webnovel

55

Wiy;

Assalamualaikum, Tha...

Hai sahabatku, kamu apa kabar? Tak terasa, tiga tahun sudah berlalu. Kamu dan istrimu sehat, Tha? Maaf baru bisa mengirimimu pesan hari ini. Sebenarnya setiap hari aku menuliskan pikiranku, pengalamanku sehari-hari, kabarku, tentang kampung Sepakat, tentang masakanku yang kini sudah lebih tujuh menu masakan, dan maaf-juga tentang betapa rindunya aku padamu.

Namun tidak kukirimkan untukmu, aku simpan di draf dan sebagiannya aku tulis dengan pena di buku harianku. Biarlah ia jadi bacaanku saja.

Aku mengisi hari-hariku dengan menulis dan membaca, Tha, kamarku sudah kujadikan perpustakaan, penuh dengan buku-buku. Setiap akhir pekan aku selalu ke toko buku terdekat. Meskipun bukan gramedia, tetapi toko buku dekat kampung Sepakat mengoleksi lengkap buku fiksi. Dan tiap selesai membaca aku coba meresensinya, Tha.

Dari tulisan berbagai banyak penulis aku belajar banyak cara menulis. Hingga kini kutahu bagaimana menulis yang baik dan untuk siapa aku menulis? Adalah untukmu seorang duhai sahabatku. Saat aku menulis tentangmu, bercerita tentangku kepadamu dalam tulisanku, aku merasa seperti masa lalu kita tiga tahun silam. Aku merasa kamu sedang membacanya dan aku bahagia sebab kamulah pembaca pertamanya.

Seperti katamu bahwa kebahagiaan seorang penulis adalah di saat ia tahu tulisannya dibaca orang lain walaupun satu orang, di saat ia tahu orang lain senang dengan tulisannya. Dan aku pun merasakannya, Tha. Aku merasakan seperti yang kamu rasakan sebagai penulis.

Sudah layak kah aku ini disebut penulis, Tha? Padahal yang aku tulis hanyalah pengalamanku sendiri. Ah sepertinya tidak layak aku disebut penulis, bukankah semua orang punya pengalaman pribadi, Tha? Tetapi dari banyaknya buku yang aku baca, tidak sedikit penulis yang juga menceritakan kehidupannya sendiri yang ia kemas dalam cerita fiksi. Kamu kan penulis, Tha, tentu kamu lebih mengerti dariku.

Jika tulisanku untukmu ini kujilid, berat kertasnya hampir dua kilo gram, tebalnya empat inci. Begitulah dahsyatnya rindu yang masih menyala di hatiku, Tha. Tetapi sudah tidak ada hakku lagi merindumu. Kini kamu sudah jadi suami sahabatku sendiri. Kamu tidak perlu merasa bersalah besar, toh Nelly itu teman kuliahku juga, Tha.

Nelly juga tahu betul bagaimana cerita kita sejak awal, dia tahu lika-likunya, tidak jarang aku curhat padanya tentang masalah kita. Jadi tidak perlu kamu takut, Tha, kutahu Nelly adalah orang yang baik. Nellly mengerti perasaan prempuan. Nelly tidak akan marah jika mantan kekasih suaminya masih mengirim surel. Sampaikan salamku pada Nelly, Tha, semoga kalian hidup bahagia sampai tua.

Aku sendiri masih di kampung Sepakat. Bilamana nanti tidak sempat menikah denganmu, aku juga ikhlas, aku akan tetap di sini menunggu malaikat maut menjemput ajalku.

Oh ya, Tha, kalian sudah punya anak? Siapa nama anakmu, Tha? Dia laki-laki atau perempuan? Kalau laki-laki tentu seganteng kamu, ah jadi ingin menggendongnya. Kalau dia perempuan pasti mirip Nelly, tak sabar ingin mencium dan mencubit manja pipinya.

Ingin sekali aku menjenguk kalian di kampung Segenap. Bolehh kan aku datang, Tha? Sebelum dan sesudahnya kuucapkan banyak terima kasih.

***