webnovel

99

Wiy;

Tha, aku dan kamu adalah sahabat. Terimakasih untuk kenangan yang pernah ada. Aku menyimpannya bak harta paling berharga peninggalan terbaik seumur hidupku. Kutahu kenangan adalah perhiasan sejarah hidup ini. Kalau bukan aku siapa lagi yang akan menyimpannya?

Kenangan cerita kita kusimpan erat dalam dada. Kenangan tempat dan waktu kutitipkan pada bumi. Jika kamu merindukan kenangan kita dulu, Tha, maka aku akan siap bercerita. Jika kamu benar-benar lupa maka aku akan membawamu mengitari yang pernah kita lewati.

Ketahuilah aku belum lelah menunggumu, merindukanmu, merindukan masa lalu kita. Maka seharusnya tidak ada alasan bagimu meninggalkan dan melupakanku sepanjang waktu. Kutahu hatimu pasti masih merindukan masa lalu-masa aku dan kamu saling mengukir cerita yang akan kita rindukan pada suatu waktu, hingga sekarang sampai usia tua.

Ketika kamu hendak pergi jauh dan sejauhnya yang kamu mau-maka ingatlah bahwa kita pernah sahabat. Kenanglah aku yang pernah mengenalmu. Ketahuilah aku masih setia menunggu kedatanganmu.

Tha, sekarang aku mulai ragu, sepertinya kamu memang tidak datang bertamu ke rumahku. Tidak datang untuk menikahiku.

Kamu benar, Tha, penantianku adalah sia-sia. Dan jujur, meskipun sia-sia, aku tetap tersenyum bahagia. Sebab dalam hidupku aku pernah jatuh cinta pada seorang bernama, Tha, aku pernah punya rindu dan aku pernah menunggu kedatagannya.

Kamu telah lama pamit padaku, Tha, sepertinya kamu sudah pergi untuk selamanya. Namun aku masih ragu. Baiklah, sekarang aku juga pamit, ini adalah kabar dan surel terakhir dariku. Jika memang benar kamu telah pergi duluan, tidak lama lagi aku pun akan menyusulmu, Tha.

Seperti do'aku dulu, aku meminta pada Allah. di setiap sujudku agar disatukan dengan orang yang aku cintai. Setelah ini tidak ada lagi surel dariku, Tha. Terima kasih telah mau membalas surelku hingga usia senjaku, sampai aku jadi nenek meskipun aku tidak punya cucu. Jangankan cucu, anak saja aku belum punya. Jangankan anak, suamiku pun tak ada.

Bagaimana mungkin aku punya suami? Sementara aku belum pernah menikah. Bagaimana bisa aku menikah? Sedangkan orang yang aku cintai, yang aku rindukan, yang aku harapkan dan yang aku tunggu selama ini tak kunjung datang.

Baiklah, Tha, ini adalah surel penghabisan. Terima kasih atas segalanya. Terima kasih pernah mengenalkanku arti cinta, arti setia, arti rindu, arti jarak jauh, arti surel, arti aksara, arti sedih bahagia, arti hidup, arti ambigu, rasa sakit, mati rasa, dan arti menunggu.

Terima kasih sahabatku. Sekali lagi, sebelum dan sesudahnya aku ucapkan ribuan terima kasih karena sudah pernah melarangku menunggumu. Dan aku bahagia.

***

Sekarang aku telah dewasa. Semua isi surel ayahku dengan Wiy sudah diceritakan ibuku padaku. Sejak ayahku menikah dengan ibuku, surel terakhir ayah untuk Wiy adalah surel undangan pernikahannya dulu. Sesudah itu ayahku tidak pernah lagi mengirim surel untuk Wiy dan dia tidak tahu bahwa setiap bulannya ada surel dari Wiy untuknya dan dibalas oleh ibuku.

Ketika aku berusia enam tahun, ayahku hidup tak menentu, ia sering melamun. Ibuku menyerah mengurus ayahku, jarang sekali ia tidur di rumah. Ayah hidup tetapi hanya jasadnya di rumah, ada pun hati dan jiwanya teringat akan, Wiy dan ibuku tersiksa dengan dahsyatnya cemburu.

Ibuku cemburu pada, Wy, betapa besarnya cinta Wiy pada ayahku, begitu pun sebaliknya. Karena itulah akhirnya ibu menceritakan padaku kenapa ayah seperti itu.

Sejak umurku enam tahun sudah kutahu kisah cinta pertama ayahku, cinta pertamanya bukan ibuku, melainkan Wiy yang saat itu aku tidak tahu bagaimana rupanya, siapa dia dan di mana ia berada?

Ibu juga berterus terang bahwa kenapa ayah dan Wiy tidak menikah? Hanyalah masalah sepele. Satu ucapan yang dipegang oleh kampung Segenap sampai saat ini adalah: "seburuk-buruknya hati orang kampung Segenap, itulah sebaik-baiknya hati orang kampung Sepakat". Karena kata petikan lama dan turun-temurun itulah kakek dan nenek dari ayahku tidak ingin menantunya orang kampung Sepakat. Padahal ibu dari ayahku jugalah bersahabat dulunya dengan ibunya, Wiy.

Adalah kesalahan dan pemikiran lama yang tidak boleh disama-ratakan semua orang kampung Sepekat itu berhati buruk. Nyatanya banyak sekali kebaikan hati orang kampung Sepakat, dan aku telah menemukan perempuan paling baik yang pernah aku tahu seumur hidupku, dia adalah Wiy.

Tidak lama setelah ibuku meninggal, aku memberanikan diri mencari perempuan yang bernama Wiy. Ini adalah pesan terakhir ibuku setelah ia meninggal-agar aku menikahkan ayahku dengan cinta pertamanya, Wiy. Supaya ayahku merasakan lagi betapa indahnya hidup ini.

Aku pun berangkat dari rumah, keluar pulau Jawa, meninggalkan Yogyakarta, masuk ke pedalaman pulau Sumatera dan tiba di Aceh Tenggara.

Kutanyakan kesana-kemari kampung Segenap, kampung ayahku yang sampai sekarang belum pernah ia membawaku saat liburan karena alasan jauh. Dan akhirnya kutemukan sebuah kampung nan indah, terpencil di bukit menawan, itulah kampung Segenap yang berseberangan sungai dengan kampung Sepakat.

Aku menyempatkan diri bertamu ke rumah kerabat ayahku di kampung Segenap. Malamnya aku mengajak dua dari kerabat ayahku untuk menemui Wiy di rumahnya, di kampung Sepakat. Sampai di sana kuketuk pintu, mengucap salam.

"Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikum salam warahmatullah wabarakatuh..." sahut suara tua di balik pintu.

Kulihat seorang nenek cantik yang membukan pintu untuk kami. Kulitnya sudah keriput, rambutnya panjang dan telah memutih, namun wajahnya masih karismatik, cantik. Sepertinya dialah nenek tercantik di kampung Sepakat. Dia mengenakan kaca mata, tampak betul ia seorang yang rajin baca buku.

"Benar Anda bernama, Wiy?" tanyaku memastikan.

"Ya." Sahutnya singkat. Bukan main senangnya aku! Orang yang di depanku ini telah kuketahui isi hatinya, sudah kutahu derita hidupnya, betapa lamanya ia telah menunggu! Alhamdulillah, orang yang aku cari masih hidup, masih kuat, meskipun rambutnya sudah memutih, tetapi ia tetap cantik.

"Perkenalkan nama saya Dewi, Nek. Anak tunggal dari keluarga Tha dan Nelly." kataku menjelaskan. Seketika beliau memelukku, menangis sendu, air matanya deras. Isak tangisnya membuat mataku ikutan menangis.

Lebih satu jam ia menangis dalam pelukanku, melimpahkan rasa rindunya padaku sebagai anak dari Tha ayahku. Dari kami tidak ada yang bicara satu kata pun, semua orang kampung Sepakat-Segenap sudah tahu kisah cinta nenek yang sedang menangis di dalam pelukanku ini.

Kami menunggunya hingga ia selesai menangis. Begitu tangisnya reda, air matanya telah kering. Kulihat ia mulai mengelap wajahnya, matanya masih berbinar, menyala, alisnya belum berantakan. Senyumnya masih manis, giginya masih lengkap. Kemudian ia pun mulai bicara,

"44 tahun, 4 bulan 2 minggu 4 hari dan 12 jam sudah lamanya aku menunggu kedatanganmu, Nak. Sudah kutahu kamulah tamuku yang akan datang mengetuk pintuku, sebab ayah dan ibumu telah meninggal bahkan tidak sempat datang bertamu." jelasnya. Aku terharu mendengarnya.

"Tetapi ayahku masih panjang umur. Ayahku juga telah lama menunggumu, Nek, seperti lamanya nenek menunggunya."

"Sudah cukup banyak hatiku terluka, Nak, tolonglah jangan lagi melukaiku dengan berbohong. Tolong bahagiakan lah aku, sudi kiranya kau memanggilku ibu, Nak." Dia memelukku dan menangis sejadi-jadinya.

Tangisnya tak kalah keras seperti tadinya, air matanya tak kalah deras seperti sebelumnya. Aku menyapu-nyapu punggungnya dengan tanganku, aku coba menguatkannya.

"Aku tidak berbohong. Alhamdulillah ayahku masih panjang umur, tetapi separuh nyawanya telah pergi." Mendengar ucapanku, tangisnya makin sendu, kurasakan sekali betapa lamanya ia sudah menunggu.

Aku senang sekali bisa mengatakan semuanya, aku menangis haru sembari memeluknya. Ternyata benar bahwa Wiy belum pernah menikah, dia menunggu ayahku.

Kujelaskan padanya bahwa yang membalas surelnya setelah ayahku menikah adalah ibuku. Tidak jarang ayahku bertanya apakah ada surel dari Wiy untuknya? Tetapi ibuku berbohong. Ibuku dikalahkan rasa cemburunya. Ibuku juga tidak tega tidak membalasnya karena Wiy adalah sahabat karibnya. Dan ibuku disiksa oleh rasa cemburunya sendiri, hingga ia meninggal di usianya yang ke lima puluh empat tahun.

Ibuku seumuran dengan Wiy. Sudah aku ceritakan semuanya, yang sesungguhnya. Tetapi Wiy belum percaya. Hingga esok harinya aku menelepon ke rumah, menyuruh tetangga datang dengan ayah ke rumah Wiy. Aku bilang pada ayahku bahwa Wiy masih hidup dan masih setia menunggunya, dan Wiy belum pernah menikah.

Ayahku pulih seketika! Dia segera datang saat itu juga. Dan akhirnya ayahku menikah dengan Wiy di usia Wiy yang ke 64 tahun, cinta pertama yang saling menunggu.

Sekarang barulah ayahku tahu bahwa gula itu rasanya manis saat meneguk kopi pertamanya di rumah Wiy. Dan malam itu ibuku Wiy menghidangkan Gutel dan Masam Jaing masakan favoritnya, salah satu dari tujuh menu andalannya.

Setelah ayahku menikah dengan Wiy, kami meninggalkan Yogyakarta, tinggal di kampung Sepakat, di rumahnya Wiy di Kuta Cane kabupaten Aceh Tenggara yang berseberangan sungai dengan desa ayahku kampung Segenap.

Kampung Wiy bersebelahan dengan kampung ibu kandungku. Kenapa ibu kandungku istri pertama ayah? Karena dijodohkan kakek-nenek, karena petikan lama yang buruk makna itu.

Sekarang aku sudah punya ibu lagi, dialah bernama Wiy. Perempuan setia yang pernah kutahu seumur hidupku. Malam itu adalah hidangan pertama ibuku untuk ayahku, Gutel dan Masam Jaing masakan terbaiknya, makanan favorit ayah-ibuku.

Kata ibuku Wiy padaku;

"Nak Dewi, jangan biasakan menunggu, nanti kamu ketagihan. Tidak baik. Jangan ikuti ibu, Nak. Menikahlah dengan yang datang tepat waktu, dia jugalah baik untukmu. Pandang akhlak dan taqwanya, niscaya hidupmu bahagia."

Oh ya, kenalkan nama lengkapku Dewi Thawiyyah. Panggil saja aku Dewi.

***

-Sekian dan Syukron-

Darrasah, Kairo, 6 September 2018.

*Penulis: Muhammad Daud Farma