webnovel

Chapter 1

*Ah... Aku berhasil, kau telah terlahir...*

Terlahir? Aku?

*Selamat datang di dunia*

Ah iya dunia, tapi apakah memang aku hidup di dunia ini?

*Merangkak perlahan, Yap! Bagus, kau bisa merangkak sekarang!*

Merangkak? Iya ini langkah awalku

.

.

.

*Maaf, ini akan menjadi terakhir kalinya, jadi bertahanlah engkau sendiri*

Tunggu... Kenapa kau pergi? Aku merasa tidak tenang, rasanya sakit di sini....

*Wahai anakku...*

.

.

.

*Hey cup cup.... Jangan bersedih, ada apa? Apakah ada yang sakit?*

Suara yang indah, menenangkan...

*Sini ku obati... Nah selesai! Yap jangan menan hugis lagi yah! Lelaki harus kuat!*

Kuat... Kekuatan? Aku harap aku memilikinya....

*Apa? Kau mau menjadi pahlawan... [Tertawa kecil] ya! Tentu saja aku mendukungmu aku sangat senang! Ibu sangat bangga kepadamu!*

Tawa yang indah... Dan dia ibuku? Dia sangat baik...

.

.

.

*Pergilah.... Ini tidak pantas untukmu, maaf, tapi ingatlah aku sangat senang memilikimu*

Lagi?...

Apakah memang ini semua tidak pantas untukku?

.

.

Tidak jangan pergi...

Ibu...

.

.

Ag..

Agr...

Agra...

.

.

.

"AGRA!"

Mendengar teriakan yang keras, ia pun terbangun, namun ia sama sekali tidak merasa terkejut, ia terbangun layaknya seseorang yang bingung, tanpa arah, ia melihat seorang wanita di depannya dengan tatapan mata yang bingung, atau mungkin lebih tepatnya kosong, tanpa ada cahaya sama sekali yang terpancar darinya.

Agra?

Ah iya, namaku, itulah

"Namaku"

Pikirannya keluar melalui mulutnya tanpa ia sadari, wanita di depannya pun terheran-heran, dengan nada yang lebih pelan sekarang, ia berbicara.

"iya itu namamu, kenapa kau ini?"

Dia menghadap lurus ke depan, dan karenanya sekarang ia bisa melihat dengan jelas wanita di depannya, rambut kecokelatan diikat dengan ikat rambut berwarna hitam polos sederhana dengan ikatannya terbaring di bahunya, matanya bulat sempurna dengan warna birunya yang sekarang terpapar oleh sinar matahari sore, namun alisnya selalu mengkerut memberikan kesan yang tegas dan galak, setidaknya hidungnya yang kecil dan mungil menambahkan kesan imut di wajahnya yang kaku, bibirnya yang kemerahan menunjukkan bahwa ia hanya menggunakan lipstik dan kemungkinan bedak sebagai riasannya, itu normal mengingat ia adalah seorang wanita dan bekerja sebagai guru, tentu ia harus menampilkan yang terbaik di depan muridnya kan?

Ditambah dengan blouse putih polos berpita dan rok hitam polos yang melebihi lututnya, beserta sepatu pantofel hitam membuat ia terlihat rapih dan sederhana, namun tetap memberikan kesan sempurna pada dirinya.

"Miss Via?.... Ada apa Miss? Apakah ada yang bisa saya bantu?"

Mendengar respons datar dari murid yang ada di depannya, sang guru hanya bisa menghela nafasnya sebagai bentuk protes atas kebingungan yang sedang ia alami sekarang.

"Kenapa kau ini sih? Miss sudah memanggilmu dari tadi, baru setelah aku berteriak kau terbangun, termenung, dan tiba-tiba membisikan 'itulah namaku', lalu kau menanyakan ada apa? Justru aku yang harus bertanya, ada apa dengan dirimu?"

Agra tidak tahu harus berkata apa dengan guru yang ada di depannya saat ini, karena ia sendiri tidak tahu apa yang baru saja ia alami, keanehan dan fenomena-fenomena yang tidak bisa dijelaskan selalu muncul di dalam alam bawah sadarnya yang tidak lama akan ia lupakan, mungkin itu yang disebut orang-orang mimpi? Ia tak tahu, atau mungkin itu adalah sebuah ingatan? Ia juga tak bisa memastikannya.

"Maaf Miss saya sepertinya sedikit lelah."

Ia menghindar dari pertanyaan yang dilayangkan oleh gurunya, ya tidak sepenuhnya, namun disisi lain ia juga tidak bisa menceritakan hal yang bahkan ia sendiri tidak mengerti kan? Miss via memang guru yang baik dan sangat memperhatikan muridnya, namun ia tidak mau membawa masalah yang berlebih, apalagi jika masalah itu tidak bisa ia selesaikan.

"Dan itu juga yang selalu kau katakan, persis seperti dengan kejadian-kejadian sebelum nya."

Miss Via menatapnya dengan curiga, tidak sepenuhnya percaya dengan jawaban muridnya, namun juga sudah terbiasa mendengarnya. Agra yang tetap kukuh pada pendiriannya memutuskan untuk diam dengan pandangan kosongnya, setelah beberapa saat ia pun memutuskan untuk berbicara, tapi sebelum ia dapat melakukannya, Miss via mulai berbicara lagi.

"Jadi? Apa yang sedang kamu baca?."

Mendengar pertanyaan itu Agra pun tersadar di mana ia berada sekarang dan mulai memperhatikan sekitarnya, sebuah perpustakaan, tidak terlalu besar tidak terlalu kecil pula, sebuah perpustakaan normal yang disediakan untuk para murid sekolahnya, namun karena hari sudah sore, membuat perpustakaan ini sangat sepi, atau lebih tepatnya hanya ada ia dan guru yang sedang menasihatinya karena menetap di perpustakaan di saat hampir seluruh murid sekolahnya sudah meninggalkan sekolah.

Di depannya terdapat meja kayu dengan bentuk persegi panjang yang cukup untuk memuat sampai empat orang dalam satu waktu, sedikit ke samping terdapat tumpukan buku-buku yang sudah ia baca dan di tengah, persis di bagian meja di mana ia beberapa saat lalu terlelap tak sadarkan diri, terdapat sebuah buku yang terbuka halamannya. Agra pun mencoba mengingat kembali apa yang sudah ia baca, namun sebelum ia bisa, Miss Via kembali berbicara sebelum ia bisa mengemukakan pendapatnya.

"The Myth of Sisyphus sebuah karya essay dari filsuf dan penulis Albert Camus. Apakah kamu tertarik dengan sastra dan filsafat? Atau kamu hanya mengagumi kisah dari raja Sisyphus ini?"

Sekali lagi ia tidak bisa menjawab pertanyaan yang dilontarkan oleh gurunya, karena memang ia mengambil buku tanpa berpikir sebelumnya, ia hanya datang ke perpustakaan, berkeliling sebentar dan akhirnya memutuskan mengambil buku secara acak untuk ia baca dan duduk di salah satu meja.

Begitulah kebiasaannya, apapun yang ia lakukan terasa hampa dan tidak berarti, selalu merasa bahwa ia tidak berada di waktu dan tempat yang tepat, semuanya terasa tidak sesuai dengannya, seolah ia adalah satu-satunya yang berbeda, seolah dia tidak berhak berada di mana pun.

Hanya kebiasaannya yang setiap sepulang sekolah menuju perpustakaan dan membaca buku dapat mengalihkannya dari segala keanehan yang terjadi di dalam pikirannya. Buku-buku yang ia baca membuka pandangan terhadap dunia dan isinya, dalam hal ini manusia, dan dengan itu dia juga dapat mengerti dirinya dan alasan dari eksistensinya, atau setidaknya itulah yang ia harapkan.

"Di dalam bukunya ini, Camus menjelaskan konsep 'ketidakjelasan', dia menyatakan bahwa eksistensi dari manusia itu sendiri tidak jelas dan mencari arti di dunia yang tidak berarti adalah hal yang sia-sia, itu semua tergambarkan dalam usaha raja Sisyphus yang dihukum untuk mendorong batu menuju puncak, dan di saat sudah di puncaknya, batunya akan bergelinding kembali ke dasar puncak, mengulang semuanya dari awal... Itu semua menurut saya benar-benar ironis."

Agra pun menjelaskan lebih lanjut buku yang telah ia baca, dia menatap buku itu dengan tatapan kosong, namun entah kenapa dia merasa apa yang di alami raja Sisyphus sama dengan yang sedang ia alami sekarang. Keberadaannya yang bahkan ia sendiri tidak dapat mengerti dan terus mengejar arti dari kehidupannya di dunia yang tak memiliki arti, sungguh ironis.

"Tetapi walaupun itu terlihat sebagai hal yang percuma, raja Sisyphus tetap dapat menemukan kebahagiaan dan arti dari aksi yang ia lakukan kan? Dan dengan itu Camus berpendapat dengan menerima ketidakjelasan dari aksi dan kehidupan kita, pada akhirnya dapat membawa kita untuk menemukan alasan dan rasa kepuasan yang serupa."

Miss Via pun lanjut menjelaskan makna dari buku tersebut, Agra yang mendengarnya hanya bisa lanjut termenung, tenggelam ke dalam pemikirannya, mempertanyakan apakah pendapat Camus bisa menjadi solusi dan jawaban untuk permasalahan Sisyphus? Apakah Sisyphus pada akhirnya benar-benar bahagia? Atau itu hanya kebahagiaan yang dipaksakan muncul akibat situasi yang mustahil untuk lari darinya? Agra tidak tahu, namun yang pasti ia hanya bisa berharap, berharap yang terbaik untuk Sisyphus, dan juga dirinya sendiri.

'One must imagine Sisyphus happy'

.

.

.

*flick* *flick*

Dengan suara jentikan kali ini, Agra pun tersadar, lagi, untuk kedua kalinya di hadapan guru yang sedang menasihatinya, terlihat jelas bahwa kerutan di alisnya lebih dalam dari biasanya, menandakan bahwa ia benar-benar sudah lelah menghadapi kelakuan muridnya yang satu ini, apalagi di waktu yang sudah sore menjelang petang ini.

"Dan kau ulangi lagi renunganmu itu, jika ada masalah ceritakan saja nak, kamu juga boleh langsung menceritakannya ke Miss, lebih baik mengeluarkannya daripada menahannya terus, tidak baik untuk pikiran anak remaja sepertimu."

Kali ini wajahnya melembut, menandakan walaupun ia lelah dengan kelakuan muridnya, rasa kekhawatirannya sebagai orang tua di sekolah telah mengalahkan rasa lelahnya, ia ingin sekali mengetahui apa yang selalu di renungi oleh murid di depannya ini, namun ia tahu bahwa ia tidak akan mendapatkan apa-apa jika dengan paksaan, jadinya ia hanya bisa berharap bahwa suatu hari anak ini akan terbuka padanya, atau dengan orang lain, atau setidaknya membaik dan berhasil memecahkan segala hal yang ia renungkan di dalam pikirannya, ia sungguh berharap, sebagai seorang guru, sebagai orang tuanya di sekolah.

"Tenang saja Miss, saya tadi hanya sedikit termenung akan arti dari buku ini, saya sedikit terkesima dengan pemikiran Camus, itu saja, lagipula diam dan termenung sudah menjadi kebiasaan bagi saya, memang seperti itulah diri saya."

Miss Via pun sekali lagi menghela nafas, terdiam, lalu tersenyum kecil.

"Hah... Yah kuharap karena memang ini sudah menjadi kebiasaanmu."

Agra tetap memasang wajah datarnya, namun ia juga merasa lega ketika melihat gurunya sudah merasa tenang, yah setidaknya untuk sekarang.

"Tapi tetap ingat! Jika ada masalah katakan saja, ini penting untuk masa depanmu dan mungkin juga teman-temanmu, jadi jangan ragu untuk mengungkapkan sesuatu, mengerti?"

Tiba-tiba Miss Via meninggikan suaranya dan mengangkat jari telunjuknya, tatapannya jelas dan tegas namun terlihat kepedulian dan perhatian di dalamnya, melihat itu Agra hanya bisa pasrah dengan anggukan kepalanya sebagai bentuk persetujuannya.

"Baik Miss, akan saya usahakan."

Agra menjawab, sekali lagi, dengan suara yang datar, mengkhianati niatnya untuk terdengar meyakinkan, dan walaupun itu tidak benar-benar jawaban yang di inginkan Miss Via, ia tetap tersenyum pada akhirnya, setidaknya itu cukup untuk sekarang dan kedua pihak sudah mencapai kesepakatan bersama terkait hal ini.

Agra melihat ke sampingnya, melalui jendela besar perpustakaan, matahari bersinar semakin oranye, menjadi tanda ia akan mengakhiri sinarnya untuk hari ini.

"Mungkin ini sudah saatnya Miss pulang, tidak baik untuk seorang wanita pulang pada malam hari dan sendirian."

Agra pun berbalik melihat guru di depannya, dan sesuai dugaannya, itu bukan kata-kata yang bagus untuk di ucapkan, tidak, dia tidak berniat untuk menggoda gurunya sendiri, ia tahu itu tidak etis, ia juga tidak begitu memiliki ketertarikan dengan wanita yang lebih tua, ia hanya ingin mencari basa-basi agar gurunya cepat pulang, namun kini dia sadar, itu adalah langkah yang salah, tidak lebih tepatnya langkahnya sudah benar, namun caranya melangkah yang salah.

"Maaf Miss, saya tidak bermaksud-"

Sebelum ia bisa melanjutkan permintaan maaf nya, suara yang tegas dan sedikit lantang memotongnya, jika bukan karena fakta bahwa perpustakaan ini sudah tidak memiliki pengunjung selain ia dan guru di depannya, mungkin pengawas perpustakaan sudah mengusir mereka, Agra bisa melihat tatapan tajam pengawas perpustakaan di pintu depan, melirik ke arah mereka.

"Aku tahu itu hanya sekedar basa-basi, tetap terima kasih atas perhatianmu, namun aku sudah merasa cukup mendengarnya, sehabis ini kau pulang, Miss beri waktu 5 menit untuk kau rapikan buku-buku ini."

Melihat tidak ada celah lagi untuk membalas, Agra hanya bisa pasrah, ia mengangguk dan mulai mengangkat tangannya untuk merapikan buku-buku yang sudah ia baca.

Agra dengan cekatan menaruh semua buku-buku yang sudah ia baca dengan ke bagian rak yang tepat, dimulai dengan sejarah.

'1453: The Holy War for Constantinopel'

Karya Roger Crowley, sejarah jatuhnya Konstantinopel ke tangan para prajurit Islam Turki, serangan yang di pimpin oleh Sultan Mehmet II dan gurunya Syaikh Aaq Syamsudin.

Dengan tutur penulisannya unik, buku sejarah yang layaknya sebuah novel ini dapat menggambarkan kegigihan Sultan Mehmet beserta pasukannya dalam merealisasikan janji nabi mereka, begitu juga rakyat Konstantinopel yang dengan gagahnya mempertahankan tempat tinggal mereka.

Sebuah peperangan dimana semua pihak membela apa yang mereka anggap benar nan suci dengan segala jiwa dan raga mereka, Islam dengan janji nabi dan tuhannya, dan rakyat Konstantinopel dengan fakta bahwa itu adalah tanah air mereka, namun pada akhirnya semuanya berakhir dengan damai setelah Sultan Mehmet membebaskan rakyat Konstantinopel untuk tetap tinggal tanpa harus mengubah keyakinan mereka.

Jadi... Inikah yang disebut dengan 'perang suci'? Peperangan, sebuah tragedi pertumpahan darah dan kesucian, sebuah keadaan terbebas dari segala hina dan dosa, dua hal yang bertentangan, namun bersatu dalam peristiwa ini, sebuah paradoks yang unik dan mengagumkan.

Sembari mengembalikan buku-buku yang sudah ia baca sesuai dengan tempat dan kategorinya, ia teringat lagi dengan buku sejarah yang baru saja ia baca, memikirkan sebuah paradoksal yang terjadi dalam salah satu peristiwa peperangan terhebat dalam sejarah.

Tanpa sadar Agra pun sudah selesai mengembalikan semua buku sesuai dengan tempat dan kategorinya kurang dari lima menit, terkadang ia terkejut dengan bertapa cekatannya dia, bahkan dalam keadaan otaknya tidak fokus dengan sekitarnya, jangan salah paham, ia bukanlah seorang atlet atau manusia super atau semacamnya, hanya saja ia merasa tubuhnya memiliki insting yang sangat tidak masuk akal.

Sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan hal itu, sebaiknya cepat, tidak baik membuat seorang guru menunggu lama.

Dalam langkahnya menuju ke depan meja pengawas perpustakaan, ia dapat melihat Miss Via yang berbincang-bincang dengan Pak Rafiq, jika ia tidak salah ingat, sang pengawas perpustakaan legendaris, yah itulah yang ia dengar dari teman-temannya, mungkin di karena kan fakta bahwa Pak Rafiq telah menjadi pengawas perpustakaan ini lebih dari dua puluh lima tahun lamanya.

Bahkan Miss Via pun sepertinya menghormati bapak satu ini, terlihat dia melakukan salam layaknya seorang anak ke orang tuanya sebelum menganggukkan kepalanya beberapa kali sebagai bentuk permintaan maaf atas kelakuan dirinya dan muridnya yang membuat 'sedikit' kegaduhan di perpustakaan.

Namun rasa hormat yang di dapatkannya bukan tanpa alasan, tidak hanya karena umurnya yang sudah menginjak lebih dari enam puluh tahun, sifatnya yang bijaksana, tegas, dan peduli membuatnya dihormati tidak hanya di kalangan murid tapi bahkan di kalangan para guru, terutama guru-guru yang lebih muda darinya.

"Maaf ya pak, saya jadi merepotkan bapak."

Melangkah semakin dekat, Agra mulai bisa mendengar percakapan mereka berdua.

"Hahaha, sudah tidak apa-apa, lagi pula bapak juga yang meminta bantuan nak Via buat membangunkan nak Agra, dia kalau sudah tidur di perpustakaan sangat susah di bangunkan."

Balas Pak Rafiq dengan tawa dan nada yang lembut, Agra bisa melihat Miss Via hanya bisa tertawa kecil mendengar balasan Pak Rafiq.

"Huff... Emang pak, ia itu susah sekali buat di ajak bicara, yah bukan berarti dia anak bandel atau bagaimana, tapi sebagai guru pasti mau mengerti muridnya sendiri agar bisa memberikan yang terbaik kan?"

Agra berjalan semakin dekat, Pak Rafiq yang terduduk di belakang meja pengawas sudah pasti menyadari kedatangannya yang memang berjalan ke arah meja pengawas, namun ia tidak mengatakan apa-apa dan lanjut berbincang dengan Miss Via, sepertinya ia mengira aku ingin sedikit mencandai dan mengagetkan guru yang sedang berbincang santai dengannya.

Di sisi lain, Miss Via yang sedang asyik mengobrol dengan Pak Rafiq benar-benar tidak tahu apa yang akan mendatanginya, tidak tidak, Agra tak berniat untuk mengagetkan gurunya, ia tidak setega itu, apalagi Miss Via sudah capek-capek datang ke perpustakaan untuk membangunkan dan menasihatinya, ia hanya akan memanggil Miss Via untuk melapor bahwa ia sudah selesai merapikan buku-bukunya, meminta maaf, lalu pamit pulang, selesai.

Namun sepertinya harapan berbeda dengan kenyataan.

"Permisi-"

"HYA!"

Miss Via mengeluarkan suara melengking yang sangat feminin sebagai respons dari keterkejutannya.

"Maaf?"

Agra tanpa sadar hanya bisa mengucapkan permintaan maaf, dia benar-benar tidak menyangka Miss Via akan mengeluarkan reaksi seperti itu.

"Hahh... Oh ternyata kamu Agra, kamu ini buat miss jantungan tahu!"

Miss Via pun berbalik badan dan di hadapkan oleh Agra yang berdiri tidak jauh darinya, terlihat dengan jelas rasa lega di wajahnya.

"Maaf Miss, saya hanya ingin memberitahu Miss jika saya sudah selesai dan pamit untuk pulang."

Sekali lagi Agra meminta maaf, melirik ke samping, ia bisa melihat Pak Rafiq mengeluarkan senyum kecil, melihat itu Agra hanya bisa menghela nafas.

Sepertinya ini menjadi suatu hiburan untuknya, tak kusangka Pak Rafiq bisa jahil juga

begitulah pikirnya dalam hati.

"Yah nak Via penakut juga ya..."

Lanjut Pak Rafiq mengomentari, terlihat senyumnya semakin melebar.

"Sa-saya hanya terkejut sedikit kok, lagipula siapa coba yang tidak kaget jika di kejutkan dari belakang seperti itu?"

Miss Via berbicara dengan sedikit terbata, berusaha menahan rasa malunya. Sementara itu Pak Rafiq hanya bisa tertawa kecil melihat respon Miss Via, ia lalu menoleh ke arah Agra.

"Jadi bagaimana hari ini? Menemukan sesuatu yang menarik untuk dibaca, atau ada hal lain yang lebih menarik selain membaca di perpustakaan tua ini?"

Mendengar pertanyaan itu, Agra menjawab dengan jujur sesuai dengan apa yang ada.

"Sama saja seperti biasa pak, oh mungkin ada dua hal yang sedikit menarik hari ini."

Agra pun mengingat kembali apa yang membuatnya tertarik.

"Oh apa itu? Sejarah? Politik? Science?"

Pak Rafiq pun mencoba untuk menebak-nebak, ia sepertinya bersemangat mengetahui apa yang membuat pelanggan setia perpustakaannya tertarik.

"Kali ini sebuah kisah dari mitologi Yunani, tentang seorang raja yang dihukum, Sisyphus."

"Hee... Mulai merambah ke mitologi ya... Baiklah, mungkin bapak akan meminta pak kepala sekolah untuk menambah lebih banyak buku-buku mitologi."

Mendengar hal itu, Agra pun langsung membalas.

"Tidak usah repot-repot pak."

Namun Pak Rafiq dengan santai membalas penolakan Agra.

"Haha, gak apa-apa kok nak! Lagipula kamu ini pelanggan setia perpustakaan ini, karenamu lah semakin banyak anak yang tertarik mengunjungi perpustakaan, jadi anggap saja menambah stok karena sudah makin banyak pembeli kan?"

Agra tidak menyangka teman-temannya mengikuti kebiasaannya juga, yah walaupun tidak banyak, tapi tetap saja Agra sedikit terkejut bahwa dirinya dapat memberi pengaruh kepada orang lain.

"Baiklah jika bapak dan pak kepala bersedia, sepertinya akan bermanfaat juga untuk mereka semua."

Agra hanya bisa menghela nafasnya, namun di dalam hatinya, ada sedikit rasa lega dan senang, apakah karena akan mendapatkan buku baru untuk dibaca? Atau karena kebaikan pria dihadapannya, ia masih tak tahu.

"Kalau begitu... Saya permisi dulu pak, Miss, selamat sore."

Agra memutuskan untuk pamit lebih dahulu, sebelum pergi ia tidak lupa untuk bersalaman dengan kedua gurunya.

"Ya ya hati-hati."

"Baik nak, hati-hati ya."

Agra pun berbalik dan berjalan menuju pintu keluar perpustakaan, walaupun orang-orang yang bertatapan dengannya akan merasa bahwa Agra adalah anak yang lesu dan lemah, namun langkahnya berkata sebaliknya, ia dengan tenang namun pasti nan tegas berjalan dengan suara yang minimum, jika kau tidak memperhatikan dengan seksama kau mungkin tidak akan menyadari ia menghampirimu.

"Hahh... Anak itu, selalu bikin khawatir..."

Kali ini giliran Miss Via menghela nafasnya sambil memandang Agra yang berada di kejauhan.

"Hmm... Yah anak itu memang sesuatu, dia memiliki hal yang sepertinya tidak bisa dibicarakan begitu saja."

Pak Rafiq ikut mengkomentari anak yang baru saja berpamitan dengan mereka berdua, ia juga meraba-raba janggutnya yang sudah mulai memutih karena usia.

"Bapak juga merasa seperti itu?"

Miss Via berhenti menatap Agra yang memang sudah keluar melalui pintu perpustakaan dan berbalik menghadap Pak Rafiq, ia bertanya apakah Pria tua di depannya juga merasakan apa yang ia rasakan di hatinya.

"Hahaha... Yah begitulah, jangan terlalu diambil hati, hanya pandangan seorang pria tua."

Pak Rafiq menjawab dengan tawa, tidak ingin guru muda di depannya bertambah kekhawatirannya.

.

..

...

Agra berjalan perlahan, tatapannya lurus ke depan, suasana sekolah pada jam petang benar-benar sunyi, ini dapat dimaklumi karena memang sekolahnya sangat ketat terhadap persoalan jam kepulangan, jadi normal apabila area taman sekolah yang sedang Agra lalui sekarang sangat sepi, mungkin satu-satunya tempat yang masih ramai dengan suara-suara para murid adalah gelanggang olahraga, memang ekskul basket dan sepak bola sangat ketat dengan pelatihannya, sehingga tak mengherankan jika mereka akan pulang selama ini.

*WOOSHH

Angin bertiup, ia mendongakkan kepalanya, menghadap langit yang dipenuhi awan sore, diterangi oleh matahari yang sebentar lagi akan mengakhiri tugasnya hari ini.

"Pulang dek?"

Suara dari samping memanggil, kini suara seorang pria paruh baya, Agra pun menarik pandangannya ke samping, menatap ke arah suara, benar saja sesuai suara yang terdengar, berdiri seorang pria yang jika dilihat dari perawakannya berumur sekitar 40 sampai 50 tahun.

"Ah Pak Deden, selamat sore pak."

Agra pun menghampiri sang pria yang sedang menyapu, ia mengulurkan tangannya dan bersalaman dengannya.

"Mau bantu-bantu para OB lagi dek?"

Pak Deden bertanya kepada Agra dengan nada bercanda, memang sudah menjadi kebiasaan bagi Agra untuk pulang sore bahkan menjelang petang, ia bahkan terkadang menyapu taman, yang tentu saja sangat membantu pekerjaan para OB, oleh karena itu ia memiliki hubungan yang baik dengan para OB.

"Maaf pak, sepertinya tidak untuk hari ini, Miss Via sudah menegur saya tadi di perpustakaan."

Merasa ia tak bisa menjalankan apa yang ditanyakan, Agra pun menundukkan kepalanya dan meminta maaf.

"Wess, santai saja, bapak cuman bercanda kok, lagian ini emang kerjaannya bapak sama yang lain, gak apa-apa."

Pak Deden menjawab lagi dengan nada bercanda, ia sejujurnya masih bingung kenapa Agra sering pulang sore hari sekali dan bahkan terkadang rela menyapu taman, tapi ia tidak terlalu memikirkannya dan hanya beranggapan memang Agra ini adalah anak langka yang memiliki hati suci, berbeda dari yang lain, salah satu yang terunik, atau memang dia tidak memiliki hal yang perlu di kerjakan di luar kegiatan sekolah. Lagi pula kalau ada yang ingin membantu secara suka rela kenapa ia harus menolak?

"Yasudahlah, cepat-cepat pulang, nanti kalau Bu Via kesini dan tahu kamu masih disekolah, saya bisa kena semprot juga."

"Baik pak, saya duluan ya."

"Iyoo, hati-hati, langsung pulang, jangan keluyuran gak jelas."

Agra pun berbalik dan lanjut melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah, matahari sudah semakin oranye, dan langit bagian timur sudah mulai memperlihatkan gelapnya malam, menjadi pertanda bahwa Agra harus segera pergi meninggalkan sekolah atau tidak ia akan ketinggalan bus yang akan membawanya pulang.

Jarak antara sekolah dan stasiun bus tidak terlalu jauh, karena memang sekolah Agra berlokasi di perkotaan serta bertepatan persis di samping jalan nasional atau jalan tol dan sebelum jalan tol terdapat jalan raya yang besar dipenuhi kendaraan berlalu lalang.

Setelah keluar gerbang ia hanya perlu berjalan ke arah kanan selama beberapa menit hingga sampai di lampu merah jalan raya dan stasiun busnya terletak persis di seberang jalan raya, jadi ia hanya perlu menunggu dengan tenang hingga lampu hijau untuk para kendaraan berubah menjadi merah.

Bunyi klakson menggema sepanjang jalan, asap-asap dari berbagai kendaraan kecil maupun besar memenuhi jalan yang dilewati, ramainya kendaraan lalu lalang menyebabkan sedikit kemacetan di beberapa wilayah jalan, jalur pejalan kaki pun juga terasa penuh dan ramai, tidak sedikit pula orang yang memilih untuk tidak menggunakan kendaraan pribadi, kemungkinan dikarenakan sebuah proyek yang baru saja diimplementasikan oleh pemerintah, yakni perombakan dan penambahan terkait transportasi umum secara besar-besaran, terlihat dari semakin banyaknya stasiun kereta dan bus.

Agra berjalan di antara kerumunan, berpapasan dengan berbagai macam orang yang ia tak kenal, namun sesekali ia memperhatikan wajah serta gerak tubuh orang yang ia lewati, dengan sekali tatapan singkat ia bisa tahu bagaimana keseharian mereka berjalan, tidak peduli apakah mereka memperlihatkannya dengan jelas di wajah mereka ataupun mereka tutupi dengan wajah datar mereka, tetap akan ada sedikit perubahan, sekecil apa pun itu dan Agra dapat melihatnya dengan sangat jelas, mulai dari bagaimana tatapan mereka, cara bernafas mereka, apakah tenang berirama atau lebih cepat dari biasanya, kerutan yang ada di samping bibir mereka, postur tubuh mereka, serta bagaimana cara mereka berjalan dari suara hentakan kaki mereka. Bahkan terkadang Agra bisa menebak-nebak masa lalu dari orang yang ia amati dalam waktu singkat, apakah orang tersebut memiliki trauma atau pernah melalui pelatihan khusus dengan fisik mereka.

Sebagai contoh, saat ini Agra sudah sampai di lampu merah yang ia tuju, hanya tinggal menunggu untuk menyeberang dan ia akan sampai ke stasiun bus di sisi lain jalan raya. Ia melirik ke samping, melihat seorang pria paruh baya, dengan tinggi yang sama dengan dirinya, memakai kemeja putih cerah dan rapi, diselaraskan dengan celana berbahan tenun berwarna hitam, serta sepatu pantofel berwarna cokelat mengkilap.

*Sekilas, ia terlihat berdiri lurus tegap dengan mata tajam melirik ke depan, namun jika dilihat lebih teliti, terlihat bahunya sedikit menurun, tatapannya sebenarnya kosong, dan sesekali ia menghelakan nafas, tubuhnya juga lebih terlihat kaku serta tegang daripada lurus dan tegap. Ya dia melamun, sepertinya masalahnya cukup berat, dilihat dari pakaiannya... Pekerja kantor? Atau mungkin guru, yang berarti kemungkinan masalah hutang, berita akhir-akhir ini sedang dengan gencarnya memberitakan pinjaman online.*

Begitulah pikir Agra setelah melirik pria di samping kanannya selama sesaat, lalu ia melirik lagi ke samping kirinya, terlihat seorang wanita, sedikit lebih pendek darinya, rambut hitam pendek dengan model potongan bob, mengenakan cardigan hitam dan celana hitam polos serta tas selempang berwarna hitam.

*Sepertinya ia habis menangis, walaupun sudah tidak terlalu terlihat, sedikit lebam di matanya dan nafasnya yang masih sedikit tersendat, serta suara yang serak, cukup menjadi bukti, sakit hati mungkin?*

*Baiklah cukup, bukan masalahku juga, tinggal menunggu dengan tenang sampai-*

*Bug

Tiba-tiba seorang pria dari belakang menabrak bahu Agra, renungannya pun terhenti seketika, ia menghadap ke depan, memerhatikan punggung orang di depannya sambil mengusap pundaknya yang baru saja terbentur.

Ia memiliki bahu yang lebar, tinggi yang hampir mencapai dua meter, serta tangan yang besar, Agra juga sempat sekilas melihat perawakan orang tersebut, kulit yang putih, berbeda dengan orang-orang Asia pada umumnya dan juga mata berwarna biru serta rambut berwarna kecokelatan.

*Benturannya cukup keras, tubuhnya kuat dan juga terlatih.*

Agra lanjut merenung, kali ini menganalisa pria yang baru saja membentur pundaknya.

*Posturnya juga, kali ini benar-benar lurus dan tegap, berbeda dengan pria yang ada di samping kananku, tidak ada ketegangan sama sekali, seolah-olah ia siap dengan apa pun yang akan datang kepadanya, lalu dari perawakannya, sepertinya ia warga negara asing, seorang tentara pula, mantan mungkin, entahlah, tetapi jika melihat dari postur, kekuatan, serta luka yang ada di wajahnya, terdapat kemungkinan, namun yang paling tidak membuatku tenang adalah tatapannya, itu bukan tatapan seorang turis asing yang datang untuk bersenang-senang.*

Agra terus merenung tanpa sadar bahwa ia sudah memandangi pria tersebut selama beberapa saat, sang pria pun merasa sedang diawasi dan mencoba melirik ke belakang, namun untungnya sebelum Agra tertangkap basah, ia langsung kembali melirik lurus ke depan.

*Fuhh... Hampir saja*

Agra menghela dalam hati dan memutuskan untuk menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi merah untuk menyeberang, tak lama kemudian mobil-mobil pun berhenti, memberi kesempatan bagi pejalan kaki untuk menyeberang.

Akhirnya Agra sampai di stasiun, beruntungnya ia karena busnya belum pergi meninggalkannya, dengan sedikit berdesakkan, ia akhirnya berhasil masuk. Ia berjalan perlahan di dalam bus, mencari kursi yang masih tersedia dan lebih baik lagi jika ia dapat duduk sendiri.

Tanpa lama akhirnya Agra menemukan kursi yang tepat untuknya, sebuah kursi kosong di samping jendela dan Agra dapat pastikan bahwa ia akan duduk sendiri kali ini, karena kursi di sampingnya terlihat sangat kotor serta terdapat remah-remah keripik kentang, pastinya orang-orang tak mau menduduki kursi seperti itu.

Merasa sudah menemukan keberuntungannya di bus ini, Agra tak menyia-nyiakan kesempatan dan langsung bergerak ke kursi idamannya, namun ia terhenti sejenak setelah melihat seseorang yang berada persis di belakang barisan kursi yang akan ia duduki, kali ini ia bisa sedikit lebih jelas melihat penampilan dan ekspresinya.

*Huh... Ternyata ia menaiki bus yang sama, dan sekarang melihat wajahnya dari depan, bisa dibilang, ia terlihat lebih menakutkan dari sebelumnya.*

Sambil merenung Agra perlahan duduk di kursinya, namun renungan itu tak berlangsung lama karena setelah ia memalingkan wajahnya, memandangi keluar jendela bus, semua renungannya terhenti dan ia memutuskan untuk menikmati pemandangan yang disuguhkan kepadanya.

Setelah sepuluh menit berjalan, bus berhenti lagi di stasiun dan penumpang-penumpang baru mulai masuk memenuhi bus, mereka mulai mencari kursi untuk duduk, ada pula yang memilih untuk berdiri.

Ada satu orang yang memutuskan untuk duduk di kursi persis di depan barisan kursi yang Agra duduki, seorang pria dengan perawakan tinggi dan memiliki kulit hitam serta bergaya rambut afro, gerak-geriknya sangat aneh, sebelum duduk ia berdiri di samping selama beberapa saat, ia terlihat memegangi sesuatu di balik sakunya, tubuhnya bergetar, tangannya berkeringat, bola matanya bergerak ke segala arah, ia benar-benar terlihat panik, namun kepanikannya menghilang sejenak saat tiba-tiba si pria misterius yang duduk di belakang kursi Agra berdeham.

Agra yang sedang menatap ke arah jendela tak terlalu memperhatikan kejadian tersebut, ia hanya melirik ke arah sang pria berkulit hitam yang terlihat panik, lalu mendengar suara batuk pria misterius yang sebelumnya menabrak bahunya, dan beberapa detik kemudian melihat pria berkulit hitam itu duduk, sehingga Agra tak terlalu memikirkan apa yang ia lihat dan dengar.

Bus lanjut berjalan, lajunya semakin cepat, Agra melihat ke luar jendela, melihat gerbang jalan tol yang semakin mendekat, sepertinya sang sopir memutuskan untuk menggunakan akses tol untuk menghindari kemacetan.

Laju semakin kencang, tidak adanya hambatan di jalur tol membuat sang sopir lebih berani menancapkan gas, suasana di dalam bus cukup ramai, walaupun begitu suasana tetap tenang, hanya terdengar sedikit suara cekikikan bayi yang pelan dan suara seorang wanita yang berbicara dengan nada canda ria, interaksi antar ibu dan bayi yang normal.

Agra menerima ketenangan dan kesunyian dalam bus, walaupun sang ibu dan bayi ada di barisan kanan samping kursinya, ia sama sekali tak terganggu, malahan itu menjadi sebuah keindahan sendiri bagi telinga Agra, mendengar sang ibu dan anak bercanda dengan bahagianya, momen-momen seperti inilah yang membuat Agra menjadi merasa ia menginginkan sesuatu yang tulus dan dapat membawa kehangatan.

Ketenangan itu sedikit terganggu oleh suara keras batuk seorang pria yang tiba-tiba, Agra pun merasa sedikit terganggu, bukan karena ia tak bisa memaklumi kondisi orang lain, tapi karena ia tahu itu batuk yang di sengaja, ada dua alasan yang jelas di pemikirannya, pertama batuk pria tersebut sangat keras seolah-olah ia ingin batuknya terdengar jelas dan alasan kedua adalah batuknya seperti memiliki tempo, simpelnya, seseorang yang tak sejeli Agra pun tahu bahwa itu adalah batuk yang dibuat-buat, apalagi batuk itu di hasilkan oleh pria sama yang menabrak bahunya, walaupun memang ini terdengar lebih seperti asumsi tanpa alasan yang jelas serta dendam pribadi, namun Agra percaya kepada intuisinya, dan intuisinya mengatakan bahwa pria ini berbahaya.

*DOR!

Tembakan dilepaskan ke arah langit-langit bus, menghasilkan suara yang memekakkan telinga seluruh penumpang, Agra yang mendengar suara terkaget dan tubuhnya sedikit meloncat dari kursi, namun ia segera menenangkan diri serta memposisikan dirinya ke postur yang lebih siap.

"TETAP DUDUK TENANG DAN TIDAK ADA YANG BERDIRI, MENCOBA HAL BODOH, MAKA PELURU INI AKAN MENEMBUS KEPALAMU!"

Sekarang Agra tahu apa yang disembunyikan sang pria afro di balik sakunya, ya itu adalah sebuah pistol. Ternyata itu yang membuatnya gugup saat baru memasuki bus, karena memang ini aksi yang sangat nekat.

"NYETIRNYA YANG BENAR ATAU PELURU INI TEMBUS KEPALA KAU!"

Terdengar suara seorang pria dari posisi depan bus, dengan logat yang sama seperti pria yang baru saja menembakkan pistolnya ke langit-langit.

*Ternyata ada dua... Aku tak menyadarinya, sepertinya aku terlalu fokus dengan pemandangan, tapi yah, aku juga tidak bisa melihat yang satunya jika ia langsung memilih tempat di bagian depan bus dekat si sopir, itu normal, satu menjaga para penumpang, satu menjaga sopir, walaupun kata menjaga sepertinya kurang tepat mendeskripsikan situasi ini*

Bus sempat menjadi kacau, namun perlahan-lahan kembali tenang tanpa suara, sang sopir juga sudah berusaha sebaik mungkin untuk tenang dan mengikuti perintah salah satu dari mereka, namun ketenangan ini tentu tidak seperti sebelumnya, kali ini semuanya diam membisu karena kepanikan, ketegangan dan mungkin beberapa karena trauma mendengar suara tembakan dan teriakan sekencang itu di ruangan tertutup.

Namun sayang, segala kejadian ini menjadi semacam pemicu, hasilnya bayi yang di gendong oleh wanita di samping barisan kursi Agra mulai menangis, sang wanita yang memang ibunya tentu segera dengan panik berusaha menenangkan bayinya, karena pasti instingnya sebagai ibu tahu akan bahaya yang segera datang ke hadapannya anaknya dan dirinya.

"Uekk!"

"Sshh...sshhh, pok ame ame belalang kupu-kupu, jangan nangis ya nak-"

"Suara apa lagi ini! Udah dibilang diam dan tenang kan kau semua!"

Pria berambut afro tersebut mulai melangkah ke arah sang ibu dan bayi, menggenggam pistolnya dengan erat.

"Ja-jangan, saya mohon! Anak saya masih ba-"

Melihat pria tersebut mendekat, sang ibu langsung berbicara dengan wajah yang panik dan suara terbata-bata, namun sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, suara pukulan keras terdengar.

*BUGH

"AH BANYAK BACOT!"

"Ma-maaf pak, mohon.."

Sang ibu langsung tersungkur di kursinya, namun tetap bersikukuh untuk melindungi bayinya setelah di pukul dengan keras menggunakan gagang pistol, terlihat beberapa tetesan darah yang mengucur dari mulut dan hidungnya, hasilnya adalah tangisan sang bayi yang semakin kencang.

Dan si pria berambut afro, seolah-olah tersihir oleh tangisan si bayi, menjadi semakin menggila dan lanjut memukuli sang ibu yang tak berdaya, ia menarik serta menjambak rambutnya, menggeret tubuh sang ibu sampai terjatuh dari kursinya dan terkapar di tanah, namun itu belum cukup, karena ia lanjut memukuli sang ibu dengan gagang pistolnya.

Suara daging dan tulang yang dipukuli sampai remuk, beserta cipratan darah yang keluar darinya terdengar ke setiap sudut bus, suara itu berlanjut selama beberapa menit, hingga terdengar suara kepala seseorang terjatuh.

Agra memperhatikan kejadiannya dari awal sampai akhir, bagaimana sang ibu diseret ke lantai bus, lalu tanpa ampun dipukuli berkali-kali sampai wajahnya hancur dan sulit dikenali, darah yang awalannya hanya beberapa tetes sekarang mengucur deras dari bagian wajah dan kepala sang ibu, momen finalnya adalah setelah di siksa selama kurang lebih dua menit, si pria afro akhirnya melepaskan jambakan di rambut si ibu yang membuat kepalanya terjatuh bebas dan mengenai genangan darahnya sendiri di lantai bus, menghasilkan suara layaknya saat kau menginjak genangan air di jalan setelah hujan.

"Ueekk!"

Itu semua percuma karena sang bayi lanjut menangis bertambah keras setelah melihat ibunya terkapar di genangan darahnya sendiri.

"Agh! Masih aja berisik kau!!"

Si pria sekarang beralih ke sang bayi setelah selesai menyiksa sang ibu, ia mulai menodongkan pistolnya ke arah si bayi, bersiap untuk menembak.

Agra tentu ingin menolong, tapi ia lebih mementingkan kesempatan dalam menjalankan aksinya, ia ingin bergerak sedari tadi untuk menghentikan sang pria, namun tubuhnya seolah menahan dirinya sendiri dengan sangat kuat, sehingga Agra hanya bisa menunggu kesempatan emas datang dan baru setelahnya langsung menyerang si pria afro.

Dan sepertinya dunia mendengar kata hatinya, karena setelah ia berharap kesempatan pengalihan muncul, salah seorang penumpang pria berdiri dari duduknya, dengan gemetaran ia menatap ke arah si pria afro dan berteriak.

"WOI HITAM! SINI KAU LAWAN MU ADALAH AKU, KAU LELAKI KAN!"

Agra pun teringat, ia adalah si pria di samping kanannya saat menunggu di penyeberangan, si pria yang terlihat sedang di awal fase depresi, mengambil keputusan seperti ini, sepertinya ia ingin menyerahkan hidupnya untuk menyelamatkan sang bayi.

Namun Agra tak bisa merenungkan hal itu terus dan membuang kesempatan, ia memutuskan untuk membuka tasnya perlahan, sebisa mungkin tanpa suara dan mengeluarkan sebuah benda tajam, tidak-tidak, Agra bukan penjahat, ini adalah benda yang pasti digunakan oleh setiap siswa selama tahun sekolahnya, gunting.

"APA MAKSUD KAU BAJ**GA*!"

Si afro berbalik menghadap ke pria yang menghina perawakannya, ia dengan emosi yang memuncak mengarahkan pistolnya ke si pria, melihat kesempatan karena si afro membelakanginya, Agra langsung memutuskan untuk melancarkan aksinya, namun sayang karena medannya yang sempit, ditambah genangan darah membuat mengakibatkan langkah Agra menjadi kacau dan menimbulkan suara berlebih.

Si afro menyadari ada seseorang di belakangnya pun segera berbalik, namun naas ia terlambat, karena sesaat ia memutar tubuhnya, Agra langsung menggenggam tangan yang ia gunakan untuk menodong pistol dan langsung menusukkan guntingnya di pergelangan tangan si afro, dia pun langsung berteriak kesakitan dan secara refleks menjatuhkan pistolnya.

"AGH! Sialan!"

Dia pun langsung menunduk dan memegangi tangannya yang tertusuk, guntingnya bahkan tetap tertancap saat ia mencoba menariknya, membuktikan betapa dalam tusukannya, rasa sakit seketika menjulur ke seluruh tangannya, mengambil kesempatan itu, Agra langsung mendengkul perut si afro dengan lututnya beberapa kali hingga ia tersungkur, lalu di tambah dengan pukulan keras di rahangnya sebagai pelengkap.

"Woi Jo! Kenapa berisik sekali di sana!"

Si pria satunya, yang ternyata memiliki perawakan yang lebih tinggi serta kepala yang mulus tanpa sehelai rambut pun memanggil rekannya si afro setelah mendengar kebisingan yang terjadi.

"Ah begini saja tak benar kau!"

Melihat sang pria yang sudah mengulurkan waktu untuk Agra dan Agra sendiri yang berdiri di atas si afro yang sudah terkapar, si botak langsung membidik pistolnya.

*DOR DOR DOR

Tiga tembakan langsung di lepaskan tanpa ragu, membuat seluruh penumpang yang masih terduduk ketakutan semakin ketakutan dan merundukkan kepala mereka, Agra berhasil menghindar serta melindungi sang bayi ke barisan kursi di samping kanannya, namun naas dua peluru yang di tembakkan mengenai punggung dan leher sang pria bahkan sebelum ia bisa bergerak sedikit pun, tubuhnya langsung terjatuh dan terkapar lemas, darah langsung mengalir deras dari bagian lehernya.

Agra dapat mendengar rengekan serta tangisan para penumpang bus yang ketakutan, terutama yang paling terdengar adalah dua siswi di kursi belakang, melihat dari seragamnya, mereka adalah murid dari sekolah yang sama dengan Agra, tapi bukan saatnya Agra memikirkan mereka berdua, Agra harus mencari cara untuk mendapatkan bantuan, karena tak mungkin ia menetralisir situasi sendirian di tempat sempit seperti ini dan dengan bus yang sedang memacu lajunya di jalan tol.

Ia mencoba mencari hal untuk mengulur waktu, hingga tiba-tiba seorang pria kekar berdiri, lalu menerjang ke arah si botak dari sisi samping sambil berteriak, berbicara soal kesempatan, sepertinya kali ini dunia mendukungnya atau memang si pria berotot itu cukup jeli dan dapat mengerti situasinya.

"DASAR TERORIS BRE**S*K!"

Ia menerjang si pria botak dan tanpa basa basi langsung memukul wajahnya, namun si botak dapat menahan pukulannya dan juga langsung melancarkan pukulannya ke perut si pria berotot, si otot juga berhasil menahannya dengan baik, ia juga berhasil menggenggam dengan erat salah satu tangan si botak, sehingga ia tak bisa membidik dengan tepat, mereka terus berbagi serangan selama beberapa saat, si botak juga sempat menembakkan pistolnya beberapa kali, namun si otot berhasil mengelakkan bidikannya, sehingga tembakannya meleset ke langit-langit dan jendela bus, namun situasi ini tak bertahan lama, karena si otot pun akhirnya mulai di tekan, sampai puncaknya adalah si botak berhasil menembak perut si otot yang menyebabkan ia langsung tersungkur, si botak tak menyia-nyiakan kesempatan itu, membidik pistolnya ke kepala si otot dan siap menembak, namun niat itu gagal saat ia tiba-tiba melihat sebuah tas melayang ke wajahnya.

"Ughh! Sialan!!"

Selama perseteruan kedua pria itu berlangsung, Agra memanfaatkan waktu yang ia dapatkan untuk mendekati kedua siswi di kursi bagian belakang dan meminta tolong pada mereka berdua.

"Hei, hei, aku minta tolong kepada kalian, pertama-tama tenanglah dan dengarkan instruksiku."

Agra mendekati kedua siswi itu tersebut dengan si bayi di tangannya, berusaha untuk menenangkan mereka.

"A-apa yang kau mau? Kami tak punya apa-apa... Mo-mohon jangan lukai kami..."

Salah satu siswi memberanikan diri untuk membuka mulut dan bertanya serta memohon dengan terbata-bata kepada Agra, sementara siswi yang duduk di kursi dekat jendela hanya bisa memegangi tangan temannya, mereka terlihat sangat panik, terlihat dari tubuh mereka yang tak bisa berhenti bergetar, tetapi Agra masih berusaha untuk meyakinkan mereka, karena merekalah yang memiliki kemungkinan paling besar untuk berhasil dalam menyelesaikan tugas yang akan diberikan Agra.

"Oke oke, aku tak akan melukai kalian, tenang tarik nafas, aku bukan komplotan mereka, lihatlah seragamku, bukankah kita dari sekolah yang sama? SMA 4 Cendekia?"

Mendengar perkataan Agra kedua gadis tersebut langsung melirik seragamnya, dan mereka pun melihat jas hitam kecokelatan dengan lambang sekolah mereka di bagian kiri dada, lalu lambang angka satu romawi di bagian lengan atas kanannya.

Melihat itu semua mereka yakin dengan pasti bahwa pria ini memang murid sekolah mereka, seorang adik kelas pula, dan fakta ini sedikit mengenai harga diri mereka, seorang adik kelas sepuluh dengan berani dan tenangnya memikirkan jalan keluar, sedangkan mereka hanya duduk ketakutan di sini.

Agra juga menyadari sesuatu saat melihat seragam kedua siswi di depannya, lambang angka tiga romawi di lengan atas kanan mereka, yang berarti kelas dua belas, maka pantas saja ia tak mengenal mereka, karena jangankan kakak kelas, Agra bahkan tak mengenal semua teman angkatannya di kelas sepuluh.

"Ba-baik um..."

"Agra kak, panggil saja Agra."

Agra pun memperkenalkan dirinya, melihat salah satu dari siswi berusaha berbicara lagi.

"Baik... Huff... Agra, a-apa yang harus kami lakukan?"

"Pertama-tama tolong jaga bayi ini"

Agra menyerahkan bayi yang masih menangis, namun sudah tidak sekencang tadi, siswi yang duduk di samping jendela langsung menerimanya dan menggendong si bayi, ia terlihat berusaha untuk menenangkan si bayi, dan sepertinya usahanya sedikit membuahkan hasil karena si bayi perlahan-lahan mulai tenang.

"Lalu aku ingin kakak menelepon polisi, bilang ke mereka bahwa ini adalah penyerangan teroris, sampaikan juga bahwa bus kita memasuki tol dari gerbang ketiga setelah stasiun Jatimangan, dengan pelat nomor B 7129 PGF, dan saat kakak menelepon nanti sebutkan bahwa kita telah memasuki kilometer lima."

Agra menjelaskan instruksi apa yang harus dilakukan oleh kakak kelasnya dengan segala informasi yang telah ia dapatkan, untung saja ia sempat memperhatikan bagian depan bus sebelum menaikinya dan dapat mengingat pelatnya, ia juga sedari awal memasuki bus selalu memandangi keluar jendela, sehingga ia tahu sudah di kilometer berapa mereka sekarang.

"Baik! Baik!"

Sang siswi yang sudah di instruksikan dengan sigap mengeluarkan handphone nya dan langsung memanggil nomor polisi. Merasa sudah selesai dengan kedua kakak kelasnya, Agra lanjut melaksanakan langkah selanjutnya, ia mengambil tas miliknya yang ada di kursi, lalu berjalan perlahan menuju kedua pria, suara tembakan sekali lagi terdengar dan si otot tersungkur di depan mata Agra, dan di saat itu pula Agra langsung melempar tasnya sekuat tenaga ke arah wajah si botak.

Si pria botak seketika terganggu fokusnya, pandangannya terhalangi, di saat itu Agra maju menerjang, dan mendaratkan tinjunya sekuat tenaga ke wajah si botak, lalu ia tinju di bagian perut atas sebelah kanan, tepat pada hati, walaupun tinjunya tidak sekeras atlet atau petarung asli, tapi itu tetap cukup untuk membuat si botak terlemahkan.

Namun jika kau ingin benar-benar mengalahkan lawanmu, kau harus membuatnya pingsan atau bahkan membunuhnya, jika tidak maka lawanmu itu masih sebuah ancaman, dan situasi itu tepat sekali terjadi ke Agra, baru saja ia menghela nafas sejenak dan sedikit melemaskan ototnya selama beberapa detik, si botak yang tadinya tunduk kesakitan langsung menerjang ke arah pinggul Agra dan menjatuhkannya ke lantai bus, ia mengunci badan Agra dan mulai memukul wajahnya.

Sayangnya baru saja melayangkan dua pukulan, si botak langsung di pukul dengan sangat keras oleh gagang pistol, nampaknya Agra berhasil meraih pistol si afro yang sudah ia lumpuhkan sebelumnya.

Ia pun terhuyung-huyung, darah mulai bercucuran dari hidung dan mulutnya, terdapat lebam besar di bagian pipi kanannya, tak melewatkan kesempatan tersebut, Agra lanjut menerjang, ia langsung berdiri dan menendang si botak, si botak bereaksi dengan sigap, memposisikan kedua tangannya di depan wajah, sehingga berhasil menahan tendangan dari Agra, walaupun ia tetap terdorong ke belakang.

Agra ingin lanjut menyerang tetapi tiba-tiba ada seseorang yang mengunci tangannya pada leher Agra, tanpa melihatnya pun Agra dapat mengetahui kalau ini adalah si pria afro yang sudah ia lumpuhkan sebelumnya, namun sepertinya pukulannya masih belum cukup untuk benar-benar melumpuhkannya.

Agra mencoba untuk melepaskan diri, ia menyikut perut si afro lagi dan lagi, tetapi daya tahan si afro tak dapat di remehkan, karena walaupun ia sudah tertusuk pergelangan tangannya hingga darah mengucur deras, menerima pukulan di rahang dan bahkan sekarang di sikut perutnya, ia masih bertahan, sepertinya si afro ini sangat baik di bagian daya tahan, sedangkan si botak di bagian kekuatan.

Lawan Agra sekarang benar-benar di atas kemampuan fisiknya, namun ia mencoba tetap melawan, ia mencoba mencari jalan keluar dari cengkeraman ini sebelum

pingsan.

Si botak pun lanjut menerjang, berniat menghantam Agra dengan tinjunya selagi si afro rekannya menahan tubuhnya, namun bagi Agra ini adalah sebuah kesempatan, dengan sempurna ia melompat dengan tubuh si botak sebagai pijakannya, dan terbebas dari cengkeraman si afro, tak lupa juga ia memberi tendangan ringan ke wajahnya, dengan begitu si botak terhuyung-huyung lagi, ia memang kuat, tetapi daya tahannya tak sebanding.

Ia berbalik kini berusaha menahan serangan dari si afro, sepertinya ia benar-benar karena telah di tusuk dan di pukuli sebelumnya hingga terkapar, namun di samping tatapannya yang penuh amarah, senyumannya yang lebih mengerikan.

*Yang benar saja? Seorang masokis!?*

Begitulah pikir Agra, namun ia tak memikirkannya lebih jauh karena si afro masih terus melancarkan serangannya.

Di saat ia kira menahan serangan si afro sudah melelahkan, ia mendengar dari belakangnya si botak sepertinya sudah memulihkan diri, ia ingin lanjut menerjang, tapi sebelum ia berhasil, si otot yang tersungkur sebelumnya mendorong si botak ke samping, hingga membentur dinding bus.

"FOKUS DENGAN YANG SATUNYA, AKU URUS YANG INI!"

Agra bisa mendengarnya berteriak dengan kencang dari belakang, namun ia tak berbalik dan meresponsnya, karena sekali ia lengah, pria di depannya yang sedari tadi sedang menyerangnya tanpa henti pasti akan langsung mendaratkan pukulan fatal, sehingga ia hanya bisa berterima kasih dalam hati.

Ia terus bertahan, selagi mencari celah dan kesempatan, tetapi melihat bahwa kesempatan itu tak pula datang kepadanya, maka sepertinya Agra harus membuat kesempatan itu sendiri, dan itulah yang ia lakukan, si afro lanjut melontarkan serangan demi serangan, namun Agra berhasil menangkis salah satu pukulannya, sekaligus membuatnya sedikit terdorong ke belakang, menghentikan rentetan serangan yang ia lancarkan, melihat celah, Agra langsung mencengkeram kepalanya dengan erat dan berniat melakukan serangan fatal ke rahangnya menggunakan lututnya, namun si afro dengan cepat menerjang ke depan, mencengkeram pinggul Agra dan sekali lagi ia pun terhantam ke lantai bus.

Tak mau kalah, Agra membalas dengan mengunci kepala si afro dengan pahanya, pada awalnya ia berhasil, namun adrenalin sepertinya membuat tubuhnya menggila karena si afro bertahan dan bahkan mengangkat kepala beserta tubuhnya, otomatis Agra yang tak merelakan kuncian pada kepala si afro juga ikut terangkat, sekarang Agra berada di bahu afro, masih mengunci kepalanya, si afro mulai bergerak kesana-kemari, berusaha melepaskan Agra dari tubuhnya.

Ia di benturkan ke segala hal, kaca, dinding bus, kursi, tiang yang ada di dalam bus, dan lainnya, awalnya Agra masih kuat untuk bertahan, tetapi setelah dengan konstan di benturkan dan juga kelelahan yang bertumpuk membuatnya mulai melemahkan cengkeraman pada pahanya.

Menyadari hal itu, si afro semakin brutal membenturkan tubuh Agra ke berbagai macam benda yang ada, Agra yang sudah melemah berniat akan segera melepaskan cengkeramannya, namun seolah takdir berkata lain, saat si afro membenturkan tubuh Agra ke kaca, itu menjadi benturan terakhir dan saat di mana Agra akhirnya melepaskan cengkeramannya, karena kaca yang menahan tubuhnya sudah tak dapat menahan bentuknya lagi dan akhirnya-

*CRASHHH*

"Ah-"

*Yang benar saja-*

Tubuhnya pun terlempar keluar bus yang sedang melaju dengan sangat pesat di jalan tol, sudah sangat jelas tragedi apa yang akan jatuh kepadanya.

*TIIN TIINN!*

Suara nyaring klakson terdengar, Agra menoleh ke samping dan melihat kaca depan suatu mobil, tidak lama ia merasakan sakit yang luar biasa dan pandangannya menjadi berputar-putar, iya sekali lagi ia terlempar setelah tertabrak oleh mobil.

Sekarang terkapar di panasnya beton jalan tol, ia merasa tubuhnya seperti terbakar, dingin dari darahnya yang keluar dan menggenang, menciptakan genangan darah di putihnya jalur tol, pandangannya memudar, dan sebelum ia benar-benar tak sadarkan diri, ia dapat mendengar satu suara terakhir sebelum memasuki kegelapan.

*TINNNNNN-

*SPLOOCHHH*

Dan dengan instan ia terputus dari panasnya dunia.

.

.

.

.

.

.

.

A

A..

Ag..

Agra...

.

.

"AGRA!"

"Huh?!"

To be continued...