webnovel

THE BIG BOSS BRONDONG

Sinopsis Alex, remaja 16 tahun. Tampan, Tinggi, tapi bermasalah, dikeluarkan dari sekolah, diremehkan dan dikucilkan. Sejak  Ayah dan Ibu Alex meninggal karena kecelakaan. Alex hidup luntang-lantung. Saudara-saudaranya mengusirnya karena Alex bukan saudara kandung mereka. Pria Arab, Waleed Alan Tabarak, mengaku sebagai Ayah kandungnya. Menjemputnya paksa dan menjadikan dirinya sebagai CEO di perusahaan minyak cabang Indonesia. Dia menjadi CEO termuda sepanjang sejarah. Bahkan, Alex harus melanjutkan sekolahnya di SMA meskipun dia seorang CEO. Nama belakang Alex menjadi Alex Waleed Tabarak. Ayahnya merupakan salah satu pangeran Arab yang pernah menikahi perempuan Indonesia. Seketika hidup Alex berubah drastis. IG: @i_karameena

IrmaKarameena · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
23 Chs

Perang Dunia Keempat

11.

Perang Dunia Keempat

~Sebenarnya aku itu tidak bermasalah, tapi sistem dunia yang membuatku bermasalah, tapi sistem dunia yang membuatku terlihat seperti itu. Bagaimana  kalau aku bilang, sistem dunia lah yang bermasalah?~

 

Suara hati Alex saat dituduh maling dan dikeluarkan dari sekolah.

copyright ©irma karameena the novel & the quotes

***

Setelah peluru itu menembus setiap drum-drum kosong. Pria itu membalas tembakan Tomy. Dia juga membawa senjata. Lebih dari itu, senapan besar. Terdengar suara letupan tembakan berjuntai berkali-kali.

"Lari tuan! Lari dari sini! Cepat!" Tomy meneriaki Alex. Alex berlari ke pintu depan dengan cepat.

Tiga bodyguard telah menunggunya. Dan membawa Alex masuk ke dalam mobil. Mereka kembali pulang. Hanya tinggal Tomy dan Marco di tempat itu. Marco masih dalam ikatan. Dan Tomy sibuk saling melepaskan tembakan.

"Berhenti!!" salah satu komplotan itu menghentikan Tomy dan temannya, "bos ingin kita berhenti."

Tomy menaruh pistolnya di sakunya kembali.

"Kau ikutlah ke dalam,"ujar Gama pada Tomy.

Tomy mengikutinya dari belakang.

"Pak Marco!" Tomy segera melepaskan ikatan Marco. Di sana Nando sudah tidak ada. Tomy mencari mereka tetapi mereka juga sudah pergi.

"Kau baik-baik saja kan, Pak?" tanya Tomy.

Marco terlihat lemas. Sekujur tubuhnya luka-luka. Dan pelipisnya mengeluarkan darah. Tetapi dia masih bernafas. Marco masih dalam keadaan sadar. Tomy menggendongnya dan membawanya ke dalam mobil. Dia membawa Marco ke rumah sakit setelah itu.

***

Beberapa menit setelah tiba di rumah sakit.

"Jadi paman mau mencabut laporannya?" tanya Alex saat dirinya datang ke kamar rawat Marco. Kening Marco sedang diperban. Dan beberapa luka juga sudah dibersihkan.

"Bagaimana aku menolak kalau kau ada di sana juga?" kata Marco, "tolong Tuan, jika ada seperti ini lagi. Tuan jangan ikut mencariku."

"Paman dalam bahaya, bagaimana aku hanya duduk di penthouse mewahku itu?!" kata Alex sedikit kesal.

"Hhhh.. Tuan muda... Kami di sini bekerja untuk Tuan. Keselamatan Tuan itu paling penting," kata Marco lagi sambil tersenyum.

Tomy dan lainnya berdiri di sekitar ranjang Marco.

"Aku ingin menambah personel bodyguard," kata Alex, "paman sudah menghubungi keluarga paman kan? Mobil paman juga sudah diamankan kok."

"Tuan muda tak perlu cemas. Pergilah ke sekolah, ini sudah hampir terlambat. Besok, saya pasti sudah bisa menemani Tuan muda lagi."

"Sudahlah, lebih baik paman pikirkan kesembuhan dulu. Jangan mikirin pekerjaan terus," katanya, lalu bangkit dari duduknya.

Alex mengambil ransel yang dia letakkan di samping ranjang Marco. Tomy dan Dori mengantarkan Alex sampai ke sekolah. Sedangkan sisanya tetap menjaga Marco di rumah sakit.

Hari ini mereka bertiga, Yoga, Keenan, dan Cepi sudah dibebaskan. Laporan sudah dicabut. Tetapi, mereka sudah tak bisa lagi melanjutkan sekolah di sana. Sekolah sudah mengeluarkan mereka. Sekolah International Liegue sudah tak menerima mereka. Sudah terlalu banyak catatan hitam yang mereka toreh. Selama ini Pak Arka takut untuk mengeluarkan mereka. Kali ini tidak lagi. Mereka sudah kalah!

"Alex!" Dina memanggilnya lagi.

"Ada apa sih?" Alex malas sekali kalau Dina memanggilnya.

"Bu Dewi ingin kau mendaftar menjadi kandidat ketua osis," kata Dina.

"Hah? Nggak ah! Males banget," kata Alex membuang muka.

Dina menaruh formulir di depan mejanya.

"Isi! Ini perintah!" kata Dina.

Alex membuang kertas itu. Dina memungutnya lagi lalu menaruh di tempat yang sama.

"Aku hanya bertugas!" kata Dina langsung pergi begitu saja.

Alex memandangi formulir itu. Kerjaan di kantor sudah sangat banyak. Sungguh kepalanya suka pening memikirkan masalah perusahaan dan baru-baru ini masalah Marco. Ditambahi jadi ketua osis?

"Alex!" Misca memanggilnya. Alex lelah sekali. Jadi bangkit dari duduknya. Dia menghindari Misca. Dirinya berjalan melewati Misca. Alex keluar dari kelas tanpa memandang gadis manis itu. Padahal dulu Alex sangat menyukainya.

"Berikan uang itu padaku!"

Terdengar suara itu saat Alex hendak ke toilet.

"Cepat! Berikan!"

Alex hafal betul siapa pemilik suara itu. Pupus? Sedang apa dia? Kenapa kerjaannya hanya teriak-teriak saja? Alex berhenti melangkah, memperhatikan Pupus sedang membully seorang gadis kecil lugu.

Gadis itu memberikan uangnya pada Pupus. Kebiasaan Pupus memalak anak-anak lemah di sekolah. Sepanjang dia sekolah, Pupus sudah seperti itu.

"Ingat ya! Kau jangan berani melaporkan ini! Karena aku mau mencalonkan diri sebagai ketua osis! Paham kau!?"

Gadis itu mengangguk dengan lemah. Lalu berlari dengan cepat dari cengkraman Pupus.

"Siapa dia yang bersama Pupus? Kenapa dia diam saja seperti semut kecil yang layak diinjak?" kata Alex pada dirinya sendiri, "dasar Pupus tak pernah berubah!"

Alex kembali ke kelas. Lalu memandang formulir pencalonan diri ketua osis. Entah kenapa sejak meihat sikap Pupus tadi, Alex jadi ingin membuat gadis itu berhenti berbuat seenaknya. Tiba-tiba Alex ingin menjadi ketua osis karena Pupus.

"Orang macam dia harus dikalahkan!" kata Alex lalu dia mengisi formulir itu dengan cepat.

Dina tiba-tiba datang begitu saja kebangkunya.

"Akhirnya kau mengisinya juga," katanya sambil menopang dagu.

"Diam kau!" kata Alex kesal.

"Galak banget sih!" Dina memonyongkan bibirnya.

"Nih, ini kan yang kau minta," kata Alex memberikan formulir itu padanya.

Dina menerima formulir itu dengan wajah msygul. Bukan karena Alex jadi daftar. Tetapi karena penolakan Alex yang terlalu kejam. Hmmmmm... Dina pergi meninggalkannya. Dia menuju ke ruang guru untuk bertemu dengan Bu Dewi.

***

Pupus menghitung uang di tangannya. Dia tampak menabung sesuatu. Dia teringat tentang hutang Abangnya, si Ardhy. Gara-gara dia punya hutang, rumah itu dijual. Dan Pupus terpaksa tinggal di kosan dengan Pras. Karena jarak Toko keluarga sangat jauh dari sekolah, dia tak mungkin juga tinggal di Toko. Apalagi teman-temannya juga sedang suka pamer-pamer barang mahal. Sungguh sangat menyebalkan akhir-akhir ini!

"Pus! Kau mau kan nanti kita berkumpul di starbucks? Kita nongkrong di sana. Abis itu kita belanja seperti biasanya," kata Adila.

Pupus hanya diam saja sambil memasukkan dompetnya ke dalam tas. Mengikuti gaya hidupnya membuat Pupus punya kebiasaan memalak orang. Hampir gila rasanya mengikuti gaya hidup mereka.

"Eh iya, liat deh. Mama aku baru pulang dari Amrik. Aku dibelikan jaket ini tau...! Bagus nggak sih?" kata Tasya memamerkan jaket indah itu.

Mata Pupus jadi hijau, ingin punya juga. Tetapi kondisi keluarganya akhir-akhir ini kurang bagus. Mana mungkin. Sangat jauh panggang dari api.

"Harganya berapa sih?" tanya Adila sambil menyentuh jaketnya itu.

"Jangan tanya deh... dollar! Uang saku kalian sebulan gak akan cukup beli ini," katanya sombong.

"Hoooooo!" suara kekaguman mereka terdengar kompak dan ekspresif. Hanya Pupus saja yang diam saja.  Dia juga terlihat gelisah. Mendengar teman-temannya sosialita begitu, bikin Pupus tertekan.

"Kau akhir-akhir ini jarang naik mobil, Pus?" tanya Kartika.

"Aku ingin olahraga saja," jawab Pupus singkat.

"Oh... bukan karena rumah mewahmu itu dijual ya? Aku sempat melihatnya," kata Kartika.

"Aku pindah sekarang," kata Pupus.

"Dimana?" tanya Kartika lagi.

"Di penthouse,"ujar Pupus sekenanya.

"Wah....!" seruan itu terdengar kompak dan ekspresif. Begitulah mereka setiap harinya. Saling memamerkan dan membanggakan diri. Padahal kenyataan belum tentu seperti yang mereka tampakkan.

Pupus, Kartika, Tasya, dan Adilla memang sudah satu geng dari dulu. Geng mereka diberi nama "Salmon girl". Dan terkenal di seantaro sekolah. Mereka juga cantik-cantik dan sosialita.

"Eh, Pus! Adek lo tuh, Alex, emang beneran dia ganti identitas?" tanya Tasya.

"Ganti identitas?" Pupus mengernyitkan dahi. Dia tak mengerti ucapan Tasya.

"Kan nama dia sekarang Alex Waleed Alan Tabaraq," kata Adilla.

"Kalian jangan ngawur ya? Anak itu bandel! Dia mana mungkin berani ganti identitas," kata Pupus.

"Tapi bener lho, Pus. Lo liat aja di mading. Nama dia ada di daftar calon kandidat ketua osis," kata Kartika sambil berkaca dan memoleskan lipstick dibibirnya.

"Apa? Dia mencalonkan diri sebagai ketua osis??" tanya Pupus berdesis seperti ular. Kalau dia marah memang kadang-kadang seperti ular berdesis.

Ketiga temannya mengangguk kompak.

"Kurang ajar itu Alex! Berani ya dia sama aku!" Pupus langsung bangkit dari duduknya.

Pupus langsung meninggalkan kelas.

"Wah,wah, gawat nih, akan terjadi perang dunia keempat kalau gini," kata Tasya.

"Emang perang dunia ketiganya udah?" tanya Kartika.

"Kan udah sering, Hahaha," kata Tasya tertawa.

Pupus berjalan dengan gaya tomboy dan pemberaninya itu. Dia menuju ke kelas Alex.

"Woiii!!!! Aleeeeexxxx!!!!!"

Suaranya itu selalu lebih keras dari sirine. Alex menutup telinganya kuat-kuat. Gadis sirine sudah datang, batinnya. Alex sudah menduganya. Pupus pasti mencarinya karena dia berani menjadi rivalnya kali ini.

***

 

To be continued...