru Emma kegirangan.
"Tunggu dulu. Itu masih hadiah kecilnya. Ada hadiah utama di balik pintu berwarna pink." Jawab Jonas seperti menahan tawa.
Emma bertambah senang, langsung berlari ke arah pintu yang dimaksud Jonas ketika melihatnya "Ketemu pintunya. Aku buka, ya?"
"Silahkan."
Emmang membuka pintu itu perlahan dan hadiah dibalik pintu itu benar-benar mengejutkan dirinya, hingga rahangnya menjuntai ke bawah.
"J.. J.. Jonas!! MOK YAN JONG?! Kau serius melakukan ini?!!" Amuknya.
***
* Mok Yan Jong = Boneka kayu berukuran manusia untuk berlatih kung fu / bela diri lainnya.
* Dartboard = Permainan papan sasaran yang digantung dan dilempar dengan panah berujung runcing/magnet
Haiii... Gimana awal ceritanya? Apakah menarik? Kalau iya, mohon support novel ini agar bisa lanjut hingga tamat dengan beri ulasan/review & power stone yah!!
Terimakasih.. ^^